6 June 2017

[Resensi] RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI



Mari, kuperkenalkan kau pada Sungu Lembu, seorang pemuda cerdas dari Banjaran Waru yang berambisi melayangkan nyawa Watugunung, penguasa Gilingwesi. Gilingwesi telah menguasai Banjaran Waru dan prajuritnya menangkap paman sekaligus guru Sungu Lembu, Banyak Wetan, dan membunuh Nyi Banyak. Sejak meninggalkan daerah asalnya, ia telah memasuki Kotaraja Gilingwesi, namun terlalu terpukau oleh betapa majunya kota itu hingga merasa ambisinya adalah suatu kekonyolan. Sampai di Kelapa, Sungu Lembu terdampar di Rumah Dadu Nyai Manggis. Di sanalah ia bertemu dengan Raden Mandasia, salah satu pangeran Gilingwesi. Raden yang pembangkang itu memilih untuk bepergian dan melakukan beberapa pembangkangan, seperti mencuri sapi, daripada terkungkung dalam Kotaraja. Setelah mencuri sapi, ia lalu memotong-motongnya dengan keahlian dan keindahan luar biasa sebelum memanggang dan memakannya dengan kegembiraan yang mengalahkan kepuasan sehabis orgasme.

Sungu Lembu, atas desakan Nyai Manggis, akhirnya menyetujui ikut dengan Raden Mandasia ke Gerbang Agung untuk mencegah pecahnya pertempuran antara Gilingwesi dengan Gerbang Agung. Maka, dimulailah petualangan mereka.

Sepanjang perjalanan panjang menuju Gerbang Agung, banyak yang Sungu Lembu dan Raden Mandasia alami; termasuk hal-hal yang tidak biasa. Kau tak akan bisa lupa bagaimana Sungu Lembu dan Raden Mandasia terlibat insiden gara-gara kegemaran Raden Mandasia mencuri sapi. Belum lagi pengalaman mereka berlayar yang mungkin akan membuatmu terbahak-bahak. Bagaimana peliknya urusan memancing ikan bagi Sungu Lembu, dan yang lebih pelik, masalah buang hajat dan mencuci pakaian di atas kapal.

Yang paling jago memancing adalah Wimba, nakhoda kami. Pernah ia menangkap ikan golok hanya dengan umpan sobekan karung beras. Itu keterlaluan anjingnya karena aku sudah mencoba berhari-hari dengan berbagai umpan binatang laut kecil dan tak menghasilkan apa-apa. [...] Jangankan jadi awal kapal yang andal, sebagai penumpang saja aku belum cakap. (hlm. 221)
😂 😂 😂
Urusan mengeluarkan isi perut makin runyam jika kau sedang sedap-sedapnya berhajat tiba-tiba di depan ombak meninggi atau angin berubah arah. Kalau hanya basah kena air laut sih tak mengapa. Tapi, tidak sekali aku terkotori oleh kotoranku sendiri. (hlm. 222)

Barangkali Raden Mandasia lebih sial ketimbang Sungu Lembu perihal itu.

Suatu hari, Raden Mandasia mencuci pakaiannya dengan cara menonda atau mengikat pakaian dengan tali kecil dan dicemplungkan ke laut. [...] Setelah sekitar sepenanakan nasi, Raden Mandasia mengangkat pakaiannya. Wajahnya memerah melihat ada benda kuning lembek menjijikkan yang menempel di sana. Ternyata, tak lama setelah ia menonda, Jongkeng malah berhajat besar di bagian kiri depan kapal tanpa tahu ada pakaian pangeran agung sedang ditonda di belakang. (hlm. 227)
😂 😂 😂

Lalu bagaimana mereka membujuk Loki Tua untuk mengantarkan ke Gerbang Agung, yang membuat mereka terlibat dengan seorang “babi yang makan babi” (meminjam kata-kata Sungu Lembu). Kau mungkin akan terbahak lagi, menertawakan kesialan Sungu Lembu terjebak dalam pesta a la suku berkuda dari tenggara, yang menarik sekaligus mengerikan dan menjijikkan (hlm. 380-382).

Sesampai mereka ke Gerbang Agung, kau pasti akan penasaran, apakah Putri Tabassum memang semengagumkan reputasinya yang menggema ke mana-mana itu? Namun, sebelumnya kau harus menyaksikan Sungu Lembu menyamar dengan mengenakan kulit seorang kasim.

Sedemikian jauh dan penuh tantangan perjalanan yang telah mereka tempuh, kau akan sibuk menduga, apakah Raden Mandasia berhasil mencegah terjadinya pertempuran?
***
Kisah ini merupakan catatan Sungu Lembu atas petualangan yang telah ia alami. Ia mulai menulis sejak Loki Tua menyarankannya demikian.

Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan tidur sebelum disembelih.
(Loki Tua, hlm. 306)

Sungu Lembu mengawali kisahnya dengan insiden pascapencurian sapi, setelah itu ia mundur untuk menceritakan bagaimana awal pertemuannya dengan Raden Mandasia. Yang berarti, mulai dari bagaimana ia bisa sampai di Rumah Dadu Nyai Manggis. Yang berarti lagi, mulai dari riwayat hidupnya semasa masih di Banjaran Waru. Sejak itu, ia menceritakan kisahnya dengan alur maju.

Meskipun kisah ini mencatut nama “Raden Mandasia” sebagai judulnya, setelah membacanya, kau akan jauh lebih mengenal Sungu Lembu ketimbang Raden Mandasia. Wajar, karena kisah ini dituturkan dari sudut pandang orang pertama Sungu Lembu. Sepanjang 450 halaman mengenal Sungu Lembu, kau akan tahu bahwa ia memiliki pandangan yang jeli. Isi pikiran Sungu Lembu, yang sering blak-blakan, akan membuatmu sering nyengir atau bahkan tertawa.

Pelajaran-pelajaran Sungu Lembu dengan Banyak Wetan, kadang berisi dialog yang menunjukkan sikap Sungu Lembu yang blak-blakan dan mengundang tawa. Namun kemudian, humor itu dengan lihai beralih jadi wejangan serius Banyak Wetan.

“[…] Setahuku beberapa raja malah tak menyandang keris sama sekali.”
“Raja jenis apa?”
“Raja yang mau lengser dan menjadi pandita.”
“Kautahu kenapa?”
“Bosan jadi raja mungkin.”
Banyak Wetan tertawa. Ia menonyorku lagi. Ia sering melakukannya justru ketika hatinya riang.
“Maksudku, kenapa ia tak membawa keris?”
“Biar duduknya enak mungkin.”
Banyak Wetan tertawa lebih keras lagi. “Ia kadang tak perlu senjata dalam pengertian sesungguhnya. Musuhnya sangat dekat, ada dalam dirinya, hawa nafsunya sendiri.”
“Paman, aku tidak paham dan aku ingin tidak mempan dibacok atau ditombak orang. Kebal itu hebat,” kataku saat itu.
(hlm. 84)

Mungkin kau akan suka dengan cara Banyak Wetan mendidik Sungu Lembu, misalnya saat ia dilatih memakan racun. Orang lain mungkin akan menganggapnya sebagai cara yang kejam, tapi tentu Banyak Wetan punya tujuan. Berkat didikan ini, Sungu Lembu mampu mengenali semua jenis racun yang ada di Pulau Padi dan dari negeri asing yang pernah masuk ke Banjaran Waru (hlm. 92). Sungu Lembu juga punya bakat istimewa: ingatan lidah. Sekali mencicipi masakan, ia bisa tahu semua rempah yang ada di dalamnya. Belakangan, bakatnya ini berguna untuk membawanya dan Raden Mandasia ke Gerbang Agung.

Sungu Lembu bisa begitu lucu, bahkan saat ia menceritakan hal yang menyedihkan. Maaf, aku tak bisa menahan tawa karena aku merasakan ada humor di balik tragedi meninggalkan Kasim U.

Air mataku menetes untuk Kasim U. Ia mati sebagai budak, tapi kulitnya akhirnya merdeka. (hlm. 361)

Ah, yang jelas, kau akan sungguh paham bahwa Sungu Lembu gemar mengumpat. Dan sungguh, ini menular kepadaku. Hati-hati, mungkin kau akan keceplosan, “Anjing!” jika ada orang yang mengganggumu saat sedang membaca kisah ini. Atau kau akan bergumam, “Ini sungguh anjing!” jika ada bagian kisah ini yang memesonamu. (Dan aku sendiri, sering terpesona, maka sering jugalah aku berkata “anjing”.)
***
Kisah petualangan ini tak hanya bisa membuatmu tertawa, tapi juga berpikir. Misalnya tentang pekerjaan para penyair yang sangat dihargai di Gilingwesi. Kerajaan itu menaruh perhatian besar terhadap sastra; mereka membayar para penyair dan menjamin hidupnya sekeluarga; penyair yang sedang bekerja tidak boleh diganggu—karena siapa tahu, “bisa-bisa syair yang hebat gagal tercipta” (hlm. 111). Sungu Lembu menertawakan ini dalam hati.

Sedemikian degilnya Watugunung sampai-sampai ia harus membayar orang untuk menyanjungnya dalam syair-syair. (hlm. 111)

Duh, seandainya di dunia nyata para penyair dihargai sebesar itu…

Dongeng kontemporer yang diracik dengan diksi yang megah namun tetap renyah dinikmati ini juga akan memperkaya (bahkan mengenalkanmu?) khazanah kosakata bahasa Indonesiamu. Banyak kata yang jarang digunakan (tapi ternyata ada) aku temukan di sini. Tak hanya itu, kisah hidup Sungu Lembu memberikan pelajaran bagiku. Lewat perkataan Bandempo terhadap Nyai Manggis:

Kalau memang mereka tak menghormatimu, aku akan memutuskan hubungan dengan mereka. Orang yang merasa lebih suci daripada yang lainnya bukanlah temanku. (Bandempo, hlm. 153)

Lewat kebijaksanaan Wulu Banyak saat membangun kapal:

Sebuah kapal memang tak boleh sempurna. Sesuatu yang sempurna tak punya hasrat lagi mencari. Sebuah perahu yang sempurna tak akan butuh lagi mencari ikan, muatan, teman, pelanggan, bahkan tanah baru. (Wulu Banyak, hlm. 208)

Lewat Sungu Lembu sendiri, yang akhirnya menyadari beberapa ketololan yang telah ia lakukan. Pertama, terkait Pong, teman sekamarnya di kapal yang terbunuh dan meninggalkan batu zamrud untuknya, padahal ia bisa dibilang hampir tidak mengenalnya.

Kami tak benar-benar saling kenal dan pada saat terakhir hidupnya ia memberikan batu permata miliknya. Betul, percakapan kami terbatas—atau malah tak ada percakapan sama sekali. Tapi, sekiranya mau, aku yakin kami pasti bisa menemukan cara bercakap-cakap. Aku cukup berbakat menguasai bahasa-bahasa baru. Aku hanya benar-benar tak pernah berusaha mengenal Pong lebih jauh. Anjing. Aku bahkan tak berusaha mengenalnya sama sekali, aku betul-betul tak peduli. (hlm. 255)

Kedua, terkait Raden Mandasia:

Semakin banyak aku mencoba mencari tahu tentang Raden Mandasia, semakin gelap saja rasanya. Mataku membasah. Raden Mandasia adalah hal paling dekat yang bisa kusebut sebagai teman dan kami ternyata saling mengenal sedikit saja. (hlm. 412)

Sungu Lembu seakan berkata padaku, “Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi,” sambil memintaku belajar dari pengalamannya: pergunakan waktu sebaik-baiknya untuk mengenal orang-orang terdekatmu. Ah, iya, kisah ini juga mengingatkanku untuk bertualang sesenang mungkin selama masih muda.

Novel ini sudah cetak ulang dengan kaver baru, tapi aku lebih suka kaver yang lama, dengan latar warna langit setelah matahari menggelincir dalam lelap tapi masih menyisakan larikan cahaya dan siluet tiga orang berlari di kejauhan. Tiga orang itu tak lain adalah Sungu Lembu, Raden Mandasia, dan Loki Tua. Kaver ini menggambarkan salah satu adegan saat mereka bertiga memilih berlari melintasi gurun sambil menggendong anjing.

Buku ini jadi salah satu favoritku, juga adalah salah satu buku terbaik yang kubaca tahun ini. Ah, sayang sekali, ada beberapa halaman yang susunannya terbalik. Tidak ada kekurangan lain kutemukan dalam novel ini, kecuali bahwa bagian akhirnya terasa terlalu ringkas diceritakan. Penulis seperti terburu-buru ingin segera menuntaskan kisah ini. Meski begitu, adalah pengalaman yang sangat menyenangkan membaca kisah ini. Anjing sekali!

rating saya



identitas buku
Judul: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana
Cetakan: I, Maret 2016
Tebal: 450 halaman
ISBN: 978-979-1079-52-5
Harga: Rp 69.000,00
Buku ini bisa dipesan di @stanbuku

3 comments:

  1. Saya sudah punya, dan sudah baca.
    Dan salah satu adegan paling konyol adalah perihal eksekusi hukuman mati. Dilempar telor satu kerajaan sampai mati, itu benar benar cara eksekusi yang sadis dan membuat banyak telur jadi mubazir haha

    Tapi ya lebih baik, daripada dijatuhkan dari tempat tinggi tapi tak mati, lalu dijatuhkan lagi sampai mati..

    Dan jika kamu jeli, kadang di beberapa bagian cerita diselipi cerita2 lain, macam cerita tentang kematian john lennon yg disamarkan hahahaha

    Momen ter-epic itu tatkala kehabisan makanan di gurun, lalu diselamatkan dua orang tua, lalu disuguhi sop daging. Eh tak taunya itu si manis a, anjingnya si loki yg dijadikan sup. Padahal si manis doyan makan kotorannya sendiri -____-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, banyak momen "gila" dalam novel ini.

      Ah iya, saya memang menyadari bahwa pasti banyak cerita entah apa di bagian mana yang sengaja diselipkan oleh penulis, tapi saya tidak menyadari dan terlalu malas untuk menguliknya lol

      Delete
  2. Selain Lennon,juga ada tokoh yang sempat dianggap Lennon kalah populer dibanding bandnya, seorang tukang kayu yang menjadi mesias-yang ironisnya, dianggap anak oleh seorang bapak yang berprofesi sebagai pembuat boneka kayu (Gepeto is dat you?)

    ReplyDelete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets