Judul Buku :
Melodie der Liebe
Penulis :
Asmira Fhea
Tebal :
252 halaman
Penerbit/cetakan : de
TEENS/Cetakan pertama, Maret
2014
ISBN :
978-602-255-490-5
Garis
besar cerita novel biasanya bisa ditebak lewat kover dan judulnya (kalau lewat
nama pengarangnya, sih, mungkin bisa, misalnya Agatha Christie yang
novel-novelnya memang genre-nya
homogen). Terlihat jelas dari gambar kover novel ini—garis not balok berhiaskan
simbol kunci G dan gambar hati—bahwa nuansa musik dalam cerita percintaan berpadu
membentuk jalinan cerita novel. Belum lagi judulnya yang itu entah-bahasa-apa
(tapi karena ada “liebe”-nya, pasti
itu bahasa Jerman, hoho, dan memang ternyata setting ceritanya di negara Panser), mengandung kata “melodie”,
yang pasti ada kaitannya dengan musik.
Memasuki lembar demi lembar isi novel,
ketahuanlah bahwa ceritanya tentang film musikal. Tentang pembuatan film drama
musikal, tepatnya. Salah satu tokoh sentral novel ini, Diana, mahasiswi
semester delapan sekolah film di München, terpilih menjadi salah satu kru
penulis skenario film tersebut, yang rencananya diberi judul Melodie der Liebe. Gadis penggemar
pemain sepakbola Mario Götze itu terkejut sekaligus senang karena ternyata
Aurich Manfred, laki-laki yang ia sukai, juga menjadi kru film tersebut. Bersama
Tami Hiromasa—gadis asal Jepang yang menjadi asisten sutradara, dan Aimee
Verall—gadis Perancis yang menjadi anggota tim casting, Diana harus tinggal bersama di sebuah apartemen selama
proses pengerjaan film tersebut.
Motivasi mereka bertiga menjadi kru film
itu berbeda-beda. Diana, tentu saja, keberadaan Aurich (yang menurutnya mirip
dengan Mario Götze, padahal tidak) menjadi motivasi terbesarnya. Ketika sedang
menguntit Aurich di perpustakaan, tanpa sengaja pria itu mengenalinya dan
menawarkan bantuan untuk menulis skenario. Diana tidak menyia-nyiakan
kesempatan emas itu. Tapi, di saat ia mulai dekat dengan Aurich, Aimee Verall
seperti menjadi suatu rintangan yang mengganggu jalan mulus usaha pedekate-nya.
Diana cemas sekali, ketika melihat Aurich dan Aimee nongkrong bareng di sebuah cafe.
Ia tak akan lupa gosip yang beredar tentang Aimee, bahwa dia adalah gadis
centil perebut kekasih orang. Bahkan, Diana pernah mendengar cerita dari teman
sesama pelajar dari Indonesia, Sarie, bahwa Aimee pernah merebut kekasihnya,
Matt. Sejak memergoki Aurich bersama Aimee, Diana bersikap dingin terhadap
teman satu apartemennya itu.
“Di bawah cahaya lampu malam, dia tertawa lepas bersama gadis di depannya. Memaksaku untuk menerima bahwa Aimee yang berhak membuatnya tertawa hingga sesenang itu. Bukan aku!” – Diana (halaman 162)
Lain lagi dengan Tami Hiromasa. Gadis Jepang
yang perfeksionis dan tertutup itu mulai membuka diri terhadap Diana, teman satu
apartemennya yang perhatian. Karena terpaksa awalnya, Tami menceritakan siapa
lelaki dalam foto yang selalu disimpannya dalam buku hariannya. Dia adalah
Toshiro Yoshi, satu-satunya pria yang pernah ia cintai, yang telah meninggal
lima tahun lalu. Sampai saat ini, Tami tidak bisa move on, perasaan bersalah mencengkeramnya jika ia membuka hati
untuk lelaki lain.
“Tapi, dia sudah tidak ada.” – Aimee“Semua orang yang tahu pasti bilang begitu. Tapi, aku sangat mencintainya, maka aku menganggapnya ada.” – Tami (halaman 104)
Hingga takdir berkata lain. Chauncy
Geffrey, artis teater asal Perancis yang direkomendasikan oleh Aimee untuk
menjadi aktor utama film Melodie der
Liebe, mengusik hidupnya. Awalnya, Tami bertemu aktor yang sok sibuk itu
untuk memintanya menyetujui kontrak. Mereka membuat perjanjian: Geffrey akan
menandatangani kontrak jika Tami berjanji untuk menuruti semua permintaannya
selama proses syuting berlangsung. Lelaki itu bersikap manis padanya, tapi Tami
tahu bahwa ia hanya dipermainkan. Awalnya, niat Geffrey memang begitu, ia ingin
membalas dendam pada Aimee, dengan memanfaatkan Tami. Tapi lama-lama, niatan
awal itu melenceng, dan membuat orang lain tersakiti.
“Aku tidak bisa... Aku tidak ingin melukai hati siapapun. Aku tidak menyukainya.” – Tami (halaman 214)
Sementara itu, Aimee Verall sengaja
mengusulkan Geffrey menjadi aktor utama karena motif pribadinya. Karena ia
ingin punya alasan untuk bertemu lagi dengan pria yang dicintainya itu. Ia
ingin memperbaiki kesalahan yang pernah dibuatnya dulu. Memang, waktu itu ia
belum mengetahui kata hatinya, sehingga ia salah memilih pria lain, dan
meninggalkan Geffrey. Tapi kini, setelah ia tahu pasti siapa yang ia cintai,
Geffrey malah terlihat menyukai gadis lain, temannya sendiri: Tami. Mungkin semua
orang akan beranggapan bahwa ini adalah karma karena ia sering merebut pacar
orang. Oh, mereka salah. Sebenarnya, Aimee tak pernah menggoda siapapun, ia
hanya terlalu membuka diri. Para pria itulah yang menyukainya dan mengejar-ngejarnya.
Termasuk Aurich, yang ternyata menyukainya, tapi menyerah karena tahu bahwa
Aimee mencintai pria lain.
“Dia mencintaimu karena dirimu sendiri. Setelah ini, aku akan menemuinya dan meminta maaf. Aku mohon kau juga melakukannya, ya? Ungkapkan perasaanmu padanya.” – Aimee, kepada Aurich (halaman 164)
Novel ini terdiri dari 12 bab—masing-masing
bab berlangsung selama satu bulan—dilengkapi prolog dan epilog. Tiap bab
berjudul “Bulan Pertama”, “Bulan Kedua”, dan seterusnya (tapi dalam bahasa
Jerman). Menurut saya, time line alur
novel ini terlalu panjang, 12 bulan, sementara adegan-adegannya hanya sedikit
mewakili kejadian dalam jangka waktu segitu. Memang, penulis pandai
meng-efisienkan jalan cerita, yaitu dengan menulis kejadian-kejadian yang amat penting saja, yang terjadi dalam
waktu satu bulan. Dan itulah kepiawaian penulis; ia mampu membangun plot
berkesinambungan dalam rentang waktu yang cukup lama, tapi tidak mengurangi
koherensinya.
Tapi, cerita dalam satu tahun jadi terasa
sangat cepat, terus agak membingungkan ketika kita sampai di suatu bab, dan
mengingat-ingat “setting waktunya ini
kapan, ya? Waktu musim apa? Tadi mulai bulan pertama itu bulan apa, sih?” Ini
tidak terlalu esensial sebenarnya, tapi terkadang ada jenis pembaca yang selalu
ingin mengetahui kapan tepatnya salah satu adegan berlangsung. Dan time frame itu penting untuk membangun
alur cerita.
Terlepas dari itu, saya menyukai pemilihan
kata yang digunakan penulis. Cukup beragam, sehingga pembaca tidak bosan. Tapi,
ada beberapa kata yang sering dipakai penulis, seperti “membekuk".
Seperti novel Spring Sonata, yang pernah saya resensi sebelumnya (yang juga terbitan
de TEENS), ada kesalahan nama pada sinopsis di kover belakang. Di sinopsis,
tertulis nama belakang Aimee adalah Devone, padahal di sepanjang isi novel,
nama belakangnya adalah Verall. Lalu juga ada beberapa salah penulisan, seperti
pada halaman 41, pada dialog Tami – Diana, “Mata
Tami terbelalak, bibirnya terbuka, wajah polosnya terpancar...” Seharusnya,
yang matanya terbelalak itu Diana, bukan Tami.
Untuk penggunaan bahasa Jerman dialog
maupun narasi, ada beberapa yang tidak dicantumkan artinya di footnote (saya minta maaf, kalau
ternyata ada dan saya melewatkannya). Misalnya, kata “bitte” (halaman 83). Ada juga kata yang akan lebih baik jika
ditulis dalam bahasa Indonesia saja, daripada dalam bahasa Inggris, toh ada kata dalam bahasa Indonesia yang
bisa mewakili artinya: “men-dial”
(halaman 163). Menurut saya, lebih baik diganti menjadi “menghubungi” atau “menelepon”.
Selama membaca novel ini, saya menemui
beberapa bagian yang sulit untuk saya mengerti. Salah satunya adalah kalimat
yang diucapkan Aurich pada Aimee berikut ini: “Sebagai lelaki, aku berhak menilaimu yang sebagai model atau pemain
film dibanding orang yang bekerja di belakang layar. Kau cantik, berbakat, dan
baik. Dan mungkin, akan lebih baik jika aku menyukai gadis sepertimu.” Kalimat
itu akan menjadi lebih efektif jika diganti dengan, “Bagiku, kau lebih cocok menjadi model atau pemain film dibandingkan
hanya bekerja di belakang layar, karena kau cantik dan berbakat.” Adjektiva
“baik” saya hilangkan, karena menurut saya itu tidak relevan dengan konteks
kalimat. Selain itu, kalimat terakhir itu agak membingungkan. “Lebih baik jika aku menyukai gadis
sepertimu” itu maksudnya lebih baik daripada apa? Daripada jika ia menyukai
Diana-kah?
Saya menyukai ending cerita novel ini,
karena ketiga tokoh utamanya akhirnya berhasil mendapatkan cinta masing-masing.
Saya juga menyukai pasangan Diana-Aurich, yang cukup romantis dan bikin iri. Hahaha.
“Intensitas melihat Mario Götze harus kaukurangi. Kini, saatnya kau melihatku.” – Aurich (halaman 178)
Tapi, saya mengharapkan penulis sedikit
mengeskpos cerita drama musikalnya T_T. Lantaran cerita berkutat pada
permasalahan cinta para krunya, hingga filmnya dilupakan, hehe. Penulis juga
cukup berhasil membangun hawa “ke-Jerman-an” sepanjang plot cerita. Baca novel
ini bikin kita sedikit tahu bahasa Jerman, nama kota-kotanya, tempat-tempat menarik,
dan makanan khas-nya! Seperti makanan-makanan berikut ini:
Leberwurst – sosis yang mengandung
cincangan hati (halaman 22)
Bretzel – biskuit berbentuk hati dengan
bubuhan garam di atasnya (halaman 34)
Belegte brötchen – roti isi khas Jerman
(halaman 43)
Matjess herring – ikan hering yang
disajikan dengan kentang rebus, krim asam, dan daun bawang (halaman 55)
Glühwein – anggur merah plus cengkih
ditambah kayu manis dan gula (halaman 95)
Spiegeleier mit speck – daging babi campur
telur ceplok (halaman 105)
Schokobananen – campuran cokelat dan
pisang yang berbentuk panjang dan bergagang (halaman 187)
Berikut ini adalah tempat-tempat yang digunakan sebagai setting cerita.
Juga ada alat transportasi zug.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^