Judul: Sejak Awal Kami Tahu, Ini Tidak Akan Pernah Mudah
Penulis: Sisimaya
Editor: Misni
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: I, Februari 2016
Tebal: 268 halaman
ISBN: 978-602-391-080-9
Harga: Rp 45.000,00
Rating saya: 3/5
Agus dilahirkan dan dibesarkan di antara berbaris-baris nyiur hijau pohon kelapa di Desa Manggar Wangi, Blitar. Hidupnya sepanjang batang pohon kelapa yang dipanjati Bapaknya, seorang penderes nira sekaligus pengrajin gula jawa. Sejak awal, hidup Agus tak mudah. Ibunya meninggal setelah mengantarnya ke dunia fana. Sepuluh tahun umurnya kala Bapaknya pergi untuk selamanya akibat terjatuh dari pohon kelapa. Pak Lurah kemudian mengangkatnya jadi anak, dan seisi keluarga itu menerima Agus dengan sangat baik. Pak Lurah menyekolahkannya hingga SMA. Kemudian, ketika Agus mulai masuk kuliah, kondisi finansial Pak Lurah sedang terpuruk. Tak mau menyusahkan lebih banyak lagi, Agus melanjutkan kuliah dengan uang hasil bekerja sebagai guru les privat dan perburuan beasiswa.
"Kamu harus mewujudkan cita-cita almarhum bapakmu. Cuma ilmu yang membuat seseorang bisa maju dan memajukan orang lain." (Pak Lurah, hlm. 36)
Tak mudah memang hidupnya. Namun berkat ketekunan dan kerja keras, kini di usia 27 tahun, Agus telah menjadi auditor sekaligus trainer di sebuah lembaga sertifikasi internasional dan berkantor di Jakarta. Agus telah bermukim di zona nyamannya ketika Mas Bayu, kakak angkatnya, tiba-tiba menawarkan pilihan yang tak mudah.
"Pulanglah ke Blitar dan bersama denganku mengerjakan sesuatu untuk Manggar Wangi." (Mas Bayu, hlm. 52)
Mas Bayu sudah lama bercita-cita membangun pabrik yang memproduksi gula jawa cair. Banyak persiapan telah dilakukannya diam-diam, terutama rancangan pabrik. Nah, kini Mas Bayu membutuhkan bantuan Agus untuk mewujudkan impiannya itu. Agus harus memilih salah satu. Mengabulkan permohonan Mas Bayu, yang berarti melepaskan kariernya yang telah maju, meninggalkan Jakarta sekaligus Anggi, kekasihnya, untuk mewujudkan impian Mas Bayu yang mulia itu, tapi yang belum tentu berhasil. Atau, menolaknya demi karier dan kekasihnya di Jakarta, tapi menanggung malu terhadap Mas Bayu, yang meski dulunya juga memiliki karier cemerlang di BUMN bidang perkebunan, rela melepasnya untuk berkarya di kampung halaman.
"Yang penting, apa pun keputusanmu, jangan sampai membuatmu menyesal." (Mas Bayu, hlm. 61)
Agus memilih yang pertama, meski ia tahu jalannya tak akan pernah mudah. Kemudian, ia ternyata dihadapkan kembali pada pilihan sulit, kali ini tentang cintanya.
***
Saya menduga bahwa novel ini ditulis dengan kadar idealisme yang sangat tinggi dari penulisnya. Yah, kalau dugaan saya meleset, maaf sekali, berarti saya nggak lebih jago menerawang ketimbang Paul si Gurita. Idealisme yang saya maksud adalah yang mendasari premis (yang sangat mulia) novel ini: anak muda sukses yang memilih kembali ke kampung halaman untuk memajukan desanya. Dengan mudah, saya membayangkan bahwa premis ini adalah wujud cita-cita dari penulisnya sendiri. (Apalagi novel ini diceritakan dari sudut pandang si "aku". Menurut pengalaman saya selama menulis fiksi dengan tokoh si "aku", kadang atau sering malah, secara tak sengaja pribadi saya sebagai penulis masuk ke dalam karakter si "aku".) Duh, di sini saya menyadari bahwa saya terlalu sok tahu. Namun, jadi sok tahu itu penting waktu meresensi buku, biar terlihat bermutu.
Sebagai intelektual muda yang masih agak idealis, saya mengapresiasi ide utama yang diangkat oleh Mbak Sisimaya. Betapa saya sendiri mendambakan banyak anak muda negeri ini yang akan berani kembali ke kampung halaman untuk berbuat sesuatu yang positif (semoga saya juga kelak begitu--saya juga ingin membangun pabrik, bukan pabrik gula jawa, tapi pabrik biodiesel).
Meski menggunakan sudut pandang "aku" si Agus, beberapa tokoh lain yang penting diceritakan secara cukup deskriptif. Saya bisa merasakan perasaan Agus, yang dulu hidupnya bersusah-susah, kini telah enak-enak di Jakarta. Pasti ia berpikir bahwa ini saatnya hidup enak, sebagai hasil dari kerja kerasnya. Oleh karena itu, bukan hal mudah ketika Mas Bayu memintanya untuk kembali ke desa. Meski begitu, Agus masihlah seorang idealis, yang memegang teguh nasihat orang tua dan masih menggunakan hal yang sama untuk melecut semangatnya sejak SMA: puisi The Road Not Taken.
***
Saya menduga bahwa novel ini ditulis dengan kadar idealisme yang sangat tinggi dari penulisnya. Yah, kalau dugaan saya meleset, maaf sekali, berarti saya nggak lebih jago menerawang ketimbang Paul si Gurita. Idealisme yang saya maksud adalah yang mendasari premis (yang sangat mulia) novel ini: anak muda sukses yang memilih kembali ke kampung halaman untuk memajukan desanya. Dengan mudah, saya membayangkan bahwa premis ini adalah wujud cita-cita dari penulisnya sendiri. (Apalagi novel ini diceritakan dari sudut pandang si "aku". Menurut pengalaman saya selama menulis fiksi dengan tokoh si "aku", kadang atau sering malah, secara tak sengaja pribadi saya sebagai penulis masuk ke dalam karakter si "aku".) Duh, di sini saya menyadari bahwa saya terlalu sok tahu. Namun, jadi sok tahu itu penting waktu meresensi buku, biar terlihat bermutu.
Sebagai intelektual muda yang masih agak idealis, saya mengapresiasi ide utama yang diangkat oleh Mbak Sisimaya. Betapa saya sendiri mendambakan banyak anak muda negeri ini yang akan berani kembali ke kampung halaman untuk berbuat sesuatu yang positif (semoga saya juga kelak begitu--saya juga ingin membangun pabrik, bukan pabrik gula jawa, tapi pabrik biodiesel).
Meski menggunakan sudut pandang "aku" si Agus, beberapa tokoh lain yang penting diceritakan secara cukup deskriptif. Saya bisa merasakan perasaan Agus, yang dulu hidupnya bersusah-susah, kini telah enak-enak di Jakarta. Pasti ia berpikir bahwa ini saatnya hidup enak, sebagai hasil dari kerja kerasnya. Oleh karena itu, bukan hal mudah ketika Mas Bayu memintanya untuk kembali ke desa. Meski begitu, Agus masihlah seorang idealis, yang memegang teguh nasihat orang tua dan masih menggunakan hal yang sama untuk melecut semangatnya sejak SMA: puisi The Road Not Taken.
[Adegan favorit saya adalah ketika si "aku" sedang galau hendak memutuskan pilihannya, kemudian teringat akan puisi tersebut. Pada akhirnya, muncul pemikiran baru, mengapa judul puisi itu The Road Not Taken, bukan The Road Taken? Kegalauan si "aku" terasa sungguh pekat tersaji pada pembaca, dan membuat saya turut memikirkan hal serupa.]
"Hidup memang tidak selamanya bisa dijalani dengan mudah, Le. Ada banyak kerikil, bahkan batu besar yang menghalangi jalanmu. Tapi, jangan sampai kesulitan-kesulitan itu membuatmu jadi bikin orang lain susah. Hidupmu ya kamu sendiri yang harus tanggung jawab." (Bapak, hlm. 33)
[Di titik ini, saya mendapati bahwa tokoh Bapak si Agus ini terlalu bijak dalam menuturi anaknya. Jadi teringat tokoh Bapak di "Sabtu Bersama Bapak", yang warbiasyaaah bijaknya itu. Saya juga mendapat kesan bahwa Agus terlalu naif dalam memegang teguh prinsip balas budi itu.]
Saat kuliah, Agus sangat tahu diri, sehingga ia memilih bekerja keras membiayai kuliahnya dibandingkan menerima uang dari orang tua angkatnya. Di titik nyamannya sebagai auditor yang sukses, idealisme Agus agak dikaburkan oleh materialisme. Meski, untunglah, seperti bisa ditebak, idealismenya menang akhirnya. Namun, meski sudah lama tinggal di Jakarta, Agus masih seperti dulu: sosok yang sederhana. Oleh karena itu, saya agak nggak percaya ia mau dan kuat memacari Anggi, cewek yang "Jekardah" banget itu. Lihatlah, betapa egois dan manjanya si Anggi ketika Agus membeberkan rencananya untuk menikahinya dan mengajaknya ke Manggar Wangi agar mereka tak perlu berpisah.
Saat kuliah, Agus sangat tahu diri, sehingga ia memilih bekerja keras membiayai kuliahnya dibandingkan menerima uang dari orang tua angkatnya. Di titik nyamannya sebagai auditor yang sukses, idealisme Agus agak dikaburkan oleh materialisme. Meski, untunglah, seperti bisa ditebak, idealismenya menang akhirnya. Namun, meski sudah lama tinggal di Jakarta, Agus masih seperti dulu: sosok yang sederhana. Oleh karena itu, saya agak nggak percaya ia mau dan kuat memacari Anggi, cewek yang "Jekardah" banget itu. Lihatlah, betapa egois dan manjanya si Anggi ketika Agus membeberkan rencananya untuk menikahinya dan mengajaknya ke Manggar Wangi agar mereka tak perlu berpisah.
"Urusan membangun pabrik impian Mas Bayu kan tidak mungkin terwujud hanya dalam waktu seminggu dua minggu. Mungkin bisa berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dan Mas kan tahu sendiri, aku tak mungkin meninggalkan Jakarta dan menetap di kota lain dalam waktu lama. Aku tak sanggup jauh dari Papa dan Mama, apalagi untuk keluar dari pekerjaan dan hanya diam di rumah sepanjang hari, di tempat yang jauh dari sini. Membayangkannya saja aku nggak sanggup, Mas." (Anggi, hlm. 83-84)
Masuk akal, sih, reaksi Anggi. Namun, sebenarnya jika dia setuju ikut ke Manggar Wangi, dia bisa menemukan dan melakukan aktivitas, kok, jadi nggak hanya diam di rumah sepanjang hari. Dengan reaksi semacam itu, saya menangkap kesan bahwa cintanya pada Agus tidak sedalam kelihatannya.
Sementara itu, tokoh Mas Bayu mengingatkan saya akan tokoh Dalimunte dalam novel "Bidadari-bidadari Surga" karya Tere Liye. Sama-sama bocah kampung yang sejak kecil telah menunjukkan kejeniusannya. Sama seperti Agus, ia sosok pekerja keras dan tak mudah menyerah.
Di pertengahan sampai akhir cerita, tokoh Ratna berperan penting. Ia adalah adik angkat Agus yang menderita polio sehingga harus memakai kruk. Ia masih 24 tahun dan aktivitasnya seabrek. Mengurusi usaha kerajinan tangannya yang sukses, adalah salah satunya. Selain itu, ia juga rajin nge-blog dan bereksperimen dengan masakan. Sudah tertebak, sih, di pertengahan cerita kalau nantinya hobi Ratna ini akan membantu Mas Bayu dan Agus. Ratna juga pintar internet marketing berkat kursus online. Hebat sekali ya, gadis ini? Pokoknya nggak ada jeleknya si Ratna ini. Tidak banyak orang mampu seperti dia di dunia nyata, yang membuat saya agak skeptis. Apalagi, dengan hiperbolisnya penulis menunjukkan bagaimana Ratna menguliahi Mas Bayu dan Agus tentang internet marketing secara detail. Bahkan sampai penjelasan bahwa keyword itu kata lainnya "kata kunci", lho (hlm. 172), seolah Mas Bayu dan Agus benar-benar nggak pernah Googling. Lucunya, di sini diceritakan bahwa Mas Bayu dan Agus yang berpendidikan tinggi dan dulunya tinggal di kota itu, sama sekali nggak tahu tentang blog dan SEO. MEREKA BERDUA BAHKAN NGGAK BISA BIKIN BLOG. Mungkin saja, sih, karena kesibukan dengan profesi mereka, tak sempat lagi belajar hal-hal remeh seperti bikin blog. Namun, kok saya masih tetap skeptis, ya? Di zaman sekarang anak SMP saja sudah aktif jadi book blogger, masa mereka berdua babar-blas nggak bisa bikin blog?
Sementara itu, tokoh Mas Bayu mengingatkan saya akan tokoh Dalimunte dalam novel "Bidadari-bidadari Surga" karya Tere Liye. Sama-sama bocah kampung yang sejak kecil telah menunjukkan kejeniusannya. Sama seperti Agus, ia sosok pekerja keras dan tak mudah menyerah.
Di pertengahan sampai akhir cerita, tokoh Ratna berperan penting. Ia adalah adik angkat Agus yang menderita polio sehingga harus memakai kruk. Ia masih 24 tahun dan aktivitasnya seabrek. Mengurusi usaha kerajinan tangannya yang sukses, adalah salah satunya. Selain itu, ia juga rajin nge-blog dan bereksperimen dengan masakan. Sudah tertebak, sih, di pertengahan cerita kalau nantinya hobi Ratna ini akan membantu Mas Bayu dan Agus. Ratna juga pintar internet marketing berkat kursus online. Hebat sekali ya, gadis ini? Pokoknya nggak ada jeleknya si Ratna ini. Tidak banyak orang mampu seperti dia di dunia nyata, yang membuat saya agak skeptis. Apalagi, dengan hiperbolisnya penulis menunjukkan bagaimana Ratna menguliahi Mas Bayu dan Agus tentang internet marketing secara detail. Bahkan sampai penjelasan bahwa keyword itu kata lainnya "kata kunci", lho (hlm. 172), seolah Mas Bayu dan Agus benar-benar nggak pernah Googling. Lucunya, di sini diceritakan bahwa Mas Bayu dan Agus yang berpendidikan tinggi dan dulunya tinggal di kota itu, sama sekali nggak tahu tentang blog dan SEO. MEREKA BERDUA BAHKAN NGGAK BISA BIKIN BLOG. Mungkin saja, sih, karena kesibukan dengan profesi mereka, tak sempat lagi belajar hal-hal remeh seperti bikin blog. Namun, kok saya masih tetap skeptis, ya? Di zaman sekarang anak SMP saja sudah aktif jadi book blogger, masa mereka berdua babar-blas nggak bisa bikin blog?
Marionette |
Beberapa hal menjadikan membaca novel ini tak mudah. Ada beberapa hal dari segi gaya penulisan dan kelogisan cerita, yang membuat saya lelah. Misalnya sebagai berikut:
1. Background penulis memang Teknik Kimia. Namun, saya rasa kurang pas jika memaksakan hal-hal kimiawi masuk ke dalam narasi dengan terlalu detail dan tidak pada tempatnya. Pembaca (saya) jadi merasa dikuliahi, padahal yang saya baca ini novel, bukan buku Transport Process & Unit Operations-nya Geankoplis (duh, jadi ingat mata kuliah Satuan Operasi yang dulu sempet ngulang itu *mengorek luka lama*).
1. Background penulis memang Teknik Kimia. Namun, saya rasa kurang pas jika memaksakan hal-hal kimiawi masuk ke dalam narasi dengan terlalu detail dan tidak pada tempatnya. Pembaca (saya) jadi merasa dikuliahi, padahal yang saya baca ini novel, bukan buku Transport Process & Unit Operations-nya Geankoplis (duh, jadi ingat mata kuliah Satuan Operasi yang dulu sempet ngulang itu *mengorek luka lama*).
Yang paling mencolok adalah gaya bercerita si Agus waktu masih 10 tahun di Bab 1. Kurang logis, menurut saya, ketika anak kampung 10 tahun menjelaskan tentang proses fermentasi secara detail (hlm. 16) dan perumpamaan marionette yang ia gunakan (hlm. 22). Saya aja nggak tahu apa itu marionette--duh, saya malu sama bocah 10 tahun ini! Cara berpikir dan bernarasinya sungguh terlalu dewasa, padahal ini ceritanya bukan si Agus dewasa sedang menceritakan masa lalunya, tapi benar-benar masa lalu itu sedang terjadi. Mungkin hanya Ikal di Laskar Pelangi yang mampu saya ampuni.
2. Si "aku" gemar mengulang-ulang beberapa fragmen cerita, seolah-olah pembacanya adalah Dory, si ikan biru pengidap short-term memory loss dalam film Finding Nemo.
3. Saya percaya kalau rancangan pabrik bisa dibuat oleh satu orang--dalam novel ini adalah Mas Bayu. Yang saya susah percaya adalah ketika mereka langsung membangun pabrik itu tanpa melakukan simulasi terlebih dulu. Meski telah dilakukan kalkulasi parameter-parameter setepat mungkin, simulasi perlu dilakukan, sehingga jika ada sesuatu yang salah, bisa langsung diperbaiki sebelum telanjur bikin alatnya beneran. Selain itu, nggak sekali pun disinggung tentang kontrol dan otomasi peralatan pabriknya. [Well, Frid, emang kamu mau ubah novel ini jadi buku teks kuliah? *telan ludah sendiri*]
4. Salah satu keunggulan gula jawa dibandingkan gula tebu adalah ia diklaim lebih sehat (menurut Mas Bayu). Kemudian Ratna menciptakan racikan minuman dari air soda, perasan jeruk nipis, dan gula jawa cair merk Nektar Manggar produksi Mas Bayu itu. Ironisnya, Ratna bilang begini, "Nah, kalau begini kan kita bisa mematahkan anggapan bahwa makanan atau minuman yang sehat itu rasanya tidak enak." (hlm. 196), dan Mas Bayu serta Agus menyetujuinya. Eh, padahal air soda nggak terlalu sehat buat tubuh. Apalagi, kemudian Agus menimpali, "Ditambah susu enak mungkin, ya?" (hlm. 196). Memang enak, sih, saya juga doyan banget soda gembira, tapi ternyata susu dicampur soda nggak baik untuk tubuh karena bisa membentuk kalsium karbonat yang jika terakumulasi di ginjal akan menyebabkan batu ginjal.
5. Di halaman 213, Ben dari Archipelago Farms, yang akan membantu mengekspor Nektar Manggar ke AS berkata, "Sorry, the internet connection is awful." Duh, padahal Ratna saja bisa nge-blog dan melakukan banyak hal. Eh, tapi Ratna, kan, ngenetnya tiap larut malam, pas koneksi internet lancar. Ehehehe.
Sampul novel ini berpotensi jadi unyu sebenarnya, hanya saya rasa warnanya terlalu pastel. Mungkin lebih menarik kalau gambar sampulnya sebotol Nektar Manggar, dengan merk yang tertulis jelas. Jadi teringat sampul novel "Kambing dan Hujan", dengan gambar botolnya itu.
Alur novel ini progresif, sedikit kilas balik melalui narasi si "aku". Saya bersyukur, penulis tidak membuat jalan mereka mudah dalam memproduksi dan memasarkan gula jawa cair, sehingga cerita ini terkesan cukup realistis. Terlepas dari semua itu, novel ini menyampaikan pesan bahwa ada hal-hal lain selain karier dan cinta yang layak diperjuangkan, seperti kata Pak Daniel. Selain itu, untuk mewujudkan mimpi kita, pasti tak mudah jalan yang harus kita lalui. Namun, jika kita bersungguh-sungguh dan niat kita baik, tak mustahil kita akan berhasil. Novel ini cocok dibaca anak muda yang haus inspirasi.
"Jarak bukanlah variabel yang menentukan berjodoh atau tidaknya sepasang anak manusia." (Agus, hlm. 168)Oh iya, jangan lupa ikutan blog tour-nya, ya! Daftar blog host dan jadwalnya bisa dilihat di sini :D
wedyan! Frida "beneran" bikin reviewnya. Wkwkwk beberapa sudah mewakili uneg-uneg-ku dalam novel tersebut yang memang terbelenggu untuk kusampaikan. #halah. wkwkwkwk
ReplyDeleteFrid, kamu kok pinter sih. coba kalau kamu cowok. :p
Aku kan sebisa mungkin menepati janji, haha. Syukurlah sudah bisa mewakili suara hatimu, Mbak :)]
DeleteAku emang pinter, Mbak, dan untungnya aku cewek :p
Percakapan matjam apah yang kalian lakukan?
Delete*nyimak sambil nyruput es teh
Mbak Ajjah pengin tau aja atau pengin tau banget? :p
Delete