30 April 2014

Resensi MELODIE DER LIEBE




Judul Buku                        : Melodie der Liebe
Penulis                              : Asmira Fhea
Tebal                                 : 252 halaman
Penerbit/cetakan               : de TEENS/Cetakan pertama, Maret 2014
ISBN                                : 978-602-255-490-5

Garis besar cerita novel biasanya bisa ditebak lewat kover dan judulnya (kalau lewat nama pengarangnya, sih, mungkin bisa, misalnya Agatha Christie yang novel-novelnya memang genre-nya homogen). Terlihat jelas dari gambar kover novel ini—garis not balok berhiaskan simbol kunci G dan gambar hati—bahwa nuansa musik dalam cerita percintaan berpadu membentuk jalinan cerita novel. Belum lagi judulnya yang itu entah-bahasa-apa (tapi karena ada “liebe”-nya, pasti itu bahasa Jerman, hoho, dan memang ternyata setting ceritanya di negara Panser), mengandung kata “melodie”, yang pasti ada kaitannya dengan musik.

Memasuki lembar demi lembar isi novel, ketahuanlah bahwa ceritanya tentang film musikal. Tentang pembuatan film drama musikal, tepatnya. Salah satu tokoh sentral novel ini, Diana, mahasiswi semester delapan sekolah film di München, terpilih menjadi salah satu kru penulis skenario film tersebut, yang rencananya diberi judul Melodie der Liebe. Gadis penggemar pemain sepakbola Mario Götze itu terkejut sekaligus senang karena ternyata Aurich Manfred, laki-laki yang ia sukai, juga menjadi kru film tersebut. Bersama Tami Hiromasa—gadis asal Jepang yang menjadi asisten sutradara, dan Aimee Verall—gadis Perancis yang menjadi anggota tim casting, Diana harus tinggal bersama di sebuah apartemen selama proses pengerjaan film tersebut.
 
Mario Götze
Motivasi mereka bertiga menjadi kru film itu berbeda-beda. Diana, tentu saja, keberadaan Aurich (yang menurutnya mirip dengan Mario Götze, padahal tidak) menjadi motivasi terbesarnya. Ketika sedang menguntit Aurich di perpustakaan, tanpa sengaja pria itu mengenalinya dan menawarkan bantuan untuk menulis skenario. Diana tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Tapi, di saat ia mulai dekat dengan Aurich, Aimee Verall seperti menjadi suatu rintangan yang mengganggu jalan mulus usaha pedekate-nya. Diana cemas sekali, ketika melihat Aurich dan Aimee nongkrong bareng di sebuah cafe. Ia tak akan lupa gosip yang beredar tentang Aimee, bahwa dia adalah gadis centil perebut kekasih orang. Bahkan, Diana pernah mendengar cerita dari teman sesama pelajar dari Indonesia, Sarie, bahwa Aimee pernah merebut kekasihnya, Matt. Sejak memergoki Aurich bersama Aimee, Diana bersikap dingin terhadap teman satu apartemennya itu.

“Di bawah cahaya lampu malam, dia tertawa lepas bersama gadis di depannya. Memaksaku untuk menerima bahwa Aimee yang berhak membuatnya tertawa hingga sesenang itu. Bukan aku!” – Diana (halaman 162)

Lain lagi dengan Tami Hiromasa. Gadis Jepang yang perfeksionis dan tertutup itu mulai membuka diri terhadap Diana, teman satu apartemennya yang perhatian. Karena terpaksa awalnya, Tami menceritakan siapa lelaki dalam foto yang selalu disimpannya dalam buku hariannya. Dia adalah Toshiro Yoshi, satu-satunya pria yang pernah ia cintai, yang telah meninggal lima tahun lalu. Sampai saat ini, Tami tidak bisa move on, perasaan bersalah mencengkeramnya jika ia membuka hati untuk lelaki lain.

“Tapi, dia sudah tidak ada.” – Aimee
“Semua orang yang tahu pasti bilang begitu. Tapi, aku sangat mencintainya, maka aku menganggapnya ada.” – Tami (halaman 104)

Hingga takdir berkata lain. Chauncy Geffrey, artis teater asal Perancis yang direkomendasikan oleh Aimee untuk menjadi aktor utama film Melodie der Liebe, mengusik hidupnya. Awalnya, Tami bertemu aktor yang sok sibuk itu untuk memintanya menyetujui kontrak. Mereka membuat perjanjian: Geffrey akan menandatangani kontrak jika Tami berjanji untuk menuruti semua permintaannya selama proses syuting berlangsung. Lelaki itu bersikap manis padanya, tapi Tami tahu bahwa ia hanya dipermainkan. Awalnya, niat Geffrey memang begitu, ia ingin membalas dendam pada Aimee, dengan memanfaatkan Tami. Tapi lama-lama, niatan awal itu melenceng, dan membuat orang lain tersakiti.

“Aku tidak bisa... Aku tidak ingin melukai hati siapapun. Aku tidak menyukainya.” – Tami (halaman 214)

Sementara itu, Aimee Verall sengaja mengusulkan Geffrey menjadi aktor utama karena motif pribadinya. Karena ia ingin punya alasan untuk bertemu lagi dengan pria yang dicintainya itu. Ia ingin memperbaiki kesalahan yang pernah dibuatnya dulu. Memang, waktu itu ia belum mengetahui kata hatinya, sehingga ia salah memilih pria lain, dan meninggalkan Geffrey. Tapi kini, setelah ia tahu pasti siapa yang ia cintai, Geffrey malah terlihat menyukai gadis lain, temannya sendiri: Tami. Mungkin semua orang akan beranggapan bahwa ini adalah karma karena ia sering merebut pacar orang. Oh, mereka salah. Sebenarnya, Aimee tak pernah menggoda siapapun, ia hanya terlalu membuka diri. Para pria itulah yang menyukainya dan mengejar-ngejarnya. Termasuk Aurich, yang ternyata menyukainya, tapi menyerah karena tahu bahwa Aimee mencintai pria lain.
“Dia mencintaimu karena dirimu sendiri. Setelah ini, aku akan menemuinya dan meminta maaf. Aku mohon kau juga melakukannya, ya? Ungkapkan perasaanmu padanya.” – Aimee, kepada Aurich (halaman 164)


Novel ini terdiri dari 12 bab—masing-masing bab berlangsung selama satu bulan—dilengkapi prolog dan epilog. Tiap bab berjudul “Bulan Pertama”, “Bulan Kedua”, dan seterusnya (tapi dalam bahasa Jerman). Menurut saya, time line alur novel ini terlalu panjang, 12 bulan, sementara adegan-adegannya hanya sedikit mewakili kejadian dalam jangka waktu segitu. Memang, penulis pandai meng-efisienkan jalan cerita, yaitu dengan menulis kejadian-kejadian yang amat penting saja, yang terjadi dalam waktu satu bulan. Dan itulah kepiawaian penulis; ia mampu membangun plot berkesinambungan dalam rentang waktu yang cukup lama, tapi tidak mengurangi koherensinya.
Tapi, cerita dalam satu tahun jadi terasa sangat cepat, terus agak membingungkan ketika kita sampai di suatu bab, dan mengingat-ingat “setting waktunya ini kapan, ya? Waktu musim apa? Tadi mulai bulan pertama itu bulan apa, sih?” Ini tidak terlalu esensial sebenarnya, tapi terkadang ada jenis pembaca yang selalu ingin mengetahui kapan tepatnya salah satu adegan berlangsung. Dan time frame itu penting untuk membangun alur cerita.

Terlepas dari itu, saya menyukai pemilihan kata yang digunakan penulis. Cukup beragam, sehingga pembaca tidak bosan. Tapi, ada beberapa kata yang sering dipakai penulis, seperti “membekuk".

Seperti novel Spring Sonata, yang pernah saya resensi sebelumnya (yang juga terbitan de TEENS), ada kesalahan nama pada sinopsis di kover belakang. Di sinopsis, tertulis nama belakang Aimee adalah Devone, padahal di sepanjang isi novel, nama belakangnya adalah Verall. Lalu juga ada beberapa salah penulisan, seperti pada halaman 41, pada dialog Tami – Diana, Mata Tami terbelalak, bibirnya terbuka, wajah polosnya terpancar...” Seharusnya, yang matanya terbelalak itu Diana, bukan Tami.

Untuk penggunaan bahasa Jerman dialog maupun narasi, ada beberapa yang tidak dicantumkan artinya di footnote (saya minta maaf, kalau ternyata ada dan saya melewatkannya). Misalnya, kata bitte (halaman 83). Ada juga kata yang akan lebih baik jika ditulis dalam bahasa Indonesia saja, daripada dalam bahasa Inggris, toh ada kata dalam bahasa Indonesia yang bisa mewakili artinya: “men-dial (halaman 163). Menurut saya, lebih baik diganti menjadi “menghubungi” atau “menelepon”.

Selama membaca novel ini, saya menemui beberapa bagian yang sulit untuk saya mengerti. Salah satunya adalah kalimat yang diucapkan Aurich pada Aimee berikut ini: “Sebagai lelaki, aku berhak menilaimu yang sebagai model atau pemain film dibanding orang yang bekerja di belakang layar. Kau cantik, berbakat, dan baik. Dan mungkin, akan lebih baik jika aku menyukai gadis sepertimu.” Kalimat itu akan menjadi lebih efektif jika diganti dengan, “Bagiku, kau lebih cocok menjadi model atau pemain film dibandingkan hanya bekerja di belakang layar, karena kau cantik dan berbakat.” Adjektiva “baik” saya hilangkan, karena menurut saya itu tidak relevan dengan konteks kalimat. Selain itu, kalimat terakhir itu agak membingungkan. “Lebih baik jika aku menyukai gadis sepertimu” itu maksudnya lebih baik daripada apa? Daripada jika ia menyukai Diana-kah?

Saya menyukai ending cerita novel ini, karena ketiga tokoh utamanya akhirnya berhasil mendapatkan cinta masing-masing. Saya juga menyukai pasangan Diana-Aurich, yang cukup romantis dan bikin iri. Hahaha.

Intensitas melihat Mario Götze harus kaukurangi. Kini, saatnya kau melihatku.” – Aurich (halaman 178)

Tapi, saya mengharapkan penulis sedikit mengeskpos cerita drama musikalnya T_T. Lantaran cerita berkutat pada permasalahan cinta para krunya, hingga filmnya dilupakan, hehe. Penulis juga cukup berhasil membangun hawa “ke-Jerman-an” sepanjang plot cerita. Baca novel ini bikin kita sedikit tahu bahasa Jerman, nama kota-kotanya, tempat-tempat menarik, dan makanan khas-nya! Seperti makanan-makanan berikut ini:


Leberwurst – sosis yang mengandung cincangan hati (halaman 22)
Bretzel – biskuit berbentuk hati dengan bubuhan garam di atasnya (halaman 34)
Belegte brötchen – roti isi khas Jerman (halaman 43)
Matjess herring – ikan hering yang disajikan dengan kentang rebus, krim asam, dan daun bawang (halaman 55)
Glühwein – anggur merah plus cengkih ditambah kayu manis dan gula (halaman 95)
Spiegeleier mit speck – daging babi campur telur ceplok (halaman 105)
Schokobananen – campuran cokelat dan pisang yang berbentuk panjang dan bergagang (halaman 187)

  Berikut ini adalah tempat-tempat yang digunakan sebagai setting cerita.
Juga ada alat transportasi zug.


0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets