Buku : The Royal Bread
Penulis : Eko
Editor : Itanov
Tebal : 188
halaman
Penerbit/cetakan : PING!!!/Cetakan I, 2014
ISBN : 978-602-255-638-1
Harga : Rp 35.000,00
Harga : Rp 35.000,00
Rating saya :
Anak tukang roti. Sekali membaca frasa ini, pikiran saya
melayang ke ingatan tentang drama Korea yang pernah saya tonton di Indosiar,
dulu, Baker King, Kim Tak Gu.
Lalu, kaki-kaki
memori saya terbang lagi, hinggap ke kabel ingatan tentang Peeta Mellark, anak
tukang roti di serial Hunger Games.
Anak tukang roti di novel ini juga memegang peranan penting
dalam cerita, seperti dua tokoh tersebut. Bagaimana tidak, orang dia tokoh
utamanya, hehe. Ia adalah Albert Glister, anak tukang roti yang juga atlet tim
basket sekolahnya, sebuah SMA di New York (penulis tidak menyebut merk
sekolahnya). Hidupnya sebagai seorang siswa yang tidak populer di sekolah
berlangsung biasa saja (pamor anak basket kalah telak oleh pamor anak football). Hingga seorang putri keluarga
kerajaan Inggris datang sebagai murid baru di sekolahnya, Putri Vanessa. Pin
berbentuk bunga dandelion yang tersemat selalu di pakaian sang putri menarik
perhatian Albert. Barulah, setelah mengenal sang putri, ia akhirnya tahu bahwa
pin dandelion itu punya arti penting bagi sang putri.
Awalnya, Al bersikap biasa saja berkenaan dengan kedatangan
sang putri sebagai murid baru di kelasnya (malah cenderung enggan terlibat).
Lain dengan Seth, cowok populer anggota tim football,
yang sudah mengincar Vanessa untuk dijadikan pacar berikutnya, bahkan sejak
sang putri belum tiba di sekolah itu. Masalah timbul, bukan di sekolah,
melainkan di toko roti Al.
Satu kesempatan yang mungkin dimiliki keluarga Al
adalah mengundang sang putri ke toko, agar media meliput sehingga para
pengunjung berdatangan. Namun, ini tak mudah, lantaran Vanessa telah jadian
dengan Seth, dan pasangan itu sudah seperti truk gandeng—ke mana-mana bersama.
Nyali Al tak cukup untuk menghadapi risiko dihantam Seth bila ketahuan
mendekati Vanessa. Hingga, suatu saat, kesempatan itu muncul dengan ajaib. Al,
yang tak menyiakan kesempatan itu, malah terlibat dalam suatu hubungan rumit
dengan Vanessa. Rumit, lantaran sampai melibatkan media massa dan keluarga
kerajaan. Toko roti keluarga Al akankah selamat? Dan, apakah mungkin hubungan
antara sang putri dengan anak tukang roti miskin itu berlanjut?
Pacaran dengan Putri Kerajaan? Bisa Banget!
AWAS TEENLIT!!! Novel ini adalah teenlit, yang mengusung tema seputar percintaan remaja, dengan
konflik yang cenderung ringan. Jangan berharap akan menemui konflik yang
berlebihan, karena ini memang teenlit.
Bahkan penulisnya pun masih teen.
Tema percintaan antara dua orang yang beda kasta atau
berdasarkan parameter status sosial lainnya seolah tak pernah habis
diceritakan. Banyak kisah romantis terkenal yang mengusung tema ini. Titanic, Romeo & Juliet. Sampai
drama Asia: Meteor Garden, Boys Before
Flower, The Heirs… Dan kini, The
Royal Bread pun berada pada jalur yang sama. Jika pada berbagai film dan
drama yang saya sebutkan di atas, perjuangan cinta antara dua orang beda kasta
itu sangat sulit, maka jangan berekspektasi begitu juga dengan novel ini. Tantangan
yang dihadapi tokoh Albert untuk mendekati Vanessa bisa dibilang hanyalah:
· Seth, yang bisa disingkirkan dengan mudah,
karena sang penulis sendiri telah menyingkirkan tokoh ini dengan kealpaannya di
sekolah akibat skorsing (spoiler:
salah satunya ternyata disebabkan oleh Jack, sahabat Al).
·
Media massa yang memang di mana pun, kapan pun,
selalu kejam. Pada akhirnya, rencana sederhana Vanessa dapat dengan mudah mengelabui
media massa.
Hubungan mereka berdua sangat dimudahkan oleh keluarga
Vanessa, yang meskipun berdarah-biru tidak berpikiran kolot dan kaku dalam
memandang status sosial. Ini salah satu sikap yang saya kagumi dari keluarga
Vanessa. Hmm, atau saya malah ragu—karena sikap mereka terkesan sangat ideal?
Tapi, memang bukan tidak mungkin ada keluarga bangsawan yang bersikap bijak
seperti ini.
Karakter Al sebagai anak SMA tergambar dengan sangat nyata,
mungkin ini karena sang penulis juga seumuran dengan Al ^^. Al adalah seorang
remaja yang rajin, sederhana, dan rendah hati, tapi masih labil. Ia seolah-olah
sangat enggan berurusan dengan Vanessa, tapi sesungguhnya ia hanya menipu diri
sendiri yang tidak mau terlihat tertarik pada sang putri. Kadang ia
kekanak-kanakan dan bersikap nggak jelas.
