Judul Buku: You’re Not Funny Enough
Penulis: Jacob Julian
Tebal: 280 halaman
Penerbit: PING!!!
Cetakan: Cetakan pertama, Juni 2014
ISBN: 978-602-255-617-6
Harga: Rp
Pernahkah timbul pikiran di benak kalian keinginan untuk pindah?
Pindah kosan karena tarifnya dinaikin terus, padahal kamar mandi
tersumbat aja nggak dibener-benerin? *curhat*
Atau pindah jurusan karena tidak sesuai dengan impian—sampai ikut
SNMPTN, lalu SBM, lalu—apa lagi, tuh, namanya? Atau sekadar pindah
tempat duduk saat ujian untuk menghindari sorotan CCTV (seandainya bisa,
haha)?
Pasti pernah, kan? Atau mungkin pernah berpikiran untuk pindah kota, seperti si Jamie?
(Jembatan gantung Dusun Marendeng, ketika hendak menyeberang menuju Desa Hlibuei, Kec. Siding, Kab. Bengkayang, Kalimantan Barat) |
Nah, tapi kalau pindah dari Pulau Jawa ke Kalimantan, pengin, nggak?
Anak-anak SDN 2 Sebujit, yang sepulang sekolah harus membantu orangtua mereka di ladang. |
Ya, saya sudah pernah menjadi orang pedalaman Kalimantan Barat selama
dua bulan *mentang-mentang baru pulang dari Kuliah Kerja Nyata*. But, it’s the most livable life I’ve ever experienced! Waktu membaca bagian di mana si Jamie sedang berada di atas kapal menuju Kalimantan, mendadak saya déjà vu.
Comic? Apa itu Comic?
Well, ini novel tentunya, bukan komik! Tapi, tokoh utamanya, Jamie, adalah seorang comic. Ya, comic, sang pelawak stand-up comedy, di kota Madiun. Saat itu, stand-up comedy sudah tidak nge-tren; tinggal Jamie seorang sebagai comic di kotanya. Memang, dia pernah tampil di dua show, tapi itu bersama comic-comic
lain, dan itu dulu, saat seni lawakan itu masih banyak digemari orang.
Kini, setelah sebulan bekerja sebagai penghibur tetapdi kafe milik
sahabatnya, Beni, Jamie merasa terpuruk, lantaran sudah sebulan juga
para penontonnya tidak menertawakan leluconnya. Selain itu juga karena
ia ditinggal pergi oleh sumber inspirasinya, Sonya, pacarnya dulu.
Nyatanya, melawak adalah seni yang tidak mudah.
“...setiap orang mempunyai kadar humor yang tidak gampang ditebak. Membuat orang lain tertawa adalah sebuah seni yang sulit, dan Jamie tahu itu.” – Jamie (halaman 26)
Kalau sang pelawak gagal membuat penontonnya tertawa, lantas untuk
apa ia tetap berada di atas panggung? Jamie pun sadar, jika tetap
seperti itu, maka kariernya akan tamat. Oleh karena itu, ia memutuskan
akan mengadakan show tunggal pertamanya di kafe Beni, dengan sebuah taruhan yang ia buat sendiri.
“Ya. Terakhir kali. Aku akan bertaruh kali ini. Kalau ini berhasil, maka aku akan tetap bekerja di sini. Kalau tidak..., aku pergi dari sini.” – Jamie (halaman 12)
Namun, ternyata takdir belum menghendaki Jamie untuk sukses saat itu juga. Show-nya
gagal total, alpa dari penonton. Kali ini, Jamie benar-benar akan
hengkang dari kota itu, meninggalkan rumah orangtuanya yang sudah lama
tak ia sambangi, sejak dirinya memutuskan untuk putus kuliah demi
membangun karier sebagai pelawak. Dengan berat hati, Beni dan Mila,
istrinya, melepas Jamie pergi ke Kalimantan. Di atas kapal menuju kota
Banjarmasin, Jamie bertemu dengan sepasang tunangan yang aneh, Fey dan
Luka. Tak diduga, Fey, seorang backpacker cewek yang berasal dari kota Madiun juga, ternyata penggemar stand-up comedy! Dan, tahu bagaimana reaksinya setelah Jamie berkata bahwa ia adalah seorang comic?
Tidak hanya minta foto bareng. Fey juga meminta sesuatu dari Jamie—sesuatu yang membuat Jamie galau setengah mati.
“Aku tidak ingin barang darimu. Yang kuinginkan adalah... kau stand-up hari ini untuk kami.” – Fey (halaman 94)
Bagaimana Jamie tidak bimbang, jika ia diminta untuk stand-up, padahal
tujuannya pergi ke Kalimantan adalah untuk meninggalkan pekerjaan itu?
Siapa yang menyangka bahwa pertemuan tidak sengaja dengan Fey itu
meniupkan peluang baru pada Jamie? Namun, semuanya tetap bergantung pada
diri Jamie, apakah ia mau mengambil kesempatan itu atau tidak.
“Tidak. Jamie tidak akan melakukan stand-up lagi dengan alasan apa pun mulai malam itu.” (halaman 75)
Dunia Stand-up Comedy yang Sesungguhnya?
Ternyata, menjadi seorang stand-up comedian tidak gampang. Pasalnya, mereka adalah pelawak yang ngelawaknya bukan asal njeplak. Seperti kata penulis novel ini, bahwa stand-up comedian adalah
penulis juga, yang ngelawaknya menggunakan teknik tertentu. Penulis
menyuguhkan tema cerita yang baru, dan itu menambah pengetahuan pembaca
seputar dunia stand-up comedy. Jujur saja, saya baru tahu bahwa untuk melawak ada tekniknya—rule of three, call back, riffing.... Lalu ada juga istilah-istilah punch line dan bit. Mungkin novel ini cocok juga dikategorikan menjadi “novel profesi”.
Bicara tentang tokoh utama, Jamie, saya berhasil dibuat kagum oleh
sosoknya yang sangat membumi dan gigih meraih mimpinya. Karakter terasa
sangat nyata, di mana dia sering galau tiap teringat Sonya, mantannya.
Terlebih, bagaimana si penulis menggambarkan perasaan Jamie ketika
guyonannya tidak ditanggapi penonton, sehingga berhasil membikin saya
merasa miris sekali ketika membacanya.
Jamie Memang Kurang Lucu
Saya akui, si penulis berhasil membangun kesan saya terhadap Jamie
sebagai “pelawak yang kurang lucu”. Bisa dikatakan, saya nyaris tidak
tertawa sama sekali sepanjang membaca novel yang sarat dengan guyonan
khas stand-up comedy. Ini memang karena guyonannya susah dicerna,
saya yang kelewat bebal, atau saya kelewat lemot? Padahal, saya juga
sering menonton stand-up comedy di MetroTV. Ini kesengajaan penulis—untuk membuat agar Jamie benar-benar terlihat sebagai pelawak yang tidak lucu—atau tidak?
Malah, saya tertawa ketika Jamie tidak sedang melawak, akibat kalimat ini.
“Luka mencium ubun-ubun kepala gadisnya, sementara Jamie mencium ranselnya. Bau.” (halaman 92)
(Dan, Upin-Ipin pun berkata sambil menggelengkan kepala, “Kasian, kasian, kasian!”)
Sepanjang membaca novel ini, penulis sukses bikin saya kelelahan
dengan dialog-dialog yang panjang dan kadang susah dimengerti. Mungkin
ini gara-gara editornya terburu-buru melakukan tugasnya, sehingga banyak
kesalahan pemilihan kata, kalimat tidak efektif, dan logika yang
terpeleset.
“Sekitar hampir sepuluh orang memadati kafe Beni dan itu merupakan kapasitas penuh kafenya. Sebuah pencapaian dan hasilnya adalah kamar kontrakan ini.” (halaman 16)
Saya agak bingung membaca kalimat tersebut. Beneran cuma sepuluh
orang? Tapi, kalau dikaitkan dengan kalimat di bawah ini, kok jadi aneh?
Sepuluh banding seratus lima puluh! Bayangkan, sesesak apa kafenya! Dan
katanya, hanya “BEBERAPA pengunjung yang berdiri”.
“...dan berhasil mendatangkan seratus lima puluh orang pada acara itu, yang berarti kafe Beni membludak dan beberapa pengunjung dibiarkan berdiri untuk menikmati acara.” (halaman 16)
Selanjutnya, logika cerita juga tergelincir di bagian ini.
“Lalu kenapa kau membagikan kepada orang-orang yang mau pergi dari sini? Bukankah seharusnya membagikan kepada kereta yang baru datang?” – Jamie (halaman 175)
Ceritanya, adegan tersebut terjadi ketika Jamie sedang berada di
pelabuhan, hendak berangkat kembali ke Jawa. Eh, tapi, kok “KERETA”,
bukan “KAPAL”?
Selain itu, berikut ini adalah beberapa kalimat yang kurang efektif.
“Dia seorang pria berkeluarga, tapi masih bersahabat dengan teman semasa kecilnya yang tingkah masih seperti anak kecil.” (halaman 18)
(.... yang tingkahnya masih seperti anak kecil.)
“Jamie terlihat ceria, walau rasanya di dalam pikirannya beraduk dengan praduga yang dikhawatirkan teman setianya, Beni juga tampak seperti itu.” (halaman 20)
(Akan lebih baik jika dipisah menjadi dua kalimat.)
“...Jamie masih belum mengerti apa alasan sebenarnya dari Sonya pergi dari Jamie.” (halaman 29)
(...apa alasan sebenarnya mengapa Sonya pergi darinya.)
“Bar masih belum buka karena masih ada anak kecil yang berlarian. Petugas mungkin tahu sekitar pukul sepuluh baru dibuka.” (halaman 92)
(Petugasmungkintahusekitar pukul sepuluh baru dibuka.)
“Dia malah asyik makan sarapan dari nasi bungkusnya saat Jamie meninggalkannya.” (halaman 139)
(Dia malah asyik memakan nasi bungkusnya...)
“Tinggal sehari lagi, Jamie berada di kamarnya dengan di rumah Tyson.” (halaman 191)
(...Jamie berada di kamarnya di rumah Tyson.)
“Aku tahu kau hebat. Pertunjukan yang kau buat apalagi orang sekelas Gaiman yang merekomendasikanmu...” – Tyson (halaman 195)
(Aku tahu kau hebat,Pertunjukan yang kaubuatapalagi orang sekelas Gaiman yang merekomendasikanmu.)
Mendekati akhir cerita, saya juga kurang puas dengan kisah Fey yang anehnya kebetulan
bertemu lagi dengan Jamie, dan saat itu ia sudah tidak bersama Luka.
Itu terlalu tiba-tiba dan aneh. Menurut saya, akan lebih bagus jika
diselipkan sedikit cerita mengapa Luka meninggalkan Fey.
Namun, saya banyak mendapatkan petuah dari sosok Gaiman, terlebih kata-katanya yang berikut:
Catatan:
Resensi ini sebelumnya saya unggah di Tumblr,
karena waktu itu saya harus segera mengunggahnya, tapi koneksi ke
blogspot susah. Nah, demi kerapian arsip resensi, resensi ini sekarang
saya unggah juga di blogspot.
Buku yang menarik. Dan menurut saya kekuatan jacob itu pintar menghidupkan karakter (pendapat pribadi ya)
ReplyDeleteBener juga, sih, Bang Adin. Jadi teringat novel blio yang Caraphernelia :D
DeleteBelum baca nih. Kalau ada kesempatan mau baca. :D
ReplyDeleteSebagai komedian lewat tulisan, Bang Haris kudu baca ini :D
Delete