Penulis : Adhiati AP Tebal : 224 halaman Penerbit : de TEENS Cetakan : I, Desember 2014 Harga : Rp 38.000,00 ISBN : 978-602-255-767-8 |
Sebagai
seorang yang disleksia, dulu Kia bersemangat berjuang untuk belajar membaca.
Namun, semangat itu lenyap seketika, bersama berubahnya Kia yang ceria menjadi
Kia yang pendiam, karena suatu kejadian yang menimpa ayahnya, sementara ibunya
entah ke mana. Sampai saat ini pun, ibu Kia sering meninggalkannya untuk
bekerja dan Kia menganggapnya tak ada. Hanya satu sahabat yang ia punyai, Wira.
Suatu hari, Wira datang membawa seekor kucing putih bernama Saya. Dengan
cerdik, ia memanfaatkan Saya agar Kia mau jadi pacarnya. Sejak itu, hari-hari
Kia diwarnai dengan melukis, main bersama Saya, dan main bersama Wira.
“Kalau kamu nggak mau jadi pacarku..., besok kembaliin Saya!” (Wira, hal. 12)
Awalnya, Kia menerima permintaan Wira itu
karena khawatir, jika ditolak, maka ia akan kehilangan satu-satunya sahabatnya
itu. Tapi, lama-lama, rasa cinta itu muncul, hingga tiga tahun kemudian.
Sayangnya, Tante Dani—mami Wira—masih tidak setuju jika Wira pacaran dengan
Kia. Setiap bertamu ke rumah Wira, Kia selalu merinding ketakutan. Untunglah,
Wira mengobatinya dengan banyak kiwi dan es krim kiwi kesukaan Kia.
Selama
dua minggu kemudian, Kia resah karena Wira sama sekali tak menghubunginya. Mas
Adhitlah—kakak Wira—yang memberitahunya bahwa Wira mengalami kecelakaan.
Luka-lukanya terlihat ringan, sih… Tapi sejak saat itu, sikap Tante Dani
berubah terhadap Kia, juga sikap Wira yang menjadi aneh—seperti menghindarinya
atau menyembunyikan sesuatu. Ada apa sebenarnya?
***
Sang
penulis, Adhiati AP, adalah seorang pecinta kucing. Nampak dari dimasukkannya
seekor kucing dalam cerita, juga sebagai gantungan flashdisk. Gantungan
flashdisk berbentuk kucing, maksudnya. Flashdisk ini nantinya memegang peranan
penting dalam menyimpan sebagian kenangan Wira untuk Kia. Penulis sudah
berhasil menciptakan tokoh Kia yang unik karena disleksianya. Secara konsisten,
penulis menggambarkan keadaan Kia yang kesulitan membaca, sehingga tidak pernah
mengotak-atik file lagu dalam mp3 player-nya. Kia juga tidak melanjutkan
sekolah. Tapi, dia pandai melukis (biasanya anak disleksia punya kelebihan di
bidang seni). Kesan pendiamnya juga sangat kental, kecuali jika berhadapan
dengan Wira, Adhit, atau Nino, sepupunya. Jika bersama ketiga orang itu, Kia
akan kembali ke sifat Kia asli yang dulu: ceria dan suka bicara.
Tokoh
Wira dan Adhit. Mereka berdua sosok kakak-beradik yang suka bertengkar karena
masalah kecil, tapi sebenarnya saling mendukung. Wira digambarkan sebagai orang
yang ramah dan supel, tapi kalau sudah marah atau tidak suka akan sesuatu….,
hati-hati, dendamnya dibawa sampai mati! Sementara itu, Adhit adalah sosok yang
pemalas (molor terus ngerjain skripsi), tapi ia selalu punya ide untuk
menghindarkan Mami dari Kia. Adhit ini jagonya bikin alasan alias ngeles.
Beberapa bagian yang konyol juga disumbangkan oleh Adhit dan tingkah-polahnya. Diam-diam,
ia juga menyukai Kia, dan Wira menyadarinya. Namun, Adhit mampu membuat
keputusan benar, meski itu menyakitkan. Setelah Wira kecelakaan, Adhit juga
dengan sabar (menghadapi emosi adiknya) mengantar-jemput Wira. Oleh karena
kebesaran hatinya, Adhit menjadi tokoh yang saya sukai di novel ini.
Awalnya,
saya kira Adhitlah yang akan mendampingi Kia sampai akhir, tapi ternyata muncul
Nino. Tokoh Nino baru dimunculkan di bab 10, awalnya untuk membuat Wira cemburu
dan malu, kemudian menyadari kesalahannya. Setelah Adhit pergi ke Jerman untuk
melanjutkan studi, Ninolah yang ada di samping Kia.
Tokoh
kucing bernama Saya juga menempati posisi penting. Kalau tidak ada dia,
sepertinya Wira dan Kia tidak akan pernah jadian. Tapi, saya agak terganggu
dengan nama “Saya”, yang sangat aneh. Mungkin dinamai begitu agar nama
panggilannya jadi “Say”, ya? Tapi rawan ambigu dengan “saya”, kata ganti orang
pertama.
Novel
ini mengambil latar tempat Solo (rumah Wira, rumah Kia, mal tempat Nino dan Kia
jalan-jalan) dan Yogyakarta (rumah sakit tempat Wira dirawat setelah
kecelakaan). Deskripsi latar cukup detail, terutama rumah Wira dan Kia.
Penggunaan
sudut pandang penceritaan orang ketiga serbatahu agak membingungkan di awal.
Mungkin karena akhir-akhir ini saya terbiasa membaca cerita dengan sudut
pandang orang ketiga tapi yang terbatas.
Alur maju-mundur yang digunakan
penulis pun sangat membingungkan. Tidak jelas perpindahannya, sehingga saya
kelabakan, seperti adegan di halaman 63. Di masa kini, Kia sedang berdiri di
kamarnya dan melamunkan masa lalu.
“Seakan dia bisa melihat dirinya yang lain duduk di tengah ruangan bersama Saya.”
Adegan
berpindah setelah kalimat itu. Saya kira, lamunan Kia tadi tidak terlalu penting.
Ternyata, saya terlambat menyadari bahwa adegan berikutnya, “Saya tertidur
pulas…..” itu adalah bagian dari masa lalu yang sedang dilamunkan oleh Kia.
Di
bagian awal, alurnya berjalan agak membosankan. Konflik-konflik kecil memang
ada, seperti adegan Kia ke rumah Tante Dani yang menimbulkan pertengkaran, tapi
saya masih bertanya-tanya, akan dibawa ke mana ini? Kemudian tiba-tiba Wira
sudah berada di rumah sakit setelah kecelakaan. Sakit fisik luarnya, sih, biasa
saja, tapi seperti ada yang dirahasiakan. Nah, mulai di bagian ini, penulis
ingin membuat pembaca penasaran. Selain penasaran, saya juga cemas,
jangan-jangan nanti cerita berakhir seperti kisah FTV. Salah satu tokoh
kecelakaan, atau sakit, lalu mati.
Mungkin
akan lebih menohok jika kejadian saat Wira kecelakaan itu ditunjukkan, jangan cuma diberitakan.
Saya kira, Wira menyembunyikan sakit parah yang menyerang organ dalamnya akibat
kecelakaan. Eh, ternyata bukan akibat kecelakaan. Oke, di bagian ini penulis
berhasil memberikan twist, untuk mengompensasi
kisahnya yang mudah ditebak.
Meski
alur kisahnya mudah ditebak, saya menyukai detail-detail kecil yang disuguhkan
penulis. Misalnya, saat Wira memasukkan suatu file ke mp3 player Kia. Lantaran
Kia disleksia, dia tidak pernah mengotak-atik file mp3-nya lewat PC (simple
aja, dia kesulitan membaca judul-judul file-nya!).
“Bagi orang lain, gampang saja, tinggal sambungkan ke komputer dan cari nama baru. Tapi, bagi Kia, cara satu-satunya hanya mendengarkan satu per satu.” (hal. 61-62)
Yah,
mau didengerin sampai kapan pun, file yang dicari nggak akan mampir ke telinga
Kia, soalnya formatnya bukan mp3! Hahaha. Keisengan Wira ini romantis, lho,
ternyata, dan baru terungkap di akhir cerita. Ide ini cukup menambal
ke-klise-an cerita yang saya keluhkan tadi. Saya juga suka kado terakhir Wira
buat Kia, yang merupakan aplikasi ilmu arsitektur yang Wira pelajari di bangku
kuliah. Ilmunya bermanfaat juga, ya, untuk mengharukan hati sang pacar? Hehehe.
Gaya
bahasa yang digunakan penulis tidak menye-menye dan tidak alay. Siapa bilang,
novel teenlit kudu alay? Malah, cenderung agak puitis. Penulis gemar
menggunakan analogi dan metafora yang segar, seperti berikut ini.
- Mami kelihatan benar-benar seram. Bak Penyihir Putih di cerita Narnia.
Hutan punya singa sebagai raja, tapi di rumah itu Mamilah ratunya. (hal. 22) - Seperti lele, Adhit bersungut-sungut mengitari sofa. (hal. 37)
- Kia berada di kamarnya, Teronggok seperti pakaian kotor di atas tumpukan bantal warna-warni. (hal. 61)
- Wira : Umurku, kan, masih dua puluh....
Kia : Rabu depan, tuh, nol di belakang bakal ditusuk! (hal. 179)
Penggambaran
suasana batin tokoh juga sudah mengena, seperti ketika Wira ditelepon Kia
tiba-tiba.
“Sekarang, Wira benar-benar merasa sedang memerankan film horor. Dia merasa seperti figuran yang akan mati pertama di pembukaan film.” (hal. 135)
Namun,
saya kurang nyaman membaca kata ganti yang sering penulis berikan pada
“ponsel”.
“…pandangan Kia terfokus pada benda di ujung karpet. Yah, menanti benda itu mengabarinya sesuatu.” (hal. 62)
Benda
apa sebenarnya yang dimaksud? Tak ada keterangan apa pun sebelum dan sesudah
kalimat itu. Hanya kepekaan pembaca yang tak bisa dipisahkan dengan ponsel-lah
yang dapat menjelaskan. Kenapa nggak langsung bilang “ponsel” saja, daripada
bertele-tele seperti itu?
Kemudian, saya
juga menemukan kalimat kurang efektif.
“Setelah satu tarikan napas panjang, Kia melangkahkan kaki.” (hal. 75)
Seharusnya
cukup “melangkah”. Semua orang normal tahu bahwa orang “melangkah” pasti
menggunakan kaki. Selain itu, ada satu kalimat lain yang setelah saya baca
beberapa kali, saya tetap tidak mengerti apa maksudnya. Mungkin ada pembaca
lain yang bisa memberitahu saya? Hehehe.
“Cukup ‘baik-baik saja’ yang didengarnya. Selebihnya, penasaran pun Kia tidak benar-benar ingin tahu.” (hal. 97)
Mari
kita beralih ke alasan mengapa Tante Dani tidak suka Wira pacaran dengan Kia.
Awalnya, saya kira karena ini:
“Benar kamu cuma milih kuliah di Jogja karena dia?” (Mami kepada Wira, hal. 23)
(Seharusnya
“milih kuliah di Jogja cuma karena dia”, ya?)
Wira
sebenarnya disuruh kuliah di Bandung oleh Papi, tapi demi bisa nyamperin Kia
lebih dekat, dia memilih kuliah di Yogyakarta. Ternyata,
bukan karena itu, melainkan karena Kia disleksia.
“Kamu lupa alasan Tante Dani nggak suka sama aku? Aku, kan, disleksia…” (Kia, hal. 33)
Tante
Dani beranggapan bahwa Kia bodoh karena disleksia (nggak sekolah juga, kan),
jadi mungkin dia tidak rela anaknya, yang anak kuliahan, pacaran dengan gadis
yang bahkan nggak sekolah. Menurut saya, Tante Dani sangat kekanakan. Cuma
gara-gara disleksia? Tidak semua orang cocok dengan sistem pendidikan formal. Lagi pula, disleksia itu bukan suatu cacat, melainkan hanya perbedaan
cara belajar (menurut ADA–kemungkinan besar yang dimaksud adalah Americans with Disabilities Act).
Penulis menggunakan ke-disleksia-an Kia untuk menyindir fenomena-fenomena sosial di sekitarnya. Misalnya, sindiran
Kia untuk para generasi merunduk alias pemuja smartphone berikut ini.
“Dia tidak suka main game dan tentu tidak mungkin bersosmed ria. Yah, emang yang paling waras, tuh, orang disleksia. Sindiran itu ditujukan untuk dirinya sendiri saat melihat orang di meja sebelah cekikikan sendiri memandang layar ponsel.”
(hal. 185-6)
Meski
novel ini terkategorisasi dalam novel teenlit, konflik yang diangkat tidak
masalah percintaan remaja yang alay, kok. Malah, banyak pelajaran yang bisa
dipetik dari Kia yang disleksia, Wira yang menyembunyikan penyakitnya, dan
Adhit yang harus memilih antara skripsi atau cintanya. Bahkan, judulnya pun
terkesan menyembunyikan sesuatu—tidak langsung menjurus ke romantisme ala
remaja. Akhirnya, saya hadiahkan tiga bintang untuk Penggores Kenangan!
“Percuma jika punya banyak waktu, tapi tidak digunakan untuk melakukan apa pun. Lebih baik waktu singkat yang digunakan untuk melakukan hal-hal berguna.”
(hal. 141)
Sumber gambar di sini, diedit oleh saya. |
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^