Judul Buku : The Dancer
Penulis :
Arthasalina
Tebal :
236 halaman
Penerbit/cetakan :
Mazola/Cetakan pertama,
September 2014
ISBN :
978-602-296-022-5
“Mungkin aku memang ditakdirkan untuk terjun ke sini, menari bersama hidup. Bukan hidup bersama tarian.” – Ajeng (halaman 156)
Ini Bukan “Sang Penari” yang Itu….
Apalagi
penari yang ini—boyband Infinite
dengan gerakan “Scorpion Dance” yang terkenal…. Jujur saja, kalau mendengar
kata “penari”, tarian jenis apa yang muncul pertama kali di pikiran kalian? Tarian
unyu-munyu punya Cheribelle? Atau unyu-munyu yang lebih keren dan apik ala
SNSD? Atau tarian balet “Swan Lake”?
Scorpion Dance dalam lagu "Before The Dawn", saat Music Bank di Jakarta, Maret 2013 |
Tarian SNSD dalam video klip "Dancing Queen". |
Bagaimana kalau penari tarian tradisional Jawa?
http://gandringproduction.com/wp-content/uploads/2013/12/eo-pameran-sang-penari.jpg |
Misalnya,
kamu adalah mahasiswa calon dokter yang sedang kuliah di Universitas Diponegoro
Semarang. Masa depan yang cerah menantimu, sebagai seorang dokter muda dan
pintar, serta menjadi kebanggaan ayah-bunda, seperti Oh Jin-hee dalam serial
drama Korea “Emergency Couple”. Tapi, kamu punya mimpi tersendiri, yang berbeda
jalur dengan kuliah jurusan kedokteran. Apakah kamu rela melepas kesempatan
menjadi dokter sungguhan (tak sekadar Sarjana Kedokteran) untuk meraih mimpimu?
Kalau kamu tidak rela, mungkin berarti kamu sedikit pengecut, atau kurang
nekat, atau…. berarti ambisimu tak sekuat Ajeng, tokoh utama novel ini.
“Maaf, ya, Bu, mungkin Ajeng akan kecewakan Bapak lagi setelah ini. Bapak minta Ajeng melanjutkan koas untuk gelar dokter. Tapi Ajeng tidak sanggup lagi. Ajeng masih punya mimpi yang harus diwujudkan.” – Ajeng (halaman 19)
Bakat
menari yang bercokol dalam gen Ajeng warisan almarhum ibunya mengubahnya
menjadi sosok yang berani membangkang terhadap Bapaknya yang memaksanya kuliah di jurusan kedokteran. Setelah
berhasil lulus dalam waktu yang sangat mepet, 7 tahun, dengan IPK yang mepet
pula, Ajeng memutuskan untuk bergumul kembali dengan dunia tari-menari yang
telah lama ia tinggalkan. Ia berangkat ke Yogyakarta dan bertemu dengan Dewi,
temannya yang adalah seorang penari Sanggar Pawestri—sanggar milik keluarga
besar almarhum ibu Ajeng yang telah lama tak menjadi “macan panggung”. Di
sanalah pertama kalinya Ajeng “come back”,
menari bersama murid tari binaan Dewi di lereng Merapi. Melalui sebuah
kejadian, Ajeng bertemu dengan seorang laki-laki asal Bandung bernama Deden.
Laki-laki itu mahasiswa semester tujuh jurusan Teknik Mesin yang seharusnya
sedang menggarap Tugas Akhir, bukannya malah mengambil cuti untuk menjelajah
Jawa Tengah.
Pertemuan
mereka tak berhenti sampai di situ. Mereka berdua makin dekat setelah tinggal
bertetangga di Solo. Di sana, Ajeng berusaha menghidupkan kembali Sanggar
Pawestri dengan melatih para muridnya dan tampil di berbagai acara. Kariernya
menjadi penari dimuluskan oleh Bu Aini, seorang dosen seni tari. Berkat bantuan
Bu Aini, Ajeng bisa tampil menari di berbagai acara bergengsi. Namun, siapa
tahu, ternyata Bu Aini memiliki maksud tersendiri…. Apalagi, kesan bahwa Bapak
Ajeng mendadak berubah pikiran dan mendukung keinginannya menjadi penari,
tentunya menimbulkan kecurigaan tersendiri. Belum lagi keinginan bapaknya untuk
mengenalkannya dengan Rianti, wanita muda yang dicurigai Ajeng sebagai calon
ibu barunya. Ajeng juga dibikin resah oleh hubungan “nanggung”-nya dengan
Deden, dan juga insiden yang menyebabkannya menarik diri dari murid-murid
sanggar asuhannya.
“Novel Profesi” yang Profesional
Ini adalah
novel kedua bertagar “novel profesi” terbitan Mazola yang saya resensi.
Sebelumnya, “The Violinist” telah
saya resensi, dan jujur saja, saya kecewa akan kualitas novel tersebut yang tak
memenuhi kriteria sebagai “novel profesi”. Oleh karena itu, saya agak was-was
ketika disodori lagi novel sejenis oleh Divapress. Di sinilah, pepatah lama nan
klise, “jangan lihat buku dari tagarnya doang”, terbukti benar.
Sang
penulis, Arthasalina—meskipun penulis pemula—mampu menunjukkan bakat dan
kesungguhan menulisnya melalui novel ini. Riset seputar tarian tradisional
pasti telah dilakoninya sehingga dapat menyuguhkan profesionalisme seorang
penari dalam tokoh Ajeng. Seperti ditunjukkan melalui kisah sejarah di balik
pementasan tarian Ajeng: tarian dengan lakon Srikandi (halaman 93-95), Roro
Jonggrang (halaman 107), hingga tarian sintren yang diwarnai unsur gaib (halaman 170-171).
Saya pun
dibikin jatuh cinta dengan pemilihan latar tempat dan suasana yang sangat njawani, sebagian besar di kota Solo.
Tak usahlah, muluk-muluk bikin latar tempat di luar negeri dan hasilnya tidak
optimal, kalau di tanah sendiri pun masih banyak yang bisa digali. Suasana
keramahan khas Jawa, dengan masyarakatnya yang ramah dan rendah hati (btw, di zaman sekarang pun makin langka
orang-orang Jawa yang seperti ini), membuat saya merasa ingin pulang kampung. Meskipun
di kampung saya (FYI¸ Jawa Tengah
bagian utara agak ke timur) suasananya tidak seramah itu juga, sih, sehingga
penggambaran suasana Jawa dalam novel ini terasa terlalu ideal. Hehehe.
Isu tentang
MIMPI versus KARIER yang sudah sering diangkat oleh penulis lain pun diulas
kembali oleh penulis, melalui tokoh Ajeng dan Edo. Ajeng, yang dipaksa Bapaknya
kuliah di jurusan kedokteran, padahal ia punya mimpi menjadi penari. Edo, yang
dipaksa orangtuanya menjadi sarjana Teknik Mesin, padahal jiwanya berada di
dunia jurnalistik. Isu semacam ini memang tak pernah ketinggalan zaman untuk
ditaburkan sebagai penyedap cerita.
Kalau tidak
salah, ini adalah pertama kalinya novel terbitan Divapress yang saya resensi,
yang benar-benar anti-typo! Prok,
prok, prok! *standing ovation*. Ketepatan
penggunaan EYD, tanda baca, dan anti-typo
adalah salah satu aspek yang tidak sepele bagi saya, yang bikin hati saya
adem waktu membaca sebuah karya. Kalau hati pembaca adem, mau bagaimanapun gantung
ceritanya, tetap bakal agak dimaklumi, bah!
Tentang
penokohan, saya suka watak tokoh Deden. Meskipun humoris—“Penyesalan memang harus datang di
akhir. Kalo datang di awal ntar penjara penuh.” – Deden (halaman 178)—dan
kepedean (halaman
215), ia adalah sosok lelaki dewasa—“Kalo gue berani milih, ya harus
berani juga tanggung risikonya.” – Deden (halaman 56).
Kemampuan
penulis untuk menjelma menjadi seorang cowok melalui tokoh Deden pasti berperan
besar dalam suksesnya penokohan ini, yang terkesan “cowok banget”. Soalnya,
seringkali tokoh cowok kurang terkesan “cowok” ketika digambarkan oleh penulis
cewek. Namun, dalam novel ini, sang penulis sukses menghidupkan seorang cowok
bernama Deden, yang “cowok banget”. Misalnya saja, cara berpikirnya seperti di
halaman 212.
Karena hati
saya adem waktu membaca novel ini, maka serangkaian kebetulan yang dibikin
penulis pun dapat saya maklumi.
Pelajaran Moral dari Penduduk Pribumi
Banyak
pelajaran kehidupan yang saya dapatkan melalui novel ini, mulai dari penuturan
Ajeng, hingga kalimat-kalimat sederhana namun berbobot milik Mas Anto dan Mas
Joko.
“Bagaimanapun juga, pernah mengenyam pendidikan tinggi akan mengubah cara bicara seseorang. Bicaranya lebih tertata dan tidak sembarangan.” – Ajeng (halaman 56)
“Perbedaan itu ada untuk diterima dan dihargai. Bukan dipaksakan menjadi sama.” – Ajeng (halaman 57)
“Kepintaran itu nomor sekian, Mas, yang penting punya modal niat, sungguh-sungguh sama tahan banting.” – Mas Joko (halaman 143)
Karena
sudah bikin hati saya adem dan menambah pengetahuan saya tentang tari
tradisional Jawa, maka saya kasih bintang 3 untuk novel ini! Saya berharap,
novel-novel yang mengangkat budaya tradisional Indonesia seperti ini terus
bermunculan—semoga saya bisa menyumbang karya juga. Hihihi.
thank you :)
ReplyDeletesama-sama, Kak :)
Deleteterima kasih, Mbak :) maaf mau mengoreksi, tokoh utama prianya Deden bukan Edo hehe
ReplyDeleteeh, Mbak penulisnya nongol hehehe
Deletehmm, saya nggak bilang Edo sebagai tokoh utama lhooo...