How This Began
Sabtu sore, 22 Maret 2014, bersama Bang Karis—motor
Karisma oranye-silver—yang setia menemani saya ke mana saja, saya melaju hendak
ke Togamas Gejayan, lewat Ringroad Utara. Sudah lebih dari sebulan saya tidak
menghirup aroma kertas dan lem penjilid buku-buku baru di toko buku.
Seharusnya, ini akan jadi sore yang menyenangkan, daripada mengautiskan diri di
dalam kamar kos setelah tadi siang berkutat dengan proposal PKM GT.
Sebenarnya saya juga belum tahu mau ngapain setelah
pulang dari toko buku nanti. Lampu merah di perempatan Kentungan menghentikan
laju motor saya. Tak dinyana-nyana, tepat di depan saya, ada sosok yang sangat
saya kenal, berkaos putih tipis dan berkendaraan motor Supra hitam plat H.
“Galeh!” Setengah menjerit, langsung saya panggil sahabat
saya itu. Dia menengok, lalu ini menjadi awal petualangan saya malam itu.
Setelah saya pikir-pikir, bukankah ini rencana Tuhan? Bagaimana bisa, tanpa
direncanakan, saya bertemu dengan sahabat saya itu di lampu merah? Banyak lampu
merah di Jogja, tapi bagaimana bisa dari sekian banyak lampu merah itu, kami
berdua sama-sama terjebak lampu merah di perempatan Kentungan? Cieee…
“Aku mau nonton film ntar malem. Bareng Aji, Nando,
Yonatan. Mau ikut nggak?” Wah, tuh, kan, ini rencana Tuhan untuk menyelamatkan
saya dari “malam minggu tanpa acara”.
“Film apa?”
“Divergent.”
Boom! Blast! “Sek, sek,
emang udah keluar? Bukannya baru tayang akhir 2014, ya?” Itu seingat saya, sih,
setelah waktu itu melihat trailer
film yang kutunggu-tunggu itu. Blah, silakan cibir saya. Ngakunya suka bukunya
dan menanti-nanti filmnya, tapi jadwal tayangnya pun nggak hafal. It’s me.
“Nggak, kok, udah tayang. Ayo, ikut!”
Tentu saja saya mau—MAU BANGET—ikut!! Saya sudah baca novelnya
sampai sekuelnya yang kedua. Jujur saja, saya penasaran banget pengen nonton
filmnya. Yah, meskipun, setelah nonton trailer-nya,
saya agak kecewa dengan pemilihan tokoh Tris dan Four yang tidak seperti
bayangan saya. Tapi, saya masih tetap ingin menontonnya! Saya nggak sabar ingin
menonton adegan saat para Dauntless melompat ke atas kereta yang sedang melaju.
Juga bangunan The Pit yang
deskripsinya di dalam novel tidak terlalu bisa saya bayangkan—well, saya juga ingin menonton bentuk
visualnya!
***
Sekitar setengah jam kami berjuang menerobos lalu lintas
yang padat, belum lagi mencari celah untuk memarkirkan motor di antara sesaknya
Ambarrukmo Plaza. Kami masuk Studio 1 Cinema 21 tepat saat layar kosong, hanya
menampilkan warna hitam. Sebentar kemudian, film yang kutunggu-tunggu dimulai.
Sesuai dengan novelnya, adegan pertama menampilkan Beatrice Prior (Shailene
Woodley) yang sedang duduk, sementara rambutnya dipotong dan dirapikan oleh
ibunya,
Natalie (Ashley
Judd).
Kemudian ia pergi bersama Caleb, kakaknya—yang GANTENG banget di filmnya—untuk
mengikuti tes kecakapan. Sekilas diperlihatkan profil tiap faksi melalui
simbol-simbol mereka; pakaian yang mereka kenakan (Abnegation: abu-abu,
Erudite: biru; Dauntless: hitam, Amity: kuning-merah, Candor: hitam-putih);
juga tingkah laku mereka.
Kelima faksi
Yang paling bikin saya merinding adalah ketika tiba-tiba
terdengar backsound beat bertempo cepat mengiringi
kemunculan para Dauntless yang berlari. They
look so cool, alive, and free. Pantas saja Beatrice Prior mengagumi mereka.
Blah-blah-blah About
Divergent
Pemandangan Kota Chicago Pasca Perang
Kisah ini bercerita tentang masa depan, ketika kota
Chicago telah hancur karena peperangan. Untuk menciptakan kedamaian,
dibentuklah faksi-faksi yang berisi orang-orang dengan sifat yang sama. Ada
lima faksi: Abnegation, yang tidak egois dan sederhana; Erudite, yang
mengutamakan ilmu pengetahuan di atas segalanya; Amity, yang baik hati dan
penuh damai; Dauntless, yang pemberani dan bebas, berperan sebagai semacam
tentara penjaga negara; Candor, yang memuja kejujuran lebih dari apapun. Kelima
faksi tersebut hidup dengan rukun dan saling membantu sehingga tercipta
kehidupan yang damai. Anak-anak yang telah berusia enam belas tahun harus
mengikuti tes kecakapan untuk menetapkan faksi mana tempat mereka akan berada. Masalahnya,
Beatrice Prior tak tahu di faksi mana seharusnya ia berada. Sebagai putri dari
salah satu tokoh penting Abnegation, Andrew Prior (Tony Goldwyn) yang dekat dengan pemimpin Abnegation, Marcus Eaton (Ray Stevenson), Beatrice merasa tidak cukup layak berada di faksi itu.
Ia terlalu egois untuk menjadi seorang Abnegation, tidak seperti kakaknya,
Caleb Prior (Ansel
Elgort)
yang selalu tampak sempurna sebagai seorang Abnegation.
Setelah tes kecakapan, Tori (Maggie Q), sang penguji,
memperingatkan Beatrice untuk tidak memberitahu siapapun bahwa hasil
simulasinya tak dapat disimpulkan. Ia mengidap kelainan, Divergent, dengan tiga hasil: Abnegation, Dauntless, dan Erudite.
Beatrice ragu. Tapi kakaknya, yang selalu tidak egois, malah berkata, “Kita harus memikirkan
keluarga kita. Tapi, kita juga harus memikirkan diri kita sendiri.” Kalimat itu
makin memantapkan Beatrice untuk memilih satu di antara dua pilihan: Abnegation
atau Dauntless. Tentu saja, itu bukan pilihan yang mudah, karena “one choice can transform you”, dan hasil
tes menjadi tak penting lagi.
“Tes itu tak perlu mengubah pilihan kita.” (Beatrice)
Saat upacara pemilihan,
Beatrice akhirnya meneteskan darahnya di atas bara api dalam mangkok Dauntless.
Ia resmi memilih Dauntless sebagai faksinya. Sementara itu, jauh di luar
dugaan, Caleb memilih Erudite, yang membuat faksi Abnegation tercengang, lantaran mereka sedang bermusuhan. Faksi Erudite ingin menggulingkan
pemerintahan yang selama ini dipegang oleh Abnegation.
“Abnegation, if left unchecked, can destroy the system.” (Jeanine)
Tak semudah itu untuk menjadi anggota resmi faksi
Dauntless; hanya
10 yang akan dipilih. Mereka harus bertarung dan menunjukkan kemampuan untuk
mengangkat dan mempertahankan ranking mereka. Beatrice—yang
kemudian mengubah namanya menjadi Tris—bersama para anggota baru lainnya harus
menjalani serangkaian latihan fisik dan mental. Prestasi mereka akan terus
dipantau dan dinilai. Yang berada di bawah batas rangking akan didepak dan
menjadi factionless. Ini tidak mudah
bagi Tris, mengalami ujian fisik yang berat di bawah pemerintahan kejam Eric (Jai Courtney), salah satu ketua
Dauntless. Namun, keberadaan Four (Theo James), mentornya yang selalu membantunya tanpa kentara,
berhasil menguatkannya. Begitu juga dengan keberadaan teman-temannya, Christina (Zoe Kravitz), Will (Ben Lloyd-Hughes), dan Al (Christian Madsen). Meskipun ternyata
salah satu di antara mereka nantinya malah mengkhianatinya.
Beberapa adegan berbahaya
Karena sifat pantang menyerah dan kecerdasannya, Tris
berhasil masuk menjadi anggota Dauntless, begitu juga Christina dan Will. Tapi
kekacauan terjadi ketika faksi Erudite mengendalikan otak para Dauntless dan
mengarahkan mereke untuk menyerang Abnegation, karena faksi itu dianggap paling
banyak menyembunyikan para Divergent. Selama masa inisiasi Dauntless, Tris
berusaha menyembunyikan identitasnya sebagai seorang Divergent lantaran Erudite,
yang dipimpin oleh Jeanine Matthews (Kate Winslet),
berambisi untuk menangkap para Divergent dan membunuh mereka, karena dianggap
berbahaya. Tris, yang otaknya tidak mempan dikendalikan oleh serum pemancar
buatan Erudite, berpura-pura menjadi seperti yang lain demi menyelamatkan
keluarganya. Saat itulah, ia mengetahui bahwa Four juga seorang Divergent,
karena serum itu juga tidak mempan terhadapnya. Berdua, mereka berusaha
menyelamatkan keluarga Tris dan menghentikan manipulasi pikiran yang dilakukan
oleh Erudite tersebut.
Apakah Tris berhasil
menyelamatkan keluarganya? Apakah mereka akan
berhasil menyadarkan para Dauntless yang termanipulasi? Ataukah mereka akan
tertangkap, sehingga Erudite bisa mempelajari otak mereka untuk menciptakan serum
pengendali pikiran untuk Divergent?
Tris di dalam bak tertutup berisi air, saat uji mental
The Movie vs The Book
Film ini adalah salah satu dari beberapa film yang
menceritakan tentang kehidupan di bumi di masa yang akan datang. Bukannya makin
sejahtera, kehidupan di bumi penuh dengan gambaran mengerikan. Kehancuran.
Perang. Sistem pemerintahan yang baru. Seperti halnya yang digambarkan dalam
film Hunger Games dengan Capitol
sebagai penguasa yang sewenang-wenang, dan tak sedikit warga distrik yang hidup
dalam kemiskinan. Atau dalam film The Host,
di mana di masa yang akan datang, kehidupan di bumi hancur karena diserang oleh
alien. Juga dalam film Elysium, dengan Elysium sebagai pusat penguasa, dan
orang-orang di bumi sebagai pihak yang menderita. Film-film semacam ini dikategorikan
dalam genre dystopia. Apa itu dystopia? Link berikut ini mungkin bisa
mengobati rasa ingin tahu tentang dystopia, dan perbedaannya
dengan utopia.
Di film Divergent
ini, pemerintahan dijalankan oleh Abnegation, tapi Erudite yang dengki ingin
merebutnya dan membasmi para Divergent. Tris, sebagai salah satu Divergent,
juga dianggap berbahaya, apalagi dengan sifat pemberontaknya. Hampir sama
dengan Katniss yang membuat Capitol kelimpungan dengan buah beri dan simbol mocking jay-nya.
“You don’t conform. Your mind works in a million different ways. They can’t control you.” (Tris’ Mom)
Sembari menonton filmnya dengan perhatian penuh, tanpa
bisa saya cegah, pikiran saya menerawang ke novelnya yang versi terjemahan bahasa Indonesia. Terdapat beberapa
perbedaan atau ketiadaan adegan dalam film, dibandingkan dengan novelnya, misalnya
sebagai berikut.
1. Bentuk muka tris lonjong harusnya, tapi kok bulat (hal 9).
Tris seharusnya juga bertubuh kurus dan agak pendek, bukannya sintal dan
tinggi seperti yang diperankan oleh Shailene Woodley.
2. Di novel ada tokoh Susan dan Robert tapi di film nggak ada
(hal. 17 & 39).
3. Nggak ada adegan Peter menyerang kamar Tris saat malam hari, padahal ini termasuk adegan yang penting.
4. Kemunculan Tris pertama kali dalam film seharusnya dia memakai
celana, bukan rok panjang abu-abu (hal. 13).
5. Tori harusnya memakai blazer hitam seperti setelan pria
(halaman 20). Tidak ada percakapan tentang tato Tori yang bergambar elang (hal.
22)
6. Saat tes kecakapan, keren banget, Tris melihat banyak
pantulan dirinya di cermin, efeknya keren, meski di novel nggak ada pantulan
dirinya banyak banget kayak gitu (hal 23)
"Trises"
1. Tidak ada tes kecakapan kedua, ketika Tris berada di
dalam bus, uji kejujuran (hal 26).
2. Tidak ada adegan Tori menjelaskan kenapa hasil tesnya tak
bisa disimpulkan (hal 31-32).
3. Di novel, yang berpidato saat upacara pemilihan adalah
Marcus, tapi di filmnya, Jeanine. Mungkin karena pemerannya adalah Kate
Winslet, jadi dibanyakin jatah “nongolnya”. Padahal sebenarnya, di buku
Divergent, tokoh Jeanine ini tidak terlalu signifikan.
4. Menurut deskripsi fisik Christina dalam novel, harusnya
gadis itu “tinggi, berkulit gelap dengan rambut pendek.” (hal 66). Dalam
filmnya, memang ia berkulit gelap dan berambut pendek, tapi anehnya, ia lebih
pendek dan lebih kurus dibandingkan Tris. Bukankah seharusnya sebaliknya?
Perbandingan tinggi Christina dan Tris
Then, Was I Stunned?
Satisfied?
Tak bisa dipungkiri, dalam proses adaptasi kisah novel
menjadi film, memang dibutuhkan penyesuaian beberapa adegan, untuk beberapa
alasan. Misalnya, untuk penghematan biaya produksi, beberapa adegan
dihilangkan. Meskipun ada beberapa adegan penting yang dihilangkan, seperti
saat Peter menyerang pada malam hari, secara keseluruhan film berdurasi 2 jam
lebih ini tidak mengecewakan. Seru dan menegangkan, membuat saya merinding dan
tertawa di beberapa bagian, dan tak mampu mengedipkan mata selama 139 menit.
