5 February 2016

[Resensi INTERVAL] Masa Lalu yang Menanti Disibak

Judul: Interval
Penulis: Diasya Kurnia
Editor: Ainini
Penerbit: PING
Cetakan: I, 2016
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-602-391-059-5
Harga: Rp 36.000,00
Rating saya: 2/5

SEBAGAI seorang pelajar SMA merangkap penari jathil, Kinanti sudah terbiasa mendengar pergunjingan negatif mengenai dirinya. Penari jathil kerap dikaitkan dengan label perempuan murahan, yang bagian tubuhnya sering dipegang-pegang para lelaki sambil menyelipkan sawer. Namun, Kinanti dan sahabatnya, Rey, adalah anggota grup reog Singo Taruno Joyo milik Pak Rengga yang tak berani menerima sawer. Tinggal berdua dengan seorang kakek yang sudah tua, yang mengandalkan penghidupan dari membuat topeng Bujang Ganong, Kinanti bertahan hidup dengan menjalani dua kehidupan berbeda: di siang hari ia menjadi anak sekolah, dan sepulang sekolah ia menjadi penari jathil.

DI sekolah, bersama Rey, Kinanti menjadi anggota Klub Tari. Menginjak tahun ajaran baru, pemilihan ketua baru Klub Tari pun akan dilaksanakan. Salah satu kandidat kuatnya adalah Ratih, si gadis populer yang sombong, yang juga pacar Dimas. Sialnya, Kinanti diam-diam menyukai Dimas, dan suatu pertemuan tak disengaja dengan Dimas di taman belakang sekolah menimbulkan agresi dari pihak Ratih. Sembari mengata-ngatai Kinanti dan Rey tentang pekerjaan mereka sebagai penari jathil, ia menantang mereka berdua.
"Ya, anggaplah ini adalah sebuah tantangan untuk membuktikan bahwa penari jathil keliling harus naik kasta lebih tinggi. Tidak hanya berada di kelas rendah, kaum yang berada di kasta Sudra, kubangan lumpur. [...] Makanya kutantang kamu agar memenangkan kandidat pemilihan ketua tari sebentar lagi. Jika di antara kalian berdua ada yang bisa mengalahkanku maka aku tidak akan sekali-kali menganggap kalian sebagai gadis menjijikkan lagi." (Ratih, hlm. 43-44)

"Kami menerima tantanganmu bukan karena kami ingin membuktikan diri bahwa kami ini kaum jathil yang seperti kamu katakan. Tapi kami hanya ingin kamu mengerti bahwa kami menari untuk seni." (Rey, hlm. 44)
TERNYATA, diam-diam Rey mengundurkan diri menjadi kandidat pemilihan ketua tari, karena sejak awal dia memang hanya ingin memotivasi Kinanti agar bersedia ikut. Salah satu poin seleksi adalah menampilkan bakat tari di depan banyak orang, jadi ini kesempatan bagus untuk Kinanti menunjukkan kemampuannya.

KEHIDUPAN percintaan Kinanti sering tak berjalan mulus. Datanglah seorang guru baru dari Amerika Serikat, bernama Carl. Umurnya baru 22 tahun. Kinanti yang awalnya tidak pede dengan kemampuan bahasa Inggrisnya, didorong oleh Rey, menjadi rajin belajar dan berdiskusi dengan Carl. Hubungan mereka berdua makin dekat, tapi ketika Carl main ke rumah Kinanti, sang kakek menolaknya habis-habisan. Kinanti menduga ini ada hubungannya dengan mimpi yang sering mampir di tidurnya, tentang seorang wanita pribumi dan seorang lelaki bule, si wanita menggendong seorang bayi. Kinanti juga mulai bertanya-tanya mengapa rambutnya berwarna brunette.

ENAM tahun setelah Kinanti lulus SMA, ia berkunjung ke New York untuk mencari orang tuanya, hanya berbekal foto lama ibunya dan sebuah alamat di baliknya. Selain itu, diam-diam dia punya misi lain, yaitu untuk menemui Carl dan menyatakan perasaannya. Namun, kadang rencana-rencana manusia tak berbuah manis seperti harapan....

