Judul: Menggali Sumur dengan Ujung Jarum
Penerjemah: Tia Setiadi
Editor: Addin Negara
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: I, April 2015
Tebal: 208 halaman
ISBN: 978-602-255-852-1
Harga: Rp 40.000,00
Rating saya: 4/5
|
Lima
keping cerpen dan lima untaian ceramah para maestro sastra dunia terjalin
membentuk buku ini. Resensi ini akan dibagi menjadi dua subbab, yang pertama mengulas tentang cerpen, dan yang kedua tentang esai. Mari kita ulas satu per satu (jangan bosan dulu, ya, haha).
Mencari Makna di Balik Tragedi dan Komedi
Dari
lima cerpen tersebut, dua yang pertama adalah karya Gabriel García Márquez[1],
yang berjudul Eva di Dalam Tubuh
Kucingnya dan Sepasang Mata Anjing
Biru. Terjemahan dari kedua
cerpen ini pernah terbit di Majalah Sastra Horison,
Edisi Juli 2014. Versi bahasa Inggris dari cerpen yang pertama terbit pada
tanggal 25 Oktober 1947 di majalah El
Espectador.
1
Eva di dalam Tubuh Kucingnya
Lukisan "Eva is Inside Her Cat" karya Irina Krakov, sumber di sini. |
Gabriel García Márquez dikenal sebagai salah satu sastrawan yang karya-karyanya beraliran magical realism, yaitu aliran yang menggabungkan elemen magis dengan atmosfer kehidupan nyata, dengan tujuan untuk memahami lebih dalam realitas. Cerpen ini menggambarkan dengan sangat bagus magical realism. Cerpen yang terjalin tanpa dialog ini bertokohkan seorang gadis, Eva, yang dikisahkan dengan sudut pandang orang ketiga. Gadis penderita insomnia ini adalah gadis cantik yang mengutuk kecantikannya dan nenek moyangnya yang telah mewariskan kecantikan itu. Baginya, kecantikan adalah beban.
Malam itu, ia perlahan menyadari bahwa ia telah meninggal karena bunuh diri dan rohnya berada di dalam tubuh seekor kucing. Apa yang tengah dipikirkan dan dirasakan oleh Eva dituturkan secara visual oleh Marquez, dan bisa membuat saya seolah-olah larut dalam tokoh Eva sendiri.
2
Sepasang Mata Anjing Biru
Lukisan "Sock It To Me" karya George Rodrigue, sumber di sini. |
Cerpen ini diterjemahkan dari "Eyes of A Blue Dog", karya Marquez pada tahun 1978. Jujur, cerpen ini sulit dipahami, lantaran ia berada di dalam dunia mimpi, alam sadar dan bawah sadar berpusar bersama di dalamnya. Melalui sudut pandang orang pertama, tokoh lelaki "aku" berkisah bahwa ia bertemu dengan seorang wanita dalam mimpinya. Mimpi yang sama itu berulang terus selama bertahun-tahun, tapi begitu bangun dari tidurnya, si lelaki selalu tak bisa mengingat si wanita. Sebaliknya, di kehidupan nyata, si wanita ingin sekali bertemu dengan si lelaki, yang ia juluki "sepasang mata anjing biru". Mereka berdua ingin bertemu, melakukan kontak langsung, tapi tak bisa. Selain itu, mereka juga tidak bisa keluar dari sebuah ruangan yang selalu menjadi latar mimpi mereka.
Penuh simbol, hingga membingungkan saya yang tidak terlalu cerdas bersastra ini. Namun, sebagai penikmat fiksi magis dan surealis, cerpen ini membuat saya penasaran hingga akhir. Mengapa si lelaki disimbolkan oleh "sepasang mata anjing biru"? Salah satu ciri khas Marquez, yaitu metaforanya yang amat visual, juga nampak dengan jelas di sini. Berikut ini adalah contohnya.
3
Pencarian Averroes
Averroes, seorang polymath[2] abad pertengahan dari Andalusia, sumber di sini. |
Cerpen yang ketiga ini adalah karya Jorge
Luis Borges[3]. Cerpen
ini telah melewati dua kali proses penerjemahan: dari bahasa Spanyol, ke
Inggris, kemudian Indonesia. Versi Inggrisnya terbit pertama kali di Majalah Sur pada tahun 1947. Sementara itu,
versi Indonesianya terbit pertama kali di Majalah Sastra Horison, edisi Juni 2014.
Cerpen ini diceritakan melalui
sudut pandang orang pertama sebagai narator, bukan tokoh utama. Saya
sering menjumpai gaya seperti ini di kumpulan cerpen Blind Willow, Sleeping Woman karya Haruki Murakami. “Aku” bercerita
tentang pergumulan Averroes saat melakukan pencarian makna kata “tragedi” dan
“komedi”, yang ia temukan dari buku karya Aristoteles, Poetics.
Akhirnya ia menemukan maknanya.
Namun, si “aku” berpendapat bahwa meski Averroes telah menemukan makna dari dua kata itu, sesungguhnya ia belum menemukannya. Ia menemukannya hanya dari studi pustaka, tanpa pernah benar-benar membayangkan atau mengalaminya. Mungkin ia harus “keluar” dulu ke kehidupan nyata, barulah bisa menemukan makna sesungguhnya. Ini ibarat para pemeluk agama (agama apa saja) yang pengetahuan agamanya sangat kuat, tapi tak pernah benar-benar menerapkannya pada kehidupan nyata.
4
Kerabat Jauh Seorang Pemuda Membeli Sebuah Dompet untuk Tunangannya
Sumber di sini. |
Cerpen berikutnya adalah karya Orhan Pamuk[4]. Di antara kelima cerpen, cerpen inilah yang
terpanjang. Seperti cerpen sebelumnya, karya Pamuk ini juga telah mengarungi
dua kali proses penerjemahan, tapi dari Turki – Inggris – Indonesia. Versi
Indonesianya terbit pertama kali di Majalah Sastra Horison, edisi Desember 2014.
Tokoh
“aku” alias Kemal, telah bertunangan dengan seorang gadis bernama Sibel. Suatu
kali, ketika sedang berjalan berdua, mereka melewati sebuah toko dan Sibel
tertarik pada sebuah tas/dompet yang terpajang di sana. Si “aku” kemudian pergi
ke toko itu sendiri, membelikan dompet itu. Di toko itulah, ia bertemu dengan
Fusun, gadis cantik, yang adalah kerabat jauhnya. Jika tidak hati-hati, Kemal
yang telah terbuai oleh kecantikan Fusun, bisa terempas dalam hubungan
terlarang dengannya.
Yang menarik dari cerpen ini adalah unsur-unsur
kritik sosial yang ditaburkan Pamuk di
atasnya. Dari cerpen ini saya jadi tahu bahwa masyarakat Turki (Istanbul, lebih spesifiknya) memuja hal-hal yang
kebarat-baratan dan menganut konsumerisme. Agak mirip orang metropolitan Indonesia, ya?
5
Suatu Hari yang Dingin
Sumber di sini. |
Cerpen yang terakhir ini adalah karya William Saroyan[5]; diterjemahkan dari buku kumpulan cerpen klasik William Saroyan, The Daring Young Man on the Flaying Trapeze,
terbitan Bantam Classic, 1961, halaman 93. Cerpen ini berbentuk surat yang ditulis
oleh tokoh “aku” kepada seseorang berinisial M. Plot cerpen ini sangat sederhana,
hanya berisi kegelisahan tokoh “aku” tentang bagaimana caranya mengusir hawa
dingin yang membuatnya tak bisa menulis cerpen.
Namun, cerpen sederhana ini menjadi sangat
menarik ketika si “aku” mempunyai ide untuk membakar koleksi buku-bukunya untuk
menghangatkan badan. Di sinilah kegelisahan dan ironi berpusar. Tiap kali
mengambil sebuah buku dari rak, kemudian membacanya sebentar, ia memutuskan tak
jadi membakarnya, karena
Saya, yang juga seorang penimbun buku
sekaligus penulis, dengan mudah dapat meresapi sekalut apa kegelisahan si “aku”
saat itu. Bagi saya, cerpen ini memberikan pesan mendalam. Pertama, tak peduli
semahal atau semurah apa pun sebuah buku, setebal atau setipis apa pun, sebagus
atau seburuk apa pun ceritanya, ia tak sepantasnya dimusnahkan. Kedua, tak ada
alasan bagi seorang penulis untuk tidak menulis. Lima halaman terakhir cerpen
ini seolah merupakan pengalaman pribadi penulis dalam proses menulisnya,
sembari membagikan tips-tips menulis.
***
Menggali Sumur dengan Ujung Jarum
1
Kebutaan
Esai ini merupakan
transkrip ceramah Jorge Luis Borges. Ia bercerita tentang kebutaannya. Nah, yang menarik
adalah pembahasannya tentang kontradiksi yang ia alami semasa menjadi direktur
perpustakaan.
“Tak seorang pun yang mesti membaca dengan mengasihani atau mencemooh
terhadap pernyataan tentang kebesaran Tuhan ini;
yang dengan ironi yang berlebihan
menghadiahiku buku-buku dan kebutaan secara bersamaan.”
(Potongan sajak Borges, berjudul Poem of the Gifts, terjemahan Alastair Reid)
Hal menarik
berikutnya adalah pengalaman Borges ketika menjadi profesor Bahasa Inggris di
sebuah universitas di Argentina. Ia menerapkan sistem pengajaran yang unik: ia
meluluskan semua mahasiswa—seandainya dosen-dosen di kampus saya seperti ini,
haha—barulah setelah itu ia mengajak mereka untuk benar-benar mempelajari
bahasa dan sastra Inggris.
“Sekarang ketika kalian telah lulus dan saya telah memenuhi kewajiban saya sebagai profesor, bukankah menarik untuk mulai mempelajari bahasa atau sastra yang hampir tak kita ketahui? [...] Mari kita mulai mempelajarinya, setelah kita terbebas dari ujian-ujian yang remeh-temeh; mari kita mulai dari permulaan.”
(hal. 100)
Hei, betapa
mencengangkan, bahwasanya sistem pembelajaran itu akan lebih menyenangkan dan
menggairahkan jika tak dibebani sistem penilaian!
Dengan ceramah ini,
Borges ingin mengatakan bahwa “kebutaan adalah hadiah” (hal. 113). Proses
kebutaan yang terjadi perlahan-lahan bisa diwakili oleh sebuah baris puisi
karya Goethe berikut ini, “alles nahe werde fern” (hal. 113), yang
berarti “segala yang dekat menjadi jauh”.
2
Kredo Seorang Penyair
Dalam esainya yang kedua ini, Borges
membawa pembaca untuk mampir ke masa lalunya. Ia mengenalkan sastrawan dan karya-karya
sastra dunia yang memengaruhi hidupnya. Mulai dari masa kecilnya, saat
kisah-kisah karya Edgar Allan Poe mengesankan dirinya. Baris-baris sajak Keats
yang berjudul Ode to a Nightingale-lah
yang menginspirasinya untuk menjadi sastrawan.
“Sebagaimana yang Anda sekalian ketahui, saya telah banyak menulis; tapi saya kira apa yang sudah saya baca jauh lebih penting ketimbang apa yang sudah saya tulis.”
(hal. 116)
Selain Keats,
Borges juga mengangkat Arabian Nights-nya
Burton. Kemudian ada juga karya Walt Whitman, dan karya Thomas Carlyle yang
“merasukinya” dan mendorongnya untuk belajar bahasa Jerman. Huckleberry Finn, Roughing It, Life on the
Mississippi, Don Quixote, Sherlock
Holmes. Pada dua buku terakhir, Borges bisa memercayai
karakter-karakternya, tapi tidak petualangannya. Contohnya, ia tidak bisa
percaya akan keberadaan anjing dari Baskerville yang menyeramkan, tapi ia percaya
pada hubungan persahabatan Holmes – Watson. Sebaliknya, dalam Moby-Dick karya Melville, Borges
memercayai kisahnya, tapi tidak karakter-karakternya. Borges kemudian beralih membicarakan
metafora, puisi, dan perjalanan karier menulisnya, sampai ia menemukan "gaya penulisan"-nya sendiri.
3
Koper Ayah Saya
Esai berikutnya merupakan transkrip pidato Orhan Pamuk ketika memenangkan nobel sastra. Judul buku ini, Menggali Sumur dengan Ujung Jarum, diambil dari pepatah Turki yang disampaikan Pamuk dalam pidato ini, untuk menggambarkan kesabaran dan ketekunan seorang penulis.
"Rahasia penulis bukanlah inspirasi--sebab tak jelas betul dari mana gerangan datangnya--melainkan kekeraskepalaannya, kesabarannya."
(hal. 147)
Pidato ini dapat terus memerangkap saya untuk membacanya sampai akhir, karena Pamuk membuat penasaran, apa yang ada di dalam koper ayahnya? Yang ia maksud adalah koper yang selalu dibawa sang ayah dalam perjalanan-perjalanan bisnisnya. Pamuk takut membuka koper ayahnya, karena koper itu simbol lawan dari kehidupan seorang penulis. Namun, tatkala ia membuka koper itu dan membaca catatan-catatan perjalanan ayahnya, ia menjumpai suara penulis di dalamnya.
4
Anak Dua Peradaban
Ini adalah transkrip pidato Nobel Sastra Naguib Mahfouz[6]. Di dalam pidato ini, Naguib Mahfouz mengisahkan tentang dirinya sendiri, yang ia sebut sebagai "anak dua peradaban". Peradaban yang pertama adalah peradaban fir'aun, dan yang kedua adalah peradaban Islam. Kemudian, ia juga menjawab pertanyaan yang mungkin sering muncul, tentang bagaimana bisa orang Mesir (yang ia sebut termasuk dalam negara Dunia Ketiga) sepertinya meraih Nobel Sastra?
"Untungnya seni itu murah hati dan simpatik. Seni tinggal bersama mereka yang bahagia dan dalam cara yang sama, ia juga tak meninggalkan mereka yang malang. Seni menganugerahkan kepada keduanya cara-cara yang tepat untuk mengekspresikan segala sesuatu yang kacau di dada mereka."
(hal. 175)
5
Menghargai Puisi
Pidato yang terakhir adalah pidato Nobel Sastra Seamus Heaney[7]. Sesuai dengan judulnya, dalam pidato ini Heaney membahas tentang puisi.
***
Buku sastra ini merupakan asupan penuh gizi yang berhasil saya serap bulan kemarin. Secara keseluruhan, awalnya saya lebih menyukai esai-esainya yang bermanfaat ketimbang cerpen-cerpennya. Ini hanya karena saya belum bisa menangkap makna di balik cerpen para sastrawan dunia tersebut (khususnya dua cerpen karya Marquez). Namun, setelah mengulang baca beberapa kali, saya akhirnya bisa menangkap maksud cerpen Marquez, meski belum semuanya. Akhirnya, kelima cerpen dan kelima esai ini sama-sama memberikan pencerahan bagi saya. Selain itu, ia juga menumbuhkan tekad dalam diri saya untuk membaca lebih banyak lagi karya sastra dunia.
[1]
Peraih Nobel Sastra tahun 1982, berasal dari Colombia.
[2] Polymath adalah istilah untuk menyebut orang yang ahli dalam banyak bidang, seperti kasus Averroes, yang ahli filsafat, psikologi, teologi Islam, geografi, politik, matematika, dan lain-lain.
[4] Peraih Nobel Sastra tahun 2006, berasal dari Turki.
[5] Seorang dramawan dan penulis Armenia-Amerika, yang memenangkan Pulitzer Prize pada tahun 1940 di bidang drama.
[6] Seorang penulis Mesir yang meraih Nobel Sastra tahun 1988.
[7] Berasal dari Irlandia. Menerima Nobel Sastra tahun 1995.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^