14 April 2017

Menimbun Buku: Dapetin Dulu, Baca Nanti



Ini adalah sebagian kecil timbunan saya.

Tumbuh dan tinggal belasan tahun di sebuah kecamatan tanpa toko buku di Pantura Jawa Tengah membuat hal segampang membeli buku jadi amat sulit (sekarang malah amat sangat terlalu gampang sampai harus direm-rem biar nggak keterusan). Waktu SMA, saya sekolah di pusat kabupaten, yang punya dua toko buku mini yang stoknya sering ketinggalan zaman. Nggak heran, meski mungkin agak norak, begitu ada kesempatan ke kota besar (seringnya Semarang) dan menemukan toko buku Gramedia atau Gunung Agung, saya selalu kegirangan.

Kondisi ini berubah drastis setelah saya kuliah di Yogyakarta—yang katanya adalah kota buku. Mungkin kayak katak yang dicemplungin ke air mendidih, dia otomatis akan jejingkrakan seru (belum pernah nyoba, sih)—begitulah saya. Nafsu membeli buku saya yang sekian lama tak terpenuhi, setelah saya dicemplungkan ke Yogyakarta, jadi jejingkrakan tanpa pernah tahu caranya berhenti. Apalagi setelah saya jadi peresensi buku DIVA Press (sekarang sudah nggak), tiap bulan saya pasti dapat tambahan timbunan 3 buku. Juga setelah toko buku daring seolah membelah diri tiap jam saking banyaknya. Nah, berikut ini beberapa alasan mengapa menimbun buku itu jadi salah satu guilty pleasure saya (selain baca hentai #eh dan tetap makan makanan pedas meski sedang diare *apalah arti dunia tanpa cabe rawit*).

Gara-gara kecanduan ikut giveaway

Saya pernah menderita (eh, bahagia) ini sekitar tahun 2014-2015. Awalnya karena pernah menang sekali, lalu pengin ikut lagi. Lalu, eh, ada blogtour novel yang lagi saya pengin. Eh, lumayan dapat buku gratis (meski sebenarnya nggak pengin-pengin amat). Eh, ikutan ah, mumpung syaratnya gampang banget, cuma bagiin tautan giveaway ke medsos. Dan seterusnya... Saya lumayan sering menang. Apalagi kalau novel inceran, beeuuh, saya jabanin ikut giveaway di semua blogtour host. Alhasil lagi, sampai sekarang buku-buku itu masih ngorok di timbunan. Nggak sedikit yang masih segelan.

Di tahap ini, ikut giveaway atau kompetisi berhadiah buku telah jadi guilty pleasure. Pasti seneng banget dapat buku gratis, tapi begitu ingat tingginya timbunan... tetep lanjut ikut giveaway 😂.
Cara menahan diri:
  • Inget timbunan!
  • Hanya ikut giveaway jika buku yang jadi hadiahnya adalah buku yang benar-benar saya inginkan. Tapi ini susah ketika yang ngadain giveaway adalah para bookstagrammers kece yang hadiahnya seringkali sulit untuk diabaikan.

Gara-gara menyasarkan diri ke obralan buku

Ini godaan paling berat! Baru-baru ini saya pergi ke Yogyakarta, dan selama lima hari di sana, saya tiga kali menyasarkan diri ke obralan buku Gramedia (di Hartono mall, Malioboro mall, dan di halaman Gramedia Sudirman). Buku-buku yang awalnya nggak pengin dibeli, gara-gara lagi diobral, jadi beli, deh...
Cara menahan diri:
  • Inget timbunan!
  • Hindari datang terlalu sering ke obralan buku (seringnya itu seberapa, sesuai selera). Prinsip saya (yang sering gagal diterapkan): kalau nggak kuat nahan diri, mending hindari.
  • Kepoin dulu buku yang kayaknya menarik (kepoin di Goodreads, misalnya), apakah dia layak dibeli. Ini sangat membantu saya. Dari tiga kali datang ke obralan buku itu, saya cuma beli satu... boxset (prestasi banget ini) Jonathan Strange & Mr. Norrell. Harganya 50 ribu doang dan setelah saya kepoin di Goodreads, saya tertarik buat baca *ah, pembelaan*.

Gara-gara diskon

Datang ke Togamas Affandi tiap hari Selasa atau ke Togamas Kotabaru tiap hari Kamis (keduanya semua novel diskon 25%) pasti bakal bikin saya pening. Tapi, ya, tetap saya lakuin. Selasa kemarin saya sengaja ke Togamas Affandi. Rencananya pengin beli buku yang ada di wishlist, tapi nahas, semua yang ada di wishlist stoknya habis! (Yah, di Togamas sering begitu, sih. Buku-buku yang lagi laku banget sampai habis mulu sering lama restock-nya.) Akhirnya saya keliling-keliling (ini namanya memancing godaan) dan akhirnya malah beli 2 buku (Cala Ibi dan Saman) yang nggak ada di wishlist. Dan karena di Togamas gratis sampul buku, alhasil kepincut nyampulin juga, yang berarti segelnya dibuka padahal saya nggak tahu kapan buku itu akan saya baca. Puk puk, saya memang sering kurang bijaksana.
Cara menahan diri:
  • Inget timbunan!
  • Hindari datang ke toko buku saat ada diskon besar.
  • Kalau sudah telanjur datang, utamakan membeli buku (-buku) yang ada di wishlist. Kalau nggak ada, mending langsung pulang, deh. Menjerumuskan diri ke dalam kubangan diskon lebih lama itu bahaya! Pasti akan timbul dalam benak saya, Keluar dari toko buku nggak beli apa-apa itu... kayak makan ayam goreng tapi ninggalin kulitnya.
  • Kalau sudah telanjur nggak pulang-pulang meski buku wishlist nggak ada dan nemuin buku lain yang menarik, kepoin dulu buku itu, layak dibeli atau tidak. Kalau bisa dibeli nanti (entah kapan), jangan beli sekarang. Saya selalu mengingatkan diri, Ah, tenang, nanti pasti ke sini lagi, kok. Belinya ntar aja, paling kalau kubeli juga nggak akan kubaca dalam waktu dekat.

Gara-gara PO (Pre-Order)

Sekarang lagi banyak buku yang dijual dengan sistem PO. Keuntungan PO daripada beli setelah bukunya nongol di toko buku, antara lain adalah adanya diskon istimewa dan dapat bonus. PO buku-buku Basabasi itu godaan terbesar dalam dunia per-PO-an. Gimana nggak, bukunya bagus-bagus (bagus menurut saya bukan berarti bagus menurut orang lain, sih) dan diskonnya gede—sampai 35%! Akhir bulan Maret sampai bulan ini saya sudah PO, emmm berapa, ya? Hakim Sarmin Presiden Kita, Alkudus, Zaman Peralihan, dan Utopia Seorang Lelaki yang Lelah... oke, empat 😰.

Sebelumnya saya juga pernah PO Luka dalam Bara lewat BukaBuku karena kepincut tampilan bukunya yang imut. Dalamnya berilustrasi, lagi (btw, saya lagi demen sama buku berilustrasi). Hardcover, harga PO-nya cuma 39.200 rupiah, dan belum dibaca sampai sekarang. Oya, saya juga sempat mupeng PO Carve the Mark, tapi untung berhasil menahan diri.

Cara menahan diri:
  • Inget timbunan! (inget terus tapi nggak mempan)
  • Lagi-lagi, pastikan apakah buku tersebut layak dibeli dalam masa PO. Kalau nggak pengin-pengin banget, mending nggak usah PO. Paling juga nggak akan dibaca dalam waktu dekat, kan. Kalau ternyata benar-benar dan masih pengin, beli aja nanti. Yah, nanti nggak dapat diskon dan bonus istimewa a la PO, dong? Bonus tanda tangan? Beneran butuh tanda tangan penulis, nggak, sih? Nanti juga bisa, lah, minta tanda tangan blio kalau pas ketemu wkwk. Bonus pouch cantik? Duh, lirik koleksi pouch hadiah sabun, hand-body lotion, dll. yang nggak kepake itu. Bonus pembatas buku? Duh, biasanya juga label baju saya jadiin pembatas buku.
*Tulisan ini dibuat untuk memeriahkan #BBIHUT6 marathon dengan topik "Tips dan Pengalaman Seorang Pembaca".
Beginilah kondisi timbunan saya bulan Januari 2017.
Sekarang, saya yakin, tingginya sudah melampaui tinggi adik saya.
Dan akan terus bertambah 😰


6 comments:

  1. Paling susaaaaaaaaaah kalo ada obral atau bazzar buku gitu pasti selalu nambah timbunan T.T

    ReplyDelete
    Replies
    1. Samaaaa, pokoknya itu harus dihindari karena pasti nggak bisa tahan kalau nggak beli sesuatu lol

      Delete
  2. Dapetin Dulu, Baca Nanti. Bener juga sih. Tapi kalau prinsipku sekarang, Dapetin Dulu, Baca Gak Tahu Kapan, whahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwkwk sama sih sebenernya, aku juga nggak tahu kapan itu mau dibaca menara bukunya >,<

      Delete
  3. Aku sekarang bikin wishlist. Kalau ga ada di wishlist, aku berusaha banget nggak beli. Kalau masih pengen, minjam aja. Biasanya pinjaman lebih cepat dibaca daripada milik sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah! Kuncinya memang menahan diri, ya, Mbak. Aku udah bikin wishlist tetep aja melenceng... Poin terakhir bener banget, Mbak >,<

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets