14 April 2014

Resensi SPRING SONATA


Cover depan

Cover belakang

Judul Buku                     : Spring Sonata
Penulis                           : Minn
Tebal                              : 268 halaman
Penerbit/cetakan             : PING!!!/Cetakan pertama, Maret 2014
ISBN                              : 978-602-7968-52-3

“Orang yang jatuh cinta diam-diam akan selamanya jatuh cinta sendirian.” (halaman 220)
Musik klasik. Setelah membaca satu frasa ini, dalam benak kalian mungkin akan muncul tiba-tiba nama Mozart. Atau Beethoven. Bach. Haydn.
Piano, biola.
Fur Elise. Moonlight Sonata.

Atau, akan terlintas nama kota Wina. Nah, bicara tentang musik klasik dan Wina, saya jadi teringat novel debut Yoanna Dianika yang pernah saya baca, Till We Meet Again. Kalau novel itu meminjam kota Wina sebagai latar cerita, maka novel Spring Sonata ini berlatarkan kota Praha, Ceko. Unik, bukan? Cukup jarang, penulis mengambil latar cerita di kota ini. Dan, seperti Till We Meet Again juga, novel ini berkisah tentang musik klasik.
Tepatnya, seorang gadis asal Indonesia, Rheina Hutabarat, yang sangat menggilai Beethoven. Beethoven addict. Gadis yang pergi ke Praha untuk belajar musik klasik dan “menemukan kenangan” di Nordrhein-Westfalen. Selama di Praha, ia tinggal di rumah Paman Haans, sahabat ibunya, Kiruna, untuk beberapa bulan. Hingga ia dapat menyesuaikan diri dengan suasana kota itu. Paman Haans memperlakukannya dengan sangat baik, tentu saja, tapi tidak begitu halnya dengan Matthew, putra Paman Haans. Anak laki-laki itu sangat membenci orang Asia, sebagai buah dari masa lalu. Bukan masa lalunya, melainkan masa lalu ayahnya yang mencintai ibunya, Yvone, tapi juga mencintai perempuan lain. Perempuan Asia, yang adalah ibu Rheina. Matt selalu beranggapan bahwa Kiruna merebut ayahnya dari ibunya, hingga ibunya sakit dan meninggal. Tidak hanya orang Asia yang dibencinya, ayahnya sendiri pun belum bisa ia maafkan.
“Mom pergi karena Dad tidak bisa tegas. Itu kesalahannya.” – Matt (halaman 40)
“Setiap orang berhak melakukan kesalahan dalam hidupnya, Matt.... Tapi, seseorang juga berhak menangis untuk luka di hatinya.” – Nyonya Swolsky (halaman 41-42)
Oleh karena itu, menurut Matt, sudah seharusnya ia juga membenci Rheina.
“Karena aku membenci ibumu! Karena kau anaknya, jadi aku membencimu.” – Matt (halaman 125)
Apalagi dengan bentuk fisiknya yang mungil seperti semut. Suara cempreng nan nyaring yang selalu memanggil-manggil namanya, “Matthew, Matthew!” Sikap centil dan sok kenal yang membuat muak seorang anak laki-laki yang dingin dan pendiam seperti Matt. Hidup Matt tidak bisa tenang setelah diinvasi oleh semut mungil itu. Tidak hanya di rumah, di sekolah musik pun juga. 

Di sekolah itu, Matt, gemar bermain biola diiringi piano sahabatnya, Alouy, dan dibimbing oleh Mr. Graig. Ia juga terkenal sebagai violinis berbakat yang mampu menggunakan teknik bermusik dengan sempurna, tapi hampa. Ya, hampa. Ia memainkan musik nyaris tanpa hati.
“Matthew punya kemampuan teknik tingkat tinggi, tapi menahan perasaan. Lagu itu harus dimainkan dengan perasaan.... Semua komposer menitipkan hati dan perasaan dalam setiap karyanya...” ­– Rheina (halaman 84)
Lain halnya dengan Rheina. Meskipun ia memasang casing seceria mungkin, sebenarnya, ia hanyalah seorang gadis yang kesepian dan menanggung beban akibat kehilangan ayahnya. Sama seperti Matt, yang juga kesepian dan memasang tembok tinggi-tinggi terhadap orang lain.
“Beethoven kesepian..... Matthew juga kesepian...” – Rheina (halaman 85)
“Kita sama-sama merindu orang yang eksistensinya sudah tidak ada di dunia lagi. Kita bodoh, ya?” – Rheina (halaman 151)
Matt masih bermain musik tanpa hati. Hingga ia memainkan lagu Spring Sonata karya Beethoven dalam sebuah pertunjukan jalanan di sekitar Old Town Square. Sebenarnya, dua sahabatnyalah yang mengadakan pertunjukan itu, Alouy dan Lincoln, tapi Mr. Graig memintanya bermain juga. Saat itulah, Matt benar-benar membebaskan jemarinya yang menggesek biolanya, bergerak sesuai dengan kata hatinya. Teknik-teknik dan ketepatan nada tak dicemaskannya lagi. Ia hanya memejamkan mata, dan mengalirkan emosinya melalui bow yang menggesek senar-senar biolanya. Ia hanya mengikuti saran Mr. Graig. Kali ini, Matt mulai membuka hati.


Old Town Square saat musim dingin, dilihat dari atas
“Orang bilang, musik adalah bahasa universal... Karenanya, untuk membuat orang lain paham, kau harus bisa menyentuh hati mereka.” – Mr. Graig (halaman 110)
Kebencian Matt terhadap Rheina tak menguap sedikitpun, hingga tiba saatnya Rheina meninggalkan rumah Matt, dan pindah ke sebuah apartemen. Awalnya, Matt tak menyadari apa yang sedang bergumul di dalam dirinya. Ia merasa sangat aneh: rumahnya terasa sangat sepi tanpa suara cempreng milik Rheina dan alunan musik Beethoven dari pemutar DVD milik gadis itu. Bahkan, terasa aneh pula tanpa bau wangi baby cologne yang selalu dipakai Rheina. Awalnya, Matt mengira ia menyukai Alouy sebagai seorang gadis. Tapi, Alouy tahu benar siapa yang sebenarnya Matt cintai. Apakah sudah terlambat bagi Matt untuk menelan keangkuhannya dan mengungkapkan perasaannya? Karena, tentu saja, ia tak mau menjadi seperti ayahnya, yang memendam perasaan hingga melampiaskannya pada gadis lain.
“Kalau kata cinta saja tidak cukup membuatmu memiliki seseorang, bagaimana dengan cinta yang tidak pernah terkatakan?” – Haans (halaman 221)
***

Pertama kali melihat novel ini, yang saya pikirkan adalah.... warna PINK! Ya, mulai dari kovernya, hingga kertas isi novelnya... Beberapa halaman berwarna PINK! Seperti tokoh Rheina yang menyukai warna pink, si penulis juga menyukainya. Mungkin itulah alasan mengapa warna pink mendominasi novel ini (?). Tapi, saya masih belum menemukan motivasi logis mengapa ada beberapa halaman yang tercetak pada kertas warna pink. Saya tak menemukan pola tertentu..., misalnya ada satu halaman pink dari setiap 10 halaman. Atau halaman pergantian bab. Tapi tidak, tak ada pola tertentu. Tapi, saya akui, kovernya cukup cute ^^.

Hal yang saya sukai dari novel ini adalah musik dan latar tempatnya. Cukup menambah pengetahuan seputar dunia musik klasik, meskipun latar tempatnya masih bisa dieksplorasi lagi,  menurut saya. Para tokoh hanya main-main di sekitar Karluv Most, Old Town Square; Bonn; Kafe Louvre; rumah; sekolah.... Sudah cukup memadai sebetulnya, hanya saja, saya kurang bisa merasakan hawa Ceko di sini. Saya kurang merasa diajak “jalan-jalan” oleh penulis. Well, mungkin karena ini memang bukan novel bertema jalan-jalan....


Karluv Most. Indah sekali, ya ><


 Kafe Louvre


Saya agak bingung awalnya, ketika membaca sinopsis di kover belakang. Di sana tertulis bahwa nama Matt adalah Matthew Dvorak. Tapi, ketika membaca isi novel, saya mendapati bahwa namanya adalah Matthew Strauss (halaman 181, kalimat terakhir paragraf ke-5, dan juga di beberapa bagian lain). Jadi, mungkin ada typo pada kover belakang. Hal lain yang membingungkan saya adalah percakapan Matt – Alouy, yang tidak saya mengerti. Tokoh Lincoln pun bilang bahwa pembicaraan mereka berdua adalah “pembicaraan hanya kalian berdua yang tahu” (halaman 53).

Bagian dari dialog mereka berdua yang belum saya pahami adalah kalimat ini “waktu itu, kau mengatakan bahwa kau memperhatikanku dan tahu bahwa aku lebih dari sekadar kehilangan diriku (halaman 223). Saya masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh penulis dalam kalimat itu. Atau, mungkin saja gara-gara saya tidak teliti membacanya. Entahlah. Tapi, saya menyukai tokoh Alouy yang tidak dibutakan oleh cinta, dan tetap berpikir logis. Ia tidak egois. Rela mengorbankan perasaannya sendiri :’).

Selama membaca kisah ini, saya merasa alurnya terlalu cepat. Densitas adegan-adegan Matt – Rheina juga kurang, menurut saya. Saya masih lapar ketika sudah sampai di halaman terakhir. Bagian di mana Matt bertemu dengan Kiruna (halaman 254) itu juga akan lebih bagus kalau dibikin adegan tersendiri, bukan cuma diceritakan lewat narasi (show, don’t tell).

Ah, iya, mengenai tujuan Rheina datang ke Praha dan misinya untuk menemukan kenangan di Nordrhein-Westfalen itu,... saya tidak mengerti, menemukan kenangan apa yang Rheina maksud? Eh, tunggu, jangan-jangan ini gara-gara saya yang lemot hingga melewatkan “kenangan” yang mana itu sebenarnya.... -__-

Selain itu, ada penempatan beberapa istilah bahasa Inggris yang kurang cocok menurut saya. Seharusnya, memakai bahasa Indonesia akan lebih bagus. Seperti kalimat ini: “Rheina merenggut. Pipinya mengembung dengan bibir mem-pout....” (halaman 25). Daripada menggunakan kata “pout”, lebih baik menggantinya dengan “mencebik” (padahal penulis juga sering menggunakan istilah “mencebik” di beberapa bagian novel ini). Dan, kata “merenggut” di kalimat itu sepertinya typo, kan, ya? Hmm..., judul bab 2 juga agak kurang tepat—“the one he loves”, seharusnya. Juga, akan lebih bagus kalau digunakan beberapa dialog dalam bahasa Ceko. Hehehe. Kemudian, ada satu tanda baca yang malah bikin bingung—di halaman 9: “Terutama, masa lalu, Dad!” Nah, itu seharusnya tanda baca koma sebelum “Dad” dihilangkan n_n.

Meskipun begitu, saya cukup puas dengan akhir ceritanya. Happy ending ^^. Ups, spoiler! ><
Terakhir, saya mau nebak—Kak Minn ini fans Super Junior, ya?
Oke, dari mana saya tahu?
Yah, sesama fans pasti akan tahu. Hehehe. Tapi, maaf, kalau ternyata salah. Hihi ^^v.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets