Judul: The Prague Cemetery
Penulis: Umberto Eco
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Penyunting: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, Februari 2013
Tebal: viii + 616 halaman
ISBN: 978-602-8811-98-9
Buku “Terlama Tak Kunjung Dibaca sejak Dibeli”
Menjadi tsundoku itu ibarat jatuh cinta padamu. Aku tak sadar, tahu-tahu dadaku sudah berlubang dan hatiku jatuh di genggamanmu. Eh, malah curhat. Salah satu akibat menjadi tsundoku adalah daftar tunggu buku yang dibaca jadi makin panjang dan terus memanjang. The Prague Cemetery ini adalah salah satu buku yang menjadi korban daftar tunggu yang terus memanjang itu. Di rak buku saya, ia memegang rekor “terlama tak kunjung dibaca sejak dibeli”. Ia saya adopsi dari Togamas Mal Galeria (ya, ampun, sampai Togamas yang di situ sudah tak ada lagi sekarang) pada tahun 2013, dan baru saya baca tahun 2017. Sungguh kasihan buku ini, ia mungkin terlalu lelah menunggu saya baca sampai kertasnya ditumbuhi bercak-bercak kuning.
The Prague Cemetery merupakan kumpulan catatan harian Simonini, yang ditulis sebagai bagian dari terapi untuk mengingat apa yang telah ia alami, karena ia menderita penyakit mental tertentu (yang sebaiknya tidak saya sebutkan karena akan menjadi bocoran). Catatan harian itu kadang dibalas oleh Dalla Piccola, dengan tulisan yang ditujukan pada Simonini sebagai upaya untuk mengingatkannya akan hal-hal buruk yang telah ia lakukan di masa lalu, tapi ia lupa, yaitu pembunuhan. Atau saking ia ngeri pada apa yang telah dirinya lakukan, mentalnya menghapus memori itu. Kadang, upaya Dalla Piccola ini membuat Simonini tersinggung (hlm 378).
Umberto Eco menulis buku ini dengan narasi berganti-ganti; dari sudut pandang orang pertama Simonini, ke sudut pandang orang pertama Abbe Dalla Piccola, lalu sudut pandang orang ketiga Sang Narator. Buku dibuka dengan adegan Sang Narator yang mulai mengikuti catatan harian Simonini. Catatan pertama (bab dua) bertanggal 24 Maret 1897, dibuka dengan penjelasan Simonini mengapa ia menulis catatan harian, lalu racauannya tentang siapa dia sebenarnya. Di sini ia mulai menyebut-nyebut Dalla Piccola. Lalu di catatan hari berikutnya (bab tiga), Simonini mulai mengulik ingatan masa lalunya dari tahun 1885-1886, saat ia terlibat obrolan dengan beberapa ahli psikiatri di Chez Magny (sebuah restoran di Paris). Saat itulah untuk pertama kalinya Diana Vaughan, seorang pasien penyakit mental, disebut.
Pertemuan dengan Sigmund Freud
Di Chez Magny itulah pertama kalinya Simonini berkenalan dengan “dokter Austria (atau Jerman) itu”, “seorang dokter berusia sekitar tiga puluh yang hampir pasti datang ke Magny hanya karena tidak bisa makan lebih mahal lagi dan magang pada Charcot”. “Aku” (Simonini) menuliskan nama dokter itu sebagai Froïde dengan nama depan Sigmund. Dari isi pembicaraan dan narasi yang dikisahkannya, Sigmund ini tak lain adalah Sigmund Freud (Freud memang dibaca “Froyd”, mirip dengan “Froïde”). Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1885-1886. Freud lahir pada tahun 1856 (jadi memang benar pada tahun 1885/1886 umurnya sekitar 30 tahun) dan pada bulan Oktober 1885 dia pergi ke Paris untuk magang pada Jean-Martin Charcot. (Sumber: Wikipedia) Dalam obrolan dengan “aku”, Froïde sempat menyebut nama tunangannya, Marta (Freud menikahi Martha Bernays pada tahun 1886).
“Semua hal itu racun jika dosisnya berlebihan, bahkan anggur,” kata Froïde pada halaman 56. Setelah itu dia juga menjelaskan beragam kegunaan kokain. Dari yang saya baca di Wikipedia, Freud memang pernah menerbitkan paper tentang efek kokain pada tahun 1884.
Jadi, ya, itu memang Sigmund Freud yang itu.
Dalam pembicaraan dengan Freud itu, kelihatan sekali ketaksukaan dan prasangka Simonini terhadap Freud yang Yahudi. “Pada detik ini kukira, aku sudah tertarik dalam berbagai rencana orang Yahudi dan ambisi ras itu agar putra-putra mereka menjadi dokter dan ahli farmasi dengan tujuan mengontrol tubuh maupun pikiran orang Kristen.” (hlm. 62)
Anti-Semitisme yang tertanam dalam benak Simonini ini tak bisa dipungkiri adalah warisan dari kakeknya, seperti yang ia ceritakan di bab selanjutnya, yang mundur ke tahun 1830-1855. Di masa kecil dan remajanya di Turin itulah, kakeknya menanamkan kebencian terhadap orang Yahudi.
Yang Ada di Balik Layar
Di bab-bab selanjutnya, catatan harian Simonini, tulisan Abbé Dalla Piccola, dan narasi dari Sang Narator, mengisahkan bagaimana Simonini mulai bekerja pada Notaio Rebaudengo, seorang notaris merangkap pembuat dokumen palsu. Ironis sekali bagaimana ia mengatakan bahwa profesinya yang penuh kebohongan itu didasarkan pada kepercayaan dengan klien. Belakangan, Simonini membuka jasa pembuatan dokumen palsunya sendiri.
“Jika aku mulai mencemaskan apakah klien itu mungkin berbohong, aku tidak lagi punya profesi ini, yang didasarkan pada kepercayaan.” (Rebaudengo, hlm. 123)
Dalam sejarah Eropa abad ke-19, Simonini memiliki peran penting sebagai konseptor; sosok yang berada di belakang layar pada beberapa peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi (penyatuan Italia, perang Franco-Prussia, Paris Commune, peristiwa Dreyfus (Sumber: Wawancara dengan Umberto Eco). Ini mengingatkan saya akan Pak Tua si tokoh utama dalam The 100-year-old man who climbed the window and disappeared, yang juga terlibat dalam peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah dunia. Selama bekerja pada Rebaudengo, Simonini bertemu banyak klien, salah satunya dengan Cavalier Bianco, orang penting di dinas rahasia pemerintahan. Bianco merekrutnya untuk membantu penangkapan para Carbonari.
Carbonari ini adalah perkumpulan rahasia yang berkembang di Italia bagian selatan sejak tahun 1700-an (tapi baru terkenal pada awal abad ke-19) (Sumber: Global Security), dan diduga mempunyai kaitan dengan Freemason Italia (Sumber: Sanfelesesociety). Mereka melakukan ritual-ritual rahasia yang merupakan campuran dari ritual Kristen dengan simbol-simbol dan referensi pagan. Para anggotanya secara umum mendukung konsep hak-hak individu yang diakui konstitusi, kebebasan berbicara dan kemerdekaan dari dominasi kolonial asing—perkumpulan ini mengusung pemikiran republikan yang menggusarkan pemerintahan konservatif Eropa di zaman itu (pemerintahan monarki). (Sumber: Global Security)
Setelah keberhasilannya itu, kariernya menanjak sebagai agen rahasia untuk dinas pemerintahan, membuat dokumen dan laporan palsu hasil karangannya sendiri untuk memojokkan pihak-pihak tertentu, sembari menjalankan rencana-rencana demi keuntungan pribadi.
Berikutnya, Simonini turut hadir dalam Ekspedisi Garibaldi (ini merupakan peristiwa sejarah betulan). Ia menyamar dalam pendukung Garibaldi, yang disebut “Seribu Garibaldi” untuk menggali informasi dan melakukan tugas dari dinas rahasia. Saat itulah ia melakukan kontak pertama dengan Alexandre Dumas, novelis terkemuka Perancis itu. Kemudian pada tahun 1861 Simonini pindah ke Paris, setelah itu ia pernah dipenjara, membunuh beberapa orang, mengadu domba beberapa pihak (Mason, komunis, pemerintah, Jesuit, Yahudi, dan apa lagi, ya?) demi keuntungan pribadi.
Sebagaimana sang tamu pada bab satu mengintip Simonini sedang menulis catatan hariannya, saya mengikuti kisah hidup lelaki itu dan saya pikir telah mengenalnya dengan cukup baik setelah 600+ halaman. Simonini adalah orang yang cerdas, cerdik, dan licik; ia tak segan melakukan kebusukan demi mencapai keuntungan. Ia menggagas ide-ide seperti menciptakan malapetaka dalam pelayaran Nievo dari Palermo ke Turin demi melenyapkan buku-buku keuangan bersama Nievo (hlm. 210-211).
“The Protocols”
"Jika emas adalah kekuatan pertama di dunia ini, yang kedua adalah pers. Kita harus mengambil alih kepemimpinan semua surat kabar di setiap negeri." (Suara Ketigabelas di Kuburan Praha, hlm. 292)
Membaca novel ini seperti membaca sejarah Eropa abad ke-19 dengan cara yang seru. Sejarah yang penuh konspirasi, penipuan, pembajakan tulisan, adu-domba… Betapa novel ini menunjukkan berkali-kali bahwa tulisan sungguh punya kekuatan besar untuk menimbulkan kebencian terhadap sesuatu; dua di antaranya yang paling menggelegar adalah terhadap ras Yahudi dan terhadap Freemasonry.
The Protocols of The Elder of Zion, atau yang sering disebut The Protocols, yang merupakan teks anti-Semitisme yang mendeskripsikan konspirasi gelap para rabi Yahudi pada suatu malam di sebuah kuburan di Praha. Dalam pertemuan itu mereka berencana menguasai dunia. Di bab enam Simonini menceritakan bagaimana awalnya tercetus ide untuk menuliskan laporan itu. Kemudian, bagaimana dia menjiplak beberapa bagian dari novel karya Maurice Joly. Ironisnya, novel Joly itu sendiri adalah plagiarisme dari novel Les Mystères du Peuple karya Eugène Sue. [The Protocols]
The Protocols yang diterbitkan tanpa nama penulis tercantum itu kemudian menjadi terkenal dan menyebabkan meluasnya anti-Semitisme di Eropa. Adegan kuburan Praha jadi sering didaur ulang oleh pengarang-pengarang lain. Maka, menjadi lucu ketika Simonini mengeluhkan pembajakan ini, karena ia sendiri pun membajak sana-sini saat menulis The Protocols.
"Ya, Tuhan, dalam sebuah dunia para pembajak, bagaimana hidup jadi mungkin?" (Simonini, hlm. 380)
“Le Diable au XIXe Siècle” dan Objektivikasi Perempuan
Dalla Piccola ternyata juga melakukan hal serupa dengan yang dilakukan Simonini, yaitu penulisan dokumen palsu. Di akhir abad ke-19, ia menyuntikkan ide dalam kepala Taxil, seorang penyebar berita palsu yang sebelumnya sempat membuat geger masyarakat, untuk menulis karya yang menjelek-jelekkan Freemasonry. Pada tahun 1892 mereka mulai memanfaatkan Diana Vaughan, seorang pasien kejiwaan dr. Du Maurier. Diana meyakini bahwa dirinya adalah murid Palladian, suatu sekte Masonik yang misterius. Dalam kegilaannya, Diana sering mengocehkan berbagai ritual Palladian. Nah, cerita Diana tentang berbagai ritual inilah yang dijadikan pijakan tulisan mereka.
Mereka juga menciptakan tokoh rekaan bernama Dr. Bataille, yang seolah-olah adalah dokter yang menangani Diana. Nama “Dr. Bataille” pun mereka cantumkan sebagai penulis buku ini, yang mereka beri judul “Le Diable au XIXe Siècle: Misteri di Balik Satanisme Modern, Magnetisme Klenik, para Perantara Lucifer, Kabalah pada Akhir Abad, Sihir Rosicrucian, Kesurupan Kambuhan, para Perintis Anti-Kristus” itu (padahal yang menulis adalah Taxil).
Dalam peristiwa ini, Diana dijadikan objek untuk menyebarkan kebencian terhadap Mason sekaligus sebagai objek seksual oleh Taxil. Sebaliknya, Dalla Piccola sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan seksual terhadap Diana. Dia juga secara terang-terangan mengungkapkan kepada pembaca perasaan jijiknya terhadap perempuan, yang juga membuat saya menduga apakah ia aseksual sebagai akibat dari lingkungan dan kebiasaan hidupnya di antara para imam.
"Aku selalu menemukan lebih banyak kenikmatan pada makanan daripada seks—mungkin satu tanda yang ditinggalkan kepadaku oleh para imam." (hlm. 24)
Pikiran berhubungan seks dengan seorang perempuan sudah cukup buruk, tetapi dengan seorang perempuan gila…. (hlm. 455)
Kejijikannya terhadap perempuan makin terlihat saat ia berada dalam kondisi yang membuatnya terpaksa terlibat dalam hubungan seksual dengan Diana. Sebagai pastor, ia belum pernah berhubungan seks dengan perempuan sebelumnya, bahkan baru saat itu ia melihat perempuan telanjang. Namun kemudian saya menangkap pertanda bahwa ia takut terhadap perempuan dewasa saja, tapi tertarik terhadap anak-anak. Nah, ini membuat saya menduga, apakah ia pedofil?
Aku menahan sekuat tenaga, seperti kena serangan kejang, karena untuk kali pertama melihat seorang perempuan tanpa penutup raga. (hlm. 537)
—dan aku harus mengakui (satu situasi aneh ketika aku, seorang imam, mengaku dosa kepadamu, Kapten!) bahwa sementara aku merasakan, bukan teror, melainkan paling sedikit rasa takut di depan seorang perempuan yang sekarang matang, sulit bagiku untuk menolak rayuan dari seorang makhluk yang belum mekar. (hlm. 536)
Di masa itu, di Eropa mulai muncul gerakan-gerakan feminisme sebagai reaksi atas ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Perempuan (masih) menjadi korban stereotip masyarakat yang patriarkal, yaitu dipandang sebagai subordinat laki-laki. Maka wajar jika Simonini dan Dalla Piccola, sebagai laki-laki yang hidup di tengah masyarakat patriarkal itu, terkesan memandang perempuan sebagai "warga kelas dua". Dalla Piccola malah terkesan misoginis, contohnya, bisa terbaca dari perkataannya berikut.
“Kami bercakap-cakap beberapa kata (aku sudah begitu terkurung selama sepuluh hari ini sehingga merasa terhibur bahkan dengan bercakap-cakap dengan seorang perempuan) dan setiap kali kutawari dia segelas absintus, aku hampir tak bisa tidak ikut minum lagi.” (hlm. 224)
(Perempuan tidak layak diajak bercakap-cakap?)
Simonini juga memiliki pandangan serupa terhadap perempuan, terlihat dari ucapannya berikut.
Aku tidak punya kepekaan seperti perempuan dan sepenuhnya mampu menyeret mayat seorang imam ke dalam gorong-gorong, tetapi pemandangan ini menggangguku. (Simonini, hlm. 358)
(Kepekaan dipandang secara negatif dan merupakan milik perempuan (saja)?)
Kekuatan Tulisan
The Protocols dan Le Diable au XIXe Siècle (The Devil in The 19th Century) merupakan dua dari entah sekian banyak tulisan propaganda dari Eropa di abad ke-19 yang benar-benar ada di dunia nyata. Umberto Eco mencoba menciptakan latar belakang terciptanya kedua dokumen itu. Eco menunjukkan betapa tulisan memiliki kekuatan sangat besar untuk menyebarkan propaganda. Meskipun kemudian Taxil telah mengakui bahwa The Devil in the 19th Century itu hoaks, dan banyak peneliti telah membuktikan kepalsuannya, banyak orang masih memercayainya sampai sekarang. The Protocols juga telah sering dibuktikan kepalsuannya. Namun tetap saja, kedua dokumen ini masih dijadikan acuan oleh pihak-pihak yang ingin membenarkan kebenciannya terhadap Mason dan orang Yahudi. Bahkan, The Protocols menjadi bagian dalam propaganda Nazi untuk membenarkan aksi persekusinya terhadap orang Yahudi. (Sumber: The Protocols)
Maka, benar sekali yang ditulis oleh Mikulpepper di artikel blognya,
"But it is easier to get people to believe than it is to renounce their beliefs, so hoaxes can have a very negative effect."
Beberapa Catatan Lain
Awalnya tidak mudah membaca buku ini, karena ada yang membingungkan saya, terkait penyakit mental Simonini dan peristiwa-peristiwa sejarah. Tapi lama-lama saya menikmatinya, salah satu faktor paling signifikan yang telah membantu saya menikmati buku ini adalah terjemahannya yang bagus. Meski begitu, ada banyak istilah dan kalimat dalam bahasa Prancis yang artinya tidak dijelaskan di narasi dan juga tidak dilengkapi catatan kaki berisi terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Akhirnya, bisa saya simpulkan bahwa ini adalah perkenalan saya yang tak terlupakan dengan Umberto Eco. Ah iya, saat menyelesaikan tulisan ini, saya sedang membaca The Name of the Rose.[]
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^