Judul: Garnish
Penulis: Mashdar Zainal
Editor: Miz
Penerbit: de TEENS
Cetakan: I, April 2016
Tebal: 220 halaman
ISBN: 978-602-391-126-4
Harga: Rp 42.000,00
PLOT SUMMARY
Garnish (n) : hiasan (for food) (v) : menghias
"Seperti lukisan dan masakan, mimpi pun butuh warna dan cita rasa yang tinggi untuk merayakannya." (Buni, hlm. 127)
Setelah kabur dari rumah masing-masing, keduanya dipertemukan di sebuah taman kota. Awalnya, mereka memandang dengan geli satu sama lain pada penampilan masing-masing. Lantas, karena merasa senasib dan dipertemukan oleh kebetulan, mereka dengan cepat berteman akrab. Anin mengajak Buni untuk menginap di sanggar lukis milik Bli Sutha. Keesokan harinya, Anin dijemput ayahnya, bersama dua bodyguard, Mimi dan suaminya. Sesuai nasihat Bli Sutha, Anin bicara dari hati ke hati dengan Ayah. Tak dinyana, dengan cukup mudah Ayah menerima kegemaran Anin untuk melukis. Ayah memberi Anin kemerdekaan untuk melukis.
“’Kita ini manusia, kita selalu punya aturan, yang bebas hanya binatang. [...] bahwa bebas bukan berarti lepas...’” (hlm. 51)
“[...] bebas dan merdekaituadalah dua hal yang berbeda. Bebas berarti lepas tanpa kendali, sedangkan merdeka adalah hidup tanpa merasa terbebani.” (hlm. 59)
Tak seberuntung itu nasib Buni. Ia memutuskan untuk pulang juga ke rumah, tapi Mama tetap bergeming, kukuh dengan larangannya. Maka, Buni memutuskan untuk kabur lagi dari rumah, kembali ke sanggar Bli Sutha. Di sana, kedua orang itu melakukan brainstorming yang dimulai oleh cetusan ide Anin untuk mendirikan sebuah kafe yang dikombinasikan dengan galeri lukisan.
Awalnya, kafe yang mereka namai “Garnish Cafe and Gallery” itu cukup menjanjikan. Makin lama makin banyak pelanggan berdatangan. Seringkali ada acara-acara diadakan di Garnish. Namun, hati Buni masih perih lantaran mama dan papanya sama sekali tidak pernah mengunjunginya, seolah tak peduli bahwa sekarang anaknya telah membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi chef sungguhan. Sekalinya Papa Buni datang ke kafe, berita dukalah yang ia bawa: Mama mengalami kesulitan bicara dan kelumpuhan pada separuh bagian tubuhnya.
Dalam proses penyembuhan itulah, Mama akhirnya mau bicara dari hati ke hati dengan Buni dan menumpahkan segalanya. Setelah mereka berdamai, keadaan tampak terkendali. Hmm, tapi jangan bosan dulu, penulis tak akan membiarkan ceritanya berakhir sesederhana itu. Selama Buni menunggui mamanya, kafe dijaga Anin, dibantu Mimi dan beberapa karyawan. Karena sang chef menghilang, maka beberapa menu ditiadakan. Hal ini menyebabkan jumlah pengunjung kafe berkurang dari hari ke hari.
Lalu, penulis membuat Anin tiba-tiba tertimpa sebuah kecelakaan, yang membuat tangan kanannya cedera, padahal seminggu lagi akan berlangsung Festival Sketsa Seribu Wajah Cinta. Sebelumnya, Anin telah berjanji untuk membikin sketsa wajah Buni dalam festival itu. Ia bersikeras menanggung rasa sakit untuk terus berlatih melukis. Namun, apa daya, tangan kanan Anin tak bisa menahan beban terlalu lama. Saat itu, dengan terpaksa Garnish ditelantarkan.
Apakah Anin tetap mengikuti festival itu dengan tangan kanan cedera? Dan, bagaimana nasib Garnish Cafe and Gallery setelah ditelantarkan kedua pendirinya?
“'Dan kita tidak akan mencari alasan untuk berhenti, kita akan berhenti untuk mencari alasan.'” (Buni, hlm. 197)
REVIEW
Nama "Mashdar Zainal" pertama kali saya kenal lewat cerpennya, "Kota Lumpur", yang menjadi salah satu pemenang LMCR 2011. (Waktu itu saya juga ikutan LMCR, betewe saya sering ikut tapi tidak pernah menjadi salah satu pemenang :(( *skip*.) Kemudian, ketika saya kuliah dan mulai melek sastra, saya demen baca cerpen koran gratisan di sini, dan nama Mashdar Zainal sering saya kepoin. Cerpen-cerpennya yang masih nempel di otak adalah "Tulang Ikan di Tenggorokan", "Kabut Ibu", "Di Sini, Hujan Turun Deras Sekali", dan "Pelajaran Hujan". (Betewe, cerpen-cerpen Mashdar juga bisa dibaca di blog pribadinya.) Oleh karena itu, saya terkejut ketika Mbak Misni menyodorkan pada saya tiga novel jatah resensi bulan Maret, yang salah satunya ditulis oleh Mashdar Zainal. Dan merupakan novel teenlit. Seorang cerpenis koran menulis teenlit?! Inilah yang bikin penasaran.
Saya agak lupa pernah membaca di mana, mungkin kultwit @divapress01 dalam sesi wawancara dengan Mashdar, tapi saya ingat bahwa Mashdar pernah bilang kalau novel Garnish awalnya ditulis untuk diikutkan sebuah lomba penulisan novel dengan tema "passion". Karyanya tidak terpilih, dan akhirnya berjodoh dengan de TEENS. Nah, saya nyaris yakin kalau lomba yang dimaksud ini adalah yang diadakan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2013, bertajuk "passion show" (kalau salah, mohon maafkan saya). Mengapa saya tahu? Karena waktu itu saya juga ikutan dan juga kalah :-h.
Dari situ, jelas bahwa novel ini mengusung tema perjuangan meraih mimpi yang berdasarkan passion. Kedua tokoh utama dalam novel ini memiliki dua passion yang berbeda, dan penulis menggabungkannya menjadi "Garnish Cafe and Gallery". Kedua tokoh ini saling menguatkan dengan karakter masing-masing. Buni adalah sosok yang kurang percaya diri (akibat penolakan oleh mamanya) tapi tetap optimis dan realistis. Misalnya, ketika ia membantu membangkitkan kembali semangat Anin pasca-kecelakaan. Tokoh Anin memberikan testimoni terhadap sifat Buni yang kurang percaya diri ini:
“Aku menyesalkan Buni yang selalu ragu dan tidak yakin pada kemampuannya sendiri, kupikir itulah salah satu alasan mengapa mamanya selalu kukuh untuk mengarahkan kehidupan Buni dengan caranya.” (hlm. 121)
[Catatan: kalimat tersebut terlalu panjang, dan sebenarnya bisa dipecah jadi dua kalimat, tepat sebelum “kupikir”.]
Tokoh Anin, adalah sosok yang berani (dalam menentang keinginan ayahnya), pernah depresi (pasca-kecelakaan), dapat dipercaya (misalnya, saat ia ngotot menepati janjinya pada Buni untuk menggambar sketsa wajahnya), dan pantang menyerah. Keduanya sama-sama kreatif, yang tampak dalam proses pendirian kafe Garnish. Meski demikian, di suatu waktu sosok Anin sempat terkesan kurang cerdas :)]. Di halaman 133, Anin tercengang membaca daftar menu rancangan Buni, tepatnya ketika membaca nama menu “cinnori, cinnaple, cinnaherbs”. Ketika mereka berdiskusi di halaman 124, Anin sendiri, lho, yang mengusulkan ada menu “cinnamon apple” dan beberapa varian cinnamon lain. Lantas, mengapa ia tak bisa menebak kalau cinnaple itu akronim dari “cinnamon apple”? Eksplisit sekali, to?
Kedua tokoh utama tersebut berdampingan menjalin alur cerita dari awal sampai akhir, bergantian tiap satu bab menggunakan sudut pandang orang pertama, "aku". Cukup sering saya lupa atau salah mengira siapa "aku" yang sedang bernarasi di suatu bab. Mungkin karena gaya narasi kedua "aku" ini sama (a.k.a. tidak punya ciri khas).
Alur novel ini berlangsung secara progresif, dengan timeline yang padat dan adegan demi adegan berkejar-kejaran. Anin dan Buni berkenalan, langsung akrab, beberapa waktu kemudian langsung merancang pendirian kafe Garnish, lalu hari-hari berlalu dengan diceritakannya aktivitas di kafe Garnish, kemudian masuk ke klimaks yang diawali dengan peristiwa klise: kecelakaan. Kejadian tersebut juga sangat tiba-tiba. Tiba-tiba saja Buni mendapat kabar bahwa Anin kecelakaan.
Mungkin karena temponya terlalu cepat, penulis kurang memberi ruang bagi cerita ini untuk merenungkan kisahnya sendiri. Salah satu akibatnya, ada motivasi yang sangat kurang kuat, sehingga membuat saya pesimis. Mengapa ayah Anin melarangnya melukis? Hanya karena Ayah tidak suka cat air untuk melukis itu mengotori tubuh Anin dan rumah. Selain itu, Ayah juga mengucapkan secara implisit bahwa anak gadis tak sepantasnya melukis karena menurutnya, melukis itu erat dengan sosok "seniman pengangguran yang berantakan" (hlm. 17). Saya malah menduga, jangan-jangan ayah Anin hanya mengada-ada alasan itu. Alasan sebenarnya, mungkin karena ia punya kenangan pahit terkait pelukis. (Ini karangan saya doang, lho.)
Untungnya, motivasi Mama Buni lebih kuat dan cukup masuk akal dalam melarang anaknya memasak. Dan, lagi-lagi gender dibawa-bawa. Menurut Mama, tak sepatutnya lelaki memasak, dan ia menginginkan Buni jadi ekonom mengikuti jejak papanya. Nah, lho, bisa jadi ideologi pribadi penulis turut terseret dalam persoalan gender ini. (Dan saya tidak tahu ideologi apa tepatnya yang penulis usung secara sadar maupun tidak di dalam karyanya ini.) (Seperti Pram dengan ideologi sosialismenya yang termaktub dalam karya-karyanya, dan Ayu Utami dengan ideologi feminisme radikalnya.) Sebuah kalimat yang dinarasikan oleh "aku" si Buni juga mengandung persoalan gender:
“Kalau ia mau, bisa saja ia meninggalkanku dan bergabung dengan gadis normal lainnya, pergi ke mal, ke bioskop, jalan-jalan ke Paris...” (hlm. 95)
Pertama, mungkin ini cerminan sudut pandang pribadi penulis, karena tak bisa dipungkiri bahwa pasti ada sekelumit jiwa penulis turut tercampur dalam cerita yang ia tulis, yakni bahwa menurut Buni, gadis yang normal adalah gadis yang “pergi ke mal, ke bioskop, jalan-jalan ke Paris”. Well, berarti saya bukan gadis normal, soalnya saya nggak terlalu suka pergi ke mal (kecuali ada barang yang butuh saya cari di sana). Saya juga jarang banget ke bioskop, karena tarifnya makin mahal, sedangkan saya bisa menyedotnya gratis di Ganool, misalnya (tiru aja, nggak pa-pa, mumpung Ganool belum di-banned). Apalagi ke Paris. Saya pernahnya ke Paris-parisan di Museum Angkut, Batu :p. Kedua, mengapa “jalan-jalan”-nya harus ke Paris? Mungkin penulis asal saja mencomot nama kota terkenal di luar negeri. Atau mungkin juga tidak. Entahlah, wkwk.
Kembali ke plot cerita. Di halaman 116 Anin berkata pada Buni (setelah tata ruang bakal kafe Garnish jadi), “Dan yang harus kau tahu, beberapa perkakas yang ada, seperti ranjang dan lemari baju di kamarmu, juga beberapa perkakas dapur, itu kubeli dengan uangmu...” Seperti ada plot hole. Kapan Buni memberikan uang tabungannya ke Anin? Memang sih, sebelumnya, di halaman 104 Buni dan Anin telah sepakat untuk menggabungkan tabungan Buni dengan uang Anin sebagai modal...
Novel ini berlatar di Jakarta, tapi saking umumnya elemen-elemen setting tempat ini, kalau kotanya dipindah pun sepertinya tak menimbulkan masalah besar.
Ada beberapa kalimat yang janggal yang saya temukan dalam novel ini.
"Kukatakan pada diriku sendiri, bahwa aku anak manusia yang dianugerahi banyak hal. Jasad yang sehat. Jiwa yang kuat. Dan tentu saja akal yang misterinya yang terpecahkan oleh makhluk mana pun.” (hlm. 19)
Ada yang janggal pada kalimat terakhir dalam sempalan paragraf tersebut. Melihat konteks dari kalimat-kalimat sebelumnya, bisa dikira-kira kalau seharusnya kalimat itu berbunyi begini, “Dan tentu saja akal yang misterinya tak terpecahkan oleh makhluk mana pun.”
“Dan sejujurnya aku merasa aneh, aku baru saja mengenalnya kurang dari enam puluh menit. Dan kami sudah bercuap-cuap seolah kami adalah sahabat lama yang dipertemukan kembali. Dan lagi-lagi, aku tak peduli. Aku merasa, bahwa kami sudah seperti dua kutub magnet yang sama yang dipertemukan begitu saja.” (hlm. 23)
Nah, saya juga merasa ada yang janggal di kalimat terakhir (lagi-lagi kalimat terakhir). Yang saya tangkap dari tiga kalimat sebelumnya, penulis bermaksud mengumpamakan bahwa Buni sudah merasa akrab dengan Anin padahal baru bertemu. Maka, akan menjadi aneh kalau perumpamaannya adalah “dua kutub magnet yang sama”. Sejak SD, guru IPA saya mengajarkan bahwa dua kutub magnet yang sama akan tolak-menolak (meski waktu itu belum tahu mengapa begitu, dan saya menelannya—oh, tentu saja, menghafalnya. Bukankah sistem pendidikan semasa itu –mungkin sekarang masih—terlampau sering mengajarkan para murid untuk menghafal, bukan memahami?)
“... kami sudah seperti keluarga yang kelewat harmoni.” (hlm. 89)
Harmoni adalah kata benda, sehingga kurang tepat posisinya dalam petikan tersebut. Lebih tepat menggunakan “harmonis”.
“Memikirkan bagaimana cara kerja Bli Sutha sama halnya dengan memikirkan bagaimana alam ini diciptakan.” (hlm. 100)
Mungkin kalimat tersebut akan lebih enak dibaca kalau dipermak sedikit menjadi: “memikirkan bagaimana cara kerja Bli Sutha dalam melukis”, atau “memikirkan bagaimana cara Bli Sutha bekerja dengan kanvas dan cat air”.
*Alter ego Kimfricung: Ya udah, kamu nulis novel sendiri aja, Cung, cerewet, deh!
Kimfricung: Kalau aku nggak cerewet, blog ini nggak bakal eksis, woy!*
“Dengan girang aku dan Anin mengedarkan daftar menu. Setelah mereka mendapatkan menu yang mereka inginkan, aku dan Anin segera meluncur ke dapur.” (hlm. 151)
Kata “memesan” mungkin akan lebih pas daripada “mendapatkan”.
“Semula baik-baik saja, namun detik-detik berikutnya tanganku seperti ditopang beban yang tak kasat mata, begitu berat, begitu nyeri, hingga tanpa sadar, tanganku terhempas begitu saja menghantam paha.” (hlm. 189)
Seharusnya “menopang”, dong, bukan “ditopang”.
“Sampai di rumah, Ayah menyuruhku di sofa di ruang tengah.” (hlm. 49)
Ayah menyuruhku duduk di sofa di ruang tengah.
“’Ayah sangat menyayangi, kau tahu itu.’” (hlm. 51)
Ayah sangat menyayangimu, kau tahu itu.
“Sembari memotong-motong buah stroberi, Buni menampakkan air khawatir di wajahnya.” (hlm. 141)
Mungkin tepatnya, "air muka", kali, ya.
Selain beberapa bagian yang janggal itu, saya juga menemukan petikan yang didn't make sense.
“’Sebaiknya kita ke depan, tidak baik menonton orang masak kecuali di TV.’” (Bibi Manda, hlm. 91)
Hmm, memangnya kenapa tidak baik menonton orang memasak?
Saya juga menemukan beberapa typos.
- “beberapa suing bawang” (hlm. 91) à siung
- Buni: Itu kafe apa angkringan?
Anin: Kafe. Jelas-jelas pemiliknya menemaninya kafe... (hlm. 123) à menamainya
Selain kombinasi antara melukis dan memasak, saya menemukan satu elemen yang menarik dari novel ini, yaitu ketika penulis menyertakan profil seorang pelukis senior asal Malang, yang kedua tangannya cacat, sehingga ia melukis dengan kaki (hlm. 210).
Pada akhirnya, saya tetap jauh lebih menyukai Mashdar yang menulis cerpen koran daripada Mashdar yang menulis novel teenlit. Duh, maaf, memangnya saya siapa, hello :)]. Novel teenlit ini mungkin akan mampu menggugah kembali semangat pembaca yang sedang mengalami kemunduran dalam passion dan perjuangan meraih cita-cita.
Bintang 2,5 untuk Buni, si Pasta Basi dan Anin, si Lukisan Abstrak.[]
Ini buku nggak di GA-in??? Wkwkwkwkwk
ReplyDeleteBelum, Put, soalnya masih berlangsung blog tour resmi Divapress. Ntar aku nggak sopan kalau tiba-tiba ngasih buku ini buat GA wkwk
DeleteDari resensi di atas saya menangkap Buni dan Anin usianya seperti yang baru masuk semester 2 atau 3. Soalnya belum tertangkap sisi kedewasaannya.(Ini apa yang saya tangkap setelah membaca resensinya ya, maaf kalo salah). Dan saya merasa tertarik untuk membaca novelnya. Soalnya resensinya lengkap dan detail sehingga penasaran dengan detail-detail tadi, hehehe
ReplyDeleteGood point, Bang Adin! Sebenarnya, saya juga merasa kok Buni dan Anin ini (terutama Buni) karakternya seperti remaja, padahal Buni sudah sarjana, lho. Kalau Anin memang masih kuliah.
Delete