18 February 2016

Elegi dari Bella untuk Edward



Kala Dia membawa Edward pergi, aku berteriak dan menerjang pagar kubikel dengan moncongku. Lenguhan napas dan jeritan ributku membuatnya menoleh, tapi tidak Edward. Pandanganku ngilu.

"Hei, Bella, kau ingin pergi juga? Saatmu belum tiba, masih beberapa bulan lagi."

Aku tetap berteriak-teriak, kaki pendekku dengan tak bergunanya menggelepar-gelepar. Moncongku mengendus-endus keras ke arah Edward.

"Apa lagi, Bella? Idul Adha sebentar lagi, Edward harus pergi."

Edward harus pergi. Tiga kata itu bagai tiga lecut pisau yang menguliti impian gemilangku sampai luruh seluruhnya dan terjatuh berdebam di atas ranah seluas pagar pembatas tempatku tersekap dengan sukarela, bercampur aduk dengan tanah lembek bercampur kotoran, makanan yang tertumpah, dan butir-butir air mata.

Bisa kudengar betapa sumbangnya teriakan-teriakan yang lolos dari leher pendekku, yang saking pendeknya membuatku terlihat seperti makhluk dari kelas Arachnida yang badannya terdiri dari kepala-leher tergabung alias cephalothorax dan abdomen. Tahukah kalian, bahwa aku sering merasa buruk rupa setiap melihat bayanganku terpantul dari genangan air? Tubuh gempalku berwarna merah muda lengkap dengan empat kaki pendek. Leher pendek menyulitkan gerakanku untuk menoleh, apalagi mendongak. Sepanjang hidup aku tak pernah melihat bulan yang kata sesama hewan cantik itu. Namun, Edward pernah berkata, “Kau pasti tak pernah mengira bahwa aku juga sering merasa buruk rupa dengan jembut daguku* yang terus memanjang kewer-kewer ini. Yang mau kukatakan adalah, kita semua tidak sempurna. Pun kita berbeda, tapi jika bersatu, aku yakin kita berdua akan bisa saling menguatkan.”

Apakah Edward tak ingat akan janji yang tersemat di antara pagar pembatas kandang kami? Yang tersulam dalam sentuhan antara moncongku dan moncongnya—bahwa kami akan selalu bersama? Tak kusangka, demikian tak berdayanya kami di tangan manusia. Tak cukup bagi mereka untuk sekadar mengotak-ngotakkan kami dalam dua kandang berbeda, ternyata.

Edward harus pergi. Karena dia kambing dan aku babi. Karena aku menguik dan dia mengembik. Karena ia dikorbankan saat Idul Adha dan aku disembelih saat Imlek tiba. Karena keduanya tak pernah terjadi bersama-sama.[]

*Istilah "jembut dagu" saya pinjam dari novel Tiger on My Bed karya Christian Simamora.
[Flash fiction ini diikutkan tantangan #NulisBarengAlumni Kampus Fiksi dengan tema "babi". ]

4 comments:

  1. Haha. Bisa gitu. Cinta antara Babi dan Kambing. Tapi, selalu aja ada pihak ketiga, ya, mbak? Eh gimana.

    ReplyDelete
  2. Keren...
    *Lagi bayangin Robert Pattinson dan Kristen Stewart jadi pengisi suaranya.. hehe (-:

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ntar kalo dibikin animasi, muka si kambing sama si babi dibikin mirip mereka berdua :((

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets