Sudah dua puluh tahun berlalu sejak penganiayaan ini dimulai; [...] dan di hadapan pengorbanan dahsyat yang tidak kenal kasihan ini, Tuhan tetap hening dan bungkam.
(hlm. 100-101)
Kristianitas telah disebarkan
benihnya di Jepang pertama kali oleh Francis Xavier tahun 1549. Selama masa
pemerintahan tiga daimyo yang berusaha mempersatukan Jepang (Nobunaga,
Hideyoshi, dan Ieyasu), para misionaris memiliki posisi yang bagus di istana
Bakufu. Namun kemudian, sejak tahun 1587 terjadilah penganiayaan terhadap orang
Kristen. Berbagai jenis penganiayaan ditimpakan kepada mereka agar mengingkari
iman. Dipaksa menginjak fumie, menjalani ana-tsurushi (hukum
gantung di dalam lubang, hlm. 14), dibenamkan dalam air mendidih (hlm. 27), dan
direndam di laut (hlm. 44). Berbagai hukuman kreatif bikinan Jepang ini
mengubah persepsi saya tentang seperti apa hukuman yang menyakitkan. Hukuman
yang berdarah-darah tidak lantas lebih menyakitkan daripada hukuman seperti ana-tsurushi
yang mematikan perlahan-lahan.
Menginjak
fumie.
|
Pukulan terdahsyat yang diterima
oleh pihak gereja di masa itu sejak penyiksaan terhadap para misionaris dan
orang Kristen di Jepang barangkali adalah berita tentang Christovao Ferreira,
misionaris pertama yang mengingkari imannya (hlm. 15). Mengejutkan
karena Ferreira sudah tiga puluh tiga tahun tinggal di Jepang, memiliki jabatan
tinggi sebagai provincial; sosok yang sangat dihormati oleh para
misionaris yang lain dan kelihatannya tidak mungkin mengingkari imannya.
Beberapa tahun setelah Ferreira
dikabarkan mengingkari imannya, tiga pastor berkebangsaan Portugis
berniat memasuki Jepang secara diam-diam dan berangkat pada bulan Maret 1638. Secara diam-diam
karena semenjak meletusnya Pemberontakan Shimabara pada Januari 1638, Jepang
memutuskan semua hubungan dagang dan persahabatan dengan Portugis. Mereka bertiga, Fransisco Garrpe,
Juan de Santa Marta, dan Sebastian Rodrigues, dulunya adalah murid Ferreira di seminari. Mereka ingin menyelidiki
apakah guru mereka itu benar-benar telah mengingkari imannya. Di perjalanan, Marta terjangkit
malaria dan tak kunjung pulih, sehingga ia ditinggal di Macao. Hanya Rodrigues
dan Garrpe yang melanjutkan perjalanan ke Jepang dengan bantuan Kichijiro,
seorang Jepang yang mereka temukan di Macao.
Mereka sudah tahu bahwa ini adalah
misi yang berbahaya. Sejak di perjalanan pun mereka telah mengalami berbagai
ancaman, terutama keganasan alam. Sesampai di Jepang, bahaya yang lebih besar
menghantui mereka. Mereka sudah tahu tapi tetap menjemput bahaya itu. Dua
pastor terakhir di Jepang…, akankah mereka berhasil bertahan hidup?
[...] seorang pastor tidak perlu mati sebagai martir; dia harus mempertahankan hidupnya, supaya api iman yang telah dinyalakannya tidak mati sepenuhnya pada saat gereja mengalami penganiayaan.
(hlm. 126)
Tuhan, mengapa engkau diam saja?
Tuhan, mengapa engkau diam saja? Mengapa engkau selalu membisu?
(Rodrigues,
hlm. 154)
Salah satu
elemen yang menjadi daya tarik kuat novel ini adalah karakter-karakternya. Saya mengenal Rodrigues pertama kali
lewat sudut pandang orang pertamanya dalam surat yang ia tulis, yaitu Bab 1 sampai
Bab 4. Di bab-bab selanjutnya, saya mengikuti perjalanan Rodrigues dilihat dari
sudut pandang orang ketiga. Sepanjang novel, Rodrigues mengajak saya menyelami
pemikiran-pemikirannya seputar Kristianitas. Shusaku Endo berhasil
menggambarkan dengan baik pergolakan batinnya hingga saya sering ikut-ikutan
emosional.
Saya sangat bisa membayangkan
bagaimana rasanya ketika ia dan Garrpe terkungkung dalam pondok di atas gunung
di Desa Tomogi. Suasana hari berhujan yang muram dan ancaman akan datangnya
pengawal sewaktu-waktu untuk menggerebek desa, membuat tegang kondisi
psikologis mereka (hlm. 65).
Rodrigues ingin
pergi keluar dan mencari orang-orang Kristen lain serta ke Nagasaki untuk
mencari info tentang Ferreira, tapi ia juga ingin tetap berada di dalam pondok
kecil itu—di dalam zona nyamannya.
Di pondok kecil kami, aku merasa akan aman selamanya. Entah kenapa. Sungguh perasaan yang aneh.
(hlm. 71)
Saya tahu karena saya pernah
mengalami itu, dan bukan cuma sekali.
Di masa-masa persembunyian dalam
pondok itu, Rodrigues merasa tak berguna sebagai pastor.
Dalam beberapa hal, kami para pastor ini bisa dikatakan adalah sekelompok orang yang menyedihkan. Lahir ke dunia untuk melayani manusia, tak ada yang lebih sendirian dan kesepian daripada pastor yang tak bisa menunaikan tugasnya.
(hlm. 47)
Justru saat di
penjara di luar kota Nagasaki-lah Rodrigues baru benar-benar merasa berguna
sebagai pastor. Para
pengawal mengizinkannya mengunjungi para tawanan lain (orang-orang Kristen
Jepang) dan menguatkan iman mereka. Selama di penjara itu, anehnya ia merasa damai.
Anehnya lagi, para pengawal memperlakukannya dengan baik, jauh lebih baik
ketimbang bayangannya semula.
Selain itu, siksaan mental dialami
Rodrigues saat ia menyaksikan nyawa orang-orang Kristen Jepang melayang. Di penjara itu,
para tawanan, kecuali Rodrigues, dipaksa menginjak fumie. Ketika mereka
menolak, salah satu dari mereka ditebas dengan pedang. Mau tak mau, ia merasa bahwa
kematian mereka itu karena dia juga. Kemudian Rodrigues menjadi ragu. Dia bertahan hidup
memang karena dia harus bertahan hidup demi Kristianitas Jepang yang masih amat
muda, atau itu karena kepengecutannya menghadapi kematian?
Selama perjalanan menuju penjara,
setelah ia tertangkap di perbukitan akibat campur-tangan Kichijiro, Rodrigues
merasakan seperti mengalami apa yang dialami Yesus sebelum
disalibkan. Ia diseret di
jalanan desa dan orang-orang desa mencemoohnya. Ia dikhianati Kichijiro seperti Yesus dikhianati Yudas.
Ngomong-ngomong tentang Yudas,
pemikiran kritis Rodrigues sangat menarik dan bikin saya ikutan mikir. Yesus
pasti sudah tahu kalau Yudas akan mengkhianatinya, tapi kenapa dia tetap
memilih Yudas menjadi muridnya dan membiarkan Yudas melakukan kejahatan itu?
Konflik batin Rodrigues yang menjadi
inti cerita adalah keheningan Tuhan dan pertarungannya dengan kristianitas di
dalam jiwanya sendiri. Keheningan Tuhan itu membuat Rodrigues mempertanyakan,
bagaimana jika Tuhan ternyata tidak ada? (hlm. 120)
Kichijiro, gambaran kemanusiaan
Rodrigues merasa beberapa bagian
dari pengalamannya itu mirip dengan yang telah dialami Yesus. Sementara itu,
mengenal tokoh Kichijiro, saya seperti bercermin. Kichijiro adalah orang yang
licik, pengecut, penjilat. Ia menjadi semacam anomali di tengah
anggapan para misionaris bahwa Jepang adalah “negeri yang orang-orangnya
sama sekali tidak takut mati” (hlm. 49). Awalnya, kepada Garrpe dan Rodrigues dia tidak mengaku
bahwa dia seorang Kristen. Kemudian saya membaca bahwa di sepanjang novel ini
dia sudah beberapa kali menyangkal imannya (barangkali) karena ia takut
dihukum.
Ironis ketika kedua pastor itu mau
tak mau mempercayakan diri kepada Kichijiro, yang karakternya bisa dianggap
seperti Yudas.
Kalau dipikir-pikir, Tuhan kita sendiri memercayakan nasibnya pada orang-orang yang tidak layak dipercaya.
(Rodrigues,
hlm. 50)
Kichijiro adalah manusia biasa, yang
lemah dan takut akan bayangan penyiksaan. Kalau jadi dia, saya juga akan
memilih menginjak fumie daripada dihukum. Lagi pula, menurut saya,
hal-hal semacam meludahi fumie itu tidak masalah, sih, dilakukan. Itu
kan hanya gambar. Keimanan saya (semoga) jauh lebih dalam daripada hanya
sekadar memuja gambar timbul.
Namun ternyata tidak sesederhana itu, sih. Menginjak fumie ternyata
melibatkan pertarungan emosi yang dahsyat.
Tuhan ingin saya berlaku seperti orang yang tegar, padahal dia menciptakan saya sebagai orang lemah. Bukankah itu tidak masuk akal?
(Kichijiro,
hlm. 185)
Seperti Rodrigues yang
tidak bisa membenci Kichijiro meski karakternya demikian, Tuhan juga tidak bisa
membenci manusia-manusia yang dikasihinya meski iman mereka melempem, bahkan
sampai menyangkal-Nya. Setelah
menyangkal imannya dan mengkhianati Rodrigues, Kichijiro tetap merasa bersalah,
hingga ia senantiasa mengikuti Rodrigues sampai ke penjara dan terus memohon
pengampunannya.
Andai aku penganut Kristen biasa, bukan pastor, apakah aku juga akan kabur seperti dia (Kichijiro)? Mungkin yang membuatku bertahan sekarang ini hanyalah harga diriku dan perasaan kewajiban sebagai pastor.
(Rodrigues, hlm. 111)
Ferreira, sisi yang lain
Saat akhirnya
bisa bertemu Ferreira, yang kini berpenampilan bak orang Jepang dan tinggal di
kuil, Rodrigues untuk pertama kali mendengarkan sendiri bagaimana pendapatnya
tentang misi mengkristenkan orang Jepang itu. Dia berpikir bahwa Tuhan yang disembah
orang Kristen Jepang itu bukanlah
Tuhan orang Kristen melainkan Tuhan rekaan mereka sendiri. Deus dicampuradukkan
dengan Dainichi (Matahari Agung).
Ada sesuatu di negeri ini yang sepenuhnya menghambat pertumbuhan Kristianitas. Kristianitas yang mereka percayai itu bagaikan kerangka kupu-kupu yang terjerat di jaring laba-laba: hanya bentuk luarnya yang mereka ambil. Darah dan dagingnya sudah lenyap.
(hlm. 241)
Ferreira diperintahkan untuk membuat
Rodrigues menyangkal imannya. Betapa ironis, padahal dulu Ferreira adalah
gurunya di seminari. Rodrigues pun akhirnya mendengar dari mulut Ferreira
sendiri, apa alasan sebenarnya dia dulu mengingkari keyakinannya. Kini saat
Rodrigues juga mengalami hal serupa, apakah ia akan mengingkari imannya juga?
Sebelum bertemu langsung dengan
Ferreira dan mendengar argumennya, saya dan seluruh dunia misionaris bersikap
sinis terhadapnya. Ih, masa pemimpin misi malah mengingkari keyakinannya?
Namun setelah membaca argumen Ferreira, saya bisa menerima keputusannya.
Kristus sudah pasti akan menyangkal keyakinannya untuk menolong manusia.
(Ferreira, hlm. 267)
Benih tanaman dan rawa-rawa; perempuan asing dan laki-laki Jepang
Pada pertemuan
pertama Rodrigues dengan Inoue, gubernur
Chikugo—yang dari
Valignano telah ia dengar kekejamannya terhadap orang Kristen, ia terlibat
perdebatan tentang cocok-tidaknya agama Kristen di Jepang. Mereka berdua menggunakan
perumpamaan bahwa kristianitas di Jepang seperti benih yang disebar di
rawa-rawa.
Kalau daun-daunnya tidak tumbuh dan bunga-bunganya tidak berkembang, itu hanya karena pohonnya tidak diberi pupuk.
(Rodrigues,
hlm. 179)
Negeri ini ibarat rawa-rawa. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya sendiri. Dan rawa-rawa ini keadaannya lebih parah daripada yang bisa kaubayangkan. Setiap kali kau menanam tunas muda di rawa-rawa ini, akar-akarnya mulai membusuk, daun-daunnya menguning dan layu. Dan kita telah menanam tunas muda Kristianitas di rawa-rawa ini.
(Ferreira, hlm. 234)
Rawa-rawa
Jepang yang dimaksud di dalam novel ini bisa berarti rawa-rawa
Jepang itu sendiri (hlm. 20) atau, secara lebih
personal dan universal sekaligus, merupakan rawa-rawa yang bisa muncul di dalam diri tiap pemeluk agama apa pun.
Pada pertemuan kedua, Inoue mengumpamakan
hubungan Jepang dengan agama Kristen sebagai hubungan lelaki dan perempuan
(hlm. 196-199), yang
membuat saya mengernyit. Inoue terdengar sangat seksis. Hmm, mungkin memang di zaman itu, pendapat seperti ini terdengar sangat wajar.
Satu, kasih sayang yang dipaksakan oleh perempuan buruk rupa merupakan beban tak tertahankan bagi lelaki. Dua, perempuan yang mandul tidak seharusnya menjadi istri.
(Inoue, hlm. 199)
***
Di bagian "kata pengantar"
novel ini, yang ditulis oleh William Johnston, saya mendapati kalimat berikut,
Kedua pastor asing yang melakukan pengingkaran itu (Ferreira dan Rodrigues) segera saja dianggap melambangkan Kristianitas yang gagal di Jepang karena bersikukuh mempertahankan ke-Barat-annya.
(hlm. 18)
Saat saya
merenungkannya, "ke-Barat-an” ini, misalnya, mungkin tampak dari bagaimana
orang Kristen Jepang di masa itu berdoa dan menyanyikan lagu-lagu rohani yang
masih menggunakan bahasa Latin. Yah, meskipun mereka juga berdoa dalam bahasa
Jepang.
Kemudian, salah
satu yang bikin saya kesal adalah ketika si penerjemah mengatakan hal
paradoksal ini pada Rodrigues,
Sudah berapa kali kukatakan pada kalian (para misionaris), orang-orang Jepang-lah yang harus mati demi impian egois kalian? Sudah waktunya kalian membiarkan kami hidup tenang.
(hlm. 233)
Satu, orang-orang Jepang tidak harus
mati demi impian para misionaris jika para pejabat Jepang sendiri tidak
membunuhi mereka. Dan mereka menyalahkan para misionaris karena itu? Dua,
menurut si penerjemah (dan mungkin mewakili pendapat para pejabat Jepang),
impian para misionaris itu egois. Padahal, pejabat Jepang sendiri juga egois.
Lihatlah bagaimana mereka menyiksa rakyatnya dengan pajak yang sangat berat,
belum lagi keegoisan mereka dalam menghakimi rakyatnya atas keyakinan yang
mereka pilih. Lha, egois teriak egois. Tapi, bagaimana kalau itu
merupakan pertahanan diri Jepang terhadap pengaruh asing? Lagi pula sampai
sekarang pun, Jepang modern tetap bisa mempertahankan budaya aslinya.
Ditulis dengan alur maju, novel
sejarah Jepang ini mengajak saya mendalami batin Rodrigues, memaklumi karakter
Kichijiro, dan menerima keputusan Ferreira. Gejolak demi gejolak emosi terus
membayangi sepanjang perjalanan Rodrigues menemukan jawaban atas kegelisahan
batinnya; atas rawa-rawa dalam dirinya. Bersama Rodrigues, saya bertemu
pencerahan.[]
Identitas buku
Judul:
Silence (Hening)
Penulis:
Shusaku Endo
Alih
bahasa: Tanti Lesmana
Desain dan
ilustrasi cover: Staven Andersen
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan:
III, Januari 2017
Tebal: 304 halaman
ISBN: 978-602-03-3717-3
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^