27 August 2017

[Resensi SILENCE] tuhan, mengapa kau diam saja?



Sudah dua puluh tahun berlalu sejak penganiayaan ini dimulai; [...] dan di hadapan pengorbanan dahsyat yang tidak kenal kasihan ini, Tuhan tetap hening dan bungkam.

(hlm. 100-101)

Kristianitas telah disebarkan benihnya di Jepang pertama kali oleh Francis Xavier tahun 1549. Selama masa pemerintahan tiga daimyo yang berusaha mempersatukan Jepang (Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu), para misionaris memiliki posisi yang bagus di istana Bakufu. Namun kemudian, sejak tahun 1587 terjadilah penganiayaan terhadap orang Kristen. Berbagai jenis penganiayaan ditimpakan kepada mereka agar mengingkari iman. Dipaksa menginjak fumie, menjalani ana-tsurushi (hukum gantung di dalam lubang, hlm. 14), dibenamkan dalam air mendidih (hlm. 27), dan direndam di laut (hlm. 44). Berbagai hukuman kreatif bikinan Jepang ini mengubah persepsi saya tentang seperti apa hukuman yang menyakitkan. Hukuman yang berdarah-darah tidak lantas lebih menyakitkan daripada hukuman seperti ana-tsurushi yang mematikan perlahan-lahan.
Menginjak fumie.
Sumber di sini.
Pukulan terdahsyat yang diterima oleh pihak gereja di masa itu sejak penyiksaan terhadap para misionaris dan orang Kristen di Jepang barangkali adalah berita tentang Christovao Ferreira, misionaris pertama yang mengingkari imannya (hlm. 15). Mengejutkan karena Ferreira sudah tiga puluh tiga tahun tinggal di Jepang, memiliki jabatan tinggi sebagai provincial; sosok yang sangat dihormati oleh para misionaris yang lain dan kelihatannya tidak mungkin mengingkari imannya.

Beberapa tahun setelah Ferreira dikabarkan mengingkari imannya, tiga pastor berkebangsaan Portugis berniat memasuki Jepang secara diam-diam dan berangkat pada bulan Maret 1638. Secara diam-diam karena semenjak meletusnya Pemberontakan Shimabara pada Januari 1638, Jepang memutuskan semua hubungan dagang dan persahabatan dengan Portugis. Mereka bertiga, Fransisco Garrpe, Juan de Santa Marta, dan Sebastian Rodrigues, dulunya adalah murid Ferreira di seminari. Mereka ingin menyelidiki apakah guru mereka itu benar-benar telah mengingkari imannya. Di perjalanan, Marta terjangkit malaria dan tak kunjung pulih, sehingga ia ditinggal di Macao. Hanya Rodrigues dan Garrpe yang melanjutkan perjalanan ke Jepang dengan bantuan Kichijiro, seorang Jepang yang mereka temukan di Macao.

Mereka sudah tahu bahwa ini adalah misi yang berbahaya. Sejak di perjalanan pun mereka telah mengalami berbagai ancaman, terutama keganasan alam. Sesampai di Jepang, bahaya yang lebih besar menghantui mereka. Mereka sudah tahu tapi tetap menjemput bahaya itu. Dua pastor terakhir di Jepang…, akankah mereka berhasil bertahan hidup?

[...] seorang pastor tidak perlu mati sebagai martir; dia harus mempertahankan hidupnya, supaya api iman yang telah dinyalakannya tidak mati sepenuhnya pada saat gereja mengalami penganiayaan.

(hlm. 126)

Tuhan, mengapa engkau diam saja?


Tuhan, mengapa engkau diam saja? Mengapa engkau selalu membisu?

(Rodrigues, hlm. 154)
 
Salah satu elemen yang menjadi daya tarik kuat novel ini adalah karakter-karakternya. Saya mengenal Rodrigues pertama kali lewat sudut pandang orang pertamanya dalam surat yang ia tulis, yaitu Bab 1 sampai Bab 4. Di bab-bab selanjutnya, saya mengikuti perjalanan Rodrigues dilihat dari sudut pandang orang ketiga. Sepanjang novel, Rodrigues mengajak saya menyelami pemikiran-pemikirannya seputar Kristianitas. Shusaku Endo berhasil menggambarkan dengan baik pergolakan batinnya hingga saya sering ikut-ikutan emosional.

Saya sangat bisa membayangkan bagaimana rasanya ketika ia dan Garrpe terkungkung dalam pondok di atas gunung di Desa Tomogi. Suasana hari berhujan yang muram dan ancaman akan datangnya pengawal sewaktu-waktu untuk menggerebek desa, membuat tegang kondisi psikologis mereka (hlm. 65). Rodrigues ingin pergi keluar dan mencari orang-orang Kristen lain serta ke Nagasaki untuk mencari info tentang Ferreira, tapi ia juga ingin tetap berada di dalam pondok kecil itu—di dalam zona nyamannya.

Di pondok kecil kami, aku merasa akan aman selamanya. Entah kenapa. Sungguh perasaan yang aneh.

(hlm. 71)

Saya tahu karena saya pernah mengalami itu, dan bukan cuma sekali.
Di masa-masa persembunyian dalam pondok itu, Rodrigues merasa tak berguna sebagai pastor.

Dalam beberapa hal, kami para pastor ini bisa dikatakan adalah sekelompok orang yang menyedihkan. Lahir ke dunia untuk melayani manusia, tak ada yang lebih sendirian dan kesepian daripada pastor yang tak bisa menunaikan tugasnya.

(hlm. 47)

Justru saat di penjara di luar kota Nagasaki-lah Rodrigues baru benar-benar merasa berguna sebagai pastor. Para pengawal mengizinkannya mengunjungi para tawanan lain (orang-orang Kristen Jepang) dan menguatkan iman mereka. Selama di penjara itu, anehnya ia merasa damai. Anehnya lagi, para pengawal memperlakukannya dengan baik, jauh lebih baik ketimbang bayangannya semula.

Selain itu, siksaan mental dialami Rodrigues saat ia menyaksikan nyawa orang-orang Kristen Jepang melayang. Di penjara itu, para tawanan, kecuali Rodrigues, dipaksa menginjak fumie. Ketika mereka menolak, salah satu dari mereka ditebas dengan pedang. Mau tak mau, ia merasa bahwa kematian mereka itu karena dia juga. Kemudian Rodrigues menjadi ragu. Dia bertahan hidup memang karena dia harus bertahan hidup demi Kristianitas Jepang yang masih amat muda, atau itu karena kepengecutannya menghadapi kematian?

Selama perjalanan menuju penjara, setelah ia tertangkap di perbukitan akibat campur-tangan Kichijiro, Rodrigues merasakan seperti mengalami apa yang dialami Yesus sebelum disalibkan. Ia diseret di jalanan desa dan orang-orang desa mencemoohnya. Ia dikhianati Kichijiro seperti Yesus dikhianati Yudas.

Ngomong-ngomong tentang Yudas, pemikiran kritis Rodrigues sangat menarik dan bikin saya ikutan mikir. Yesus pasti sudah tahu kalau Yudas akan mengkhianatinya, tapi kenapa dia tetap memilih Yudas menjadi muridnya dan membiarkan Yudas melakukan kejahatan itu?
Konflik batin Rodrigues yang menjadi inti cerita adalah keheningan Tuhan dan pertarungannya dengan kristianitas di dalam jiwanya sendiri. Keheningan Tuhan itu membuat Rodrigues mempertanyakan, bagaimana jika Tuhan ternyata tidak ada? (hlm. 120)

Kichijiro, gambaran kemanusiaan

Rodrigues merasa beberapa bagian dari pengalamannya itu mirip dengan yang telah dialami Yesus. Sementara itu, mengenal tokoh Kichijiro, saya seperti bercermin. Kichijiro adalah orang yang licik, pengecut, penjilat. Ia menjadi semacam anomali di tengah anggapan para misionaris bahwa Jepang adalah “negeri yang orang-orangnya sama sekali tidak takut mati” (hlm. 49). Awalnya, kepada Garrpe dan Rodrigues dia tidak mengaku bahwa dia seorang Kristen. Kemudian saya membaca bahwa di sepanjang novel ini dia sudah beberapa kali menyangkal imannya (barangkali) karena ia takut dihukum.

Ironis ketika kedua pastor itu mau tak mau mempercayakan diri kepada Kichijiro, yang karakternya bisa dianggap seperti Yudas.

Kalau dipikir-pikir, Tuhan kita sendiri memercayakan nasibnya pada orang-orang yang tidak layak dipercaya.

(Rodrigues, hlm. 50)

Kichijiro adalah manusia biasa, yang lemah dan takut akan bayangan penyiksaan. Kalau jadi dia, saya juga akan memilih menginjak fumie daripada dihukum. Lagi pula, menurut saya, hal-hal semacam meludahi fumie itu tidak masalah, sih, dilakukan. Itu kan hanya gambar. Keimanan saya (semoga) jauh lebih dalam daripada hanya sekadar memuja gambar timbul. Namun ternyata tidak sesederhana itu, sih. Menginjak fumie ternyata melibatkan pertarungan emosi yang dahsyat.

Tuhan ingin saya berlaku seperti orang yang tegar, padahal dia menciptakan saya sebagai orang lemah. Bukankah itu tidak masuk akal?

(Kichijiro, hlm. 185)

Seperti Rodrigues yang tidak bisa membenci Kichijiro meski karakternya demikian, Tuhan juga tidak bisa membenci manusia-manusia yang dikasihinya meski iman mereka melempem, bahkan sampai menyangkal-Nya. Setelah menyangkal imannya dan mengkhianati Rodrigues, Kichijiro tetap merasa bersalah, hingga ia senantiasa mengikuti Rodrigues sampai ke penjara dan terus memohon pengampunannya.

Andai aku penganut Kristen biasa, bukan pastor, apakah aku juga akan kabur seperti dia (Kichijiro)? Mungkin yang membuatku bertahan sekarang ini hanyalah harga diriku dan perasaan kewajiban sebagai pastor.

(Rodrigues, hlm. 111)

Ferreira, sisi yang lain

Saat akhirnya bisa bertemu Ferreira, yang kini berpenampilan bak orang Jepang dan tinggal di kuil, Rodrigues untuk pertama kali mendengarkan sendiri bagaimana pendapatnya tentang misi mengkristenkan orang Jepang itu. Dia berpikir bahwa Tuhan yang disembah orang Kristen Jepang itu bukanlah Tuhan orang Kristen melainkan Tuhan rekaan mereka sendiri. Deus dicampuradukkan dengan Dainichi (Matahari Agung).

Ada sesuatu di negeri ini yang sepenuhnya menghambat pertumbuhan Kristianitas. Kristianitas yang mereka percayai itu bagaikan kerangka kupu-kupu yang terjerat di jaring laba-laba: hanya bentuk luarnya yang mereka ambil. Darah dan dagingnya sudah lenyap.

(hlm. 241)

Ferreira diperintahkan untuk membuat Rodrigues menyangkal imannya. Betapa ironis, padahal dulu Ferreira adalah gurunya di seminari. Rodrigues pun akhirnya mendengar dari mulut Ferreira sendiri, apa alasan sebenarnya dia dulu mengingkari keyakinannya. Kini saat Rodrigues juga mengalami hal serupa, apakah ia akan mengingkari imannya juga?

Sebelum bertemu langsung dengan Ferreira dan mendengar argumennya, saya dan seluruh dunia misionaris bersikap sinis terhadapnya. Ih, masa pemimpin misi malah mengingkari keyakinannya? Namun setelah membaca argumen Ferreira, saya bisa menerima keputusannya.

Kristus sudah pasti akan menyangkal keyakinannya untuk menolong manusia.

(Ferreira, hlm. 267)

Benih tanaman dan rawa-rawa; perempuan asing dan laki-laki Jepang

Pada pertemuan pertama Rodrigues dengan Inoue, gubernur Chikugoyang dari Valignano telah ia dengar kekejamannya terhadap orang Kristen, ia terlibat perdebatan tentang cocok-tidaknya agama Kristen di Jepang. Mereka berdua menggunakan perumpamaan bahwa kristianitas di Jepang seperti benih yang disebar di rawa-rawa.

Kalau daun-daunnya tidak tumbuh dan bunga-bunganya tidak berkembang, itu hanya karena pohonnya tidak diberi pupuk.

(Rodrigues, hlm. 179)

Negeri ini ibarat rawa-rawa. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya sendiri. Dan rawa-rawa ini keadaannya lebih parah daripada yang bisa kaubayangkan. Setiap kali kau menanam tunas muda di rawa-rawa ini, akar-akarnya mulai membusuk, daun-daunnya menguning dan layu. Dan kita telah menanam tunas muda Kristianitas di rawa-rawa ini.

(Ferreira, hlm. 234)

Rawa-rawa Jepang yang dimaksud di dalam novel ini bisa berarti rawa-rawa Jepang itu sendiri (hlm. 20) atau, secara lebih personal dan universal sekaligus, merupakan rawa-rawa yang bisa muncul di dalam diri tiap pemeluk agama apa pun.

Pada pertemuan kedua, Inoue mengumpamakan hubungan Jepang dengan agama Kristen sebagai hubungan lelaki dan perempuan (hlm. 196-199), yang membuat saya mengernyit. Inoue terdengar sangat seksis. Hmm, mungkin memang di zaman itu, pendapat seperti ini terdengar sangat wajar.

Satu, kasih sayang yang dipaksakan oleh perempuan buruk rupa merupakan beban tak tertahankan bagi lelaki. Dua, perempuan yang mandul tidak seharusnya menjadi istri.

(Inoue, hlm. 199)
***
Di bagian "kata pengantar" novel ini, yang ditulis oleh William Johnston, saya mendapati kalimat berikut,

Kedua pastor asing yang melakukan pengingkaran itu (Ferreira dan Rodrigues) segera saja dianggap melambangkan Kristianitas yang gagal di Jepang karena bersikukuh mempertahankan ke-Barat-annya. 

(hlm. 18)

Saat saya merenungkannya, "ke-Barat-an” ini, misalnya, mungkin tampak dari bagaimana orang Kristen Jepang di masa itu berdoa dan menyanyikan lagu-lagu rohani yang masih menggunakan bahasa Latin. Yah, meskipun mereka juga berdoa dalam bahasa Jepang.

Kemudian, salah satu yang bikin saya kesal adalah ketika si penerjemah mengatakan hal paradoksal ini pada Rodrigues,

Sudah berapa kali kukatakan pada kalian (para misionaris), orang-orang Jepang-lah yang harus mati demi impian egois kalian? Sudah waktunya kalian membiarkan kami hidup tenang.

(hlm. 233)
 
Satu, orang-orang Jepang tidak harus mati demi impian para misionaris jika para pejabat Jepang sendiri tidak membunuhi mereka. Dan mereka menyalahkan para misionaris karena itu? Dua, menurut si penerjemah (dan mungkin mewakili pendapat para pejabat Jepang), impian para misionaris itu egois. Padahal, pejabat Jepang sendiri juga egois. Lihatlah bagaimana mereka menyiksa rakyatnya dengan pajak yang sangat berat, belum lagi keegoisan mereka dalam menghakimi rakyatnya atas keyakinan yang mereka pilih. Lha, egois teriak egois. Tapi, bagaimana kalau itu merupakan pertahanan diri Jepang terhadap pengaruh asing? Lagi pula sampai sekarang pun, Jepang modern tetap bisa mempertahankan budaya aslinya.

Ditulis dengan alur maju, novel sejarah Jepang ini mengajak saya mendalami batin Rodrigues, memaklumi karakter Kichijiro, dan menerima keputusan Ferreira. Gejolak demi gejolak emosi terus membayangi sepanjang perjalanan Rodrigues menemukan jawaban atas kegelisahan batinnya; atas rawa-rawa dalam dirinya. Bersama Rodrigues, saya bertemu pencerahan.[]

Identitas buku

Judul: Silence (Hening)
Penulis: Shusaku Endo
Alih bahasa: Tanti Lesmana
Desain dan ilustrasi cover: Staven Andersen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: III, Januari 2017
Tebal: 304 halaman
ISBN: 978-602-03-3717-3

10 August 2017

Terjemahan dan Pencernaan: "Kesialan Orang Lajang" & "Seorang Dokter Desa"

Catatan: tulisan ini pernah saya publikasikan di Instagram, saya publikasikan kembali di sini dengan beberapa perubahan.


Buku yang berjodoh dengan pembacanya akan menjamah kesadarannya pada waktu yang tepat.

Baru-baru ini aku mengalaminya. Bulan Juni kemarin, aku menemukan Seorang Dokter Desa di tumpukan teratas buku dalam salah satu ruangan. Malam sampai pagi hari itu aku sama sekali tak bisa tidur, padahal paginya aku ada wawancara kerja. Kucoba membaca cerpen yang berjudul sama dengan buku kumpulan cerpen itu, tapi tetap aku tak bisa tidur, padahal kelopak mata terasa berat.


Baca juga: Resensi "Seorang Dokter Desa"


Beberapa minggu setelah itu, aku selesai membaca Kesialan Orang Lajang, lalu iseng membuka kembali Seorang Dokter Desa--semata karena aku sedang ingin menyelami karya-karya Kafka. Mataku mengecupi daftar judul cerpennya, dan betapa gegar intelektualku--ada beberapa cerpen yang ternyata sama dengan yang ada di buku Kesialan Orang Lajang! Tak tertahankan, sesuatu dalam diriku ingin sekali membandingkan rasa terjemahan keduanya.


Mungkin karena diterjemahkan langsung dari bahasa Jerman, terbitan Oak ini terasa lebih gampang dikunyah dan ditelan. Beberapa bagian yang sulit kucerna di Kesialan Orang Lajang (rasanya seperti waktu konstipasi: perut muat-muat saja untuk makan dengan kuantitas biasa, tapi terasa tak enak), kucoba memamahnya lagi di Seorang Dokter Desa. Hasilnya, pencernaanku jadi lebih lancar.


Nah, kenapa begitu? Mungkin karena buku Kesialan Orang Lajang diterjemahkan dari bahasa Inggris, sehingga paralaks makna yang tercipta jauh lebih besar ketimbang yang terjadi pada buku Seorang Dokter Desa, yang langsung diterjemahkan dari bahasa aslinya, Jerman.

Baca juga: Resensi "Kesialan Orang Lajang"


Misalnya, dalam cerpen Pembunuhan Saudara di adegan terakhir, sebelum Schmar ditangkap oleh polisi, tertulis seperti ini di hlm. 53 (yang di dalam kurung siku adalah catatan saya):
Pallas, yang tersedak karena obat dalam tubuhnya, [obat, memangnya Pallas habis minum obat apa?] berdiri di pintu ganda rumahnya yang terbuka. "Schmar! Schmar! Aku melihat semuanya, aku tak melewatkan apa pun!" Pallas dan Schmar saling menyelidiki [menyelidiki, kupikir ada yang kurang pas dengan pemilihan kata ini]. Hasilnya memuaskan Pallas, Schmar tak menyimpulkan apa pun. [nah, "menyimpulkan" ini kupikir juga kurang pas]
Mari, kita bandingkan dengan terjemahan cerpen yang sama dalam buku Seorang Dokter Desa terbitan Oak, yang diterjemahkan langsung dari bahasa Jerman (dari hlm. 74):
Pallas, seolah sekujur badannya tercemar racun, berdiri di pintu rumahnya yang berdaun dua. "Schmar! Schmar! Aku melihat semuanya, dan tidak melewatkan apa pun." Pallas dan Schmar saling menatap satu sama lain. Itu membuat Pallas puas, namun Schmar tidak mengerti.
Nah, setelah membaca yang kedua, aku baru paham apa maksudnya. Dalam cerpen yang sama, aku menemukan kebingungan lain pada bagian berikut.


Ada perbedaan mencolok (bagian yang kutebalkan) antara kedua terjemahan tersebut. Pada terjemahan yang pertama, si tokoh "mengusapkan pisau itu bagaikan busur biola pada tapak sepatunya". Sementara itu, pada terjemahan yang kedua, si tokoh tidak mengusapkan pisau pada tapak sepatunya, tapi menggunakan sepatunya untuk membuat goresan--yang telah ia buat sebelumnya dengan pisaunya--itu "menjadi mirip busur biola".

Kemudian pada terjemahan yang pertama, pemilihan kata "di sisi jalan yang amat penting itu" kupikir agak janggal, terutama di bagian "yang amat penting". Pada terjemahan yang kedua, pemilihan kata "yang akan menentukan takdirnya itu" lebih jelas, cocok, dan mudah dipahami daripada terjemahan yang pertama.

Kasus yang berikutnya adalah pada cerpen Mimpi atau Sebuah Mimpi. Seperti yang kutampilkan di bawah ini, deskripsi pada terjemahan yang pertama cenderung lebih sulit dipahami ketimbang pada terjemahan yang kedua.


Berikutnya adalah cerpen Advokat Baru atau Si Pengacara Baru.


Perbedaan yang paling mencolok di antara kedua terjemahan adalah (selain pemilihan kata advokat dan pengacara) pada terjemahan yang pertama, disebutkan bahwa Bucephalus dulunya adalah prajurit Iskanda Agung/Aleksander Agung, sedangkan pada terjemahan yang kedua, disebutkan bahwa ia dulunya adalah kuda perang kesayangan sang raja tersebut. Menurut sejarah, Bucephalus memang adalah kuda perang Aleksander Agung.
Sumber: TIME
Dari terjemahan bahasa Inggrisnya (Franz Kafka: The Complete Stories terbitan Schocken Books tahun 1971), kalimat pertama adalah


We have a new advocate, Dr. Bucephalus. There is little in his appearance to remind you that he was once Alexander of Macedon's battle charger.


Bucephalus dulunya adalah "Alexander of Macedon's battle charger". Battle charger adalah "kuda yang digunakan untuk perang". Jadi, kupikir memang lebih cocok jika diterjemahkan menjadi "kuda perang" alih-alih "prajurit. Dalam fiksi mini ini Kafka menunjukkan transformasi yang entah bagaimana terjadinya, dari kuda perang menjadi pengacara. (Ingatkah kau akan "perubahan" Peter si Kera menjadi manusia dalam Pidato di Hadapan Sebuah Akademi?) Lebih dari itu, cerpen ini mengandung kegelisahan Kafka akan isu rasial (analisis yang menarik ini kutemukan di blog Simon Brilsby).

Namun, dalam cerpen Mengunjungi Tambang, ada bagian terjemahan yang pemilihan katanya kusukai, yaitu "mata yang mengisap segala sesuatu". Pemilihan diksi ini lebih kusukai ketimbang yang ada di terjemahan kedua.



Rasa yang berbeda juga kutemukan dalam cerpen yang dalam bahasa Inggris berjudul "Up in The Gallery". Sejak judul pun sudah sangat berbeda terjemahan yang pertama dan kedua. Di terjemahan pertama, cerpen ini berjudul "Di Galeri", sedangkan dalam terjemahan yang kedua ia berjudul "Di Balkon". Galeri dan balkon memiliki arti yang sungguh berbeda. Tapi dari bahasa Inggris "gallery" memang bisa diterjemahkan menjadi "galeri" maupun "balkon". Namun dalam konteks cerpen ini, kupikir lebih cocok menggunakan "balkon".


Menerjemahkan karya sastra bukanlah persoalan mudah, karena mempertimbangkan makna dan rasa seperti aslinya, juga apakah terjemahan itu mudah dicerna oleh pembaca. Apalagi jika bukan diterjemahkan dari bahasa aslinya--paralaks makna yang terjadi akan lebih besar ketimbang terjemahan dari bahasa asli. Oleh karena itu, sesungguhnya aku lebih memilih membaca versi bahasa Inggris dari karya sastra berbahasa lain yang aku tidak familiar.[ ]

bloggerwidgets