12 April 2017

8 Buku Favorit yang Belum (Tidak) Saya Resensi



Di dalam rak “favourites” di akun Goodreads saya, ada beberapa belas buku. Lebih dari separuhnya belum saya resensi. Mengapa? Padahal saya setuju, lho, kalau ada yang mengatakan bahwa buku yang paling mudah diresensi adalah yang menurut kita bagus banget dan yang jelek banget. Karena jadi favorit, pasti menurut saya itu bagus banget. Tapi kenapa tidak/belum saya resensi?

Pertama, karena buku itu berat secara fisik maupun isi, sehingga saya butuh waktu relatif lebih lama dibandingkan dengan yang saya butuhkan untuk membaca buku yang lebih tipis. Proses pembacaan yang panjang dan terputus-putus oleh aktivitas-aktivitas lain itu tak jarang bikin ingatan melayang-layang saat mau nyambung baca. Plot sebelumnya gimana, ya? Eh, si Anu kapan nganunya, kok di sini dia udah teranu-anu? Oleh karena itu, ketika (akhirnya) selesai menghabisi buku tersebut, saya merasa kelelahan. Mau menulis resensi rasanya enggan. Belum lagi membayangkan isinya yang berat dan tidak terlalu jelas dalam ingatan. Ini terjadi, misalnya untuk buku Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan) dan Dalih Pembunuhan Massal (John Roosa). Cantik Itu Luka, plotnya bercabang-cabang—bisa dibilang mbulet, tapi mbulet yang positif, tokoh pentingnya cukup banyak, dan tebal. Dalih Pembunuhan Massal, ini jelas buku dengan topik yang berat. Saya butuh waktu cukup lama untuk menyelesaikannya. Terlebih waktu membaca itu saya sedang bertugas di desa. Saya baca lewat tablet dan tidak setiap saat saya bisa mengisi ulang baterainya.

Kedua, saya terlalu terkesima oleh kekerenan buku tersebut, sehingga saat membaca saya sangat tenggelam dalam cerita dan tercengang berulang kali hingga melupakan posisi sebagai pembaca sekaligus peresensi. Hal ini terjadi ketika membaca And Then There Were None (Agatha Christie)—selain karena terlalu tegang, Pembunuhan di Orient Express (Agatha Christie)—selain karena saking tercengangnya, Misteri Soliter (Jostein Gaarder)—selain karena saking terhanyut dan terkesima oleh apa yang saya temukan dalam petualangan Hans Thomas dan ayahnya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Yusi Avianto Pareanom)—selain karena terlalu sibuk misuh-misuh dan ngakak bareng Sungu Lembu, dan The Host (Stephenie Meyer). Kalau yang terakhir itu juga karena terpesona oleh kekerenan Mel saking tebalnya, sampai lupa hal-hal detail.

Ketiga, kedua alasan tersebut akhirnya bikin saya menunda-nunda menulis resensi... Aslinya, sih, alasan pertama dan kedua itu cuma alibi. Alasan sebenarnya cuma satu: MALAS πŸ˜‚. Dan memang saya punya kebiasaan buruk menunda-nunda pekerjaan sampai tak ada waktu lagi untuk menunda. Karena sudah terlalu lama menunda, pada akhirnya isi buku yang terakhir saya baca itu sudah terdistorsi dengan hal-hal lain, terutama karena ada buku-buku selanjutnya yang sedang saya baca. Jadi basi kalau mau meresensi.

Saya merasakan ada yang mengganjal di hati jika tidak meresensi buku yang telah saya baca. Itu seperti... saya punya kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan pembaca lain tapi tidak menggunakannya. Saya merasa berdosa huweee. Tapi kecenderungan menunda-nunda itu susah diubah... Biasanya lalu saya (kalau niat) membaca sekali lagi buku yang telah saya baca saat akan menulis resensinya, tapi saya sering tidak punya cukup waktu untuk melakukannya. Semoga saya bisa meresensi kedelapan buku ini... entah kapan πŸ˜‚.

*Tulisan ini dibuat untuk memeriahkan #BBIHUT6 Marathon dengan topik "All About Books".
Sumber gambar sampul buku:

2 comments:

  1. Aku sering beginiiii... kalau buku terlalu bagus, memang susah untuk mulai dari mana menuliskan resensinya. Biasanya aku akalin dengan menuliskan kutipan-kutipan si buku pada postingan tersendiri. Ini bisa mancing buat nulis resensinya. Berlaku untuk beberapa buku (terutama buku-buku Gaarder dan Mitch Albom yang nyaris semua halamannya kutandai karena kutipable). Tapi... ada juga yang resensinya masih jadi draft, atau bahkan baru ditulis judulnya doang =))) Alasannya sama, karena bukunya terlalu bagus dan nggak tahu harus mulai dari mana. Contohnya buku Kamu (Sabda Armandio), The Miraculous Journey of Edward Tulane (Kate DiCamilio), bahkan The Little Prince aja nggak sempat kuresensi, saking lamanya dah lupa sama poin-poin yang mau ditulis :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aaaak, seneng, ternyata aku nggak sendirian πŸ˜‚
      Bener banget, nggak tahu harus mulai dari mana. Pernah juga sih nyoba ngakalin dg nulisin kutipan2 dulu, tp trs akhirnya...males nerusin πŸ˜‚
      Tidaaak!! Aku lupa masukin The Little Prince ke daftar. Jadinya 8+1 deh 😞

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets