20 January 2015

[Resensi "Dari Kirara untuk Seekor Gagak"] Kirara yang Naif dan Gagak yang Kejam



 

Judul Buku                    : Dari Kirara untuk Seekor Gagak
Penulis                           : Erni Aladjai
Editor                            : Primadonna Angela
Tebal                             : 192 halaman
Penerbit/cetakan           : GPU/Cetakan I, Agustus 2014
ISBN                              : 978-602-03-0750-3
Harga                             : Rp 45.000,00
Rating                            :  

(Sebelumnya, saya pernah menulis resensi singkat buku ini di Goodreads. Namun, waktu itu saya menulis dalam kondisi emosional lantaran saya kecewa akan buku ini. Sekarang, saya menulis resensi ini dengan kondisi pikiran dan hati yang netral, yang saya harap dapat menyajikan resensi yang cukup objektif.)


Mae menyukai dapur, karena di situlah kenangan indah akan ibunya mengendap dalam ingatannya. Di sana, ia terbiasa membantu ibunya memasak dan bertukar cerita, semasa ibunya masih hidup. Setelah ayah dan ibunya meninggal pada tanggal 15 September karena kecelakaan kapal, Jo, kakaknya, adalah satu-satunya orang terdekatnya yang tersisa. Selain dapur, Mae juga menyukai sastra.
Demi menekuni dunia sastra, Mae kuliah dengan beasiswa di Jurusan Humaniora di Universitas Hokkaido. Di Sapporo, Mae tinggal di sebuah apartemen sederhana. Ia tak mudah bergaul dengan teman sepantarannya, karena pribadinya yang unik. Di saat teman-temannya menggilai boyband, ia tetap asyik dengan lagu-lagu lawas. Mungkin jiwa “jadul” dan melankolisnya inilah yang membuatnya cepat akrab dengan Kakek Yoshinaga, pemilik apartemen 2504. Kakek ini adalah pensiunan angkatan laut yang tinggal sendiri karena anak tunggalnya bekerja di kota lain. Mae sering menemani sang kakek makan sambil menonton film, membacakan surat-surat dari cinta pertamanya, bahkan menyanyikan lagu sebelum Kakek Yoshinaga tidur.
“Mae, jika kau sudah sepuh, kau hanya akan tertarik dengan kematian.” – Kakek Yoshinaga (hal. 14)
Tibalah saat di mana Mae harus kehilangan satu-satunya sahabat di Sapporo. Kakek Yoshinaga telah meninggal, dan apartemen 2504 kini ditempati oleh lelaki misterius berpakaian serbahitam.
Dalam kesedihannya, pada hari ulang tahunnya, Mae bertekad ingin mencari pekerjaan. Di suatu siang yang dingin, setelah beberapa lamarannya ditolak, ia duduk di dekat sebuah kedai ramen. Dari situlah, ia berkenalan dengan Nenek Osano, sang pemilik kedai, yang memberikan kesempatan pertama baginya untuk bekerja. Setelah itu, Mae juga bertemu Tamia, seorang teman baru di kampus karena adegan tabrakan tak disengaja.
***
Ken tidak suka dapur. Tempat itu selalu membayanginya lewat mimpi buruk mencekam. Sosok ibunya, Kirei, tergeletak di atas meja dapur dengan tubuh bersimbah darah akibat luka tembakan. Ken yang saat itu berumur 7 tahun, mencari-cari ayahnya yang selalu tidak berada di rumah di saat yang dibutuhkan. Kesibukan dan sikap dingin Shibata, ayahnya, membuat Ken selalu mengurung diri dalam kamar dan tidak pernah berinteraksi dengannya padahal mereka tinggal seatap.
Ken yang berumur 22 tahun adalah mahasiswa Teknik Informasi Universitas Hokkaido. Masuk kuliah mungkin hanya sebulan sekali, tapi nilainya selalu bagus. (Beruntunglah kau, Ken! Mahasiswa yang tidak pernah absen dan rajin mengerjakan tugas di Jurusan Teknik Fisika UGM pun tetap tidak aman dari nilai E!). Aktivitasnya bisa dikategorikan menjadi dua bagian: menjadi hacker dan berlatih bela diri. Semuanya ia lakukan untuk mendukung rencananya mencari pembunuh ibunya, Jotaru, si mantan sopir ayahnya. Penyelidikan itu membawanya ke seseorang bernama Joben, dan memaksanya menguak ke peristiwa-peristiwa masa lalu.
Pertengkaran dengan ayahnya membuatnya hengkang dari rumah dan menyewa apartemen 2504. Sosoknya yang dingin dan kasar membuat Mae penasaran, hingga lama-lama jadi obsesi. Apakah Mae akan tetap menerimanya jika ia seorang pembunuh? Di sisi lain, apakah memang Joben yang memerintahkan pembunuhan Kirei?
***
Pertama, saya ingin meluruskan satu hal. Di sampul belakang, tertulis bahwa novel ini dikategorikan sastra. Saya tidak tahu, karakter apa saja yang membuat sang penerbit memutuskan bahwa ini adalah novel sastra. Namun, menurut pengalaman saya, novel ini lebih tepat jika dikategorikan metropop, seperti seri Empat Musim-nya Ilana Tan.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa sang penulis pernah meraih pemenang unggulan dalam Sayembara Novel DKJ dan banyak prestasi lainnya. Salah satu bukunya yang sudah terbit, Kei, pun cukup populer. Oleh karena itu, tak salah, jika pembaca memasang ekspektasi tinggi ketika memboyong buku ini dari rak toko buku. Dari blog penulis, saya membaca bahwa menulis sebuah novel berlatar luar negeri adalah salah satu target yang ingin ia capai sebelum usia 30 tahun. Dan terwujudlah novel ini. Saya mengapresiasi usaha penulis untuk memenuhi targetnya sendiri. Di sisi lain, ini juga membuat saya curiga: jangan-jangan karena target itu, penulis terburu-buru merampungkan novel ini hingga terasa tidak matang. Seorang Erni Aladjai pasti bisa bikin novel ini jauh lebih bagus.
Novel ini unggul dalam sisi deskripsi latar tempat. Meski penulis tidak pernah menyelipkan deskripsi tentang tempat-tempat terkenal, objek wisata, bahkan taman sekalipun, ajaibnya, hawa gigil kota Sapporo terasa menggigit kulit saat saya membacanya. Latar tempat tergambar dengan bagus berkat terasa nyatanya manusia-manusia Jepang yang diciptakan penulis, juga berkat nuansa budaya yang kental. Masakan Jepang, kedai ramen dan filosofinya, juga sosok Nenek Osano yang tipikal pekerja keras Jepang.
Di awal, penulis fokus pada deskripsi dan pengembangan tokoh, yang ditulis dengan detail dan beralur lambat. Satu bab dihabiskan untuk deskripsi hubungan Mae-Kakek Yoshinaga. Satu bab berikutnya disajikan untuk deskripsi perkenalan Mae-Nenek Osano. Di bab-bab ini, tokoh Kakek Yoshinaga, Nenek Nagisa dan putranya yang cacat seolah cuma jadi stiker “Jagalah Kebersihan” di toilet umum terminal Terboyo, yang ada tapi tidak pernah jadi signifikan karena tidak diperhatikan. Mungkin tokoh Kakek Yoshinaga cukup berperan untuk plot selanjutnya, tapi Nenek Nagisa dan putranya itu mending dihapus saja. Dua bab berikutnya dihabiskan untuk tokoh Ken.
Mulai bab 5 sampai akhir, penulis berubah fokus. Kali ini, plot dan konflik lebih diutamakan. Tokoh kucing piaraan Mae, Miu, muncul untuk memberi kesempatan agar Mae dan Ken dapat bertemu secara langsung untuk pertama kalinya. Setelah itu, tokoh kucing ini tidak signifikan lagi. Tokoh Mae juga nyaris cuma jadi pajangan yang rela disingkirkan demi pengembangan konflik Ken seputar pembunuh ibunya. Mungkin karena itulah, novel ini berjudul Dari Kirara untuk Seekor Gagak, seolah menggambarkan bahwa Mae rela cuma jadi tempelan agar Ken bersinar. (Tapi gimana mau bersinar, pakaiannya hitam-hitam melulu?)
Penulis menampilkan sifat-sifat kontradiktif pada karakter utamanya. Mae, awalnya digambarkan sebagai gadis yang lembut dan tulus. Ia rela bekerja tanpa dibayar. Membawakan ramen untuk Ken, meski malah diusir dengan kasar. Di titik itu, muncullah sifat lain Mae, yang sempat bikin saya kaget dan jadi ilfil. Gadis itu ternyata suka marah-marah dan mengumpat. Coba hitung, berapa kali dia meneriaki Ken “bajingan”. Selain itu, Mae pintar tapi lugu (atau bodoh, atau tidak logis?). Semua kesan inosen yang awalnya dimunculkan penulis jadi sia-sia, dan saya merasa tertipu. Tapi, saya suka bagian di mana penulis mengeksplorasi hal-hal kecil seputar kebiasaan Mae menulis jika sedang kalut. Seperti ketika ia menuliskan testimoni sebagai usaha mempromosikan kedai ramen.

Dari awal, Ken memang sosok yang dingin, kasar, dan suka kekerasan, tapi cerdas dan berbakat. Di usianya yang sudah tidak remaja lagi, anehnya, ia kekanakan. Ini pasti akibat masa lalu yang kelam dan kebiasaannya hidup soliter. Oleh karena itu, ketika sekalinya melihat cewek, kepalanya dipenuhi pikiran kotor. Sekalinya jatuh cinta, ia jadi posesif dan gemar melakukan tindak kekerasan. Penulis benar-benar berhasil menghidupkan sosok Ken yang bikin saya muak. Ini lelaki macam apa! Dan bisa-bisanya, Mae jatuh cinta (salah satu kebodohan Mae)! Hubungan mereka berdua sama sekali tidak menimbulkan simpati saya.
Siklus hubungan Mae-Ken.
Alur yang dibangun penulis terburu-buru, tersendat, dan terkadang tiba-tiba meloncat. Saya tidak bisa mengikutinya dengan lancar dan nyaman. Ingat perumpamaan yang pernah saya gunakan ketika mengulas Senyum Pertama di Pagi Airin? Novel ini juga seperti koper yang penuh sesak. Penulis ingin menjejalkan segala konflik rumitnya hanya dalam 192 halaman. Sebenarnya, konflik masa lalu Shibata-Joben-Kirei-Koto itu menggugah rasa ingin tahu saya. Akan lebih menarik jika dikisahkan bukan dalam bentuk dialog Joben-Ken, melainkan dengan dibikin bagian tersendiri berupa adegan flashback sehingga lebih dieksplorasi. Juga tentang Jo, kakak Mae. Saya penasaran, seperti apa sebenarnya sosok kakak yang hanya tampil secara langsung lewat telepon ini? Hmm, seandainya penulis memberi porsi tersendiri untuk menceritakan Jo....
Bicara tentang gaya penulisan, saya mengapresiasi kedalaman deskripsi latar dan tokoh. Tapi, penulis sering menggunakan kalimat tidak efektif. Selain itu, beberapa metafora yang digunakan terasa aneh, alih-alih kreatif, sehingga maknanya tidak mengena ke saya. Ini beberapa contohnya.
1.    “Mae mencoba akrab, namun yang terjadi gayanya kaku dan agak norak. Di ambang pintu, Ken menatapnya dengan dingin. Membuat Mae merasa wajahnya seperti sampul sebuah film Malaysia: superhero berpeci.” (hal. 67)
·      Kalimat pertama kurang mengena. Mungkin lebih baik jika: namun gayanya malah jadi kaku dan agak norak.
·      Saya tidak bisa menangkap kaitan antara superhero berpeci dan rasa malu yang Mae alami. Apalagi saya tidak tahu film itu yang seperti apa, karena tidak dijelaskan lebih lanjut lewat catatan kaki.
2.    “Tubuh jangkung Ken membuat Mae merasa seperti Timun Mas yang berhadapan dengan tiang listrik.” (hal. 66)
·      Tubuh Ken tidak cukup tinggi untuk disebut jangkung. Tingginya hanya 170 cm (seperti tertulis di halaman 115). Kecuali jika Mae benar-benar kerdil, maka 170 cm pantas disebut jangkung.
·      Setahu saya, dalam dongeng Timun Mas, tidak disebutkan bahwa gadis itu mungil. Jadi, jika membandingkan Timun Mas dengan tiang listrik, tentu saja efeknya sama dengan jika membandingkan orang biasa dengan tiang listrik. It didn’t make sense.
·      Meski itu perumpamaan, tetap saja harus logis. Timun Mas dibandingkan dengan Buta Ijo akan jauh lebih logis dan mengena daripada jika dibandingkan dengan tiang listrik.

Ada juga beberapa adegan tidak logis, baik itu akibat sikap ketidaklogisan Mae, maupun memang adegannya yang terasa tidak semestinya.
1.   Setelah Mae tahu bahwa Ken adalah pembunuh, ia tetap tidak menganggap serius ancaman Ken terhadapnya. “Jangan pernah mengkhianatiku, kalau kau tak ingin aku membunuhmu!” (hal. 104)
2.   Ken berjanji akan menemui Mae tengah malam, tapi Mae sudah bersiap sejak makan malam. Bahkan ia memasakkan makan malam, lalu gelisah karena Ken tak kunjung datang, dan marah-marah begitu Ken datang. HALOOOOO??!! Mae, kamu nggak denger kalau Ken bilang akan datang tengah malam?
3.   Adegan perpisahan Mae-Ken sebelum Ken dibawa polisi, yang berlagak romantis tapi terkesan berlebihan dan sebaiknya dipotong saja.
“Aku pikir drama Korea ini sudah cukup!” – Petugas Polisi (hal. 168)
Bagian akhir kurang memuaskan. Saya kesal, karena menurut saya penyelesaiannya sangat tidak adil untuk Joben maupun Ken. Namun, saya memperoleh beberapa nilai moral. Jangan sok jadi pembunuh hanya karena emosi. Jangan berpacaran dengan lelaki yang suka kekerasan. Saya rasa, bintang 2 cukup untuk novel ini .




0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets