Judul: HarmoniPenulis: HerukaEditor: Diara OsoPenerbit: de TEENSCetakan: I, April 2016Tebal: 240 halamanISBN: 978-602-296-199-4Harga: Rp 45.000,00
Paras dan Rafal adalah teman kuliah
di jurusan Arsitektur. Meski begitu, hubungan mereka hanya sejauh teman sekelas
yang saling mengenal nama. Sekali ini, mereka satu kelompok dalam mengerjakan
sebuah tugas. Baru sekali saja satu kelompok dengan Rafal, Paras sudah dibikin
dongkol berkat kata-kata lelaki itu, setelah Rafal tahu bahwa Paras adalah seorang novelis teenlit.
“Aku nggak suka teenlit. Dan nggak minat.” (hlm. 18)
Kemudian, Rafal menyerang Paras dengan
menanyainya seputar sastrawan klasik dunia, yang Paras sama sekali tak tahu.
“Sia-sia sekali aku membaca novel, yang bahkan penulisnya pun nggak tahu karya-karya hebat dari penulis dunia.” (hlm. 21)
Rafal, yang diam-diam juga suka menulis
fiksi selain resensi yang ia pajang di blog bukunya, ternyata lolos seleksi
untuk menjadi peserta Writing Clinic, bersama Rana (di hlm. 169 namanya berubah
jadi Rena. Kenapa, ya? Wkwk), salah satu teman dari komunitas pecinta buku. Sialnya, pemateri
sesi terakhir, tentang penulisan novel, yang seharusnya tak bisa hadir. Dan,
tahu nggak, siapa yang menjadi penggantinya? Yaps, Paras! Rafal telah gagal
kabur, malah tertangkap basah oleh Paras. Dalam sesi tanya jawab, Rafal menyerang
Paras tentang idealisme versus realitas menjadi penulis. Penyerangan kali ini
lebih keras dan pastinya lebih memalukan bagi Paras, karena dilihat oleh orang
banyak.
Terlepas dari adu prinsip kedua orang
tersebut, masing-masing memiliki masalah sendiri. Sejak editornya bukan lagi
Mas Ellan, Paras jadi bermalas-malasan (awalnya). Editor yang baru, Mbak Prita,
menuntut agar novel ketiganya ini jadi the
breathtaking one. Revisi lagi, revisi lagi, revisi... Sebenarnya, Paras tak
rela editornya diganti, karena ia akan jadi jarang bertemu dengan Mas Ellan,
lelaki yang ia sukai itu. Akhirnya, ia membuat persepakatan dengan Mas Ellan,
yang berbahaya jika diketahui oleh Mbak Prita. Sementara itu, Paras jadi patah
hati sebelum mengutarakan perasaannya, mana kala beberapa kali ia melihat Mas
Ellan nongkrong dengan seorang cewek yang tak ia kenal. Belum lagi, masalahnya
dengan Irene akibat Firli (atau Firly? Namanya berubah jadi Firly di hlm.
225).
Setelah Dad dan Mom bercerai, Rafal tak
pernah tahu alasan utamanya, karena sebelumnya mereka berdua terlihat baik-baik
saja. Oleh karena itu, pada liburan semester, Rafal diam-diam pergi ke Polandia
untuk membujuk Mom agar mau kembali bersama Dad. Namun, di sanalah, ia
menemukan kenyataan pahit yang selama ini disembunyikan, tak hanya oleh Dad dan
Mom, tapi juga oleh nenek dan kakeknya. Dalam liburan itu, Rafal juga berencana
menemui Venus, gadis yang selama ini ada di hatinya, untuk menanyakan kejelasan
status hubungan mereka.
Bagaimana nasib novel ketiga Paras?
Bagaimana hubungannya dengan Mas Ellan, Irene, dan Rafal? Sementara itu, apakah
Rafal akan mendapat kepastian dari Venus?
Nyastra VS Pop?
Konflik yang awalnya diperkenalkan oleh
penulis sungguh menarik, tentang dua orang yang berseberangan prinsip, dan
saling membenci (awalnya). Bagi saya, hal ini menarik karena pertama, isu
tentang nyastra versus pop selalu menimbulkan perdebatan dan pembahasan yang
tak kunjung selesai. Di mana letak perbedaan antara karya nyastra dan pop? Saya
kira bukan dari permukaannya (gaya bahasa, misalnya). Jika sebuah prosa ditulis
dengan gaya bahasa njelimet dengan metafora berbelit-belit nan rumit dibayangkan,
belum tentu ia pasti termasuk karya yang nyastra. Pun sebaliknya, bila prosa
macam Cantik Itu Luka, yang ditulis dengan bahasa lugas, belum tentu ia adalah
karya pop. Oleh sebab itu, saya kurang setuju dengan esai yang ditulis oleh
Mbak Marliana di BasaBasi, Sastra untuk Siapa. Dalam hal ini, saya sependapat dengan Mas W.N. Rahman.
Demi pemahaman saya sendiri, saya merasa lebih pas
jika pembedaan nyastra dan pop itu didasarkan pada seberapa dalam tema dan
konflik yang dibangunnya. Nah, “seberapa mendalam” ini juga tentunya
menimbulkan masalah lagi, karena tiap pembaca punya standar sendiri dalam
menilainya. Maka, seperti halnya masalah selera, sebaiknya hal semacam ini tak
usah diperdebatkan.
Awalnya, saya menemukan kemiripan dengan
Rafal. Kami sama-sama pembaca karya nyastra yang lahap, meski saya tak punya
perpustakaan semenakjubkan punya Daddy-nya (meski saya lebih banyak membaca
karya nyastra domestik daripada luar negeri). Kami juga sama-sama blogger buku.
Herannya, mengapa Rafal menyebut blog-nya BBI? Apa BBI yang dimaksud BloggerBuku Indonesia? Kalau iya, BBI yang itu kan komunitas, bukan nama blog
personal.
“Kata Ivy, kamu punya blog, ya?”
“Iya, BBI. Tahu kan?”
“Aku cuma membahas buku di blogku.” (hlm. 17)
Seharusnya, Rafal menjawab, “Iya, aku
anggota BBI.” Nah, begitu lebih pas!
Rafal baru beberapa kali membaca novel pop
dan langsung mengecapnya lebih rendah daripada karya nyastra, sedangkan teenlit
dan metropop adalah dua jenis novel yang dulu saya gemari waktu remaja. Sekarang,
saya pasti lebih memilih membaca karya-karya Eka Kurniawan, Pram, SGA, Ayu
Utami, Arafat Nur, Murakami, Anton Chekov, Ryunosuke Akutagawa,....
daripada teenlit atau metropop terbaru. Namun, saya tetap membaca karya pop
karena saya adalah extrovert reader yang selalu ingin membaca buku dari
sebanyak mungkin genre, dan karena saya setuju akan pendapat Paras, bahwa nyastra dan pop tak seharusnya dibanding-bandingkan.
Bedanya lagi, ketika meresensi, yang saya
nilai adalah tulisan yang saya baca, bukan penulisnya. Oleh karena itu, saya
kemudian jadi sebal terhadap Rafal, karena ia adalah contoh pembaca yang tidak bijak. Tak puas menyudutkan karya pop, ia juga turut mencibir penulisnya. Pembelaan
Paras tak salah, “Hah, kamu pikir kamu siapa? Penulis hebat? Kritikus andal? Cuma
tukang baca doang! Cih!” (hlm. 22).
Mungkin kalau tokoh Ellie dan Julie (di novel Dear Ellie) mengenal Rafal, pasti
mereka akan menyemprotnya habis-habisan.
Anehnya, prinsip Rafal yang sangat kuat
dan teguh itu bisa kendor dengan mudah dan terlalu cepat, hanya karena ia
menyesal telah mempermalukan Paras di Writing Clinic. Writing Clinic itu pun,
yang menjadi titik balik perubahan prinsip kedua tokoh utama, diceritakan hanya
saat sesi ketiga, dan hanya berisi monolog Paras sebagai pembicara, serta
tanya-jawabnya dengan Rafal. Seolah ruangan itu hanya berisi mereka berdua.
Anehnya lagi, seorang penulis yang salah
satu novelnya bestseller seperti Paras, sama sekali belum pernah mendengar nama
Oscar Wilde, Hemingway, dan Murakami. Mungkinkah ada penulis yang belum pernah
dengar nama Hemingway? Padahal Paras juga pembaca novel-novel impor, lho, macam
karya Jodi Picoult dan Rick Riordan. Lebih aneh lagi, sebelum tahu bahwa Rafal tak suka teenlit,
Paras kok sudah seperti terintimidasi, ya?
“Apa jenis buku yang kamu tulis?”
“Umm... masih teenlit, sih.” (hlm. 17)
Jawaban Paras (cermati penggunaan kata “masih”)
atas pertanyaan Rafal tersebut mengesankan kalau Paras juga menganggap rendah teenlit.
Setelah peristiwa Writing Clinic, Paras
berminat untuk membaca karya nyastra, dan mencoba menulis novel nyastra biar
bisa bertemu Mas Ellan lebih sering (karena blio dipindahkan ke genre sastra). Isu
menarik seputar nyastra versus pop ini punah dengan sendirinya (ucapkan selamat
tinggal pada perpustakaan keren milik Dad dan judul-judul buku sastra dan nama
penulis kenamaan dunia yang disebar penulis di separuh awal novel) dan
digantikan oleh romance. Yah, memang
dari awal ini akan jadi novel romance, dengan bumbu nyastra versus pop, bukan
sebaliknya.
Cinta Bersegi-segi
Mungkin dari awal pembaca akan menebak
bahwa alur novel ini akan klise: dua orang yang saling membenci lalu saling jatuh
cinta dan berakhir bahagia. Nyatanya, tidak seklise itu. Paras memendam rasa
suka terhadap Mas Ellan. Sementara itu, Mas Ellan sepertinya sedang dekat
dengan gadis lain. Firli (atau Firly?), mantan pacar Paras, berusaha
mengejarnya lagi, dengan cara busuk (padahal saat itu Firli sedang mendekati
Irene, teman kos sekaligus sahabat Paras). Kisah Paras-Firli-Irene ini
menimbulkan persahabatan Paras-Irene rusak. Namun, sayangnya, konflik ini tidak
terselesaikan dengan baik. Irene memang kemudian menyesal, tapi bagaimana
dengan Firli?
Rafal menantikan kepastian dari Venus. Sebelumnya,
sebuah adegan membuat saya mengira Venus telah memiliki lelaki lain di Vienna.
Ternyata, di akhir, Venus mengungkapkan kenyataan bahwa ia adalah seorang....
(udah nggak tahan pengin bilang, tapi saya takut spoiler). Sungguh, kejutan
macam ini tidak mengejutkan pembaca dengan cara yang menyenangkan. Kok tiba-tiba
Venus begitu? Saya malah sedih karena rasanya kaum seperti Venus di dunia nyata
hanya dimanfaatkan penulis agar alur cerita novelnya agak tak tertebak.
Lalu, Rafal dan Paras bagaimana? Kisah mereka
juga berakhir tidak jelas, meski harmoni
telah tercipta antara paradigma mereka soal nyastra versus pop. Meski begitu, saya rasa keputusan Rafal berkaitan dengan cinta Paras itu bijak, karena ia sendiri baru saja patah hati oleh Venus.
Bak Semangkuk Patbingsu
Saya setuju dengan gugatan yang ditulis
oleh Wardah di resensinya, bahwa novel ini kebanyakan konflik, dan jumlah
halamannya yang hanya 240 itu tak sanggup menampungnya dengan baik. Masalah Paras-Firli-Irene, masalah
Rafal dan ibunya, masalah Rafal dan Dad, masalah Paras dan Mas Ellan terkait
persepakatan rahasia mereka yang ketahuan oleh Mbak Prita... Bagaimana
kelanjutan novel ketiga dan keempat Paras? Seingat saya, tentang masalah
Paras-Mas Ellan-Mbak Prita, penulis juga tidak melanjutkan penyelesaiannya. Siapa
yang sebenarnya mengirimkan file bab dua novel keempat Paras ke Mas Ellan?
“..., ya ada satu nama yang mungkin melakukannya. Cuma dia satu-satunya paling masuk dalam kemungkinan. Tapi, untuk apa?” (hlm. 158)
Dia siapa? Saya sempat curiga kalau itu Irene,
tapi penulis tak mengungkitnya lagi sama sekali! Dari sini, saya mendapat kesan
bahwa penulis sangat tak bertanggung jawab. Ia membikin banyak konflik
bersaling-silang, tapi tak menyelesaikannya dengan baik. Bahkan terkesan
mengabaikan (atau bahkan lupa?) untuk menyelesaikan beberapa di antaranya. Oleh
karena itu, saya mengumpamakan novel ini dengan semangkuk patbingsu yang waktu
itu saya makan setelah menyantap dak galbi dan rappoki.
***
Ada beberapa typo dalam novel ini, yang saya rasa tak perlu dibahas lebih jauh, karena saya rasa masalah typo tak lebih penting ketimbang masalah-masalah yang telah saya utarakan di atas. Beberapa di antaranya adalah kata revision (hlm. 82), kalimat "Tentang perbedaan pendapatnya dengan Rana" (hlm. 115, yang seharusnya "dengan Paras"), kalimat “Tak terasa, setengah pun berlalu” (hlm.
231, setengah
apa?)
Dua setengah bintang untuk harmoni antara nyastra dan pop yang dijalin setengah hati.
“Memang sih, idealis itu harus, tapi bergaul juga perlu. Dan caranya, ya, menyisakan separuh diri kita untuk diisi apa yang kita tak sukai.” (Paras, hlm. 129)
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^