Di dalam rak “favourites” di akun Goodreads saya, ada beberapa
belas buku. Lebih dari separuhnya belum saya resensi. Mengapa? Padahal saya
setuju, lho, kalau ada yang mengatakan bahwa buku yang paling mudah diresensi
adalah yang menurut kita bagus banget dan yang jelek banget. Karena jadi
favorit, pasti menurut saya itu bagus banget. Tapi kenapa tidak/belum saya
resensi?
Pertama, karena buku
itu berat secara fisik maupun isi, sehingga saya butuh waktu relatif lebih lama
dibandingkan dengan yang saya butuhkan untuk membaca buku yang lebih tipis. Proses
pembacaan yang panjang dan terputus-putus oleh aktivitas-aktivitas lain itu tak
jarang bikin ingatan melayang-layang saat mau nyambung baca. Plot sebelumnya
gimana, ya? Eh, si Anu kapan nganunya, kok di sini dia udah teranu-anu? Oleh karena
itu, ketika (akhirnya) selesai menghabisi buku tersebut, saya merasa kelelahan.
Mau menulis resensi rasanya enggan. Belum lagi membayangkan isinya yang berat
dan tidak terlalu jelas dalam ingatan. Ini terjadi, misalnya untuk buku Cantik
Itu Luka (Eka Kurniawan) dan Dalih Pembunuhan Massal (John Roosa).
Cantik
Itu Luka, plotnya bercabang-cabang—bisa dibilang mbulet, tapi mbulet
yang positif, tokoh pentingnya cukup banyak, dan tebal. Dalih Pembunuhan Massal,
ini jelas buku dengan topik yang berat. Saya butuh waktu cukup lama untuk
menyelesaikannya. Terlebih waktu membaca itu saya sedang bertugas di desa. Saya
baca lewat tablet dan tidak setiap saat saya bisa mengisi ulang baterainya.
Kedua, saya terlalu
terkesima oleh kekerenan buku tersebut, sehingga saat membaca saya sangat
tenggelam dalam cerita dan tercengang berulang kali hingga melupakan posisi
sebagai pembaca sekaligus peresensi. Hal ini terjadi ketika membaca And
Then There Were None (Agatha Christie)—selain karena terlalu tegang, Pembunuhan
di Orient Express (Agatha Christie)—selain karena saking tercengangnya,
Misteri
Soliter (Jostein Gaarder)—selain karena saking terhanyut dan terkesima
oleh apa yang saya temukan dalam petualangan Hans Thomas dan ayahnya, Raden
Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Yusi Avianto Pareanom)—selain karena terlalu sibuk misuh-misuh dan
ngakak bareng Sungu Lembu, dan The Host (Stephenie Meyer). Kalau yang terakhir itu juga karena terpesona
oleh kekerenan Mel saking tebalnya, sampai lupa hal-hal detail.
Ketiga, kedua alasan
tersebut akhirnya bikin saya menunda-nunda menulis resensi... Aslinya, sih,
alasan pertama dan kedua itu cuma alibi. Alasan sebenarnya cuma satu: MALAS π. Dan memang saya punya kebiasaan buruk menunda-nunda pekerjaan sampai tak
ada waktu lagi untuk menunda. Karena sudah terlalu lama menunda, pada akhirnya
isi buku yang terakhir saya baca itu sudah terdistorsi dengan hal-hal lain, terutama
karena ada buku-buku selanjutnya yang sedang saya baca. Jadi basi kalau mau
meresensi.
Saya merasakan ada yang mengganjal di hati
jika tidak meresensi buku yang telah saya baca. Itu seperti... saya punya
kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan pembaca lain tapi tidak
menggunakannya. Saya merasa berdosa huweee. Tapi kecenderungan menunda-nunda
itu susah diubah... Biasanya lalu saya (kalau niat) membaca sekali lagi buku
yang telah saya baca saat akan menulis resensinya, tapi saya sering tidak punya
cukup waktu untuk melakukannya. Semoga saya bisa meresensi kedelapan buku
ini... entah kapan π.
*Tulisan ini dibuat untuk memeriahkan #BBIHUT6 Marathon dengan topik "All About Books".
Sumber gambar sampul buku:
- And Then There Where None – Ntarie Novrizal
- Bumi Manusia – Goodreads
- Cantik Itu Luka – blog Eka Kurniawan
- Dalih Pembunuhan Massal – Toko Cinta Buku
- Misteri Soliter – Goodreads
- Pembunuhan di Orient Express – BukaBuku
- Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi – Goodreads
- The Host – Wikipedia
Aku sering beginiiii... kalau buku terlalu bagus, memang susah untuk mulai dari mana menuliskan resensinya. Biasanya aku akalin dengan menuliskan kutipan-kutipan si buku pada postingan tersendiri. Ini bisa mancing buat nulis resensinya. Berlaku untuk beberapa buku (terutama buku-buku Gaarder dan Mitch Albom yang nyaris semua halamannya kutandai karena kutipable). Tapi... ada juga yang resensinya masih jadi draft, atau bahkan baru ditulis judulnya doang =))) Alasannya sama, karena bukunya terlalu bagus dan nggak tahu harus mulai dari mana. Contohnya buku Kamu (Sabda Armandio), The Miraculous Journey of Edward Tulane (Kate DiCamilio), bahkan The Little Prince aja nggak sempat kuresensi, saking lamanya dah lupa sama poin-poin yang mau ditulis :D
ReplyDeleteAaaak, seneng, ternyata aku nggak sendirian π
DeleteBener banget, nggak tahu harus mulai dari mana. Pernah juga sih nyoba ngakalin dg nulisin kutipan2 dulu, tp trs akhirnya...males nerusin π
Tidaaak!! Aku lupa masukin The Little Prince ke daftar. Jadinya 8+1 deh π