26 November 2014

[Resensi SEPARUH KAKU] Keluarga dalam Gerbong Tiga



Judul Buku              : Separuh Kaku
Penulis                     : Setiyo Bardono
Tebal                        : 248 halaman
Penerbit/cetakan      : Senja/Cetakan I, 2014
ISBN                        : 978-602-7968-97-4
Harga                       : Rp 38.000,00

Separuh Kaku, Bukan Separuh Aku



Sampul depan yang didominasi gambar tampak depan kereta berwarna biru ini sudah mentransmisikan sinyal-sinyal waspada “awas ada kereta!” alias “awas ketawa!”. Awas, salah baca Separuh Kaku jadi Separuh Aku (FYI, itu yang terjadi pada saya). Mungkin kau akan berpikir, jangan-jangan cerita di dalamnya berkaitan dengan Noah? Hmm, mungkin. Setelah itu, bacalah blurb di sampul belakangnya.
 
 
Mungkin kau akan bergumam, “Ih, masa ada nama ‘Keretawati’? Hhh, jangan-jangan ini cerita alay!” Atau mungkin kau sudah menahan tawa?

STOP! TUNGGU DULU. Jangan menilai buku hanya dari blurb-nya, oke? Mari kita singkap sampul buku ini....

Dan, benar. Ada Noah muncul di sini, dalam versi band OnAh, yang bervokaliskan Akil.
“Dengar laraku,
lama berdiri membuatku ngilu.
Karena separuh kaku,
kakiku.” (halaman 7)

Lagu parodi tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak lagu-lagu plesetan lainnya, yang menggema di gerbong KRL. Lagu itu seolah menyindir Panji yang kakinya tengah separuh kaku akibat berdesakan di perut kereta, dalam perjalanan ke sekolah. Tragedi ingus pagi itu membawanya berkenalan dengan seorang gadis cantik bernama Wati. Panji yang terpesona lupa bertanya-tanya tentang nomor telepon atau akun Twitter-nya. Dari sebuah kejadian tak disengaja, Panji berhasil mendapatkan nomor telepon Wati. Nggak seru, dong, kalau cuma segitu perjuangan Panji. Nomor telepon Wati itu lantas menjelma tragedi lagi. Tragedi Salah Wati. Kisah cintanya kali itu menggantung. Wati, alias Eka Naomi Keretawati, ingin Panji lulus SMA dulu, barulah ia akan menjawab perasaan cowok itu.

Berikutnya,  Panji berkenalan dengan cewek cantik lain di gerbong kereta. Namanya Eva Peron. Kisah cinta mereka berjalan unik, di atas kereta. Namun, harus kandas juga ditelan kegelapan gerbong. (Kegelapan gerbong dalam arti harfiah.) Kegalauan akibat putus cinta membuat Panji naik atap kereta. Apakah ia akan baik-baik saja? Kalau kesetrum gimana?

Hati Panji sempat akan berbelok ke Mbak Fitri, rekan kerja di toko komputer, yang parasnya mirip Ussy tapi KW 3. Tapi, setelah kejadian tragis yang menimpa Desta, temannya yang adalah kaum ataper (penghuni tetap atap kereta), sebuah janji membawa Panji  bertemu gadis lain. Akankah kisah cintanya kali ini berbeda? Yah, meski Panji teteup gitu-gitu aja, sih, naik KRL ke mana-mana…

Kisah Para TRAINer

Mungkin saya yang kuper, tapi saya baru tahu bahwa Mas Setiyo Bardono ini memang aktif menulis seputar pengalamannya naik KRL. Mulai dari puisi (antologinya udah bejibun), cerpen, hingga novel. Novel ini sendiri ternyata kelanjutan dari novel Koin Cinta terbitan Divapress tahun 2013, yang menceritakan kisah cinta tragis Panji saat masih di Kampung Telaga, Depok. Tapi, tenang saja, meskipun belum baca Koin Cinta, Separuh Kaku ini bisa langsung dinikmati tanpa harus banyak basa-basi.

Tema yang diangkat penulis sebenarnya tentang cinta. Cinta terhadap jasa transportasi KRL, meski awalnya Panji menggunakan itu karena ia pindah rumah. Jarak yang harus ditempuh untuk ke sekolah membuatnya bau badan jika naik sepeda (lantaran keringatnya bercucuran), dan kurang efisien jika harus naik angkot. Akhirnya, ia memilih KRL. Percintaan yang gagal dengan para gadis di atas kereta maupun di Kampung Telaga pun berakhir tragis.

Hayo, gimana bisa cerita naik KRL dijadikan novel yang begini unik dan humoris? Alur cerita yang dibangun memang sederhana. Isinya memang seputar Panji naik KRL, dari hari ke hari. Mulai dari saat Panji masih SMA, sampai sudah lulus dan kerja dan punya keluarga baru di gerbong tiga, sampai ia enggan masuk gerbong tiga lagi. Juga tentang pekerjaannya menjadi karyawan toko komputer. Meski terdengar membosankan, tapi nggak sama sekali. How can? Let me tell you.

1.       Cara penulis menceritakan dari sudut pandang ketiga terbatas Panji dikemas dengan penuh humor. Nggak jarang, penulis menggunakan Panji untuk berpikir hal-hal yang nggak pernah kita pikirkan sebelumnya, meski jayus. Berikut ini contohnya.
“Seharusnya kalau ingin tokonya terkenal dan familier, beri saja nama: TOKO SEBELAH.” (halaman 89)
“Coba Eva lihat puncak Monas itu. Malam ini terlihat lebih indah. Pasti karena ada kamu di sisiku.”
“Ah, Panji bisa aja.”
“Kok bisa aja? Katanya kereta aja, kan kita naik kereta, bukan naik bis.” (halaman 141)
  • Analisis Panji tentang berbagai jenis pasangan dalam kereta (halaman 152)
  • Bagaimana bunyi derak kereta menurut interpretasi berbagai orang dalam situasi tertentu (halaman 121-124)
  • Dongeng tentang batu-batu di sepanjang rel kereta (halaman 182), dongeng asal-usul kata Cilebut (halaman 16-18)
  • Pemikiran Panji seputar salah kaprah penggunaan istilah “rahasia umum” (halaman 204), kebenaran istilah siang bolong (halaman 220)
2.       Banyak singkatan dan akronim unik: Chibi (Cilebut Indah), Ascil (Asli Cilebut), 3G (Gerbong Gelap Gulita), GPS (Gerbong Pengap Sekali), dan banyak lagi.
3.       Banyak plesetan, mulai dari lagu hingga pepatah.

      Juga plesetan nama-nama klub sepak bola: TRAINHAM HOTSEPUR, REAL (Remaja Asli) Cilebut, BARCA FC (Barisan Remaja Cilebut Asri Football Club).
4.       Jangan dikira novel ini isinya cuma humor dan kajayusan Panji. Ada juga puisi-puisi bikinan Panji yang terinspirasi oleh kehidupan di sekitarnya, mulai dari si ular besi kesayangan, hingga pria pembawa kresek di dalam gerbong tiga. Patut diacungi jempol, nih. Penulis bisa menjadi sedemikian humoris dan mendadak sastrawi dalam satu novel yang sama.
5.       Penulis menyisipkan pengetahuan-pengetahuan baru (baru bagi saya, huehehe). Saya baru tahu kalau istilah “gerbong” itu salah penggunaannya. Saya juga baru tahu ada setan budeg alias Jurig Bonge (halaman 163-165) dan bahasan tentang undang-undang seputar perkeretaapian (halaman 192).
Tokoh jagoan penulis, Panji, memiliki karakter yang kuat. Meski belum lanjut kuliah, bukan berarti ia nggak cerdas. Buktinya, ia memikirkan hal-hal yang jarang terpikirkan oleh orang lain (seperti saya sebutkan di poin 1 di atas). Tokoh Panji juga kreatif. Kreatif ngegombal.
“Cintaku padamu sebesar kuku. Walaupun tiap hari dipotong, kuku akan selalu tumbuh kembali. Begitu pula cintaku.” (halaman 147).
Kreatif ngedeketin cewek, dan seabrek lainnya.
Tapi, kejayusan juga ada batasnya. Kadang, jayusnya nggak penting banget (halaman 159), asTRAINologi itu juga (167-174), yang memakan cukup banyak halaman dan tidak terlalu berperan dalam pengembangan cerita, sehingga sebaiknya bagian ini bisa dihilangkan saja.

Memang dikemas dengan penuh canda tawa, tapi novel ini juga membawa pesan moral: jangan jadi kaum ataper. Bahaya, nanti bisa jadi “Desta” berikutnya. Nilai moral lain juga disajikan penulis lewat gambaran kehidupan sosial rakyat biasa penumpang KRL ekonomi. Betapa keberadaan KRL itu sangat vital bagi mereka. Betapa bahagia bisa jadi sesederhana bersenda-gurau di dalam gerbong kereta. Betapa sang ular besi itu gagah sekali, meski tak bercelana.


Karena berhasil bikin saya ngakak sepanjang rel kereta, saya kasih buku ini 3 bintang ^^. Kalau sedang suntuk akibat tugas kuliah yang menumpuk, yang tak terhingga seperti kasih ibu, mending baca ini dulu. Ngerjain tugasnya ntar aja. Huehehehe. Salam roker (rombongan penumpang kereta)!


2 comments:

  1. kira-kira kapan ya bukunya ada di Gramedia?

    ReplyDelete
  2. terima kasih sudah mereview novel. salam roker

    ReplyDelete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets