Penulis : Koko
Ferdie
Tebal : 220
halaman
Penerbit/cetakan : PING!!!/Cetakan I, 2014
ISBN : 978-602-255-640-4
Harga : Rp 38.000,00
Genre : Teenlit, romance
Rain,
bukanlah jenis gadis supel, tidak seperti sahabatnya Nadia. Ia adalah jenis
orang yang tidak akan bercerita tentang dirinya sendiri secara panjang-lebar
pada orang yang baru dikenalnya. Tapi, suatu saat, tanpa ia duga, seorang cowok
membuatnya menceritakan mengapa namanya Rain. Awan, teman sekelasnya itu, meski
baru dikenalnya, tapi ia merasa seperti sudah mengenalnya jauh sebelumnya.
Pernahkah kau merasakan hal semacam ini juga? Saat di mana entah bagaimana, kau
merasa klop dengan seseorang yang baru kaukenal. Kau seolah bisa melihat bahwa
nantinya hubunganmu dengannya akan makin dekat.
***
Kisah
dibuka dengan latar kota Berlin. Kala itu, Rain sedang berlibur di rumah
Omanya. Sendirian. Setelah mamanya meninggal, papanya berubah menjadi teramat
sibuk dan tak punya waktu untuknya. Apalagi kehadiran seorang mama tiri, yang
juga tak punya waktu untuknya. Seperti Omanya, sesungguhnya Rain juga kesepian.
Maka ia berubah menjadi anak pendiam. Beruntung, saat masuk SMA, ia bertemu
dengan Nadia, gadis supel dan cerewet. Sifatnya itu melengkapi sifat pendiam
Rain. Lantas muncul Awan dalam persahabatan itu. Rain pertama kali bertemu Awan
saat menerima hukuman dari panitia MOS. Lucunya, Rain dan Awan ternyata
bertetangga, dan mereka baru tahu setelah mereka kenal di sekolah. Semenjak
itu, Awan selalu menjemput Rain untuk pergi ke sekolah bersama-sama.
Awan,
adalah anak konglomerat yang merasa hidupnya terkungkung oleh para bodyguard.
Ia mengasuh sebuah taman baca untuk anak jalanan, kegiatan yang sangat dilarang
oleh mamanya. Dan sebenarnya, ia punya perasaan lebih pada Rain, lebih daripada
sekadar sahabat.
Nadia,
gadis cerewet itu sesungguhnya juga menyimpan sesuatu. Ketika ditembak oleh
Evan, sahabat Awan, ia tahu seharusnya ia menolaknya. Bukannya malah
menerimanya dan menjalani hubungan itu dengan tidak tulus. Mengapa? Karena ia
tahu siapa yang dicintainya. Orang yang sama sekali tak menganggapnya lebih
daripada sahabat.
Samudera,
alias Seam, hidupnya seakan adalah sebatang magnet yang terus ditempeli oleh Pric,
gadis centil, manja, dan angkuh. Seakan belum cukup menderita ia, yang
ditinggal pacarnya pergi ke luar negeri dan patah hati. Ia belum bisa
sepenuhnya move on, sebelum kenal Rain.
***
Mungkin,
sekarang masalah cinta segitiga udah basi. Gimana kalau cinta yang grafiknya
macam flowchart algoritma? Ada start, tapi bagian end saya rahasiakan. Hehehe.
Setelah
memandangi flowchart tersebut,
mungkin kau akan merasa kasihan pada Evan, Nadia, dan Awan. Kalau Pric, sih,
nggak perlu dikasihani, karena di cerita, ia memang berperan jadi antagonis
yang menyebalkan.
Pertama
lihat sampul depannya dan baca blurb,
mungkin kau teringat kisah karangan Winna Efendi, Remember When. Tokoh Rain yang pendiam mengingatkan akan tokoh Freya, dan tokoh Nadia yang supel dan
ceria mengingatkan akan tokoh Gia.
Lalu, persahabatan empat orang itu ternodai oleh cinta. Dan memang harus ada
yang tersakiti. Tokoh-tokoh yang diciptakan penulis kurang memiliki karakter
yang kuat. Mari kita ulas satu-persatu.
Tokoh
Rain, hendak diciptakan sebagai sosok yang pendiam. Tapi, menurut saya, dia
kurang pendiam. Atau mungkin karena memang dia aslinya nggak pendiam? Ia juga tokoh
yang plin-plan. Gampang suka sama cowok pada pandangan pertama. Mungkin karena
memang cowok-cowok itu terlalu memesona. Hehehe.
“Pandangannya sedikit teralihkan pada cowok bermata sipit yang menghalau suara itu untuk tak dilanjutkan. Mendadak, hati Rain bergetar melihatnya.” (hal. 36)
Oke,
awalnya saya mengira Rain akan jatuh cinta pada Awan. Tapi, setelah membaca
kembali blurb novel, kok Rain sama
Seam? Berarti asumsi terlalu-awal saya salah.
“Rain tak tahu, tiap kali melihat Samudra, dadanya berdegup tak keruan.” (hal. 89)
Nah,
setelah “bergetar melihat Awan”, kini Rain juga deg-degan tiap kali melihat
Samudra. Aduh, Rain memang sedemikan polosnya (dan menyebalkan karena tidak
sadar juga kalau Awan suka sama dia). Mungkin memang karena usianya masih
sangat muda, sikapnya terlihat sangat kekanak-kanakkan jika berkaitan dengan
papa dan mama tirinya. Meski begitu, dari ucapan motivasinya pada Awan,
akhirnya Rain menyadari bahwa ia juga harus mencoba menerima mama tirinya.
“Benar. Nggak ada Mama yang seratus persen jahat di dunia ini.” (hal. 175)
Kemudian,
tokoh Nadia, adalah salah satu yang tersakiti. Tapi, saya kagum dengannya. Ia
tetap bisa menjaga persahabatannya dengan Rain, meski ia tahu bahwa orang yang
dicintainya malah mencintai Rain. Ia juga dengan besar hati menerima saran Rain
untuk mengungkapkan perasaan pada Awan. Setelah itu, Nadia memang menjauh. Ia
butuh waktu untuk menata kembali perasaannya. Tapi, tak lama, Nadia sudah
kembali seperti dia yang dulu. Saya salut padanya. Mungkin di antara mereka,
Nadia adalah yang paling dewasa.
Mari
beralih ke tokoh Awan. Sepanjang hidupnya, ia selalu dibanding-bandingkan. Oleh
mamanya, selalu dibandingkan dengan kakaknya yang tak tertandingi. Mungkin karena
itulah, ia jadi terbiasa membandingkan diri dengan orang lain. Dengan Seam, ia
juga merasa kalah, terlebih setelah ia kalah cepat menembak Rain. Tapi, jiwa
sosial Awan sangat bagus, dengan merintis taman baca buat anak jalanan itu.
Bahkan, sampai ia harus melawan mamanya sendiri, yang berakhir dengan diseret
oleh para bodyguard.
Samudra.
Ia tokoh yang berjuang keras untuk mencapai mimpinya. Meski hidupnya juga tak
mudah, ditinggal pergi papanya yang kemudian meninggal. Ia tetap bersemangat,
terlebih karena keberadaan Yuna, adiknya, selalu membuat nuansa ceria, ditambah lagi dengan kehadiran Rain. Ia tetap
ngotot ikut pertandingan futsal, padahal ia sedang sakit. Akhirnya, ia memang
berhasil menciptakan satu gol, yang ia persembahkan untuk almarhum papanya.
Secara
keseuluruhan, alur yang dibangun penulis mengalir lancar dan mudah diikuti. Beberapa
kesalahan penulisan juga tidak terlalu mengurangi kenyamanan membaca.
(Misalnya, mikrofon ditulis mike,
yang seharusnya mic). Dengan
penggunaan sudut pandang orang ketiga terbatas, yang berganti-ganti antara
sudut pandang Rain, Awan, Samudra, dan Nadia, pembaca dapat memahami cerita
dengan lebih mudah dan lengkap. Tapi, saya bertanya-tanya, mengapa bagian Nadia
tidak proporsional dengan yang lain? Saya ingin mengetahui lebih banyak tentang
kehidupan pribadi Nadia sebelumnya, yang tidak diceritakan sebagaimana penulis
menceritakan tentang ketiga tokoh lainnya.
Saya
percaya, bagian klimaks akan lebih seru jika masalah yang disajikan penulis
tidak klise seperti itu. Namun, saya cukup puas dengan solusi
permasalahan di bagian ending. Oh
iya, penggunaan lirik-lirik lagu yang diselipkan penulis juga mendukung
terbangunnya suasana cerita. Secara keseluruhan, novel teenlit ini cukup
menghibur. Cocok untuk pembaca remaja, karena dunia yang dibangun penulis
sangat umum dialami oleh para remaja di kehidupan nyata.
(Tapi, itu tidak akan sederhana jika sahabat itu menganggapmu lebih dari sahabat. Dan sahabatmu yang lain mencintai sahabatmu itu.) |
(Menurut saya, nggak selalu butuh hati yang baru....) |
Keren reviewnya.
ReplyDeleteDetail.
Makasih sudah meriview MR ya. ^_^
This comment has been removed by the author.
DeleteTerima kasih, Bang, saya senang penulisnya sudah baca resensi saya :)
Delete