Judul Buku : Jatuh Cinta adalah Cara
Terbaik untuk Bunuh Diri
Penulis :
Bernard Batubara
Editor : Ayuning & Gita
Romadhona
Tebal :
vi + 294 halaman
Penerbit/cetakan : GagasMedia/Cetakan I, 2014
ISBN :
978-979-780-771-9
Harga : Rp 50.000,00
Mataku menonjol di balik saku. Kutengadahkan kepala dan sudut pandangan sempitku terperangkap bayangan tiga buku yang ia peluk tergesa menuju meja kasir di ujung sana. Sensor proksimitas yang terkubur dalam dahiku mencicit. Ada yang mendekat, meniupkan suara seorang laki-laki. Beli tiga buku gratis satu, katanya. Ia, gadis itu, bersuara dengan frekuensi gelombang meninggi di ujungnya. Bisa kubayangkan, matanya kini sedang berbinar. Mendadak, ia menarikku cepat dan menyuruhku menyampaikan pesan pada temannya, “Gratis satunya ambil buku apa, ya?”
Aku membisu. Sang teman belum memberi jawaban. Dahinya seolah teranyam ketika pandangnya meoncat-loncat dari satu sampul ke sampul berikutnya. Sesekali ia melirik padaku cemas. Setengah jam berlalu. Jika bisa kugambarkan di atas kertas, maka gerakan langkah kakinya serupa obat nyamuk bakar. Ia berhenti tiba-tiba. Matanya terefleksi ungu seluruhnya. Seperti tersihir, tangannya teracung, menunjuk sampul buku berwarna ungu dengan tulisan judul kuning sambil berseru, “Yang itu!”
Ketika ia berjalan keluar dengan tas plastik menggantung di ujung jari-jarinya, aku mencicitkan pesan balasan sang teman, “Jatuh Cinta-nya Bernard Batubara aja!”
“Ugh, udah telat! Eh, tapi....” Ia berhenti bergumam dan mengeluarkan satu buku dari tas plastik. Sampul depannya menghadap ke arahku, dan aku mengejanya dalam hati.
Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Bernard Batubara.
***
Cerita mini
di atas adalah sejarah bagaimana buku ini bisa berada di tangan saya (sekarang
udah nggak lagi di tangan saya, tapi di atas lantai). Sebelumnya, saya pernah
baca karya Bang Bernard yang berjudul Milana.
Ternyata yang sampulnya ungu ini pun kumpulan cerpen (saya tidak tahu sampai
membaca tulisan kecil di bawah judul, “dan cerita-cerita lainnya”. Hehe, maaf, saya kuper). Sejak pertama kali menyobek plastik
pembungkus dan membolak-balik isinya, saya langsung jatuh cinta. Bukan, bukan
pada isi ceritanya (baca aja belum, kan), tapi pada sampul, ilustrasi, dan layout dalamnya. Desain sampul yang
simpel dipertegas dengan pemilihan warna yang cukup mencolok tapi serasi:
ungu-kuning. Saya suka perpaduan warna ini. Selalu ada ilustrasi yang mengawali
tiap cerita, dan itu bagus. Layout-nya
bikin saya betah baca lama-lama. Jenis dan ukuran hurufnya tepat, margin
halamannya pun pas. Hal simpel ini sungguh menolong mata minus lima saya agar
tak cepat capek baca.
Terdiri dari
lima belas cerpen, yang tiga darinya pernah dimuat di media cetak, saya optimis
separuh lebih akan nyantol di hati saya. Pasalnya, cerpen yang ditulis Bang
Bernard di blognya, berjudul Perkenalan, yang saya baca malam sebelumnya cukup memikat
hati saya. Dan langsung saya baca, tapi dari belakang ke depan (seolah komik
Jepang). Hanya karena saya ingin baca cerpen yang judulnya jadi judul buku ini,
sebagai cerpen pembuka (karena ia diletakkan sebagai cerpen pamungkas).
“Kau jatuh cinta kepada manusia, lalu ingin menjadi manusia? Kau sudah tahu caranya. Kau harus bunuh diri.” (hal. 282)
Sekarang
saya tahu mengapa judul cerpen ini yang diberi keistimewaan jadi judul bukunya.
Keseluruhan cerpen dalam buku ini memiliki urat nadi yang sama: jatuh cinta dan
atau bunuh diri. Pemaknaan dua frasa ini mewujud dalam berbagai cara. Dalam
cerpen pembuka saya ini, tokoh Bril mengalami salah satu jenis jatuh cinta yang
manjur untuk bunuh diri, yaitu jatuh cinta pada orang yang mencintai orang
lain. Bagian akhirnya cukup tertebak, tapi untungnya penulis mengumpani saya
dengan satu teka-teki.
“Dia tidak menyukai namanya. Dia mengubah namanya hanya karena ia lebih percaya diri dengan nama lain. Lucu sekali. Aku menyukai dia.” (hal. 285)
Namanya
berinisial J, ya? Hehehe.
Jatuh cinta
sendiri ini juga dialami oleh sang perempuan dalam Seorang Perempuan di Loftus Road, yang ditulis sebagai respons
cerpen Sungging Raga, “Sebatang Pohon di Loftus Road”. Jenis jatuh cinta yang
sama juga berlaku untuk si Kunti di Nyanyian
Kuntilanak. Dalam cerpen ini, penulis mengeksplor sebagian cerita rakyat
tentang sejarah kota Pontianak. Bagian lain kota ini, yaitu
sungainya—Kapuas—juga muncul di dua cerpen lain, Meriam Beranak dan Bayang-bayang
Masa Lalu. Kedua cerpen ini mengisahkan
dua orang wanita yang dikutuk. Dalam Meriam Beranak, sang wanita mengutuk
dirinya sendiri menjadi meriam karena keindahan fisiknya membuat rusuh seisi
kampung. Kecintaan akan fisik ini juga menjadi isu dalam cerpen Hamidah Tak Boleh Keluar Rumah. Dalam Bayang-bayang Masa Lalu, sang wanita
dikutuk menjadi perawan tua, tak kurang umurnya 709 tahun. Kutukan itu harus
ditanggungnya karena ia jatuh cinta pada laki-laki dari suku yang berbeda.
Salah satu
kecamatan di Pontianak juga dijadikan latar tempat dalam Bayi di Tepi Sungai Kayu Are. Dalam
cerpen ini, seorang bayi disalahgunakan sebagai bukti palsu oleh Yuni, karena
cintanya pada Iswandi tak berbalas. Saya mengapresiasi inisiatif penulis untuk
menjahitkan pernik-pernik kota kelahirannya pada lembaran cerpennya.
Dalam Menjelang Kematian Mustafa, Mustafa jatuh
cinta terhadap pekerjaannya sebagai pencabut nyawa. Sesungguhnya, jatuh cinta
itu telah membuatnya membunuh sifat manusiawi dalam dirinya sendiri. Plot yang
dipilih penulis cukup mengejutkan, meninggalkan akhir yang tak mudah ditebak. Jatuh
cinta terhadap orang tertentu juga bisa mengerikan dampaknya, seperti jatuh
cinta pada perempuan nyctophilia
dalam Nyctophilia. Atau jatuh cinta
pada seorang teroris, dalam Bulu Mata
Seorang Perempuan.
Bukan hanya
jatuh cinta pada orang lain yang bisa membunuh orang. Jatuh cinta pada
ketakutan tertentu juga bisa bikin orang lain terbunuh, meski efeknya tidak
secara langsung (seperti teori butterfly
effect). Dalam Langkahan, karena
terlalu mencintai ketakutan akan dilangkahi
oleh adik perempuannya, Mariani menyebabkan calon suami adiknya terbunuh.
Lalu, konsep
kausalitas antara “cinta” dan “membunuh” ini diekspresikan secara
eksplisit dalam cerpen Orang yang
Paling Mencintaimu, di mana para tokohnya membunuh orang-orang yang paling
mereka cintai.
Sumber di sini, diedit oleh saya. |
Nampak dalam
cerpen-cerpennya di buku ini, Bang Bernard gemar memperalat detail-detail
simpel, mengolahnya sedemikian rupa agar efeknya mampu mendramatisasi cerita. Namun,
jika saya hanya melihat gambar besar ceritanya dari jauh, tanpa meletakkan kaca
pembesar pada bagian-bagian kecilnya, kadang ceritanya terlihat biasa. Bahkan,
efek si detail itu nyaris tak terlihat. Seperti mitos “bulu mata jatuh” dalam Bulu Mata Seorang Perempuan dan lagu
daerah “Cik-cik Periuk” dalam Nyanyian
Kuntilanak. Juga, yang jadi favorit saya adalah metafora “matahari dan
pohon” dalam Seribu Matahari untuk
Ariyani.
Penulis
sering menggunakan sudut pandang penceritaan orang pertama. Poin pentingnya,
tokoh-tokoh “aku” ini dapat membicarakan hal-hal penting tanpa menjadi bawel.
Dalam cerpen Hujan Sudah Berhenti dan
Lukisan Nyai Ontosoroh, penulis
mengeksplorasi cara berpikir dua anak kecil yang sama-sama menjadi saksi
perceraian ayah-ibu mereka. Kadang, yang menjadi “aku” agak berbeda dengan
tokoh kebanyakan. Seperti dalam Seribu
Matahari untuk Ariyani, di mana si “aku” adalah seorang anak penderita
keterbelakangan mental. Sang penulis mendadak menjelma jadi bocah idiot, dan
caranya berkata-kata sungguh seadanya,
dengan bahasa kaku dan diksi diulang-ulang.
“Aku duduk di pinggir trotoar depan sekolah. Aku menggambar. Aku duduk menggambar setiap sore. Aku menggambar sendirian....” (hal. 81)
Di samping
segala keunggulan itu, saya kecewa terhadap beberapa cerpen yang mudah tertebak
plotnya, seperti Nyanyian Kuntilanak,
Hujan Sudah Berhenti, Langkahan, Bayang-bayang Masa Lalu, dan Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh
Diri. Hujan Sudah Berhenti itu akan lebih matang jika plotnya diolah lebih baik lagi, karena seperti masih ada yang menggantung di sana. Saya rasa, penulis semestinya bisa menggali lebih dalam ide ceritanya
dan mengembangkannya jadi lebih menusuk.
Ada 6 cerpen yang paling mengesankan saya:
- Hamidah Tak Boleh Keluar Rumah
- Nyctophilia
- Seribu Matahari untuk Ariyani
- Bayi di Tepi Sungai Kayu Are
- Menjelang Kematian Mustafa
- Seorang Perempuan di Loftus Road
Selain itu, ada 3 cerpen lain yang cukup bagus: Lukisan Nyai Ontosoroh, Meriam Beranak, dan Bulu Mata Seorang Perempuan. Berdasarkan hitungan sederhana ini,
saya memberikan rating 3. FYI, cerpen terfavorit saya dalam buku
ini adalah Seribu Matahari untuk Ariyani. Secara keseluruhan, penulis mengembangkan ide-idenya seputar jatuh cinta secara tidak biasa dan bernuansa muram (hampir semua cerpennya memiliki akhir yang tidak menyenangkan). At last, ini adalah kumpulan cerpen yang worth-read.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^