24 November 2014

[Resensi DAMN! LEBIH INDAH DARI CINTA] Berbagai Varietas Spesies CINTA



Judul Buku            : Damn! Lebih Indah dari Cinta (Kumpulan Cerpen)
Penulis                  : Sari Narulita
Tebal                     : 208 halaman
Penerbit/cetakan   : Gramedia Pustaka Utama/Cetakan I, 2014
ISBN                     : 978-602-03-0733-6
Harga                     : Rp 48.000,00

 

Setujukah dengan kalimat di atas? Ataukah kamu masih percaya bahwa sepasang laki-laki dan perempuan mustahil hanya bersahabat? Eh, jangan salah, cobalah main ke Fakultas Teknik. Di sana persahabatan cowok-cewek sungguh terjadi, lho!

Tapi, Arief dan tokoh “aku” dalam cerpen Lebih Indah daripada Cinta memang tidak benar-benar bersahabat. Mengapa? Yah, karena ternyata Arief menyimpan rasa yang lebih kepada tokoh “aku”, meski tokoh “aku” hanya menganggapnya sahabat. Lebih Indah daripada Cinta adalah salah satu dari dua cerpen yang judulnya dijadikan judul kumcer ini. Tepat setelah membalik halaman 57, akan kamu jumpai cerpen Damn, yang juga dijadikan judul kumcer. Damn menokohkan seorang wanita yang gemar melontarkan umpatan tersebut. Tokoh ini terikat hubungan tanpa status dengan seorang pria ganteng dan kaya (mobilnya Maserati, damn!), tapi lalu tak ingin melanjutkan hubungan itu.
“Lho, kenapa? Kan perkembangannya bagus, kau tidak bertepuk sebelah tangan.” – Fira
“Justru itu. Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi pada tahap berikutnya.” (halaman 66)
 
Hah, maksudnya? Makanya, baca kumcer ini, hehehe!
***

Ada 13 cerpen dalam buku ini, dan semuanya memiliki benang merah yang sama: CINTA. Cinta antara sepasang pria dan wanita menjadi subtema paling banyak di cerpen ini. Cerpen Di Balik Mega dan Lebih Indah daripada Cinta adalah contohnya. Ada yang tentang mantan suami yang selingkuh, mantan calon gebetan yang entah di mana, cinta segitiga.... Seolah saya disodori sebuah layar dengan saluran yang tak henti menampilkan FTV khas Indonesia.

Subtema berikutnya adalah cinta masa lalu. Saya sebut begitu karena tiga cerpen dalam buku ini (Kala Matahari Pudar, Nostalgia Atribut, dan Cinta Kembali Bersemi) menceritakan tentang tokoh utama yang belum bisa move on dari pekerjaan lamanya yang menghadirkan banyak kenikmatan hidup. Namun, dua cerpen yang terakhir saya sebutkan itu juga mengandung subtema cinta keluarga.
Beralih ke subtema cinta keluarga, ada cerpen Gubuk Kecil di Tepi Sungai dan Rindu dan Sepi di Belahan Bumi. Selain itu, bahkan ada juga subtema cinta alam yang dipadu dengan cinta sahabat di cerpen Seikat Kangkung Om Bob.

Bicara tentang tokoh utama, kebanyakan adalah perempuan, yang berprofesi sebagai artis, jurnalis, dan pekerja kantoran. Saya menduga bahwa kehidupan pribadi penulis sebagai artis dan jurnalis membawa pengaruh besar dalam hal ini. Dari 10 cerpen bertokoh utama perempuan, hanya 3 yang menggunakan sudut pandang penceritaan orang ketiga. Hampir semua cerpen ber-subtema cinta antara perempuan-laki-laki ini terkesan sangat feminim.  

Di antara cerpen-cerpen yang bertokoh utama perempuan, ada dua yang diceritakan lewat sudut pandang orang ketiga (yang lain orang pertama). Adalah Kala Matahari Pudar yang bertokoh-utama Miranda, wanita agak gila, mantan artis yang merasa masih artis. Penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga untuk menceritakan kisah ini, mungkin agar dapat lebih leluasa menceritakan masa lalunya. Jika menggunakan sudut pandang orang pertama, penulis akan kewalahan. Apa yang dapat diceritakan orang gila tentang masa lalunya? Pasti akan banyak fakta yang salah kaprah.

Cerpen beralur flash back, Namaku Miliknya Hatiku Milikmu..., berkisah tentang seorang perempuan yang menjadi istri kedua dari laki-laki yang umurnya jauh di atasnya. Cerpen ini juga menggunakan sudut pandang orang ketiga. Penulis melakukannya mungkin agar dapat menceritakan kisah dari sudut pandang tiap tokoh dengan lebih akurat, seperti mengapa Larasati tertarik pada Pak Bambang, pria tua, tentara yang gagah itu. Juga, mengapa Pak Bambang bisa jatuh cinta pada Larasati, padahal ia sudah beristri. Dan, apa yang telah dilakukan istri Pak Bambang sehingga rumah tangga mereka menjadi dingin.

Hanya ada tiga cerpen yang tokoh utamanya laki-laki, itu pun yang satu berbagi porsi dengan tokoh utama perempuan, dan satunya lagi malah menceritakan tentang masalah seorang perempuan yang ditinggal suaminya selingkuh (Sehangat Bara Sedingin Hatinya). Hmm, berarti tetap saja, bisa dibilang tokoh utamanya kaum hawa. Saya mengapresiasi konsistensi penulis untuk selalu mengangkat wanita sebagai “ratu” dalam tiap cerpennya. Ketika laki-laki yang menjadi tokoh utama, maka penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Mungkin saking feminimnya, penulis belum mau mengambil tantangan menjelma "aku" sebagai laki-laki dalam karyanya ini. Hehehe. Namun, penulis menggunakan dengan tepat sudut pandang penceritaan sesuai dengan tujuan beliau. Saya mengapresiasi ini.

Setting tempat yang digunakan beragam, di dalam maupun luar negeri. Setting waktu, ada yang menceritakan peristiwa puluhan tahun silam, ada pula yang di masa kini. Penulis mengangkat beragam isu sosial, seperti penggusuran rumah orang miskin, G 30 S yang mengakibatkan seorang militer mendekam di penjara, modernisasi yang menghilangkan lahan untuk bercocok-tanam, dan semacamnya. Namun, saya rasa, isu sosial ini kurang menyentuh, kurang diolah secara mendalam, sehingga tak membuat hati pembaca (saya) bergetar. Hmm, mungkin hati saya telah membatu. 

Ada dua cerpen paling berbobot dari segi isi cerita (menurut saya, karena yang lain terasa klise, mirip cerita FTV begitu, dan jujur saja, saya tidak suka nonton FTV), yaitu Nostalgia Atribut dan Rindu dan Sepi di Belahan Bumi. Yang pertama, berkisah tentang seorang mantan orang penting yang masih terbayang masa kejayaannya dulu. Tapi, untunglah, istrinya selalu mengingatkannya dan memberinya semangat untuk move on. Lucu, bagaimana ia diperlakukan "tidak terlalu penting" oleh mantan bawahannya dulu. Arogansi manusia tergambar jelas di sini, yang membuat saya mengangguk-angguk (antara mengerti dan baru menyadari, ternyata sebesar dan sengeri itu, ya, arogansi manusia).
Yang kedua berkisah tentang seorang perempuan yang menjalin pertemanan dengan seorang perempuan tua asal Indonesia ketika ia berada di Amsterdam. Perempuan tua itu adalah salah satu manusia kesepian di antara banyak penghuni kota itu yang juga tampak kesepian. Ia ingin putrinya kembali, setelah lebih memilih tinggal dengan pacarnya dan menelantarkan ibunya.


 
Betapa mengerikannya individualisme! Padahal, tanpa ia sadari, perempuan tua itu seharusnya bisa tak kesepian, lantaran para tetangganya sebenarnya peduli padanya. Jadi, kesepian hanyalah masalah persepsi dan keberanian untuk membuka diri. Kuncinya adalah diri sendiri, karena kita bisa mengontrol diri sendiri, tapi tidak diri orang lain. Lantas, saya bersyukur saat ini tinggal di Indonesia, yang masyarakatnya cenderung selow, sehingga banyak waktu untuk berinteraksi antarmanusia. Eh, tapi, sekarang sebagian porsi interaksi itu telah beralih ke dunia berlayar-sentuh (yah, sama aja, dong!).

Maaf, saya tahu ini subjektif, tapi saya hanya ingin membagi pemikiran ini denganmu. Ada satu cerpen yang menurut saya enggak banget karena terlalu maksa. Adalah cerpen Sehangat Bara Sedingin Hatinya, yang sudah saya singgung di atas. Penulis meminjam seorang inspektur polisi bernama Aditya sebagai tokoh utama. Seiring berbaliknya halaman buku, terungkaplah bahwa keberadaan tokoh ini untuk menguak masalah seorang tokoh wanita. Wanita ini masih menyimpan luka di hati karena diselingkuhi, hingga ia melakukan tindak kriminal—sengaja menyulut tiga kebakaran bangunan di daerah itu. Bagian yang terlalu maksa, adalah cara penulis mengorelasikan tindakan membakar bangunan itu dengan motivasi akibat hati yang beku yang merindukan kehangatan.

 


 
Tabel Ringkas Daftar Cerpen
Saya mengapresiasi kemampuan penulis dalam menghadirkan beragam tokoh perempuan dengan berbagai latar belakang dan karakter. Apalagi dengan sudut pandang yang sama-sama "aku", pasti tak mudah untuk membuat para tokoh perempuan ini berbeda. Terlebih, penulis juga menjadikan cerpen bertemakan cinta dengan beragam sentuhan, tapi tetap klasik, dengan cara yang kreatif.

Oya, penulis gemar memakai seruan "omigod!", yang bagi saya terdengar janggal untuk diucapkan di masa lampau (zaman dulu belum ada istilah itu, kan? Atau...). Apalagi seruan itu diucapkan oleh perempuan yang imej-nya anggun dan dewasa (bukan remaja alay). Huehehe. Dan lagi, judul kumpulan cerpen ini kurang tepat: kata sambung 'dari' seharusnya 'daripada', karena bermakna perbandingan. Mungkin memang pada'-nya sengaja dihilangkan demi keindahan pengucapan ^^.

Untuk kumpulan cerpen ini, saya beri dua bintang (karena hanya dua cerpen yang memenuhi kriteria “berbobot” dilihat dari kacamata minus lima saya, hehe).
 






0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets