Judul Buku :
Happiness Theory
Penulis :
Arbie Sheena
Tebal : 292 halaman
Penerbit/cetakan :
Elfbooks/Cetakan pertama, Maret 2013
ISBN : 978-602-19335-8-9
Harga :
Rp 49.500,00 Rp 29.700,00 (diskon 40%)
Kalau
disuguhi kover belakang novel dengan sinopsis kayak begini, siapa yang nggak
ngiler—ngebet pengen baca? Apalagi buat para pecinta Korea-korea-an kayak saya.
Yang ada di benak begitu
membaca sinopsisnya adalah ketidaksabaran untuk segera mengungkap kisah
pembunuhan yang dilakukan Song Hyemi, dan pertemuannya dengan si anak baru,
Jung Jae Hye, yang namanya mirip dengan orang yang telah dibunuh Hyemi, Lee Jae
Hye.
Lama memendam rasa ingin
membaca novel ini, setelah dikecewakan oleh toko buku—tumpukan buku ini sudah
lenyap saat saya ke sana hendak membelinya—akhirnya ngidam saya keturutan.
Beruntung sekali, Elfbooks (yang adalah penerbit novel saya juga; promosi, nih.
Hehe) mengadakan promo diskon 40% untuk semua novel terbitannya pada awal tahun
2014 yang lalu. Langsung saja saya pesan buku ini, beserta dua buku lainnya. Lantaran
terbilang cukup laris dan lumayan banyak yang memberikan testimoni positif yang
di-tweet ke akun Elfbooks maupun akun si penulis, maka saya nggak ragu
membelinya. Saya berimajinasi akan mengecap cerita drama Korea tentang anak
sekolahan, dibumbui dengan kisah pembunuhan penuh misteri. Wah, pasti cucok
banget untuk disantap saat nganggur sendirian di dalam kamar kos.
Prolog dibuka dengan
perkenalan tokoh “aku” yang memiliki fobia terhadap warna merah, darah, hantu,
dan Song Hyemi. Bab berikutnya, Jung Jaehye (sebagai tokoh “aku”), pindah ke
rumah baru yang besar dan megah seperti rumah Lee Minho di drama The Heirs atau di drama Boys Before Flowers (btw, perannya jadi anak orang kaya
mulu). Rumah itu pemberian dari Tuan Song, bos ayah Jaehye, yang juga adalah
ayah Song Hyemi. Kemudian, di sekolah barunya, Jaehye akhirnya berteman dengan
sekumpulan anak aneh: Dongjun, Bihoon, dan Shinra. Dongjun adalah anak lelaki
dari keluarga miskin dan memiliki banyak adik. Ia adalah ketua Klub Pecinta
Hewan yang anggotanya Bihoon, Shinra, dan Jaehye, yang menyusul kemudian.
Dongjun suka menolong orang lain dan meminta imbalan karena ia (seringnya)
tidak punya uang. Sementara itu, Bihoon adalah seorang maniak game, sampai-sampai selalu minta disuapi
saat makan karena tidak bisa meninggalkan game-nya.
Pacarnya, Shinra, adalah gadis bertubuh gemuk yang suka makan snack. Selain itu, Jaehye juga bertemu
dengan saudara tiri Hyemi: Song Eunsoo dan Song Youngki.
Teman-teman sekolah Jaehye
menggosipkannya karena namanya sama dengan nama anak laki-laki yang sudah
meninggal, dan ia juga duduk di bangku yang sebelumnya ditempati almarhum Lee
Jaehye. Meskipun awalnya Jaehye takut terhadap Hyemi, lama-lama ia penasaran
terhadap gadis itu, karena sosoknya yang pendiam dan berhati dingin. Lalu,
secara tak sengaja, Jaehye menemukan sebuah novelet berjudul “Happiness Theori” di laci meja di dalam kamarnya. Ketika sedang sampai di
klimaks cerita, tiba-tiba novelet itu selesai. Tak ada lanjutannya. Padahal,
jika mengetahui lanjutannya, Jaehye akan dapat mengungkap kebenaran di balik
meninggalnya Lee Jaehye dan juga mengapa Hyemi berubah menjadi seperti sebongkah
batu keras yang tak terjamah. Juga, mengapa ayah Hyemi bisa memiliki semua saham dan
kekayaan ayah Lee Jaehye.
Tampaknya, sang penulis, Kak
Arbie Sheena, memaksudkan novel ini sebagai novel komedi (ia mengaku dijuluki
Comedy Queen). Terbukti juga lewat bukunya yang lain, yang ber-genre komedi, yang telah diterbitkan
oleh Divapress. Namun, setelah membaca karyanya yang ini, saya merasa bahwa
unsur komedi dalam novel ini dibikin setengah-setengah. Saat membaca, saya tak
henti berpikir, “Pasti lucu banget kalau dibikin komik. Lebih bagus dibikin
komik daripada novel.” Pikiran-pikiran itu muncul tentu bukan tanpa alasan.
Karakter-karakternya yang aneh dan lebay, juga ceritanya yang agak jayus,
sangat cocok jika dikemas menjadi sebuah komik. Kalau boleh, saya hendak mengkategorikan
novel ini ke dalam genre teenlit semacam
Loventure karya Mia Arsjad, yang
ceritanya jayus dan nggak jelas. Sesuai genre-nya,
novel ini ditargetkan untuk para pembaca remaja, makanya pemikiran-pemikiran
karakternya pun “remaja” banget.
Setelah menamatkan novel
ini, saya merasa seperti bangun dari mimpi yang berlangsung terlampau cepat
bahkan sebelum saya mengerti isi mimpi saya. Begitu bangun, saya langsung lupa
bahwa saya telah bermimpi sebelumnya. (Oke, abaikan jika kata-kata saya
membingungkan). Mari kita langsung saja cek daftar hal-hal dalam novel ini yang
membuatnya
layak dibaca.
1.
Ceritanya penuh kejayusan anak sekolah, penuh humor, dan
bisa dibikin komik. Kisahnya yang ringan cocok untuk para pembaca yang sedang
jenuh akan realita kehidupan dan butuh hiburan penyegar pikiran.
2.
Sang penulis cukup kreatif dalam membuat kisah mitos (btw, saya nggak tahu, itu mitos beneran
murni karangan si penulis, atau memang ada di Korea sana). Seperti mitos
tentang pita merah yang diceritakan oleh Shinra (halaman 120) dan cerita antara
Youngchun dan Heoyeon pada zaman Dinasti Joseon (halaman 203 – 204).
3.
Saya suka cerita novelet “Happiness Theory”, bahkan lebih
menyukainya daripada cerita antara Jung Jaehye dan Hyemi. ㅋㅋㅋ, 너무 좋아![1]
4.
Bagi pecinta Korea-Korea-an, pasti suka cerita beginian, dah!
Apalagi bagi para Baby[2],
soalnya ada tokoh bernama Sandeul di sini (sama kayak nama salah satu anggota
B1A4). Hehehe, nggak penting
banget, maaf.
Di samping itu, ada juga hal-hal yang mengganggu saya ketika membaca,
seperti berikut ini.
1. Di halaman 10, ketika
membicarakan tentang almarhum nyonya rumah yang meninggal di rumah pemberian
Tuan Song, Jaehye bertanya kepada ibunya, “Kenapa bunuh diri?” Pertanyaan ini sangat aneh, lantaran
sebelumnya ibunya hanya mengatakan, “Dulu ada yang pernah mati di sini!”
(halaman 9). Jadi, dari mana Jaehye tahu kalau orang itu mati karena bunuh
diri? Oke, mungkin Jaehye bisa membaca pikiran ibunya.
2. Dua kalimat terakhir
paragraf ketiga halaman 59 menyebabkan paragraf tidak koheren. Saya tidak
menangkap maksud kedua kalimat itu, berkaitan dengan kalimat-kalimat
sebelumnya. Apa ada yang bisa menerangkannya padaku?
Mungkin seharusnya,
kalimat itu ditulis begini: “Aku akan terus teringat kejadian ini, mungkin
sampai usiaku lima puluh tahun nanti. Lebih baik jika aku memohon pada Tuhan
supaya diberi penyakit Alzeimer saja,
sehingga aku melupakan segalanya, termasuk hal memalukan ini.” Eh, tapi kalau
kayak gini kalimatnya, kesannya malah jadi novel serius, ya. Emang bener, saya
nggak bisa nulis cerita komedi. Hehehe.
3.
Tentang fobia warna merah yang diderita Jaehye, pada
awalnya saya kira ia sudah memiliki fobia itu sejak beberapa tahun yang lalu,
atau malah sejak ia kecil, karena fobianya terkesan sudah sangat parah. Eh,
tapi, ternyata, ia baru menderita fobia itu selama empat bulan, gara-gara ia
melihat sahabatnya meninggal berkubang darah (halaman 73 – 77).
4.
Ada kata yang janggal di halaman 85—“sesupernya”. Kata
ini seharusnya “sesuper-supernya”.
5.
Saya merasa kalau Jaehye terlalu cepat bisa jatuh cinta
terhadap Hyemi, padahal mereka juga jarang berinteraksi. Jika interaksi yang
dimaksud adalah obrolan garing yang berusaha diangkat oleh Jaehye, tapi tidak
ditanggapi oleh Hyemi, maka, oke, mereka cukup sering berinteraksi. Hehehe (sumpah
Jaehye kasian banget dicuekin, hahaha).
6.
Saya menemukan banyak kalimat tidak efektif di dalam
novel ini, yang menyebabkan saya tidak menangkap dengan baik maksud sang
penulis. Salah satunya adalah kalimat pada halaman 151, sebagai berikut:
“Sulit untuk bersikap tanpa emosi seperti dirinya. Di saat kehilangan sesosok Appa yang bijak, ramah, berdedikasi tinggi, bukanlah orang yang ditemuinya sehari dua hari lalu menghilang dari ingatan.”
Yang perlu disoroti adalah kalimat kedua. Kalimat itu
akan lebih mudah dimengerti jika diubah seperti ini, misalnya:
“Kehilangan sosok Appa yang bijak, ramah, dan berdedikasi tinggi—bukan orang yang ditemui sehari dua hari kemudian terlupakan—merupakan hal yang berat untuk ditanggung gadis muda sepertinya.”
Aduh, kalimatnya malah jadi makin panjang, huhu.
Berikutnya, saya juga menemukan beberapa quote favorit yang bisa di-share
di Goodreads, hehe.
1.
“Meski kau tak punya apa-apa lagi, ada satu hal yang bisa
kaulindungi, yaitu harga dirimu.” (Jisoon – halaman 73)
2.
“Ketakutan itu tidak buruk. Hal itu memberitahu apa
kelemahanmu. Dengan begitu, kau akan tumbuh semakin kuat.... Jangan coba
melupakannya agar ketakutanmu pergi! Karena... tak ada kenangan yang pantas
untuk dilupakan.” (Shinra – halaman 77)
3.
“Jika ingin melupakan sesuatu, harus banyak bergerak.”
(Dongjun – halaman 104). Btw, ternyata
Shinra dan Dongjun punya pendapat berbeda tentang kenangan. Menurut Shinra,
kenangan tak boleh dilupakan, sedangkan menurut Dongjun, boleh- boleh saja
melupakannya.
4.
“Semakin lama umur sebuah buku, semakin mahal juga
kata-kata yang tersimpan di dalamnya.” (Key – halaman 138)
5.
“Percuma saja, walau dapat memahami seluruh isi buku.
Walau dapat memecahkan masalah yang sulit. Walau menjadi yang paling pintar
dalam suatu hal. Tapi, jika tidak dapat memahami perasaan orang lain, bukankah
manusia hanya akan menjadi binatang yang menyedihkan?” (Key – halaman 138)
6.
“Benda yang punya wujud suatu saat akan rusak. Tapi hanya
kenangan yang tak akan pernah membusuk.” (Jung Jaehye – halaman 193)
7.
Menurut saya, bagian cerita ini agak aneh: ketika Lee
Jaehye tiba-tiba mendatangi Jung Jaehye lewat mimpi, hanya karena dia telah
menyadari bahwa tokoh utama novelet Happiness
Theory itu adalah Lee Jaehye.
Bicara tentang judul novel ini, Happiness
Theory, tokoh-tokoh dalam novel ini punya teori kebahagiaan masing-masing. Teori
kebahagiaan Hyemi adalah “berdamai dengan hidup dan mensyukurinya” (halaman
228). Sementara itu, bagi Lee Jaehye, “kau (Hyemi) adalah teori kebahagiaanku”
(halaman 231).
Kalau teori kebahagiaanku: bisa berada dekat dengan orang-orang yang
berharga bagiku. Menulis dan hidup bebas
juga
membuatku bahagia. Jadi, apa teori kebahagiaanmu? ;-)
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^