10 June 2015

Dikotomi Tradisi dan Modernisasi dalam "Senja yang Mendadak Bisu"

Judul: Senja yang Mendadak Bisu
(kumpulan karya terbaik Kampus Fiksi Emas 2015)
Penulis: Lugina W. G., dkk.
Editor: Ainini
Penerbit: de TEENS
Cetakan: I, April 2015
Tebal: 240 halaman
ISBN: 978-602-0806-08-2
Harga: Rp 40.000,00
Rating saya: 3/5

Hiperrealitas dari 13 Provinsi

“Bah Kanta mendekap dada kirinya dengan gigi gemeretak. Seperti ada yang meremas jantungnya kuat-kuat hingga sesak. Aliran Cisaninten yang kian susut berkelebat di benaknya. Lalu senyap. Senja tiba-tiba tak terdengar suaranya.” 
(Senja yang Mendadak Bisu, hal. 202)

Buku ini adalah kumpulan cerpen yang diterbitkan dalam rangka merayakan ulang tahun kedua Kampus Fiksi. Baru dua tahun, tapi alumninya sudah bejibun, apalagi karya-karyanya. Seperti buku kumpulan cerpen sebelumnya, Gadis 360 Hari yang Lalu, ini juga mengangkat tema “lokalitas-inspiratif”. Dalam kata pengantar, Edi AH Iyubenu, sang rektor Kampus Fiksi, menekankan kembali bahwa “penulis memang ditakdirkan menjadi pemikir, bukan pengkhayal kosong belaka” (beliau juga menulis tentang ini pada kata pengantar Hujan Pertama untuk Aysila). Selain itu, beliau juga membahas tentang hiperrealitas, buah pemikiran Jean Baudrillard.

“Hiperrealitas bukanlah realitas sesungguhnya; ia benar-benar melampaui realitas. Sebut saja ia dengan cara simplistis sebagai ‘realitas yang over, hiper, meluas’. 
(hal. 5)

Yang beliau maksud "hiperrealitas" dalam konteks tema kumpulan cerpen ini adalah bahwa para penulis menyuguhkan beragam kesegaran cerita dari berbagai latar di Indonesia; bahkan ada banyak tradisi atau adat yang belum saya ketahui sebelum membaca buku ini. Sepertinya makin banyak orang Indonesia yang ingin menjadi penulis, dan karenanya, mereka harus bersaing makin ketat. Siapa yang bisa menyuguhkan inovasi, keunikan, hiburan, pasti akan punya nilai lebih, apalagi jika ditambah ilmu pengetahuan baru. Itulah yang saya dapatkan dari cerpen-cerpen dalam buku ini.

Kumpulan cerpen ini terdiri dari 21 cerpen, yang persebaran latar tempatnya dapat saya gambarkan sebagai berikut.




Ada satu cerpen yang tak menyebutkan latar tempatnya, meski saya tahu itu terjadi di daerah berbahasa Jawa. Sementara ada satu lagi cerpen yang nama dusunnya disebutkan, Dusun Tlogo, tapi saya tidak bisa menebak itu di daerah mana, yang jelas para tokohnya berbahasa Jawa.

Perjuangan Menjemput Cinta

Persoalan cinta selalu menjadi satu warna yang seolah wajib ada dalam satu cerita. Tak melulu cinta antara laki-laki dan perempuan, dong. Cinta untuk alam. Cinta untuk tradisi. Cinta dari saya untuk kalian semua *halah*. Mari kita bahas yang pertama.

Ada beberapa cerpen yang berkisah tentang perjuangan dua orang manusia (pria-wanita, ya) untuk menyatukan cintanya. Cerpen yang pertama dalam buku ini, contohnya. Battle Tirakat, atau adu tirakat. Saya agak bertanya-tanya, mengapa judulnya memakai bahasa Inggris "battle". Hmm, mungkin biar agak keren semacam istilah dance battle yang populer di kalangan para boyband/girlband Korea. Kang Nirta, si tokoh "aku", harus beradu samadi di Petilasan Songgo Langit Pitu, dekat area makam Sunan Muria, di pinggiran Kudus. Itu harus ia lakukan demi mendapatkan Anggara, gadis yang ia cintai dan mencintainya. Masalahnya, ada laki-laki lain yang juga melamar gadis itu. Jadilah, mereka berdua melakukan ritual samadi uji nyali, ritual yang harus dilakukan menurut adat suku Samin. Yang berhasil menemukan mestika adalah pemenangnya. 