----------

DI halaman 3, Guntur Alam menuliskan endorsement atas novel ini. Katanya,
"Tak banyak novel romance remaja yang mengangkat tema lokalitas. Pilihan tema itu yang membuatnya istimewa. Lewat novel ini, penulisnya ingin mengenalkan kembali kekayaan negeri, terutama dari Kota Ponorogo, kepada anak muda. Jalinan cerita yang runut membuat novel ini sangat mudah dipahami."
BERBEKAL setumpuk pengalaman patah hati, saya belajar untuk tidak berekspektasi. Sekalipun Guntur Alam menuliskan testimoni seperti itu, saya tak mudah dipengaruhi. Sialnya, fokus saya terlalu tersedot pada kata "lokalitas", sehingga mengabaikan bahwa "novel romance remaja" lebih dulu disebut oleh Guntur Alam. Pemilihan susunan kalimat pertama testimoni ini mengisyaratkan bahwa Interval adalah novel romance remaja, jadi genre-nya romance, tapi temanya lokalitas. Sekental apa pun tema lokalitasnya, kaldu romance-nya akan tetap lebih kental. Kemudian, kalimat kedua mengingatkan saya akan reog Ponorogo. Kalimat terakhir memberi kesan bahwa Guntur seperti kurang bisa menemukan keunggulan novel ini selain tema lokalitasnya, sehingga dengan terpaksa (mungkin) ia hanya sanggup menuliskan tentang "jalinan cerita yang runut yang mudah dipahami". Pertama, jalinan cerita runut bukan jaminan cerita akan mudah dipahami. Kedua, cerita mudah dipahami bukan merupakan keunggulan yang istimewa, karena banyak sekali novel romance remaja lain yang ceritanya mudah dipahami.

SAYA akan berhenti sampai di situ mengkritisi testimoni Guntur Alam, karena saya akan mulai membahas tema lokalitas yang katanya membuat novel romance remaja ini istimewa. Tema lokalitas yang diangkat diwakili oleh profesi sambilan Kinanti dan Rey, yaitu penari jathil; dan profesi kakek Kinanti sebagai pengrajin topeng Bujang Ganong. Namun, konflik mayor tidak fokus pada tema lokalitas ini, tapi fokus pada perjuangan Kinanti menemukan orang tuanya di Amerika Serikat. Konflik ini sekilas mengingatkan saya akan novel karya Pia Devina, berjudul Carrying Your Heart. Tidak ada adegan yang langsung menunjukkan pementasan tari jathil. Kelokalitasan hanya dibangun mengandalkan cuap-cuap narator, yaitu "aku" (Kinanti), sehingga sangat kurang bisa menampilkan hawa lokalitas. Kebanyakan adegan berlangsung di sekolah dan di New York.

LOKALITAS sirna setelah bab 8 selesai di halaman 82, karena mulai bab 9 Kinanti telah berada di New York untuk mencari orang tuanya. Tak terduga, konflik minor malah merambah ke ranah topik lesbian dan homoseksual, yang menurut saya, alih-alih menimbulkan twist, ia malah mencederai kadar kohesi alur cerita. Konflik minor tersebut muncul beberapa kali, sehingga cukup mendominasi alur cerita, dan terasa mencelat terlalu jauh dari alur yang dibangun sejak awal. Memang, saya sudah curiga bahwa si tokoh itu lesbi sejak ia ngambek di bagian awal, tapi saya kira sudah cukup sampai di situ penulis menghadirkan isu LGBT. Ternyata, di New York, lagi-lagi LGBT merebak. Mengapa novel ini jadi gencar bercerita tentang LGBT? Mengapa penulis tidak memilih menceritakan saja perjuangan Kinanti menjadi penari jathil bertaraf internasional, misalnya (karena setahu saya Kinanti bermimpi menjadi penari profesional dan keliling dunia, coba lihat halaman 7)? Saya jadi agak curiga, jangan-jangan LGBT dipilih karena sedang ngetren saat ini.... Saya kira, penulis mengeksploitasi tokoh Kinanti untuk menyatakan ketidaksetujuannya dengan keberadaan kaum LGBT.