Four : My name is Four.
Christina : What, like the number?
Four : Exactly like that.
Christina : What happened? 1-3 were taken?
Selain itu, terlepas dari ketidaksesuaian tampilan
fisiknya, akting Shailene Woodley tidak terlalu bagus dalam memerankan tokoh
Tris yang pendiam. Shailene tampak seperti robot, bukan pendiam. Tapi, akting
Four bagus. Apalagi Eric. Pemeran ibu Tris juga cocok dengan deskripsi dalam
novel, dengan wajahnya yang bertulang pipi tinggi.
Ibu Tris
Yang paling sesuai dengan bayangan saya adalah pemeran
tokoh Jeanine. Kate Winslet cocok sekali memerankannya.
Jeanine Matthews
Meskipun begitu,
ternyata Veronica Roth, sang penulis novel Divergent, puas dengan hasil casting
untuk Tris dan Four.
"I was sure within seconds: this was 'Four', no question. Theo is able to capture 'Four's' authority and strength, as well as his depth and sensitivity." She also mentions the chemistry between him and Shailene: "He is a perfect match for Shailene's incredibly strong presence as Tris. I'm thrilled!" http://en.wikipedia.org/wiki/Divergent_(film)
Oh, iya, salah satu line
film yang melekat dalam pikiran saya adalah moto faksi: “Faction over family. Faksi di atas keluarga. Faksi lebih penting
dari pertalian darah.” (kalau dalam novel ada di halaman 56). Begitu besar
kesetiaan yang dituntut oleh faksi, sehingga ikatan keluarga berada di bawah
kepentingan faksi. Ini mengesankan sekaligus mengerikan. Bayangkan kau
diharuskan membunuh ibumu sendiri demi kepentingan faksimu. Tapi, bagi Tris,
tampaknya keluarga tetap berada di atas faksi, meskipun pada akhirnya ia harus
kehilangan orangtuanya.
Selain itu, tagline film ini, “What makes you different, makes you dangerous” juga mengembuskan nafas keberanian dan pemberontakan.
Nyatanya, manusia tak bisa benar-benar diklasifikasikan sifatnya menjadi satu
jenis kepribadian saja. Tidak ada orang yang murni melankolis, misalnya. Juga
tak ada yang murni sanguinis. Sebenarnya, semua manusia itu divergent. Klasifikasi itu tak penting lagi,
selama kau dapat berdiri di atas keyakinanmu dan memperjuangkannya, seperti
kata Shailene Woodley:
“It doesn’t mean that you have to go climb buildings or jump off trains,” Woodley says. “But you can find the courage to stand up for what you believe in and diverge from mediocrity.”
http://time.com/32022/divergent-dystopian-stories-shailene-woodley-interview/
Selain line favorit,
ada juga beberapa adegan di film ini yang sangat saya sukai, selain tampilan
latar kota Chicago yang memukau:
1. Ketika Tris meluncur di atas gedung-gedung dengan flying fox. Saat itulah, ia benar-benar
merasa bebas. Kalau dibikin 3D mesti akan keren sekali.
2. Saat Tris menembak Eric, Peter, dan menancapkan pisau ke
tangan Jeanine. Bener-bener, nih cewek pemberani banget!
Peter : You’re not going to shoot me.
Tris : I think you may be over-estimating my character.
3. Semua visualisasi simulasi ketakutan dan juga saat tes
kecakapan Tris.
4. Ketika Tris bertempur
bersama ibunya, yang ternyata dulunya adalah seorang Dauntless. Dua orang
wanita kuat dan pemberani.
Sebelum saya sudahi review ini, saya ingin mengajukan satu pertanyaan: tidakkah kalian pikir pemeran Four alias Tobias Eaton itu agak mirip VJ Mike? Hehehe. Dan, satu lagi, di faksi manakah kemungkinan besar kalian akan berada? Eh, kalian bisa mencoba Faction Quiz, lho, untuk mengetahui faksi manakah yang cocok untuk kalian. Kalau saya sendiri, saya ragu-ragu. Yang jelas, saya tidak mungkin seorang Candor dan Amity *eh, ngikut-ngikut Tris* *biarin, wkwk*.
Btw, saya semakin tidak sabar ingin membaca bukunya yang terakhir, Allegiant. Sayangnya, sampai saya menulis review ini, versi terjemahan Indonesianya belum ada di toko buku (mungkin sekarang sudah ada). Kabar baiknya, film sekuelnya, Insurgent, dijadwalkan akan rilis tanggal 20 Maret 2015 nanti. Juga, Allegiant, sekuelnya yang terakhir, akan rilis tanggal 18 Maret 2016.
Aku suka banget film ini..:)
ReplyDeleteWah saya juga suka, Ema :D
Delete