Hmm, cara berpikirnya naif, khas remaja. Saya akan naik taksi
untuk acara istimewa karena bisa sampai ke lokasi lebih cepat (daripada naik
bus umum yang harus pindah jalur, misalnya). Tapi bukan untuk alasan “pantas”
atau tidak. Hehehe. Bocah ini juga agak lebay, seperti ketika ia mendadak
pusing hanya karena melihat makanan-makanan enak nan banyak di atas meja makan
rumahnya (halaman 56). Mungkin ini saking miskin keluarganya, sehingga jarang
makan enak.
Beralih ke tokoh Jack, sahabat Al. Tokoh ini memegang peranan
penting dalam cerita, meski peran terbesarnya tersembunyi hingga akhir.
Sayangnya, karena penggunaan sudut pandang orang pertama, tokoh ini kurang
ditampilkan karakter sebenarnya, selain selalu sabar dan punya banyak akal
untuk membantu Al. Hingga, menurut saya, Al terlihat egois, karena selalu
menumpahkan masalahnya pada Jack, tapi bahkan tidak pernah tahu apa masalah
Jack.
Putri Vanessa awalnya saya kira seorang gadis yang lemah.
Setelah halaman demi halaman kau arungi, kau akan menemukan bahwa Vanessa
adalah gadis yang tegas dalam mengambil keputusan, dan cukup cerdas. Meskipun,
saya kira, tindakannya menyelamatkan toko roti Al itu agak berlebihan, lantaran
waktu itu mereka hanya baru saling tahu nama. Agak nggak masuk akal.
Oh iya, saya menemukan satu istilah asing di halaman 177 (bathopobia) yang tidak dilengkapi
keterangan artinya. Yah, saya hanya manusia biasa yang tidak selalu tahu semua arti
kata. Hehehe. Setelah menyelam di lautan Google, saya menemukan bahwa kata ini seharusnya batophobia, yang artinya "the fear of high objects or of high objects falling down". Selain itu, juga ada beberapa kesalahan penggunaan kata, seperti:
“…siap menghadapi emosional yang mungkin terjadi di dalam rumah.” (halaman 56)
Emosional kurang tepat digunakan dalam konteks tersebut, karena ia merupakan kata sifat. Mungkin lebih tepat jika suasana penuh emosi. Tapi, itu termaafkan dengan mudah, karena nggak ada typo di novel
ini. Bravo, Mbak Editor!
Tipis yang Pas
Well, ini adalah novel tertipis yang
saya baca tahun ini. Sebenarnya, saya cenderung menyukai novel yang tebal,
dengan asumsi tebal yang bagus (bukan
tebal yang ngebosenin, lho) sehingga
saya tidak lekas kehabisan nikmatnya terhanyut dalam cerita. Novel ini tipis,
seperti novel Senyum Pertama di PagiAirin, yang tebalnya sekitar 200 halaman. Meski sama-sama tipis, bedanya, The Royal Bread ini TIPIS, TAPI PAS. Konflik
yang dibangun sederhana, dengan satu konflik besar (percintaan beda kasta) dan
satu konflik pendukung (toko roti yang terpaksa ditutup). Setelah sampai di
halaman terakhir kau tidak akan mengeluh, “Yah, gitu doang? Padahal aku masih
penasaran…”
Untuk
novel setipis ini, alur cerita yang dibangun penulis berjalan dengan tempo yang
tidak terlalu cepat, tapi efisien. Maksudnya, penulis tidak membuang-buang
halaman untuk menceritakan hal yang tidak penting. Jadi, meski novel ini miskin
teka-teki (kecuali bagian pangeran
Spanyol dan rahasia Jack), kau
tidak akan terlalu bosan. Yah, apalagi gaya bahasa yang digunakan penulis
ringan (namanya aja teenlit, kan). Sayangnya,
kau mungkin akan merasa bahwa bagian akhir terasa terburu-buru. Akan lebih baik
jika rahasia Jack itu lebih dieksplorasi, atau malah ditunjukkan kejadiannya (karena terdengar seru), daripada hanya diceritakan. Tapi ini memang agak susah,
karena sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama Albert.
Saya
memberi 2 bintang untuk novel ini di Goodreads. Kenapa? Karena menurut saya,
ide cerita novel ini terlalu klise dan konfliknya pun kurang menarik ataupun
unik. Latar tempat di New York pun seolah hanya tempelan. Meskipun begitu,
budaya anak-anak sekolah Amerika Serikat yang suka berkelompok-kelompok (alias
nge-geng) dengan menguasai meja tertentu di kantin cukup tergambar dengan baik
di sini[1].
Jika kau ingin membaca novel ringan untuk hiburan, maka The Royal Bread bisa jadi salah satu pilihan ^^.
Anak tukang roti. Wih, sama, aku juga langsung keinget Peeta sama Kim Tak Gu, dulu ibu saya setia banget nonton drakor itu.. XD
ReplyDeleteBukunya tipis ya? Yeah, it's okay kalau tipis tapi emang pas. Mungkin bisa jadi bacaan yang bagus kalau pengen baca buku yang sekali lahap (dan punya waktu luangnya emang sedikit >,<). Interesting.