2 November 2015

[Resensi 7 KISAH KLASIK] Bukan Sekadar Tujuh Kisah Horor

Judul: 7 Kisah Klasik
Penulis: Edgar Allan Poe
Penerjemah: Diyan Yulianto & Slamat P. Sinambela
Editor: Misni
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: I, September 2015
Tebal: 204 halaman
ISBN: 978-602-255-968-9
Harga: Rp 40.000,00
Rating saya: 4/5


Edgar Allan Poe adalah seorang penulis kenamaan Amerika Serikat, yang terkenal akan karya-karya fiksinya yang horor dan meneror pembaca. Buku ini berisi tujuh cerpen karya Poe, yang diterbitkan pada rentang waktu dari tahun 1839 sampai 1850. Ketujuh kisah ini diterjemahkan dari The Works of Edgar Allan Poe Vol. 1-5. Saya akan mengulas satu per satu cerpen dalam kumpulan cerpen ini, (dengan sebisa mungkin) secara ringkas.

Curahan Hati Sang Pembunuh

Di bagian ini, saya akan mengulas dua cerpen pertama dalam buku ini, yang bertema sama dan pola cerita yang hampir sama pula.

Kucing Hitam (1845)

(diterjemahkan dari The Black Cat)


Si "aku" yang anonim, secara flashback, menceritakan kisah mencekam yang pernah dialaminya beberapa tahun sebelumnya. Dulu iadikenal sebagai anak yang penurut dan welas asih, dan pecinta binatang. Setelah menikah, ia dan istrinya memelihara banyak binatang, tapi yang paling ia sukai adalah Pluto, seekor kucing hitam. Istrinya menceritakan padanya tentang takhayul yang menyebutkan bahwa semua kucing hitam sebenarnya adalah penyihir yang sedang menyamar (hal. 11). Perlahan, si "aku" berubah menjadi orang yang emosional, karena kebiasaan minum-minumnya.
"Temperamenku yang gampang tersinggung menjadi semakin parah, aku membenci semua makhluk dan juga manusia." (hal. 20)
Suatu hari, ia tak bisa mengendalikan dirinya, lalu mencongkel satu mata Pluto. Satu hari yang lain, ia menggantung Pluto hingga mati. Kejadian-kejadian aneh menghampirinya sejak saat itu. 
"Aku menggantungnya karena aku tahu bahwa hal itu adalah sebuah perbuatan dosa..." (hal. 14)

Jantung yang Berkisah (1850)

(diterjemahkan dari The Tell-Tale Heart)

Si "aku" membunuh seorang lelaki tua. Terhadap orang tua itu ia pandai beramah-tamah, seolah tak terjadi apa-apa, tapi tiap pukul 12 malam, ia selalu mengintip ke dalam apartemen lelaki itu, sampai waktu yang tepat untuk membunuhnya. Suatu saat, lelaki tua itu merasakan kehadirannya dan menjerit ketakutan. Malam itulah, malam kedelapan sejak ia meneror si lelaki tua, si "aku" akhirnya membunuhnya. Ia membunuhnya setelah mendengar derap jantung ketakutan si korban, yang membuatnya cemas, kalau-kalau tetangga akan mendengarnya. Maka, ia memutuskan untuk membunuhnya saja, lalu menyembunyikan mayatnya dengan rapi.
"Aku tahu apa yang dirasakan orang tua itu, dan aku kasihan kepadanya, meskipun di dalam hati aku tertawa begitu hebat." (hal. 30)
Jantung si korbanlah, yang akhirnya mengungkapkan tempat mayatnya disembunyikan. Karena memiliki indra yang sangat tajam, si pembunuh bisa mendengar detak jantung si korban.

Mirip, tapi tak Sama

Kedua cerpen tersebut mengambil tema yang serupa, tentang kekerasan dalam rumah tangga dan rasa bersalah yang mencengkeram hati sang narator. Dalam Kucing Hitam, si narator membunuh kucingnya, Pluto, dan kemudian istrinya juga. Motifnya membunuh Pluto adalah dorongan nafsu semata, tanpa penyebab yang jelas. Bahkan, ia mencucurkan air mata ketika menggantung kucing kesayangannya itu. Sementara itu, dalam Jantung yang Berkisah, si narator membunuh seorang lelaki tua yang bermata biru pucat. Motifnya adalah karena ia merasa ketakutan akan mata lelaki tua itu.

Poe juga mengenalkan kontradiksi dalam kedua cerpen ini. Dalam cerpen yang pertama, secara terang-terangan mempertentangkan realitas dan logika dengan hal gaib. Si narator berusaha tetap berpikir logis (terlihat ketika ia menemukan bahwa di dinding sisa rumahnya terbakar terdapat gambar siluet yang mirip Pluto, dan mencari tahu penyebabnya secara logis), sedangkan di akhir cerita muncul hal-hal gaib (seperti yang akan saya jelaskan kemudian).

Kedua naratornya pun sama-sama tak bernama, dan mengalami degradasi moral dan kewarasan secara bertahap. Di bagian pembukaan cerita, anehnya, si narator mengklaim bahwa ia tidak gila.
"Namun, aku bukanlah orang gila dan aku yakin aku tidak sedang berkhayal." (Kucing Hitam, hal. 9)
"Lalu bagaimana kau bisa menyebutku gila? Dengarlah! Dan lihatlah betapa sehatnya diriku." (Jantung yang Berkisah, hal. 27)
Dalam cerpen yang kedua, Poe menyajikan kisah tentang paranoia dan kemerosotan mental, yang mewujud dalam obsesi si narator terhadap tiga hal: mata si lelaki tua, suara detak jantung, dan kewarasannya (SparkNotes). Si narator ini tidak sadar akan ketidakwarasannya, dan tidak tahu mengapa ia jadi aneh (hipersensitif, terutama terhadap suara). Sedangkan di cerpen pertama, Poe menyajikan tema serupa; si narator juga menyangkal kegilaannya, tapi ia memelihara pemikiran yang logis, dan tahu apa penyebab kegilaannya itu. Ia mengatakan bahwa, "Aku malu mengakuinya, tetapi kebiasaan minum-minum telah menjadikanku orang yang semakin buruk." (hal. 11).

Peran alkohol dalam cerpen yang pertama juga signifikan, lantaran Poe sendiri dikenal sebagai pemabuk tak terkendali sepanjang hidupnya (SparkNotes)

Kontradiksi yang lain adalah kemampuan si narator untuk mencintai sekaligus membenci korbannya. Pada cerpen yang pertama, si narator menyayangi Pluto dan istrinya, tapi tetap saja, ia membunuh mereka. Setelah membunuh Pluto, ia merasa sangat bersalah dan semakin bergantung pada alkohol. Mungkin, munculnya kucing kedua yang mirip dengan Pluto (dengan mata satunya) dan bulu putih yang membentuk pola seperti tali menjerat lehernya, adalah efek halusinasi yang ditimbulkan oleh ketergantungannya akan alkohol. Dugaan serupa juga bisa diterapkan pada akhir cerita, ketika si kucing kedua ditemukan masih hidup dan terkubur bersama mayat sang istri. Secara logis, aneh bukan, jika seekor kucing yang masih hidup terkubur dalam tembok dan tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali pada si narator?

Setelah melakukan pembunuhan yang kedua, si narator makin tak bermoral ternyata. Ia sama sekali tak merasa bersalah telah membunuh istrinya, tidak seperti pasca-pembunuhan Pluto.

Pada cerpen yang kedua, kontradiksi ini juga muncul. Si narator menyayangi si lelaki tua, tapi membunuhnya juga. Hipersensitivitas akan suara menyebabkan ia kesulitan membedakan mana suara yang nyata dan tidak. Pada akhirnya, ia salah mengira suara detak jantungnya sebagai detak jantung si mayat lelaki tua, yang akhirnya membuat ia ketakutan dan mengakui kejahatannya pada polisi.

Kedua cerpen ini hendak menyampaikan pesan pada pembaca, bahwa sejatinya niat untuk melakukan kejahatan itu muncul dari dalam diri sendiri--dari kegagalan diri untuk menekan dorongan-dorongan untuk melanggar hukum.

Kumbang Emas (1843)


Dalam cerpen ini, si "aku" adalah narator, tapi kisah berpusat pada sahabatnya, William Legrand, yang hidup menyendiri di Pulau Sullivan, Carolina Selatan, bersama asistennya, Jupiter.
"Ternyata, dia adalah orang yang berpendidikan tinggi, dengan kecerdasan di atas rata-rata, tapi sayangnya sudah dicemari oleh ketidaksukaannya terhadap manusia." (hal. 39)
Suatu hari, Legrand menemukan kumbang emas, dan di situlah awal petualangannya mencari harta karun peninggalan Kapten Kidd, seorang bajak laut. Kecerdasannya nampak saat ia menjelaskan kronologi pemecahan enkripsi dalam selembar surat perjanjian bajak laut yang ia temukan.

53++!305))6*;4826)4+.)4+);806*;48!8'60))85;]
8*:+*8!83(88)5*!;46(;88*96*?;8)*+(;485);5*!
2:*+(;4956*2(5*-4)8'8*;4069285);)6!8)4++;1
(+9;48081;8:8+1;48!85;4)485!528806*81(+9;48;
(88;4(+?34;48)4+;161;:188;+?;
(hal. 87)

Poe menuliskan kisah ini menggunakan alur maju dan flashback, yaitu penemuan harta karun diletakkan di depan, proses pemecahan kode diceritakan setelahnya. Pengaturan plot seperti ini memberikan keuntungan bagi Poe untuk memantik rasa penasaran pembaca. Namun, bagian awalnya menimbulkan kesalahpahaman akan hubungan kumbang emas dengan tengkorak manusia. Bahwasanya kumbang emas, yang dijadikan judul itu, tidak terlalu penting terhadap penemuan harta karun. Selain itu, penemuan kumbang emas itu pun merupakan kebetulan semata.

Kumbang Emas adalah cerpen terpanjang dalam kumcer ini (67 halaman), dan disebut-sebut sebagai cerpen "bajak-laut" pertama yang pernah ditulis. Meski sudah kuno, teknik pemecahan sandi enkripsi yang dideskripsikan oleh Poe masih digunakan sampai sekarang. Bagian pemecahan kode ini memberikan aura cerita detektif. Gaya menulis Poe yang boros kata-kata sangat kental dalam cerpen ini. Namun, "boros-kata" ini juga menyebabkan deskripsi setting Pulau Sullivan tertulis dengan detail. Begitu juga dengan deskripsi letak harta karun dan pemecahan kode.

Mungkin bagi pembaca di zaman sekarang, penempatan Jupiter sebagai orang negro, dengan logat yang aneh dan kecerdasan yang berada di bawah tuannya (orang kulit putih), akan menimbulkan kesan diskriminasi. Legrand mungkin menyimbolkan karakter Poe sendiri, dengan kegemarannya akan pemecahan teka-teki dan kesukaannya akan ironi. Ironi ini muncul dalam bentuk kecurigaan si narator akan kewarasan Legrand, yang pada akhirnya ternyata malah berhasil memecahkan teka-teki dengan cerdas (Gradesaver).

William Wilson (1842)


"Awalnya hanya keisengan-keisengan kecil, lalu kenakalan-kenakalan berbahaya, hingga akhirnya menjadi kejahatan tak terampunkan." (hal. 105)
Si "aku" mewarisi karakter keluarganya, yaitu berimajinasi tinggi dan mudah naik darah. Seiring ia tumbuh, karakter ini makin mendominasi kepribadiannya, sehingga ia menjadi "bocah yang susah diatur, gemar melakukan tindakan liar dan tak terduga, serta dikendalikan oleh nafsu" (hal. 106).

Di masa sekolahnya dulu, ada seorang teman sekelas yang memiliki nama persis dengan dirinya, William Wilson. Dari segi fisik pun mereka berdua sangat mirip, pun tanggal lahirnya sama, sehingga orang-orang mengira mereka adalah kembar. Tapi si "aku" tahu pasti bahwa ia tak punya kembaran. Sejak saat itu, si "aku" tak mau lagi dipanggil dengan nama William Wilson. Si "aku" menjadi pentolan si sekolah, karena sifat mendominasinya. Tapi ia jengkel terhadap si Wilson yang lain karena bocah itu adalah satu-satunya anak yang tidak tunduk terhadap penindasan si "aku". Si "aku" juga menganggap bahwa si Wilson ini adalah saingannya. Pertemanan yang ganjil pun terjalin di antara keduanya.

Saat si "aku" menjalani hidup berfoya-foya dan penuh keburukan sebagai mahasiswa di Oxford, si Wilson datang untuk mengungkap kecurangannya. Si "aku" juga menyebutkan bahwa sebelumnya si Wilson selalu muncul untuk menjegal kejahatannya, mulai dari ketika masa sekolah di Eton itu, Roma, Paris, Napoli, hingga Mesir. Terakhir, ketika di Roma, si "aku" akhirnya menyadari siapa sebenarnya si Wilson.

Poe menghadirkan beberapa paradoks. Pertama, paradoks tentang Pastur si kepala sekolah: "pembawaannya terlihat ramah sekaligus agung", tetapi ia "menjalankan sekolah dengan muka masam, mendidik dengan tangan besi, dan memiliki sifat ringan tangan" (hal. 108). Bahkan, biliknya pun menimbulkan kesan seram
"Di pojok ruangan yang paling ujung--bagian yang membikin bulu kuduk merinding--terdapat sebuah bilik kotak berukuran dua setengah atau tiga meter persegi yang merupakan ruang pribadi kepala sekolah kami, Yang Terhormat Dr. Bransby." (hal. 110)
Poe juga kembali menggunakan deskripsi yang terlalu mendramatisasi, seperti tampak dalam deskripsi panjang si narator akan bangunan sekolahnya yang menimbulkan kesan seram dan memenjara murid-murid di dalamnya.
"Dinding yang melingkupi sekolah kami juga dilengkapi dengan sebuah gerbang yang tidak kalah galaknya. Gerbang itu diperkuat jeruji-jeruji besi yang di atasnya dipenuhi oleh pasak-pasak logam. Sungguh seram kesan yang ditimbulkan!" (hal. 108)
"Tangga-tangga melingkarnya seperti tidak punya ujung, begitu juga ruang-ruangnya yang disekat. Susah untuk menggambarkan ada berapa lantai yang disatukan di dalamnya." (hal. 109)

Melalui cerpen ini, Poe ingin mengatakan bahwa di dalam diri manusia selalu ada dua sisi yang berperang dalam setiap pengambilan keputusan: sisi hitam dan sisi putih. Kebaikan dan kejahatan yang senantiasa berebut tahta dalam hati manusia, layaknya Hyde dan Jekyll.
"Kau telah mengalahkanku dan aku pun menyerah. Namun, dengan begitu kau pun ikut mati--musnah sudah harapanmu di dunia. Di dalam dirikulah engkau hidup--dan dengan kematianku, lihatlah diriku yang adalah pantulan dirimu--kau telah membunuh dirimu sendiri." (hal. 136)

Potret Oval Seorang Gadis (1850)

(diterjemahkan dari The Oval Portrait)


Si "aku" sedang terluka parah di suatu malam yang dingin, kemudian bersama pelayannya, menumpang tidur di dalam sebuah ruangan di sebuah kastel. Dinding ruangan itu ternyata dipenuhi lukisan, salah satunya adalah potret seorang gadis muda. Ketika ia membaca penjelasan tentang potret itu, dalam buku yang menceritakan sejarah tiap-tiap lukisan, ia menemukan kisah ketulusan cinta yang berakhir pedih di baliknya. 

Ajaib, Poe mampu menulis sebuah cerpen pendek! Potret Oval Seorang Gadis adalah cerpen terpendek dalam kumcer ini (6 halaman), tapi maknanya cukup dalam. Poe mengulik kisah ketulusan cinta, yang tampak dalam karakter si gadis muda. Ia tulus mencintai si lelaki pelukis. Meski ia membenci seni lukis karena merasa diduakan, ia tetap bersedia memenuhi keinginan si lelaki untuk melukis wajahnya. 

Poe menghadirkan isu obsesi dan gender dalam cerpen yang merupakan gabungan dari sastra Gothik dan romantisme ini. Obsesi mewujud dalam sosok pelukis, yang terobsesi memindahkan kecantikan istrinya ke dalam lukisan, sehingga ia gagal melihat istrinya sebagai seorang manusia. Dari seorang gadis muda yang cantik, ia bertransformasi menjadi objek tak bernyawa, dan kemudian kemanusiaannya terlupakan, terabadikan dalam wujud lukisan di dalam sebuah kastel  yang kumuh. Si gadis menjadi hanya sepenting kecantikan dalam wujud lukisan (UK Essays).

Isu tentang gender mewujud dalam sikap tunduk si gadis terhadap suaminya. Hal ini sekaligus menunjukkan kisah cinta yang berakhir fatal. Sikap patuh si gadis ini berperan sebagai kritik akan dominasi laki-laki akan dunia seni. Namun, kepatuhan itu, bersama dengan kerelaannya, tak lebih dari pada sekadar "peringatan bisu" (silent warning--GradeSaver).
"Tapi, gadis ini rendah hati dan taat, patuh dan dia rela duduk selama berminggu-minggu dalam gelap, di sebuah kamar di dalam sebuah menara kecil tempat cahaya hanya menyorot kanvas pucat dari atas." (hal. 141)

Runtuhnya Kediaman Keluarga Usher (1839)

(diterjemahkan dari The Fall of the House of Usher)



Si "aku" menjadi saksi runtuhnya kediaman keluarga Usher; sebuah rumah besar yang terkesan muram dan angker. Dikisahkan bahwa keluarga Usher tidak pernah bergaul dengan dunia luar, melakukan perkawinan sedarah, hingga mewariskan penyakit menurun. Dua keturunan terakhirnya, kakak beradik, akhirnya juga ikut meninggal bersama dengan runtuhnya rumah itu.

Nuansa horor-magis meliputi cerpen ini, dengan alurnya yang agak susah dipahami. Sama seperti dalam dua cerpen pertama, Roderick Usher mengalami kemerosotan mental. Seperti si narator dalam Jantung yang Berkisah, pewaris keluarga Usher itu juga mengalami gejala hipersensitif, tapi bedanya, si Usher sadar bahwa ia tak sehat. Roderick turut hancur seiring runtuhnya rumah besar warisan itu. Paradoks muncul di sini: hipersensitivitas Roderick membuatnya merindukan kebebasan, tapi juga membuatnya tak mampu mencapainya. The House of his heredity claims him for its own (Gerald M. Garmon).

Kebangkitan kembali Madelaine, adik Roderick, bisa dipahami sebagai berikut: Madelaine memang mengidap suatu penyakit, yang suatu hari membuatnya koma. Roderick, yang mengiranya telah meninggal, buru-buru menguburkannya dalam peti. Kemudian, karena ternyata adiknya belum meninggal, tak mengherankan jika kemudian ia "bangkit" dari kuburnya.

Obrolan Bersama Sesosok Mumi (1850)

(diterjemahkan dari Some Words with a Mummy)



Beberapa orang lelaki, termasuk si "aku", berkumpul untuk meneliti mumi. Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati ternyata si mumi masih hidup! Bagaimana bisa? Karena si mumi ini keturunan keluarga Scarabaeus yang sangat dihormati, yang memiliki tradisi pembalsaman tanpa mengambil jeroan si manusia. Si mumi ini sebenarnya mengalami serangan epilepsi, tapi orang-orang mengira ia sudah mati dan langsung membalsamnya. Jadi, ia dibalsam ketika masih hidup. Semalaman itu, mereka menghabiskan waktu yang menakjubkan dengan mengobrol bersama si mumi.
"..bagaimanapun kondisi seseorang ketika dia dibalsam, maka selamanya dia akan tetap seperti itu." (hal. 190)
Cerpen ini merupakan hasil obsesi Poe akan sains dan ilmu kedokteran (Trespassing Journal). Poe kembali bermain-main dengan realita dan supranatural. Secara ilmiah, cerpen ini menyajikan deskripsi teknis terkait cara pembalsaman orang-orang Mesir kuno, yang sangat menarik untuk diketahui. Namun, atmosfer supranatural melingkupi cerpen ini.
"..penting untuk diketahui bahwa pembalsaman di Mesir dilakukan untuk membekukan fungsi-fungsi hewani dalam diri manusia." (hal. 190)
Selain si mumi yang hidup kembali, hal menarik lain adalah ketika Gliddon (yang mahir berbahasa Mesir) menggambarkan kata "politik" agar bisa dimengerti oleh si mumi. Karena tidak ada lambang hieroglif yang tepat untuk "politik", maka Gliddon menggambarkannya sebagai "orang berhidung lancip tengah berkacak pinggang di atas sebuah tempat tinggi dengan lengan kiri di belakang punggung dan lengan kanan menunjuk ke depan, tatapannya mengarah ke langit dan mulutnya membuka dalam sudut sembilan puluh derajat." (hal. 186). Politik digambarkan sebagai orang yang memerintah.

***

Butuh kontemplasi mendalam untuk memahami apa yang sebenarnya hendak disampaikan oleh Poe dalam cerpen-cerpennya yang muram. Membacanya saja butuh usaha keras, apalagi untuk menerjemahkannya menjadi terjemahan yang cukup terasa seperti bukan terjemahan ini. Jika penasaran, boleh lho, menengok curahan hati sang penerjemah di blog-nya.

Cerpen-cerpen Poe memang kebanyakan bernuansa horor, tapi tak ada alasan untuk tak membacanya karena "takut", lantaran makna yang dikandung oleh cerpen-cerpen itu lebih dalam dari pada sekadar kesan luarnya yang kelam dan menyeramkan.

2 comments:

  1. tapi gmn sm terjemahannya mbk?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maksudnya, terjemahannya bagus atau nggak gitu, ya, Wazi?
      Menurutku bagus, kalau memang bahasanya terasa berat itu mungkin krn versi aslinya berat :)

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets