Judul Buku : Damn! Lebih Indah dari Cinta (Kumpulan Cerpen)
Penulis : Sari
Narulita
Tebal : 208
halaman
Penerbit/cetakan : Gramedia Pustaka Utama/Cetakan I, 2014
ISBN : 978-602-03-0733-6
Harga :
Rp 48.000,00
Setujukah dengan
kalimat di atas? Ataukah kamu masih percaya bahwa sepasang laki-laki dan
perempuan mustahil hanya bersahabat? Eh, jangan salah, cobalah main ke Fakultas
Teknik. Di sana persahabatan cowok-cewek sungguh terjadi, lho!
Tapi, Arief dan
tokoh “aku” dalam cerpen Lebih Indah
daripada Cinta memang tidak benar-benar bersahabat. Mengapa? Yah, karena
ternyata Arief menyimpan rasa yang lebih kepada tokoh “aku”, meski tokoh “aku”
hanya menganggapnya sahabat. Lebih Indah
daripada Cinta adalah salah satu dari dua cerpen yang judulnya dijadikan
judul kumcer ini. Tepat setelah membalik halaman 57, akan kamu jumpai cerpen Damn, yang juga dijadikan judul kumcer. Damn menokohkan seorang wanita yang
gemar melontarkan umpatan tersebut. Tokoh ini terikat hubungan tanpa status dengan seorang pria ganteng dan
kaya (mobilnya Maserati, damn!), tapi
lalu tak ingin melanjutkan hubungan itu.
“Lho,
kenapa? Kan perkembangannya bagus, kau tidak bertepuk sebelah tangan.” – Fira
“Justru itu.
Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi pada tahap berikutnya.” (halaman
66)
***
Ada
13 cerpen dalam buku ini, dan semuanya memiliki benang merah yang sama: CINTA.
Cinta antara sepasang pria dan wanita menjadi subtema paling banyak di cerpen
ini. Cerpen Di Balik Mega dan Lebih Indah daripada Cinta adalah
contohnya. Ada yang tentang mantan suami yang selingkuh, mantan calon gebetan
yang entah di mana, cinta segitiga.... Seolah saya disodori sebuah layar dengan
saluran yang tak henti menampilkan FTV khas Indonesia.
Subtema
berikutnya adalah cinta masa lalu. Saya sebut begitu karena tiga cerpen dalam
buku ini (Kala Matahari Pudar, Nostalgia
Atribut, dan Cinta Kembali Bersemi)
menceritakan tentang tokoh utama yang belum bisa move on dari pekerjaan lamanya yang menghadirkan banyak kenikmatan
hidup. Namun, dua cerpen yang terakhir saya sebutkan itu juga mengandung
subtema cinta keluarga.
Beralih
ke subtema cinta keluarga, ada cerpen Gubuk
Kecil di Tepi Sungai dan Rindu dan
Sepi di Belahan Bumi. Selain itu, bahkan ada juga subtema cinta alam yang
dipadu dengan cinta sahabat di cerpen Seikat
Kangkung Om Bob.
Bicara
tentang tokoh utama, kebanyakan adalah perempuan, yang berprofesi sebagai
artis, jurnalis, dan pekerja kantoran. Saya menduga bahwa kehidupan pribadi
penulis sebagai artis dan jurnalis membawa pengaruh besar dalam hal ini. Dari
10 cerpen bertokoh utama perempuan, hanya 3 yang menggunakan sudut pandang
penceritaan orang ketiga. Hampir semua cerpen ber-subtema cinta antara perempuan-laki-laki ini terkesan
sangat feminim.
Di antara cerpen-cerpen yang bertokoh
utama perempuan, ada dua yang diceritakan lewat sudut pandang orang ketiga
(yang lain orang pertama). Adalah Kala
Matahari Pudar yang bertokoh-utama Miranda, wanita agak gila, mantan artis
yang merasa masih artis. Penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga untuk
menceritakan kisah ini, mungkin agar dapat lebih leluasa menceritakan masa
lalunya. Jika menggunakan sudut pandang orang pertama, penulis akan kewalahan.
Apa yang dapat diceritakan orang gila tentang masa lalunya? Pasti akan banyak fakta
yang salah kaprah.
Cerpen beralur flash back, Namaku Miliknya Hatiku Milikmu..., berkisah tentang
seorang perempuan yang menjadi istri kedua dari laki-laki yang umurnya jauh di
atasnya. Cerpen ini juga menggunakan sudut pandang orang ketiga. Penulis
melakukannya mungkin agar dapat menceritakan kisah dari sudut pandang tiap
tokoh dengan lebih akurat, seperti mengapa Larasati tertarik pada Pak Bambang,
pria tua, tentara yang gagah itu. Juga, mengapa Pak Bambang bisa jatuh cinta
pada Larasati, padahal ia sudah beristri. Dan, apa yang telah dilakukan istri
Pak Bambang sehingga rumah tangga mereka menjadi dingin.
Hanya ada tiga cerpen yang tokoh utamanya
laki-laki, itu pun yang satu berbagi porsi dengan tokoh utama perempuan, dan
satunya lagi malah menceritakan tentang masalah seorang perempuan yang
ditinggal suaminya selingkuh (Sehangat
Bara Sedingin Hatinya). Hmm, berarti tetap saja, bisa dibilang tokoh
utamanya kaum hawa. Saya mengapresiasi konsistensi penulis untuk selalu
mengangkat wanita sebagai “ratu” dalam tiap cerpennya. Ketika laki-laki
yang menjadi tokoh utama, maka penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Mungkin saking feminimnya, penulis belum mau mengambil tantangan menjelma
"aku" sebagai laki-laki dalam karyanya ini. Hehehe. Namun, penulis menggunakan dengan
tepat sudut pandang penceritaan sesuai dengan tujuan beliau. Saya mengapresiasi
ini.
Setting tempat yang digunakan beragam,
di dalam maupun luar negeri. Setting
waktu, ada yang menceritakan peristiwa puluhan tahun silam, ada pula yang di
masa kini. Penulis mengangkat
beragam isu sosial, seperti penggusuran rumah orang miskin, G 30 S yang
mengakibatkan seorang militer mendekam di penjara, modernisasi yang menghilangkan
lahan untuk bercocok-tanam, dan semacamnya. Namun, saya rasa, isu sosial ini
kurang menyentuh, kurang diolah secara mendalam, sehingga tak membuat hati
pembaca (saya) bergetar. Hmm,
mungkin hati saya telah membatu.
Ada dua cerpen paling berbobot dari segi
isi cerita (menurut saya, karena yang lain terasa klise, mirip cerita FTV
begitu, dan jujur saja, saya tidak suka nonton FTV), yaitu Nostalgia Atribut dan Rindu
dan Sepi di Belahan Bumi. Yang pertama, berkisah tentang seorang
mantan orang penting yang masih terbayang masa kejayaannya dulu. Tapi,
untunglah, istrinya selalu mengingatkannya dan memberinya semangat untuk move
on. Lucu, bagaimana ia diperlakukan "tidak terlalu penting" oleh
mantan bawahannya dulu. Arogansi manusia tergambar jelas di sini, yang membuat saya mengangguk-angguk (antara
mengerti dan baru menyadari, ternyata sebesar dan sengeri itu, ya, arogansi
manusia).
Yang
kedua berkisah tentang seorang perempuan yang menjalin pertemanan dengan
seorang perempuan tua asal Indonesia ketika ia berada di Amsterdam. Perempuan tua itu adalah salah satu
manusia kesepian di antara banyak penghuni kota itu yang juga tampak kesepian.
Ia ingin putrinya kembali, setelah lebih memilih tinggal dengan pacarnya dan
menelantarkan ibunya.
Betapa
mengerikannya individualisme! Padahal, tanpa ia sadari, perempuan tua itu
seharusnya bisa tak kesepian, lantaran para tetangganya sebenarnya peduli
padanya. Jadi, kesepian
hanyalah masalah persepsi dan keberanian untuk membuka diri. Kuncinya adalah
diri sendiri, karena kita bisa mengontrol diri sendiri, tapi tidak diri orang
lain. Lantas, saya bersyukur saat ini tinggal di Indonesia, yang masyarakatnya
cenderung selow, sehingga banyak
waktu untuk berinteraksi antarmanusia. Eh, tapi, sekarang sebagian porsi
interaksi itu telah beralih ke dunia berlayar-sentuh (yah, sama aja, dong!).
Maaf, saya tahu ini subjektif, tapi saya
hanya ingin membagi pemikiran ini denganmu. Ada satu cerpen yang menurut saya enggak banget karena terlalu maksa.
Adalah cerpen Sehangat Bara Sedingin
Hatinya, yang sudah saya singgung di atas. Penulis meminjam seorang inspektur
polisi bernama Aditya sebagai tokoh utama. Seiring berbaliknya halaman buku,
terungkaplah bahwa keberadaan tokoh ini untuk menguak masalah seorang tokoh
wanita. Wanita ini masih menyimpan luka di hati karena diselingkuhi, hingga ia
melakukan tindak kriminal—sengaja menyulut tiga kebakaran bangunan di daerah
itu. Bagian yang terlalu maksa,
adalah cara penulis mengorelasikan tindakan membakar bangunan itu dengan motivasi
akibat hati yang beku yang merindukan
kehangatan.
Saya mengapresiasi kemampuan
penulis dalam menghadirkan
beragam tokoh perempuan dengan berbagai latar belakang dan karakter. Apalagi
dengan sudut pandang yang sama-sama "aku", pasti tak mudah untuk
membuat para tokoh perempuan ini berbeda. Terlebih, penulis juga menjadikan cerpen bertemakan cinta dengan beragam
sentuhan, tapi tetap klasik, dengan cara yang kreatif.
Oya,
penulis gemar memakai seruan "omigod!", yang bagi saya terdengar
janggal untuk diucapkan di masa lampau (zaman dulu belum ada istilah itu, kan?
Atau...). Apalagi seruan itu diucapkan oleh perempuan yang imej-nya anggun dan
dewasa (bukan remaja alay). Huehehe.
Dan lagi, judul kumpulan cerpen ini kurang tepat: kata sambung 'dari' seharusnya
'daripada', karena bermakna perbandingan. Mungkin memang ‘pada'-nya sengaja dihilangkan demi keindahan pengucapan ^^.
Untuk kumpulan cerpen ini, saya beri dua
bintang (karena hanya dua cerpen yang memenuhi kriteria “berbobot” dilihat dari
kacamata minus lima saya, hehe).
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^