ADA juga ke-"tiba-tiba"-an lain yang menjadikan alur terasa melompat-lompat tanpa koneksi kuat, antara lain bunuh dirinya seorang tokoh penting. Peristiwa itu hanya disinggung sebentar, dan terlalu tiba-tiba karena awalnya tidak ada indikasi hal itu akan terjadi. Bukannya menjadikan twist, melainkan mengagetkan pembaca dengan cara yang tidak nyaman. Bisa disimpulkan, di bagian menjelang akhir, beberapa adegan terlalu dipaksakan masuk ke dalam alur cerita.

KEHIDUPAN romance Kinanti sungguh sial. Gagal sebelum mencoba dengan Dimas. Kemudian ia menyukai Carl, dan Dimas terlupakan. Tapi nahas, Carl sudah punya pacar. Lantas dengan mudahnya Kinanti menyukai Seth, tapi sial, ternyata Seth.... Saya mengerutkan dahi berkali-kali membaca bagian kisah percintaan Kinanti ini. Agak terlalu didramatisasi, yang diperparah oleh karakter Kinanti yang terlalu mudah jatuh cinta. Selain mudah jatuh cinta, Kinanti juga sosok yang pesimis. Untunglah ada Rey, sahabatnya, yang selalu optimis dan mampu memotivasinya. Selain itu, Kinanti juga polos dan cenderung naif. Contohnya ada di halaman 32,
"Coba bayangkan bagaimana aku berkomunikasi dengan orang asing menggunakan bahasa Inggris jika nilaiku saja sulit menembus angka tujuh?"
DARI kalimat itu terlihat dua karakter Kinanti sekaligus: pesimis dan polos. Polos, karena ia tidak tahu bahwa nilai pelajaran bahasa Inggris tidak menentukan bisa tidaknya kita berkomunikasi dengan orang asing. Mungkin menentukan, kalau itu nilai TOEFL, TOEIC, atau IELTS. Pesimis, karena ia sudah menghakimi diri tak bisa berkomunikasi dengan orang asing, hanya karena nilainya sulit mencapai angka 7. Mengapa tak mencoba belajar dengan bantuan Rey? Bukankah Rey salah satu murid terpandai di sekolah, termasuk dalam pelajaran bahasa Inggris?
"Melupakan kesedihan bahwa aku tidak akan bertemu dengan orang tuaku." (hlm. 97)
KALIMAT tersebut juga menunjukkan betapa pesimisnya Kinanti, padahal itu baru percobaan pertama dalam usaha pencarian orang tuanya. Aneh, padahal Kinanti pernah mengatakan juga bahwa ia sadar kalau pencariannya ini akan sulit karena hanya berbekal alamat yang diberikan puluhan tahun lalu. Sangat mungkin orang tuanya sudah pindah alamat, kan?

SELAIN itu, karena terbiasa hidup berkekurangan, perhatian Kinanti terlalu tersedot pada bagaimana caranya menghasilkan uang. Hal ini membentuk persepsi bahwa Kinanti materialis dan kurang mensyukuri hidup.
"Aku bukan berasal dari keluarga kaya yang mampu menutup semua mulut berbisa itu dengan uang. Setidaknya, jika memiliki banyak uang aku lebih mudah mendapatkan apa yang kuinginkan. Sayang, aku tetap seorang anak yang bisa disebut yatim piatu, dengan seorang Kakek yang hanya berjualan keliling."
(Kalau tidak materialis, Kinanti akan berpikir untuk "menutup semua mulut berbisa itu" dengan membuktikan bakat menarinya. Ini juga mempertegas kalau Kinanti lebih cenderung naif ketimbang polos. Kalau polos, ia mungkin tidak tahu bahwa mulut bisa ditutup pakai uang. Tapi, karena ia menganggap bahwa semua mulut bisa ditutup pakai uang, maka ia naif. Maaf kalau kalian bingung >,< saya memang kurang pandai menjelaskan wkwk.)
"Aku hanya berpikir bagaimana Kakek cepat sehat kembali serta aku bisa mendapatkan banyak uang untuk pengobatannya. Uang, uang, dan uang. Hanya itu yang ada di otakku sekarang." (hlm. 50)
NAMUN, di luar semua pengakuan akan karakter negatifnya itu, Kinanti punya kualitas positif juga. Ia mampu bangkit dan move on (dengan cukup cepat), baik dari gagalnya cinta maupun dari peristiwa pahit meninggalnya beberapa tokoh.

REY adalah sosok sahabat yang sangat baik, bahkan terlalu baik. Ia tak lelah memotivasi Kinanti untuk maju. Mulai dari perihal pemilihan ketua tari, meminta pada Carl untuk membantu Kinanti belajar bahasa Inggris, sampai memberikan honor sebagai penari jathil pada Kinanti. Maklum, sih, Rey menari jathil bukan untuk mencari uang, karena ia berasal dari keluarga berada. Selain itu, ia juga pintar dalam hal akademik. Rey juga seorang gadis yang tidak akan tinggal diam melihat sahabatnya dihina.

GAYA bahasa yang digunakan penulis terlalu baku untuk obrolan antaranak SMA. Tapi kebakuannya itu juga tidak konsisten.
"'Kita menari sampai malam, Rey. Kalau tahu bahwa Pak Kusno tidak hadir hari ini, aku memilih bolos, deh!'" (hlm. 12)
KATA "bahwa" dan "tidak" membuat kalimat terkesan sangat baku, tapi kemunculan kata "deh" di akhir mencederainya. Kemudian, kalimat balasan Rey juga galau antara bahasa baku atau bahasa gaul, atau campuran. Kalaupun campuran, kadarnya kurang menyatu dengan pas.
"'Ye, kita akan ulangan umum sebentar lagi, Kin. Kalau kamu sering bolos, gimana kamu akan mengejar ketinggalan?'
'Masih ada kamu, Rey. Kasih contekan, dong!' Aku mengedip pada Rey." (hlm. 12)
ADA juga cara penuturan penulis yang kurang saya pahami sehingga mengurangi kenyamanan membaca dan membuat penuturannya kurang lancar. Hal ini disebabkan oleh penggunaan kata/istilah yang kurang tepat atau kekuranglogisan adegan. Contohnya:

1. "Aku tengah memperbaiki pekerjaan rumah saat Carl muncul di depan kelas dengan tampang biasanya." (hlm. 67)
"Tampang biasanya" ini maksudnya apa?

2. "Carl setuju dan kami menyusuri kampung sebelum mencapai ruang belakang yang digunakan Kakek untuk menyimpan semua peralatannya." (hlm. 77)
Adegan ini kurang logis. Di halaman 76 disebutkan bahwa "Carl telah tiba di halaman rumah Kakek dengan senyum mengembang", berarti adegan ini mungkin sekali berlangsung di halaman rumah Kakek. Lantas, mengapa untuk mencapai ruang belakang rumah Kakek mereka perlu "menyusuri kampung"? Seolah awalnya mereka berdua ada di mulut gang masuk kampung. Atau ruang belakang dan halaman rumah Kakek terpisah oleh kampung. Keren banget, ya?

3. "celana panjang mencapai lutut" (hlm. 101)
Frasa tersebut menunjukan penggunaan kata sifat yang kurang tepat. Seharusnya itu namanya celana tiga perempat, atau simpelnya celana selutut, bukan celana panjang. Kalaupun panjang, maka akan lebih cocok untuk menggambarkan bahwa ia mencapai mata kaki, misalnya. Kalau hanya mencapai lutut, maka itu belum tergolong celana panjang.

4. "... aku datang ke acara reuni sekolah di RJ, semacam kafe bernuansa western yang di setiap sudut dominan warna merah menyala." (hlm. 161)
Mungkin akan lebih tepat jika "yang setiap sudutnya didominasi warna merah menyala".

5. "Ingatanku sungguh bagus untuk mengingat postur dan wajah seseorang meski kini ia tidak seideal dulu, Ratih, tentu saja." (hlm. 163)
Kata "seideal" dulu terlalu abstrak dan general. Coba kalau diganti dengan "tidak secantik/selangsing/semenarik/seseksi dulu".

6. "'Untung saja aku masih cukup seksi untuk berkeliling. Ya, setelah melahirkan putra pertamaku dua bulan lalu, aku menjalani diet dan kembali ideal.' Ratih nyinyir dan memamerkan pinggulnya... (hlm 163)
Ucapan Ratih di bagian "masih cukup seksi untuk berkeliling" itu kurang bisa saya pahami maksudnya. Berkeliling ke mana? Mengapa hanya untuk berkeliling harus cukup seksi dulu? Dan lagi-lagi, kata seabstrak "ideal" muncul.

7. Penggunaan kata "Amerika" (hlm. 32), yang seharusnya "Amerika Serikat", karena penggunaannya merujuk pada negara, bukan benua.

8. Grammar yang kurang tepat.
"'I mean, we're friend and learn everything together.'" (hlm. 68)
Lebih tepat jika: "I mean, we're friends, and we learn everything together."

KOVER novel ini cukup simpel, dengan warna dasar putih dan background seperti kertas yang lecek. Gambar kuda-kudaan mewakili penari jathil. Dua frame berisi foto perempuan dan laki-laki mungkin menggambarkan sosok orang tua Kinanti. Kemudian, dari membaca judul novel ini, susah ditebak alur ceritanya. Lain dengan, misalnya ketika saya mendengar judul novel terbaru Christian Simamora, "Tiger on My Bed" dan "Meet Lame". Yang pertama langsung bisa saya bayangkan sebagai novel contemporary romance yang tokohnya disimbolkan sebagai harimau, dan melibatkan banyak adegan hot di atas ranjang. Kalau yang kedua, bisa dibayangkan sebagai kisah kebalikan dari "meet cute". Nah, kembali ke novel ini. "Interval", judul ini mungkin mewakili masa antara kejadian di masa lalu (kisah orang tua Kinanti) dengan kejadian masa kini (kehidupan Kinanti masa SMA) dan masa depan (petualangan Kinanti mencari orang tuanya).

PESAN moral yang ingin disampaikan penulis mungkin merupakan negasi dari semua karakter negatif Kinanti:
1. Alangkah menyenangkannya hidup ini jika kita tidak mudah jatuh cinta dan baperan.
2. Lebih sering-seringlah optimis ketimbang pesimis, apalagi untuk hal-hal yang belum dicoba.
3. Uang bukanlah segalanya.
4. Kaum LGBT juga manusia, yang punya hak-hak asasi.

KESIMPULAN:
1. Karakter Kinanti sukses bikin saya kesal.
2. Kembali lagi ke testimoni Guntur Alam. Nyatanya, meski alur cerita novel ini runut, tak menjadikannya benar-benar runut. Adegan yang tiba-tiba terjadi memberi kesan ada yang bolong dari alurnya. Oleh karena itu, cerita ini jadi tidak mudah dipahami (selain karena gaya bahasa penulis yang membutuhkan usaha keras untuk bisa dinikmati).
3. Rating 2 bintang saya berikan untuk novel ini, karena saya mengapresiasi niat baik penulis untuk meleburkan lokalitas kota Ponorogo dalam Interval.

3 comments:

  1. wah ulasannya sangat lengkap. saya selalu suka dengan resensi-resensinya

    ReplyDelete
  2. Wah, keren! Oke saya mampir :D

    ReplyDelete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets