Penulis: Ragil Kuning, dkk. Editor: Zare Penerbit: Senja Cetakan: I, 2015 Tebal: 212 halaman ISBN: 978-602-255-611-4 |
“Tuh, kan, baru kerasa kehilangan kalau orang nggak ada.”
(Umi kepada Adam, hal. 130)
Tiga Meong yang tak berhenti mengeong
Glamo Girls, atau lebih beken dengan nama
Tiga Meong, adalah geng tiga orang cewek borju—Gina, yang agak bijaksana; Lala,
yang galak; dan Monic, si Lelola alias Lemot
plus Loading Lama. Karena merasa paling kaya, paling cantik, dan paling
keren, mereka menempatkan diri di atas level semua teman di SMA-nya. Namun, kalau sedang mengejar-ngejar trio Adam,
Tomy, dan Bastian, mereka seolah tak punya harga diri, ngelendot ke mana-mana,
padahal dicuekin para cowok itu. Lalu, muncullah sebuah ide gila dari kepala Adam.
Mereka berkonspirasi untuk mengirim Tiga Meong mewakili kelas mereka melakukan
baksos di pulau terpencil selama seminggu!
Tiga Meong syok berat begitu melihat
tempat tinggal sementara mereka di Pulau Sabira, pulau paling utara di
Kepulauan Seribu. Mereka menumpang di rumah Bu Inah, yang luasnya nggak lebih
besar daripada garasi di rumah gedong mereka. Mereka memberi julukan rumah itu
sebagai RSSSSP (Rumah Sangat Sederhana Sulit Selonjor Pula). Kamar segede kamar
mandi di rumah mereka di Jakarta itu pun harus ditempati untuk bertiga. Belum
lagi ada kecoak dan curut yang suka nongol tiba-tiba. Kayaknya mereka bakal
minta pulang ke Jakarta sebelum hari itu berakhir, ya nggak? Eh, tapi siapa
sangka, mungkin saja mereka bisa berubah.
Sementara itu, di SMA mereka, trio Adam,
Tomy, Bastian terlihat lesu, ada yang kurang rasanya karena tak ada Tiga Meong
yang mengejar-ngejar mereka. Bu Entin yang jaga kantin pun merasa kehilangan
pemasukan, karena biasanya Tiga Meong selalu memborong dagangannya. Pun Pak
Ono, si satpam yang biasanya disogok uang rokok oleh Tiga Meong yang sering
telat, agar membukakan pintu itu merasa kehilangan sumber penghasilan tambahan.
Para orang rumah Tiga Meong pun merasa kehilangan. Ternyata, meskipun nyebelin,
semua orang merindukan Tiga Meong!
“Suasana kelas tampak sepi melebihi TPU Jeruk Purut.” (hal. 73)Utie : Hoaaam, sepi, ya? Sepertinya ada yang aneh.
Arya : Lo pasti kangen suara cempreng Glamo Girls, ya? kalau nyanyi sok imut pake gaya Cherrybellekan.
(hal. 76)
Ketika kembali nanti, apakah Tiga Meong
masih Glamo Girls yang dulu?
Bertahan menelan segala ke-lebay-an ini
“Gina melangkah pasti dengan rambut yang berkibar-kibar. Para cowok berjejer menatap Gina dengan mulut yang terus menganga. Mereka melambaikan tangan ke arah Gina sambil membawa poster foto Gina yang lagi nyengir lebar.” (hal. 17)
Terbayang, kan, betapa lebay-nya novel
ini? Saya langsung terbayang dorama Jepang tentang anak sekolahan yang sering
lebay, kadang si cowok sampai mimisan ketika melihat cewek cantik. Nggak hanya
cara menulisnya yang lebay, para tokohnya juga lebay. Seperti ketika Lala memberikan
sebatang cokelat pada Tomy, oleh-oleh papanya dari Perancis, katanya.
Tomy : Makasih. Pasti mahal, ya?
Lala : Iya. Ini mahal banget, Kak. Masak, ya? Kata Papa, harganya seratus ribu loh sebatang gini.”
Tomy : (melotot)
(hal. 33)
Karena memang ketiga penulis memaksudkan
novel ini sebagai novel komedi remaja, maka segala ke-lebay-an itu terampuni. Eits, jangan salah, meski novel komedi, para penulisnya menawarkan
pesan moral pada para remaja agar memupuk jiwa sosial bagi orang-orang yang
kurang mampu, lho. Penulis juga menunjukkan proses perubahan sikap Glamo Girls,
yang tadinya berpenampilan glamor dan berjiwa glamor, hingga menjadi “biar
penampilan kami glamor, jiwa kami sosial, kok!” (Lala, hal. 208).
Sebelum mengikuti baksos di Pulau Sabira,
Glamo Girls memang glamor, tapi jiwa mereka sebenarnya polos. Inilah yang
dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitarnya, yang memang hanya memanfaatkan
uang mereka. Saking polosnya, mereka tetap senang-senang saja dan tidak merasa
dimanfaatkan, terutama oleh tokoh-tokoh berikut ini.
1. Pak Ono --> sengaja menutup gerbang pukul setengah
tujuh, padahal nggak ada itu di peraturan sekolah, biar Glamo Girls kesannya
telat.
“Maksudnya, kalau pager aku tutup, terus mereka
kesannya telat. Abis itu, mereka kasih
aku uang rokok, deh.”
(Pak Ono, hal. 71)
2. Bu Entin --> senang banget kalau
ada Glamo Girls nangkring di kantinnya. Itu berarti pesta traktir-traktiran dan
makan besar-besaran!
“Terus selama seminggu dagangan gue siapa yang
beli, dong? Walaupun mereka bawel dan nyebelin, tapi cuma mereka yang ngeborong
dagangan makanan di warung gue.” (hal. 78)
Nulis satu novel bertiga itu nggak mudah
Novel ini ditulis oleh tiga penulis cewek:
Ragil Kuning, Afin Yulia, dan Tia Marty (wah, jangan-jangan sembari menulis,
mereka membayangkan bahwa merekalah si Glamo Girls, hihi). Pasti tidak mudah
menulis satu novel bertiga, terutama dalam hal menjaga konsistensi segala hal.
Untungnya, novel ini ditulis dengan cukup bagus hingga efek “perpindahan tangan
dan kepala” si penulis tak terlalu terasa. Mulus-mulus aja, seolah ditulis oleh
satu orang. Saya tidak tahu bagaimana sistem pembagian menulis yang mereka
lakukan, tapi saya menemukan inkonsistensi gaya obrolan Glamo Girls, yaitu
dalam penggunaan kata “lo” dan “lu”. Misalnya, di bab 8, mereka bertiga selalu
menggunakan kata “lo”.
·
“Monic,
lo nggak bercita-cita nikah muda, kan?” (Lala, hal. 142)
·
“Gina,
lo kenapa? La, kok diem, sih?” (Monic, hal. 136)
·
“Lo
ngapain, Mon?” (Gina, hal. 144)
Tapi, menginjak
bab 9, kata “lo” dalam obrolan mereka berubah secara ajaib menjadi “lu”.
·
“...pasti
impian lu tuh jadi kenyataan dalam sekejap, La.” (Gina, hal. 147)
·
“Lu
kan tadi sore nggak mandi, Miss Takut Air.” (Monic, hal. 147)
·
“Lu-lu
kate ini lagi syuting sinetron, apa?” (Lala, hal. 148)
Nah, anehnya, di halaman 150, Gina
menggunakan “lo” lagi. Mungkin saja ini sesuatu yang lazim dalam kehidupan
nyata, dan hanya saya yang terlalu memikirkannya (?).
Selain itu, terdapat
pula beberapa keanehan berikut ini.
1. “Ibu,
kerupuk ikannya abis semua. Nih, total uangnya sepuluh ribu.”
(Wati kepada Bu Inah, hal. 110)
Di halaman sebelumnya tertulis bahwa harga
sebungkus kerupuk seribu rupiah, jadi mereka hanya berjualan sepuluh bungkus
kerupuk? Menurut saya, dengan perjuangan mereka dalam membuat dan menjajakan
kerupuk itu, hanya sepuluh bungkus itu terlalu sedikit. Eh, bungkusannya
seberapa, saya juga nggak tahu.
2. “Apakah
lo baik-baik saja?”
(arti pandangan mata Gina dan Lala, hal. 134)
(arti pandangan mata Gina dan Lala, hal. 134)
Kalimat ini terasa terlalu baku untuk gaya
obrolan mereka yang sebelum-sebelumnya selalu amat gaul. Kayaknya lebih cocok
begini, “Apa lo baik-baik aja?”
3. “Lala garuk-garuk kepala disaksikan Monic dan Gina yang
berpelukan ala Teletubbies.
Monic yang ketinggalan aksi berpelukan itu protes.... ‘Euhh, kalian nggak setia kawan. Kenapa kalian nggak ngajak gue ngajak aku berpelukan?’
‘Iiih, ogaah!’ tukas Gina dan Monic sambil minggir ke pojokan.” (hal. 147)
Monic yang ketinggalan aksi berpelukan itu protes.... ‘Euhh, kalian nggak setia kawan. Kenapa kalian nggak ngajak gue ngajak aku berpelukan?’
‘Iiih, ogaah!’ tukas Gina dan Monic sambil minggir ke pojokan.” (hal. 147)
a. Seharusnya Lala yang protes, bukan Monic, karena yang berpelukan adalah
Monic dan Gina.
b. Pada kalimat yang saya highlight
kuning itu seharusnya bagian “ngajak aku” dihapus.
4. “’Lu apaan, sih?!’ Gina menginjak kaki cowok aneh itu.
Cowok berambut kribo sarang burung itu cengar-cengir ngerasain kakinya diinjak keras-keras oleh Lala.” (hal. 174)
Cowok berambut kribo sarang burung itu cengar-cengir ngerasain kakinya diinjak keras-keras oleh Lala.” (hal. 174)
Hei, yang
menginjak Gina, lho, bukan Lala. Hehehe.
Saya juga
menemukan beberapa kesalahan penulisan, yang tidak sesuai dengan EYD, tapi tidak terlalu merusak kenikmatan membaca.
Akhirnya, saya memberikan apresiasi pada
ketiga penulis yang bisa dengan cukup luwes menuliskan satu novel yang
menghibur sekaligus memberikan pelajaran moral ini. Apabila hidup kita sekarang
berkecukupan, tak ada salahnya untuk selalu mengingat pelajaran berharga
sebagaimana dialami oleh Glamo Girls selama di Pulau Sabira.
Terima kasih atas reviewnya, Kakak. Semoga kekurangan-kekurangan dalam novel ini bisa menjadikan kami untuk bisa menulis lebih baik ke depannya. Aamiin.
ReplyDeleteHallo, terima kasih untuk masukannya. Kita memang harus melihat dari sudut pandang orang lain untuk tahu hal-hal yang harus diperbaikai.
ReplyDeleteTerima kasih sekali lagi