"Kejujuran adalah barang keramat dalam Saminisme. Saking jujurnya, mereka mengharamkan perdagangan karena menganggap di dalam sebuah transaksi pasti terselip ketidakjujuran. Mereka juga tidak memercayai pemerintah. Dalam semua segi kehidupan, tidak ada yang peduli dengan kebijakan negara, apalagi aturan-aturannya. [...] Untungnya, suku itu respek pada agama apa pun." 
(hal. 11)
Prinsip hidup orang Samin mengingatkan saya akan faksi Candor di trilogi Divergent. Sempat saya terpukau pada kalimat pertama kutipan di atas. Di tengah kelangkaan sembako, eh kejujuran, ada suku yang begitu keukeuh memegang kejujuran. Namun, menginjak kalimat berikutnya, saya bertanya-tanya, lalu mereka tidak pernah belanja di pasar, begitu? Berikutnya, saya terenyak pada kalimat terakhir. 

Ada juga perjuangan cinta yang berakhir tragis, seperti yang dialami Angsana dan Widati akibat cinta terlarang, karena Widati sudah bersuami. Sebegitu cintanya Angsana pada Widati, hingga "hampir membuatnya putus sekolah saking jatuh cintanya" (hal. 33). Kalimat ini membuat saya bingung, kok, bisa, sampai hampir putus sekolah cuma gara-gara jatuh cinta? Mereka berdua sering bertemu diam-diam, salah satunya saat ritual sedekah bumi di Dukuh Bendan, Lasem. Selain itu, mereka juga punya tempat bertemu rahasia dengan Widati, di warung kopi lelet milik Padmini. Namun, ada yang lebih tragis daripada kisah cinta Angsana--Widati: cinta tak tersampaikan Dahayu kepada Angsana. Dahayu adalah gadis cacat, anak Padmini, yang dulu pernah berusaha digugurkan lantaran tidak diinginkan. Gara-gara itulah, Padmini diusir oleh ayahnya, seorang keturunan bos batik Lasem keturunan Tionghoa, lalu dia membuka warung kopi lelet. Jika kamu sudah tahu apa itu kopi lelet (ini cukup populer di daerah pantura Jawa Tengah--seperti tempat lahir saya), maka lewatkan saja penjelasan berikut. Kopi lelet itu suatu fenomena rokok dioleskan ke ampas kopi hitam lalu diisap dalam-dalam. Bagaimana rasanya? Saya tidak tahu karena saya belum pernah coba.

Dalam cerpen berjudul Hikayat Terpendam Gadis Lasem tersebut, penulis menggunakan sudut pandang yang cukup unik, yaitu "aku" milik "sebatang rokok yang ditempel asal dengan ampas kopi oleh Dahayu" (hal. 32). Selain itu, penulis juga mengangkat perilaku tidak adil terhadap orang-orang cacat.

"Karena seperti yang ibunya bilang, Dahayu hanyalah beruk yang tidak punya hak untuk memuja cinta." 
(hal. 39)

Tradisi Tak Bisa Berdamai dengan Modernisasi?

Fenomena berikutnya yang saya temukan adalah ini: agaknya beberapa penulis mengklaim bahwa tradisi tak bisa berjalan beriringan dengan modernisasi. Oleh karena itu, saya menyebutnya dikotomi. Seolah dua hal itu selalu bertentangan dan tak mungkin akur. Padahal bisa saja akur, kan, seperti contoh, dosen saya yang sedang mengembangkan wayang 3-dimensi (bisa dilihat di Jogja Art Week di PKKH UGM, tanggal 9-27 Juni *promosi*).

Fenomena ini saya temui dalam cerpen Senja yang Mendadak Bisu dan Penerus Klithik. Pada cerpen yang pertama, fenomena ini diwakili oleh pertentangan antara Bah Kanta, seorang kakek yang amat mencintai alam Dusun Tonggoh, Cisaninten dan menjaganya dengan sepenuh jiwa raga, dengan para perusak alam. Dalam cerpen yang keindahan alamnya tergambar memukau ini, perusak alam itu disimbolkan oleh perusahaan air mineral dan pemborong perumahan yang mengeksploitasi alam Cisaninten. Selain itu juga orang-orang yang memburu burung caladi bawang, yang menurut Bah Kanta adalah burung langka. Caladi bawang itu pernah dicari untuk dijadikan sesajen agar sukses pilkada. Tentu saja Bah Kanta menolak mentah-mentah ketika ada orang menawarkan sejumlah uang untuk dicarikan caladi bawang. Penulis menunjukkan bahwa pada zaman ini, usaha rakyat jelata untuk memelihara alamnya sering terjegal sampai jatuh oleh para manusia pencari keuntungan yang tak peduli pada lingkungan.

Antipati Bah Kanta terhadap perusak lingkungan itu juga tergambar lewat ketidaksukaannya dengan air mineral.

"Ditatapnya gelas plastik air mineral yang disediakan Sukendar sebelum disesap pelan-pelan. Rasanya tawar. Tak begitu segar." 
(hal. 197)
Senja yang mendadak bisu merupakan pertanda bahwa alam yang indah tak akan seindah dulu, setelah mulai dirampas oleh pengembang perumahan dan pengusaha air mineral.

Penulis juga memasukkan tokoh carik, Sukendar, yang senang-senang saja alam desanya dieksploitasi. Mungkin dia mendapat amplop tebal.

Pada cerpen kedua, ada satu tokoh yang setipe dengan Bah Kanta, yaitu Sudarso, si dalang wayang klithik yang berusaha melestarikan kesenian tradisional Desa Wonosoco, Kudus itu. Caranya, ia memaksa putra semata wayangnya, Abyasa, untuk tetap tinggal di kampung, melanjutkan jadi dalang. Tak digubrisnya keinginan Abyasa untuk kuliah di Semarang. Ini adalah wujud pertentangan tradisi dengan modernisasi dan pertentangan orang tua vs anak. Memang, melestarikan tradisi selalu banyak tantangan.

"Sekolah kuwi wajib...."
"Lantas mengapa Bapak tak mengizinkan aku kuliah di Semarang? Katanya mencari ilmu itu wajib?"
"Bapak mengizinkan kuliah, tapi di Kudus saja. Masih banyak yang harus kamu pelajari di sini...." 
(hal. 129-30)
Ada dua adegan yang agak aneh menurut saya. Dua kali Harto tiba-tiba ada di dekat Jumilah (istri Sudarso), tidak tahu dari mana datangnya, dan bagaimana ia bisa selalu tahu keberadaan Jumilah. Mungkin ia stalker, ya?

Tradisi yang Mengkhianati Manusia?

Nah, (sebagian kecil) manusia selalu berusaha melestarikan tradisi, tapi sayangnya kadang-kadang tradisi itu malah mengkhianati manusia. Fenomena ini saya temukan dalam cerpen Segenggam Mayam, Sarangan, Piil Pesenggiri, dan Jangan Sebut Dia Singkek. Uniknya, pada keempat cerpen ini, terdapat masalah utama yang sama, yaitu tentang pernikahan yang terlarang oleh tradisi.

Pada cerpen yang pertama, cinta antara Fira dan Rifqi harus terputus oleh tradisi mahar perkawinan Aceh, yang disebut mayam. Orang tua Fira memasang "harga jual" tinggi terhadap putrinya, yang tak sanggup dipenuhi oleh Rifqi. Kemudian tokoh Fira mempertentangkan antara kepercayaan agama versus tradisi.
"Agama kita tidak menganjurkan mahar yang terlalu besar. Agama kita mengajarkan, sebaik-baik wanita adalah yang sedikit maharnya. Bukankah sebaiknya aturan adat juga bisa sejalan dengan aturan agama, Mak?" 
(hal. 187)
Pada cerpen yang kedua, pernikahan (lagi) terhalang oleh kepercayaan tradisional tentang weton selawe. Jika weton sepasang calon suami-istri itu dijumlahkan menghasilkan angka dua puluh lima, maka mereka dilarang menikah, karena bisa menyebabkan kematian orang tua dari salah satu pihak. Karena belenggu tradisi itu, mereka malah melakukan perbuatan asusila agar boleh menikah. Penulis juga mempertentangkan kepercayaan agama dan tradisi.
"Bukankah hanya Gusti Allah yang menentukan umur manusia, Pak!"
"Aku orang yang beragama, Le. Aku sungguh tidak meragukan jika hidup dan mati itu sudah digariskan Gusti Allah. Tapi, apa salahnya kita ngeluri tradisi? Leluhur kita menciptakan ilmu primbon tentu dengan tujuan yang baik." 
(hal. 177)
Pada cerpen yang ketiga, tradisi juga menyebabkan pernikahan seorang laki-laki Lampung dengan gadis Jawa gagal. Penyebabnya adalah harga diri (piil pesenggiri) orang Lampung yang terlampau tinggi, hingga muncul istilah "jangan cari masalah dengan ulun Lampung, piil tersenggol, golok bisa keluar dari sarung" (hal. 140). Sikap orang Lampung yang defensif ini tak bisa disalahkan juga, lantaran muncul sebagai akibat marginalisasi oleh para transmigran.
"Penduduk lokal harus bertahan agar tidak menjadi minoritas di tengah-tengah heteroginitas budaya pendatang." 
(hal. 141)
Pada cerpen yang keempat, kisah cinta antara Rohimah dengan Koh Liong terhalang kepercayaan akan stereotip orang Tionghoa (singkek), yang menganggap bahwa "orang singkek itu suka harta duniawi, bahwa singkek keinginannya tidak ada habisnya" (footnote hal. 51).
"Kita berbada, Roh."
"Hanya itu? Hanya karena perbedaan semacam ini maka kita haram bersatu?!"
"Bukan haram, tapi mereka yang tak paham. Kamu Jowo, aku singkek." 
(hal. 58)
Be' Darmi malah "menjual" Rohimah dengan menikahkannya dengan seorang kakek kaya. Namun, menurut saya, fenomena ini kurang "tradisional". Misalkan, latar tempatnya dipindah dari Gresik ke Semarang, atau ke Surabaya, atau ke Pati, atau ke tempat lain yang banyak penduduk Jowo-nya dan ada singkek-nya, maka cerita ini juga bisa terjadi. Fenomena tradisi yang diangkat kurang "endemis".

Tradisi dan Manusia yang Saling Mengkhianati

Fenomena ini juga terjadi, lho. Pada cerpen Rambu Solo untuk Ambe, si "aku", seorang pemandu wisata di Toraja, tidak punya cukup uang untuk mengadakan rambu solo (upacara perayaan kematian khas Toraja, yang menghabiskan banyak biaya) untuk ambe-nya (ayahnya), ia mengambil jalan curang. Ia mencuri dan menjual tengkorak Lobo dan Andui ke orang Perancis, lalu uangnya ia gunakan untuk mengadakan rambu solo. Ironis sekali, bukan, menjual benda bersejarah demi melakukan tradisi, padahal seharusnya keduanya sama-sama dijaga dan dilestarikan baik-baik.

Manusia yang Melupakan, Skeptis, terhadap Tradisi

Saya merasa tersindir oleh cerpen Tentang A Fen, yang berkisah tentang usaha seorang gadis Tionghoa Benteng dari Teluk Naga, Tangerang, untuk menghapuskan stereotip "Cina kere" terhadap kaumnya. Ia juga ingin keberadaan kaumnya diakui. Orang Tionghoa ingin diakui, tapi mereka sendiri tak sedikit yang seperti A Long, melupakan tradisinya. Contohlah A Fen, kalau ingin diakui, akui dulu tradisi keluarga sendiri.
"[...] tetapi karena aku sadar, sudah terlalu lama aku mengabaikan tradisi keluargaku yang lainnya. Memalukan nama Zhou Shen Long saja." 
(A Long, hal. 227)
Ada juga tokoh yang skeptis terhadap tradisi "ramalan Cupu Panjolo" yang berlangsung tiap malam Selasa Kliwon mangso kapat penanggalan Jawa di Girisekar, DIY bagian selatan. 
"Aku terperosok pada golongan orang-orang yang tidak mengenal seluk-beluk budaya dan ajaran nenek moyang. Semacam anak yang lupa pada pusaka leluhur. Tercerabut akarnya." 
(Dalijo, hal. 231)
Tokoh Dalijo dalam cerpen Yang Bernama yang Tergambar yang Berarti ini, meski tinggal di kampung, tidak percaya terhadap ramalan Cupu Panjolo karena itu hal gaib yang tidak masuk akal. Namun, kata Ranggawarsita, temannya, si waria, yang bekerja di kota, orang-orang kota malah percaya hal-hal gaib, untuk tujuan-tujuan yang  menguntungkan. Tokoh waria ini juga memegang peranan tersendiri dalam cerita. Mungkin penulis sengaja memasukkannya untuk mengatakan bahwa meski waria, bisa saja ia agak lebih sukses dalam pekerjaannya daripada pria normal.

Manusia yang Mencintai Tradisi

Meski kadang tradisi itu sulit dilakukan, masih ada orang yang setia menjaganya. Contohnya adalah tokoh Yosani pada cerpen Iki Palek, Sebuah Perih Rindu Tak Berkesudahan, yang berlatar di Lembah Baliem. Cerpen ini mengangkat tradisi memotong buku jari tiap ada anggota keluarga yang meninggal (berlaku untuk wanita). Tradisi ini meneguhkan ketangguhan para wanita suku Dani, yang harus menanggung perih seorang diri.
"Jari disimbolkan sebagai kerukunan, kesatuan, juga kekuatan dalam diri manusia. Jika salah satu jari tidak sempurna, maka pekerjaan sehari-hari pun ikut terganggu. Sama artinya ketika kehilangan salah satu keluarga, berkuranglah kebersamaan tersebut." 
(hal, 45-6)
Ikatan batin antara anak dan ibu sangat kuat tergambar di sini. Pada cerpen ini saya menemukan kata "ebeai", yang tidak dilengkapi dengan penjelasan artinya.

Tokoh Ranu pada cerpen Kunang-kunang Ranu Lus juga setia menjaga tradisi, meski ia pernah mengkhianatinya karena terpaksa. Adalah perjanjian antara manusia dengan para lelembut di Danau Ranu Lus untuk saling hormat dan tidak mengganggu, yang pernah sekali dilanggar oleh Ranu. Kemudian, ia terpaksa melanggarnya lagi karena ada turis bule yang memaksa ingin diantar ke sana.
"Apakah alam akan sepemurah itu, terus memaafkan sementara manusia sudah demikian mementingkan diri sendiri?" 
(hal. 85)
Selain cerpen-cerpen yang saya bahas di atas, ada lagi beberapa cerpen lain yang tak kalah menarik, meski kurang berkesan bagi saya. Meski begitu, saya berterima kasih karena buku ini telah mengangkat banyak tradisi unik yang belum saya ketahui. Semoga ke depannya karya sastra seperti ini terus bermunculan, sebagai salah satu bentuk untuk melestarikan tradisi Nusantara, yang beragam jenisnya dan bejibun banyaknya.
"Apakah rindu harus terdefinisi? Tak peduli beningnya belantara sepi dan pedih. Tak peduli air mata disesap sakit dan pedih. Dan jiwa-jiwa itu mengejang di muka rindu tak berkesudahan." 
(Iki Palek, Sebuah Rindu Tak Berkesudahan, hal. 40)

2 comments:

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets