30 June 2014

[RESENSI "SERUAK"] The Less You Know, The More Interesting It Is




Judul Buku                    : Seruak
Penulis                          : Vinca Callista
Tebal                             : 434 halaman
Penerbit/cetakan           : Grasindo/Cetakan pertama, 2014
ISBN                             : 978-602-251-428-2
Harga                            : Rp 65.000,00

A Psychothriller Novel” Label Truly Works on Me

Alasan utama saya membeli buku ini adalah keterangan di bawah judul: "a psychothriller novel". Setelah sekian eksemplar novel drama-roman yang saya baca (sebagian karena tuntutan pekerjaan), saya merindukan membaca novel thriller atau misteri. Kebetulan juga, saya mau KKN (Kuliah Kerja Nyata), sehingga membaca novel yang berkisah tentang petualangan KKN sebelas orang mahasiswa Universitas Palagan ini mungkin akan memberikan gambaran bagaimana nanti kelak ketika saya sendiri menjalani KKN (saya berdoa agar tidak ada peristiwa-peristiwa maut seperti yang terjadi di novel ini. Hehehe).

Bonie, tokoh utama novel ini, bersama sepuluh orang
lainnya, awalnya akan KKN ke Desa Suteramega. Adalah Arbil, seorang aktor muda yang sedang naik daun, juga tergabung dalam kelompok itu. Namun, karena suatu alasan, lokasi KKN mereka dipindahkan ke Desa Angsawengi. Berbagai pribadi mahasiswa bercampur jadi satu di sini, dengan tujuan pribadi masing-masing dan juga trauma masa lalu yang membayangi. Bonie, adalah salah satu yang memiliki masa lalu kelam, hingga membuatnya menjadi pribadi yang pendiam, pengecut, dan kaku. Arbil Radeagati, ingin memanfaatkan momen KKN ini untuk melarikan diri dari dunia selebriti yang sangat dibencinya, yang merusak ketenangan jiwanya. Ternyata, Bonie memiliki hubungan di masa lalu dengan teman KKN-nya: Mada Giorafsan. Dan Mada ini pun ternyata masa lalunya terkoneksi dengan keluarga Firsta Alula, si gadis manja-angkuh nan menyebalkan, juga dengan masa lalu Arbil.

Muncul juga Nina, sosok gadis pemberani dan
keren abis, yang sanggup menaklukkan siapa saja, terutama Fabyan Sadamelik. Kecuali India Catur, yang membencinya setelah suatu peristiwa adu pendapat. Serta Kalima Faye, yang membencinya karena cemburu, cemas Nina akan merebut pacarnya, Mada. Nina yang frontal dan blak-blakan ini ternyata memiliki teman yang sealiran cara pikirnya, Jiana Aryon.

Beda pendapat, hingga menimbulkan perkelahian, adalah hal yang biasa terjadi. Namun, yang tidak biasa adalah kondisi desa tempat mereka KKN. Banyak keanehan muncul satu per
satu. Mulai dari penghuninya yang didominasi para orang tua dan anak-anak kecil (tidak ada orang muda, kecuali tim KKN itu). Munculnya sekawanan anjing besar yang seolah ingin menyerang mereka, yang dikepalai oleh seorang anak laki-laki kecil. Keberadaan seorang nenek yang membawa golok untuk memotong batang pohon, dan bisa melemparkan golok itu sekuat tenaga. Lalu ada seorang laki-laki bertutup kepala yang menakut-nakuti, berkeliaran di halaman rumah sewaan mereka dengan membawa mesin pemotong rumput yang berdesing-desing. Hingga Faye yang otaknya paling tajam seperti detektif, menemukan berbagai hal mencurigakan, yang bermuara pada satu orang di antara mereka sendiri.
***
 
Memahami Buku Ini Adalah Awal yang Tidak Mudah
 
Membaca novel ini, yang jelas akan pembaca alami adalah KEBINGUNGAN. Well, mungkin saya saja yang kebingungan. Hehe. Saya dibuat bingung dengan sudut pandang penceritaan yang aneh, tidak konsisten dan terkesan seperti kesalahan penulis. Penulis menggunakan sudut pandang "saya", tapi di waktu yang sama, ia berperan seperti "orang ketiga serba tahu". Ekspektasi saya terhadap penulis membuat saya tidak percaya kalau ini adalah kesalahannya. Pasti penulis sengaja, nih. Usut punya usut, akhirnya saya memahami bahwa penulis memang sengaja menulis seperti ini karena si tokoh "saya"-lah biang keladinya.

Adegan awal bab pertama novel ini pun sudah membikin saya bingung. Kemudian kebingungan berlanjut saat adegan berubah ke masa lalu, ke sekeping pecahan masa lalu kelam Bonie (ini masih memakai sudut pandang “saya”, jadi awalnya saya mengira kalau “saya” adalah Bonie). Apalagi didukung dengan cara penceritaan Bonie yang (kadang-kadang) cocok dengan tokoh “saya”—cara bicara menggunakan bahasa baku formal dan sangat filosofis (karena dia memang mahasiswa jurusan Filsafat Komunikasi), seperti ini misalnya.

“Mungkin saja sebelum ini kita sering berada di tempat yang sama di fakultas, tapi karena kamu tidak mau melihat saya, matamu tidak mau menangkap sosok saya. Kamu tahu, kalaupun sudah kenal, tapi kamu tidak mau melihat saya, matamu tidak akan mencari-cari saya, dan akhirnya; apa yang orang-orang selalu sebut dengan istilah ke mana saja? Enggak pernah kelihatan.” – Bonie (halaman 9)

Kata-kata Bonie ini sempat membuat saya terenyak, lalu otak saya terpengaruh. Setelah baca novel ini, setiap kali bertemu dengan orang yang saya kenal tapi sudah lama saya tidak melihatnya, saya selalu pikir-pikir dulu kalau mau bilang, “Ke mana aja kamu? Nggak pernah kelihatan.” Padahal, sebelumnya, itu sudah menjadi semacam pembuka obrolan basa-basi wajib. Hahaha.

“Menurut saya, topik pembicaraan memang harus berat, gaya diskusinya yang perlu santai. Kebiasaan menolak topik diskusi yang berat jadi salah satu alasan kenapa muncul isu mainstream bahwa mayoritas warga negara Indonesia identik dengan mementingkan hal yang sepele, dan menyepelekan hal yang penting.” – Bonie (halaman 9)

Si Bonie ini memang ajaib, bisa memengaruhi pikiran saya sedemikian rupa. Kalimat Bonie tersebut juga membuat saya terenyak (lagi). Lantas saya merenungi diri dan membela diri sendiri: saya juga sering, kok, bareng teman ngobrolin hal berat.... berat badan, maksudnya. Teman saya yang satu, berat badannya galau—alias naik-naik-naik-berhenti-turun-turun-stop, satunya lagi berat badannya turun drastis, dan ternyata terkena penyakit usus buntu. Eh, sudah, keluar dari topik *membungkuk meminta maaf*.

Belum lagi, kegemaran penulis menggunakan kalimat-kalimat panjang yang bisa mencapai dua-tiga baris per kalimat (padahal margin halamannya tidak terlalu besar, tulisannya kecil-kecil, WAH!). Sering, saya bingung dengan maksud kalimat itu, karena yang saya tangkap beda dengan maksud penulis. Eh, bahkan ada yang satu paragraf satu kalimat!

“Arbil pernah beberapa kali menonton acara musik yang dipandu Jiana di Celopar Channel dan samar-samar ingat Jiana pernah mengajaknya berkenalan di kampus saat mereka masih mahasiswa baru, juga teringat teman-teman pria di kelasnya yang suka membicarakan celana dalam Jiana yang tercetak pada rok mini ketat yang dipakainya atau menjadikan bra hitam Jiana yang tampak di balik blus putih transparannya sebagai bahan pembahasan yang saat itu jauh lebih menarik daripada materi kuliah Metode Penelitian Kuantitatif.” (halaman 10)

Kalau saya yang jadi penulisnya, saya akan memecah kalimat itu jadi tiga kalimat. Saya akan sisipkan “titik” setelah frasa “mahasiswa baru” dan menghilangkan kata “atau” setelah ”yang dipakainya”, menggantinya dengan “titik”. Eh, tapi, penulisnya Kak Vinca, bukan saya. Hehe.

Awal yang Tidak Mudah Terlupakan, Kini Malah Ketagihan

Perlahan, (meskipun kadang masih bingung terhadap maksud kalimat) saya memakluminya—bahkan menyukainya! Penulis mampu menuliskan hal-hal tentang psikologi, tentang nilai-nilai kehidupan, lewat kalimat yang panjang sarat pengetahuan dan berbobot. Tapi, tetap dalam konteks novel. Hingga saya merenungi diri sendiri sembari membaca, "Apakah saya juga manusia seperti itu?" Saya setuju dengan paradigma Nina tentang kehidupan. Memang, ia frontal dan tak seperti gadis kebanyakan, tapi justru itulah yang membuat saya menyukainya. Pribadi Nina yang mencintai alam juga mengingatkan saya akan tokoh Zarah dalam novel Partikel karya Dee.

"Capek, jika harus memenuhi semua keinginan orang-orang demi kepuasan nafsu estetika mereka. Memangnya saya mikirin selera orang lain waktu pilih baju yang saya pakai..." (hal.2)

Saya setuju sekali, nih. Setiap orang berhak punya gaya berpakaiannya sendiri, dong. Kalau saya suka pakai hot pants ke mana-mana, ya, situ tidak berhak menghakimi saya. Pakai hot pants itu nyaman, sih, apalagi di negara tropis nan panas seperti Indonesia ini. Hohoho.

"Sebuah masalah enggak akan jadi masalah kalau kita enggak mempermasalahkannya." - Nina (hal. 287)


Juga filosofi tentang
"dunia ini tidak sempit" (halaman 169-170), tentang "orang-orang yang suka sembarangan memberi label untuk orang lain" (halaman 182), tentang bumi (halaman 234), tentang perkara bahwa sebenarnya tidak ada "tokoh jahat dan tidak"yang ada hanyalah "setuju atau enggak setuju" dengan seseorang (halaman 428). Penulis selalu menjelaskan secara filosofis dan psikologis kondisi mental tokoh-tokohnya sebagai akibat dari lingkungan sekitar dan pengalaman masa kecil.

Tenang saja, ini bukan novel "murni" filsafat seperti "Dunia Sophie" karya Jostein Gaarder.
Malah, penulis bahkan menunjukkan kehumorisannya yang kebanyakan ditampilkan lewat tokoh Fabyan, yang suka memanggil semua temannya dengan sebutan “Boy”, dan suka mengumpat “hanjing!!”. Juga tingkah polah para anak muda ini terasa sangat riil. Dan, nama-nama tokoh yang "nyeleneh aneh-aneh" itu juga cukup menarik mata saya lama-lama.

“I-ih, Fab! Jangan dong.... nanti yang ngelindungin Lula siapaaaa?”
“Tuhan!” sembur Fabyan. (halaman 318)


Ada hal-hal kecil yang terkesan "lebay" awalnya, tapi lama-lama saya bisa menerimanya, karena hal-hal kecil itu mampu memengaruhi kondisi mental para mahasiswa tersebut.
Yah, namanya saja psychothriller, jadilah cuma melihat orang bertudung kepala sedang membawa mesin pemotong rumput yang sedang menyala pun mampu membuat Arbil ketakutan. Beradu pandang dengan seorang gadis sinden pun mampu membuat Faye gemetaran karena aura si gadis itu sangat kuat. Dibentak Arbil sekali saja (karena masalah sepele) mampu membuat Chamae Trileon menangis hingga terbawa ke alam bawah sadar.

Misteri yang terkuak selapis demi selapis membuat saya tidak bisa tenang.
Penulis dengan lihai menguak fakta sedikit demi sedikit, hanya seperlunya saja, sehingga pembaca mendapat petunjuk sekaligus tambah penasaran.

“The less you know, the more interesting I am.” – Nina (halaman 303)

Saya selalu tidak sabar melanjutkan membaca (ketika saya harus belajar untuk UAS juga—abaikan ujian! Haha) dan terngiang-ngiang tiap adegan dalam cerita. Inilah akibat gaya bercerita penulis yang visual dengan deskripsi tempat yang bagus. Bahkan, saya melonjak puas ketika berhasil menguak misteri yang ditawarkan oleh penulis. Puas sekali rasanya mengetahui apa maksud penulis.

Namun, sayang, adegan-adegan di akhir novel ini terasa dipaksakan. Mendadak ada tsunami, lah. Kejadian-kejadian tragis yang menurut saya agak nggak logis, lah.
Ada yang kecemplung kolam ikan dan mati. Yang menurut saya paling tidak logis adalah kejadian matinya korban kelima. Tapi, saya puas dengan terkuaknya misteri-misteri tersebut (kebingungan saya terbayar lunas!), meskipun ending-nya agak absurd. Hehe.
Yang jelas, saya sangat menyukai buku ini!

"Siapa dirimu adalah apa yang temanmu ceritakan tentangmu kepada temannya." (hal. 31)

2 comments:

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets