Judul Buku: Senyum Pertama di Pagi Airin
Penulis: Okta Rahasti
Tebal: 200 halaman
Penerbit: deTEENS
Cetakan: Cetakan pertama, Agustus 2014
ISBN: 978-602-296-003-4
Harga: Rp36.000,00
Sepuluh tahun lalu, Airin dan Hime mencari rumah neneknya di Jakarta,
berbekal sebuah alamat rumah dalam sebuah surat terakhir peninggalan
ibu mereka sebelum meninggal. Secara kebetulan yang aneh,
mereka bertemu dengan neneknya dan tinggal di rumah itu sampai saat
cerita ini berlangsung. Rumah besar itu hanya dihuni oleh Airin, Hime,
dan kedua pelayan—Mbok Nem dan Mbok Sum. Jika Airin sedang mengurung
diri dalam kamar, rumah itu akan terasa sangat sepi bagi Hime. Saking
terbiasanya tinggal dengan sedikit orang, Hime tertegun melihat ada dua
pasang sepatu milik tamu di rumahnya.
“Ada apa, Mbok? Kok rumah kita banyak orang?” (halaman 42)
Kakak beradik itu memiliki sifat yang bertolak belakang. Airin, si
gadis pendiam nan dingin, dulunya adalah pribadi yang menyenangkan.
Namun, sifatnya berubah setelah ia putus dengan pacarnya, Dennis, lima
tahun yang lalu. Sejak saat itu, gadis lulusan S1 Arsitektur yang
memiliki hobi melukis itu suka menyendiri dalam kamar dan keluar
malam-malam untuk berjalan kaki tidak jelas juntrungannya.
“Hari ini Nona Airin hanya ngomong dua kali...” – Mbok Nem (halaman 10)
“Hari ini Nona Airin ngomong empat kali.” – Mbok Nem (halaman 52)
Suatu malam ketika ia sedang menjalankan ritualnya itu, tanpa sengaja
ia bertemu dengan seorang pria bernama Reza. Pertemuan mereka berlanjut
sampai menjadi sebuah hubungan yang lebih dalam daripada sekadar teman.
Namun, sampai saat terakhir, Reza belum berani mengatakan dengan
mulutnya sendiri, siapa dia sebenarnya.
Di sisi lain, Hime adalah seorang gadis SMA yang ceria dan
menyenangkan. Insiden tertimpuk bola basket di kepala menjadikan ia
dekat dengan seorang siswa tampan-keren standar teenlit dan sinetron Indonesia (ganteng, jago main basket, atletis), bernama Andre. Nah, Andre ini, kebetulan adalah adik Reza. Iya, Reza yang itu.
Hubungan mereka baik-baik saja, sampai Airin melarang Hime dan Andre
bertemu karena ia menganggap Andre memberi pengaruh buruk bagi adiknya
itu. Namun, larangan itu tak berlangsung lama. Malah, suatu
kejadian buruk yang menimpa Hime—di mana Reza terlibat—membuat Airin
semakin menyadari bahwa adiknya sangat berharga.
200 Halaman itu Terlalu Tipis
Ketika membaca halaman demi halaman yang menguak masalah demi masalah
yang disajikan penulis, saya merasa bahwa penulis seperti sedang
berusaha menjejalkan segulung selimut tebal ke dalam koper yang saking
penuhnya sudah tak bisa ditutup. Awalnya, saya cukup menikmati cara
penulisan yang digunakan penulis. Namun, semakin ke belakang, saya makin
sering mengernyitkan dahi karena mendapati banyak hal yang “nggantung”.
Cuma 200 halaman yang disediakan penulis, tapi ia menjejalkan banyak
masalah yang kebanyakan tidak jelas latar belakangnya.
Saya heran, bagaimana ceritanya dua orang gadis Jepang nyasar ke
Jakarta untuk mencari rumah neneknya? Apa alasan ayahnya meninggalkan
mereka (sepertinya juga tidak disinggung penulis—maaf kalau saya salah)?
Lha, lucunya lagi, ketika mereka sudah hampir menyerah mencari alamat
itu, tiba-tiba seorang nenek muncul…. Nenek yang dicari-cari itu
tiba-tiba menampakkan diri! (Tenang saja, ini bukan film horor “Nenek
Gayung”.)
Tentang aktivitas mafia yang melibatkan Reza, saya sudah berharap akan menjumpai kisah mafia-romantis yang keren semacam film “A Dirty Carnival”[1].
Tapi, menilik novelnya yang tipis, saya sudah curiga…. Curiga bahwa
cerita ini ditulis dengan sangat kurang porsinya. Dan, benarlah
demikian. Misalnya, adegan perampokan Bank Naemuro (halaman 60-62) yang
kurang seru, hanya dituliskan sekilas seolah diceritakan ulang keberapa
kalinya oleh wartawan yang kekurangan objek berita.
Latar belakang kehidupan Reza-Andre juga kurang dieksplorasi oleh
penulis. Kemunculan ibu mereka yang sakit-sakitan di dalam cerita pun
terasa kurang ada pengaruhnya bagi perkembangan cerita. Ini lagi, si
Dennis, yang berlagak jadi polisi. Di akhir cerita tiba-tiba dia muncul
dan menembak Reza, diikuti beberapa polisi di belakangnya. Dari mana,
ya, dia punya pistol? Jangan-jangan, nih orang anggota geng mafia
sebelah? Hohoho.
Penulis berani menyuguhkan seorang tokoh yang kepribadiannya berubah
total karena sesuatu hal, tapi sayangnya, latar belakang penyebabnya
diceritakan secara kurang kuat dan meyakinkan. Cuma gara-gara putus dari
Dennis? Atau bagaimana? Dan, begitu mudahnyakah ia menerima kembali
ajakan Dennis untuk bersama?
Serbakebetulan yang disodorkan penulis pun membuat saya gemas.
Kejadian pemboman kafe itu salah satunya. Hime bisa-bisanya kebetulan
berada di kafe yang saat itu akan dibom oleh anggota mafia. Selain itu,
penulis juga serbaterburu dalam menceritakan kisahnya. Penulis juga
kurang mengeksplorasi setting tempatnya, deskripsi fisik tokoh
pun sangat minim, banyak dialog tokoh juga terasa kurang membangun
cerita. Beberapa bagian penulisan pun terasa terburu-buru.
Airin tidak menanggapi ucapan Reza. Sebaliknya, Reza sangat tertarik dengan kepribadian Airin yang tertutup. Ia ingin tahu lebih banyak tentang gadis yang baru dikenalnya itu. Setelah berbincang dengan Reza, Airin merasa Reza adalah pria yang baik. (halaman 54)
Menurut saya, kata sifat “baik” perlu dihindari jika tidak ingin
membuat pembaca berspekulasi terlalu tak keruan lantaran kata sifat ini
sangat abstrak. Penulis juga terkesan enggan menunjukkan pada pembaca,
“perbincangan” yang mana yang membuat Airin menilai Reza sebagai pria
yang baik?
Nah, ada beberapa bagian cerita yang kurang logis menurut saya.
Apakah mungkin ada seekor tikus di tengah danau—di wahana permainan
sepeda air? (halaman 111)
Mana mungkin saat pertandingan seorang pelatih tim basket harus
diberi tahu terlebih dahulu oleh salah satu pemainnya, bahwa tim
cadangannya tidak bisa hadir karena mengikuti training di luar kota?
Memangnya dia tidak tahu kondisi timnya sendiri? (halaman 133)
Saya kurang paham, mengapa Hime berlatih basket dengan amat keras
agar bisa membantu Andre main basket lagi? Maksudnya, Hime mau melatih
Andre main basket? Nggak mungkin, kan.Itu seperti mengajar monyet lompat
dari pohon ke pohon. Atau agar Andre melihat kesungguhannya sehingga
hatinya terketuk dan mau main basket lagi? Lagipula, Andre nggak bisa
ikut main basket karena tangannya cedera, kan? Jadi, tidak ada yang bisa
dilakukan selain menunggu dan berdoa agar tangannya cepat sembuh. Hmm,
entahlah….
Tarik Napas Dulu….
Gaya penulisan yang cukup lincah dan ringan, dengan alur yang cepat,
dapat mengurangi risiko pembaca kebosanan. Novel ini cocok sekali dibaca
oleh remaja yang sedang menginginkan bacaan ringan dan sedikit seru sebagai hiburan.
Novel ini diperindah dengan desain sampul yang didominasi warna
oranye membara nan indah, menampilkan matahari terbit (eh, tapi, kalau
dilihat sekilas seperti matahari terbenam). Namun saya agak bingung,
gambar laut dan perahu yang ada di sampul tampaknya kurang mencerminkan
isi novel. Hmm, mungkin…. (saya mencoba menginterpretasikan makna gambar
sampul ini). Laut menggambarkan hati Airin yang (sebenarnya) luas, tapi
lebih sering dikuasai ombak deras. Lantas, muncullah sebuah perahu yang
berlabuh di laut itu, yang menggambarkan kehadiran sosok Reza dalam
hati Airin. Tapi, tetap saja, suatu saat perahu itu akan berlalu, dan
tinggallah matahari yang selalu menemani. Matahari ini mungkin bisa
diwakili oleh sosok Hime, atau Dennis, atau bahkan Mbok Nem dan Mbok
Sum. Itu sekadar imajinasi saya, sih. Sesuai tidaknya, saya serahkan
pada imajinasi masing-masing pembaca.
Oya, saya juga penasaran dengan misteri di balik boneka panda…. Eh,
atau penulis sudah menceritakannya? Maaf, saya agak lupa. Hehehe.
Dua bintang untuk koper yang penuh sesak ini.“Kak, ini kan boneka kesukaanmu. Tujuh tahun terakhir ini, Kakak selalu ngasih boneka yang sama.” – Hime kepada Airin (halaman 13)
Catatan:
Resensi ini sebelumnya saya unggah di Tumblr, karena waktu itu saya harus segera mengunggahnya, tapi koneksi ke blogspot susah. Nah, demi kerapian arsip resensi, resensi ini sekarang saya unggah juga di blogspot.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^