6 October 2014

[Resensi "Morning Dew"] Panggil Ia "Embun"

Embun di atas daun sirsak di halaman rumah, di suatu sore bulan Desember tahun 2013. Eh, tunggu, masa ada embun sore-sore? Oke, mungkin itu bekas siraman air Mamski. Yang penting mirip embun. Tidak sengaja dapat fokus bagus (tumben).
Judul Buku                   : Morning Dew
Penulis                         : Musdalifah
Tebal                           : 320 halaman
Penerbit/cetakan          : deTEENS/Cetakan pertama, Juni 2014
ISBN                           : 978-602-255-624-4


Sebut Saja Dia “Si Embun”


Saya heran, di zaman Android ini, masih ada manusia yang rela bangun subuh hanya untuk melihat embun. Membayangkan sosok Hanna, si tokoh utama, saya merasa bagai makhluk yang tak punya rasa cinta terhadap alam semesta. Si Hanna ini bangun tidur liat embun, kalau saya, bangun tidur liat notifikasi LINE, WA, dan Candy Crush. Huehehe.

Hanna, seorang gadis penyuka embun.
Dan juga suka melukis.
Oleh karena itulah, di setiap lukisannya, ia memberi nama “Embun” sebagai (semacam) nama pena. (Oke, kalau pelukis, berarti “nama kuas”). Sewaktu masih SMA, di SMA 3 Bukittingi, Hanna memiliki seorang pacar yang baik dan sabar, bernama Derry. Derry sangat menyukai astronomi, dan bercita-cita menjadi astronot dan pergi ke Norwegia, negeri yang tak pernah gelap.

Di sisi lain, Hanna pun punya seorang sahabat yang telah bersamanya sejak kecil, Roy. Ternyata, selama ini Roy tidak sekadar menganggap Hanna sebagai sahabat.
“Tidak akan ada persahabatan yang baik-baik saja bila salah satu mencinta.... Akan ada yang mencinta di antara persahabatan laki-laki dan perempuan.” (halaman 117)
Meskipun Roy tersakiti, lantaran Hanna tak pernah berpaling dari Derry, ia tetap berada di samping Hanna. Ketika ayah Hanna meninggal akibat pesawat terbang yang dikemudikannya jatuh terserang cuaca buruk, Roy pun tetap mendampingi Hanna, bersama Derry. Sang Embun belum lagi menjejak tanah, sinar matahari telah menyelimutinya hingga lenyap. Belum selesai segala kesedihan akibat kehilangan ayahnya, Hanna harus menanggung luka lain. Ternyata selama setahun terakhir, Derry menyembunyikan penyakit kanker otak stadium akhir yang dideritanya. (Mulai dari sini, saya mulai pasang kuda-kuda untuk menghadapi kemungkinan alur cerita yang tertebak).

Ya, benar tebakanmu, Derry meninggal. Hanna melanjutkan studi ke Norwegia. Di sana, ia tinggal sekamar dengan Fyo, mahasiswi asal Indonesia juga, yang ia kenal dari media sosial. Dan sekitar 2/3 bagian novel berikutnya menceritakan kisah cinta segiempat Hanna, Fyo, dengan dua orang mahasiswa Norwegia, Flos dan Kalf. Flos menyukai Hanna, sementara Hanna dan Kalf saling jatuh cinta. Fyo, hanya bisa menata kepingan hatinya yang telah telanjur dimiliki oleh Flos, yang tak pernah mengacuhkannya.

Ketika tiba saat Hanna harus kembali ke Indonesia, kisah cintanya dengan Kalf masih menggantung, lantaran Kalf menghilang begitu saja. Kalau jodoh pasti akan bertemu lagi, kan? Namun, apakah mereka berdua berjodoh?

It Doesn’t Work on Me

Butuh waktu cukup lama dan usaha keras untuk dapat menelan kalimat demi kalimat dalam novel ini. Saya sempat heran, apa yang terjadi pada diri saya? Kenapa butuh waktu selama itu? Hipotesis awal, kondisi otak saya sedang lelah karena tugas-tugas kuliah. Eh, tapi, saya sanggup membaca dan memahami 3 bab buku Feynman, Lectures on Physiscs, dalam waktu 6 jam. Jadi, hipotesis awal saya salah. Lalu..., mungkinkah yang bermasalah novelnya?

Saya tidak mengerti mengapa penulis menulis nyaris semua bagian secara berpanjang-lebar, sehingga menjadi berat untuk dicerna? Seharusnya, bagian tertentu saja yang dijabarkan sesuai porsi dan tujuannya, sedangkan bagian lain, cukup ditulis secara ringkas saja. Kebanyakan pembaca tidak suka kalimat-kalimat panjang yang sebenarnya intinya hanya sepotong. Penjabaran panjang-lebar itu benar-benar menguras energi saya.

Penulis cenderung gemar menjabarkan perasaan tokoh-tokohnya, tapi tidak banyak menceritakan aksi para tokoh. Mungkin saya yang terlalu ingin membaca novel beralur cepat dan penuh aksi. Maafkan saya. Seharusnya saya baca The Maze Runner saja *nggak punya novelnya, pinjam dong*, hehehe.

“Hanna melebarkan langkahnya ketika melihat cowok jangkung yang selalu menghadirkan senyum di bibirnya sudah berdiri di bawah pohon rindang di depan pagar sekolah.” (halaman 68)
Saya mendapati beberapa kali penulis menggunakan kalimat majemuk semacam itu, yang diulang-ulang di beberapa bagian (tidak sama persis, tapi intinya sama). Menurut saya, bagian itu lebih baik dibikin ringkas. Misalnya, nih, “Hanna melebarkan langkahnya ketika melihat Derry sudah berdiri di bawah pohon rindang di depan pagar sekolah. Mata Hanna seluruhnya terpusat pada senyum cemerlang lelaki itu.”
*Ya udah, Frida, sana kamu bikin sendiri novelnya! Plak!*

Terkadang, kalimat panjang itu membuat saya bingung. Makin panjang, bukannya makin jelas, malah makin kurang jelas.
“Meski belum sepenuhnya hangat, namun matahari sudah berbaik hati hadir lebih awal dari biasanya. Juga akan kembali beristirahat menjelang malam. Tidak secepat musim dingin kemarin.” (halaman 265)
Tentu saja menjelang malam matahari akan beristirahat, kan? Meskipun di Norwegia saat malam hari musim panas tetap terang…. Namun, malam itu disebut “malam” karena absennya cahaya matahari, kan? 
Selanjutnya, bagaimana jika kita disodori dialog yang tidak penting dalam sebuah novel?
“Kau tahu, bandara Gardermoen ini sangat kecil. Berbentuk persegi panjang. Tidak sama dengan bandara Soetta yang sangat luas...” – Hanna (halaman 135)“Bandara ini memang berbentuk persegi panjang, Hanna. Jangan membandingkannya dengan Soetta yang besar itu.” – Fyo (halaman 136)
Menurut saya, kesalahan fatal dalam dialog itu adalah tidak adanya korelasi antara “bentuk persegi panjang” dengan “luas atau tidaknya suatu bangunan”. Hei, memangnya kalau persegi panjang lantas tidak luas, begitu? Selain itu, kesalahan lain adalah tanggapan Fyo yang hanya membeo kata-kata Hanna. Terus ngapain, gitu? Mending Fyo tidak usah bicara. Bukankah dialog itu ditulis untuk membangun cerita? Kalau tidak mendukung inti cerita, sebaiknya tidak usah disertakan, jika bukan karena alasan ingin menebalkan naskah.

Jika penulis ingin mendeskripsikan penampilan fisik bandara Gardermoen, mungkin penulis bisa menggunakan teknik narasi deskripsi saja. Misalnya seperti tulisan saya yang tidak indah ini.
“Begitu turun dari pesawat, Hanna melongo menatap koridor di hadapannya. Teramat sempit untuk sebuah koridor bandara. Ia melangkahkan kaki sembari mengamati sekitarnya. Baginya, koridor itu malah lebih cocok disebut jalan setapak untuk dua orang….(dan seterusnya)”
*Grrrr! Ya udah, Frida, sana kamu bikin sendiri novelnya! Plak, plak, plak!*

Berikutnya, ada satu adegan yang menurut saya terlalu klise (sinetron banget, lah!), yaitu adegan ketika Flos menjebak Hanna di halaman 277. Selain itu, saya juga menemukan satu buah typo di novel ini.
“Nada suaranya naik satu oktav.” (halaman 78)

But, A Few Things Are Pretty Fair....

Saya menghargai usaha penulis melakukan riset seputar Norwegia, lengkap dengan budayanya. Misalnya, dog sledding (halaman 238), tentang study permit (halaman 138). Tentang makanan khas Norwegia, seperti reindeer salad (begitu membaca “reindeer”, langsung terbayang rusa berhidung merah yang menarik kereta Santa Klaus). Tak ketinggalan juga tempat-tempat wisata di Norwegia, seperti National Theatre (halaman 201-204), Taman Gustav Vintage (152-154). Penulis juga memberi saya wawasan baru tentang lukisan, misalnya tentang lukisan favorit Hanna, “Penguburan di Ornans”, karya Gustav Courbet (halaman 43).
Dog sledding. Lihatlah, para anjing itu memakai kaus kaki!

Apa lagi, kalau bukan... aurora!

Taman Patung Gustav Vintage
http://image.shutterstock.com/display_pic_with_logo/90390/99245363/stock-photo-oslo-norway-march-statues-in-vigeland-park-in-oslo-norway-on-march-the-park-covers-99245363.jpg

Saya menghargai usaha penulis untuk memperkenalkan kota Bukittinggi dan sekitarnya, dengan mengambil latar tempat di sana. Penulis juga mempromosikan tempat-tempat wisata di kota itu, seperti Taman Panorama, Ngarai Sianok, air terjun lembah Anai, dan Jam Gadang.
Ngarai Sianok
http://empimuslion.files.wordpress.com/2008/05/ngarai-sianok-1.jpg


Analogi yang digunakan penulis untuk beberapa situasi cukup bervariasi dan kreatif.


Meskipun begitu, analogi yang kreatif, atau ide cerita yang cetar membahana dahsyat mandraguna, tak akan mengesankan pembaca jika diceritakan dengan gaya menulis yang kurang lincah. Tapi, sesederhana apa pun ide ceritanya, tidak akan jadi membosankan jika ditulis dengan gaya yang cerdas dan lincah. Salam penulis!



0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets