1 April 2014

Resensi GROUND ZERO - Hati-hati, Sosok Apakah Itu di Belakangmu?



Judul Buku                       : Ground Zero (A Crime Behind The Shadow)
Penulis                              : Chandra Widayanthi, dkk
Tebal                                 : 316 halaman
Penerbit/cetakan               : de TEENS/Cetakan I, Maret 2014
ISBN                                 : 978-602-279-129-4


“Peter, apa kamu percaya hantu?” tanyaku. (Ground Zero, hal. 302)

Apa kalian percaya hantu?
“Tentu, Sir. Saya bertemu beberapa selama berjaga di lokasi.” (Ground Zero, hal. 302)

Tokoh Peter dalam cerpen Ground Zero, cerpen yang dianugerahi sebagai cerpen terbaik #HororKotaNusantara, pernah bertemu hantu saat ia berjaga di lokasi pasca pengeboman di Bali tahun 2002. Apakah kalian juga pernah bertemu hantu—seperti yang dialami Peter? Kalau pernah, apakah kalian takut?
“Tidak takut?”
“Takut, Sir. Tapi tugas adalah tugas. Saya lebih takut pada manusia yang diliputi benci daripada hantu.” (Ground Zero, hal. 302)

"Ground Zero" hanyalah salah satu dari 22 cerpen yang tergabung dalam kumpulan cerpen pemenang lomba #HororKotaNusantara yang diadakan oleh Pak Edi Akhiles, CEO Diva Press, pada akhir tahun 2013 lalu. Tajuk lombanya saja berembel-embel “Nusantara”, maka tak heran kita akan menjumpai berbagai kisah horor dari berbagai kota di seluruh pelosok Nusantara. Uniknya, banyak kisah hantu yang belum pernah saya dengar sebelumnya, sehingga bisa disimpulkan bahwa para penulis kisah horor ini memiliki daya kreatif cukup tinggi. Berbagai cerita hantu tersebar mulai dari kota-kota di Pulau Sumatera (Bandar Lampung, Bukit Tinggi, Bengkulu, Palembang, Pematang Siantar), Kepulauan Riau, Pulau Jawa (Yogyakarta, Bojonegoro, Boyolali, Depok, Surabaya, Bandung, Cadas Pangeran, Kediri, Lamongan, Mojokerto, Wonosobo). Tak sampai di situ, kita juga diajak bertualang hingga ke Pulau Bali (Sanur, Kuta), Pulau Kalimantan (Samarinda), dan Pulau Sulawesi (Palu, Makassar). Jadi, salah besar kalau ada yang beranggapan bahwa cerita hantu Nusantara itu hanya berkisar antara Terowongan Casablanca dan Hantu Jeruk Purut.

Tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen ini kebanyakan mengalami petualangan menghadapi hantu secara bersama-sama, seperti pada cerpen “Ketika Jarum Pendek Menyentuh Angka XII dan Jarum Panjangnya Menyentuh Angka IIII” yang berlatarkan Jam Gadang, Bukit Tinggi. Tiga orang remaja masuk ke Jam Gadang untuk mencari temannya, yang ternyata jiwanya ditawan oleh seorang hantu nenek-nenek yang meminta tumbal 4 orang tiap jam 00.20. Itulah mengapa angka empat pada Jam Gadang tertulis “IIII”, bukan “IV”. Ketiga remaja itu mengalami akhir mengenaskan, seperti ending yang dialami oleh kebanyakan tokoh dalam cerpen-cerpen lainnya. Banyak tokoh yang meninggal karena kesalahan yang tidak ia lakukan, tapi si hantu telanjur membalas dendam, seperti dialami oleh tokoh Winda pada cerpen “Inggris”. Winda yang terjebak di dalam Fort Marlborough, Bengkulu, harus menghadapi teror sendirian. Hantu pemuda kurus yang ditawan dalam penjara dan disiksa oleh tentara Inggris menuntut balas padanya hanya karena Winda memiliki darah keturunan Inggris. Bukan hanya manusia, ternyata hantu juga sering menggeneralisasi sesuatu hingga menimbulkan ketidakadilan.

Tapi, tenang saja, tidak semua tokoh mengalami akhir yang mengenaskan. Malahan, ada yang dibantu oleh si hantu. Tokoh Rana, seorang dokter kandungan, dalam cerpen “Jarum Gantung”, akhirnya dapat mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh kekasihnya berkat petunjuk yang diberikan oleh seorang hantu bernama Azizah. Begitu pula tokoh utama dalam cerpen “Ground Zero”, yang dihantui oleh Maria, wanita asal Selandia Baru, seorang korban Bom Bali I yang memberinya petunjuk untuk menemukan sisa-sisa mayatnya dan menguburkannya dengan layak. Kebetulan, kedua tokoh di dua cerpen ini berpikiran logis dan ilmiah; awalnya tidak memercayai adanya hantu. Beda lagi dengan tokoh Kipli dalam cerpen “Onggo Inggi”, yang berhasil mengalahkan hantu siluman bernama Ki Onggo, penunggu Sungai Bengawan Solo.

Ke-22 cerpen dalam antologi berjudul “Ground Zero: A Crime Behind The Shadow” ini menambah pengetahuan tentang sejarah dan mitos-mitos lokal Nusantara. Sebut saja, sejarah pembangunan Ambarukmo Plaza. Juga, mitos tentang Negori Silop dalam cerpen “Tiyuh Beruyut”; cerita rakyat Bojonegoro; mitos tentang "menggembok anak kecil" (“Onggo Inggi”, hal. 42) yang dapat menciptakan senyum di wajah saya ketika membaca cerpen horor. Ini adalah salah satu bentuk kecerdasan penulis. Juga ketika si penulis “Onggo Inggi” menyisipkan sedikit humor, seperti ketika Bapak dan Emak kebingungan menjelaskan arti kata "menggauli" pada Kipli (hal. 45). Sosok penulis cerdas lain juga bisa dijumpai lewat cerpen “Tikungan 33”, di mana ia mampu menciptakan ketegangan dengan kisah yang hanya berlangsung dalam jangka waktu pendek di satu latar tempat, itupun di dalam mobil di tengah jalan.

Selain keunggulan-keunggulan tersebut, saya juga menemukan beberapa kejanggalan dan kekurangan dari cerpen-cerpen dalam antologi ini. Namun, yang paling membuat dahi saya berkerut dan lidah tak henti berdecak adalah cerpen “Rumah Sakit Kartika”. Gaya bercerita penulis kurang luwes. Banyak kalimat tidak efektif, sehingga pembaca kurang bisa menangkap maksud si pencerita, seperti tampak pada bagian berikut ini.
·        1. Hal. 26: "Kehilangan ekspresi seperti itu pasti akibat Doni."
2. Seharusnya, kalimat itu ditulis begini: "Satpam itu kehilangan ekspresi seperti itu pasti gara-gara ulah Doni." Eh, tapi, meskipun susunan kalimatnya sudah diperbaiki, saya tetap tidak menangkap maksudnya. Apa hubungan antara "si satpam kehilangan ekspresi" dengan "ulah Doni yang seenaknya"? Tidak logis, kan.
·     3. Kata "kurusan" di halaman 26 paragraf 3, seharusnya "kurus". Juga kata "darahan" pada paragraf 4 hal 35 seharusnya "berdarah".
·   4. Tidak ada alasan kuat mengapa dihukum pergi ke rumah sakit yang sudah tutup karena sering terlambat masuk kerja? Apa mereka disuruh bikin film dokumenter horor, begitu (mengingat tokoh utama merekam segala kejadian dengan handycam)? Mungkin, tapi tidak ada penjelasannya dalam cerpen ini (tokoh utama sedikit menyinggung ini di hal 24, tapi tidak jelas juga).
·       5.  Terakhir, mengapa gedung yang sudah tak terpakai masih dijaga oleh satpam?

Saya juga agak keberatan dengan cerpen “Bungaya” yang tidak menegangkan sama sekali. Sangat disayangkan, pertemuan antara tokoh utama dengan para hantu itu hanya sedikit diselipkan di akhir cerita, itupun hanya lewat mimpi. Nah, biasanya ketika hantu sengaja meneror seseorang, maka ada motif tertentu yang diusung si hantu tersebut. Kebanyakan adalah balas dendam, seperti diangkat dalam cerpen “Pengantin Pasar Bubrah”, di mana si hantu pengantin wanita membalas dendam pada semua lelaki beristri yang hendak selingkuh, karena ia pernah diselingkuhi suaminya semasa hidupnya dulu. Motif balas dendam juga diangkat oleh cerpen “Cantik Adalah Luka”. Bahkan, motif itu bisa juga sesederhana “mencari teman bermain”, seperti tujuan hantu gadis kecil dalam cerpen “Boneka”.
 
Saya hanya berani memberi bintang paling banyak 3, untuk 11 cerpen berikut. Salah satunya, "Inggris", adalah favorit saya.
·       1.  Onggo Inggi
·       2.  Pengantin Pasar Bubrah
·       3.  Inggris
·       4.  Ketika Jarum Pendek Menyentuh Angka XII dan Jarum Panjangnya Menyentuh Angka IIII
·       5.  Cantik Adalah Luka
·       6.  Jarum Gantung
·       7.  Darah Vietnam di Nusantara
·       8.  The Curse of The Twins
·       9.  Perjalanan Malam
·      10.  Ground Zero
·      11.  Tikungan 33

Sementara itu, saya hanya memberikan bintang 2 atau 2,5 untuk cerpen-cerpen lainnya. Bukan karena saya jago banget nulis cerpen horor (saya belum pernah bikin satupun cerita horor berhantu), melainkan hanya karena bagi saya cerita-cerita tersebut kurang menyeramkan dan menegangkan. Sampai saya membuka halaman terakhir buku ini, saya masih bertanya-tanya: mengapa subjudul antologi ini “A Crime Behind The Shadow”? Karena saya belum menemukan relevansinya dengan cerpen-cerpen di dalam antologi cerpen ini. Malah, saya teringat film sekuel Sherlock Holmes—A Game of Shadows. Hehehe.

Cerpen-cerpen ini mengusung pesan: jangan meremehkan mitos-mitos berbau makhluk gaib. Mereka ada, hanya saja tak kasat mata bagi kita (mungkin tidak bagi beberapa dari kita). Jika kita tidak mengganggu mereka, mereka juga tak akan mengganggu kita. Jadi, masih nggak percaya adanya hantu?


5 comments:

  1. keren sekali reviewnya, kak. terima kasih atas 3 bintang untuk cantik adalah luka. salam.

    ReplyDelete
  2. aih, keren juga cerpen horornya. salam balik :D

    ReplyDelete
  3. Hai ka fridaaaa :) welcome to BBI :)

    ReplyDelete
  4. hai :D salam kenal ninda ^^

    ReplyDelete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets