Judul Buku : Morning Dew
Penulis :
Musdalifah
Tebal :
320 halaman
Penerbit/cetakan :
deTEENS/Cetakan pertama, Juni 2014
ISBN :
978-602-255-624-4
Sebut Saja Dia “Si Embun”
Saya heran, di zaman Android ini, masih
ada manusia yang rela bangun subuh hanya untuk melihat embun. Membayangkan
sosok Hanna, si tokoh utama, saya merasa bagai makhluk yang tak punya rasa
cinta terhadap alam semesta. Si Hanna ini bangun tidur liat embun, kalau saya,
bangun tidur liat notifikasi LINE, WA, dan Candy
Crush. Huehehe.
Hanna, seorang gadis penyuka embun.
Dan juga suka melukis.
Oleh karena itulah, di setiap lukisannya,
ia memberi nama “Embun” sebagai (semacam) nama pena. (Oke, kalau pelukis,
berarti “nama kuas”). Sewaktu masih SMA, di SMA 3 Bukittingi, Hanna memiliki
seorang pacar yang baik dan sabar, bernama Derry. Derry sangat menyukai
astronomi, dan bercita-cita menjadi astronot dan pergi ke Norwegia, negeri yang
tak pernah gelap.
Di sisi lain, Hanna pun punya seorang
sahabat yang telah bersamanya sejak kecil, Roy. Ternyata, selama ini Roy tidak
sekadar menganggap Hanna sebagai sahabat.
“Tidak akan ada persahabatan yang baik-baik saja bila salah satu mencinta.... Akan ada yang mencinta di antara persahabatan laki-laki dan perempuan.” (halaman 117)
Meskipun Roy tersakiti, lantaran Hanna tak
pernah berpaling dari Derry, ia tetap berada di samping Hanna. Ketika ayah
Hanna meninggal akibat pesawat terbang yang dikemudikannya jatuh terserang
cuaca buruk, Roy pun tetap mendampingi Hanna, bersama Derry. Sang Embun belum
lagi menjejak tanah, sinar matahari telah menyelimutinya hingga lenyap. Belum
selesai segala kesedihan akibat kehilangan ayahnya, Hanna harus menanggung luka
lain. Ternyata selama setahun terakhir, Derry menyembunyikan penyakit kanker
otak stadium akhir yang dideritanya. (Mulai dari sini, saya mulai pasang
kuda-kuda untuk menghadapi kemungkinan alur cerita yang tertebak).
Ya, benar tebakanmu, Derry meninggal.
Hanna melanjutkan studi ke Norwegia. Di sana, ia tinggal sekamar dengan Fyo,
mahasiswi asal Indonesia juga, yang ia kenal dari media sosial. Dan sekitar 2/3
bagian novel berikutnya menceritakan kisah cinta segiempat Hanna, Fyo, dengan
dua orang mahasiswa Norwegia, Flos dan Kalf. Flos menyukai Hanna, sementara
Hanna dan Kalf saling jatuh cinta. Fyo, hanya bisa menata kepingan hatinya yang
telah telanjur dimiliki oleh Flos, yang tak pernah mengacuhkannya.
Ketika tiba saat Hanna harus kembali ke
Indonesia, kisah cintanya dengan Kalf masih menggantung, lantaran Kalf
menghilang begitu saja. Kalau jodoh pasti akan bertemu lagi, kan? Namun, apakah
mereka berdua berjodoh?
It Doesn’t Work on Me
Butuh waktu cukup lama dan usaha keras
untuk dapat menelan kalimat demi kalimat dalam novel ini. Saya sempat heran,
apa yang terjadi pada diri saya? Kenapa butuh waktu selama itu? Hipotesis awal,
kondisi otak saya sedang lelah karena tugas-tugas kuliah. Eh, tapi, saya
sanggup membaca dan memahami 3 bab buku Feynman, Lectures on Physiscs, dalam waktu 6 jam. Jadi, hipotesis awal saya
salah. Lalu..., mungkinkah yang bermasalah novelnya?
Saya
tidak mengerti mengapa penulis menulis nyaris semua bagian secara
berpanjang-lebar, sehingga menjadi berat untuk dicerna? Seharusnya, bagian
tertentu saja yang dijabarkan sesuai porsi dan tujuannya, sedangkan bagian
lain, cukup ditulis secara ringkas saja. Kebanyakan pembaca tidak suka
kalimat-kalimat panjang yang sebenarnya intinya hanya sepotong. Penjabaran panjang-lebar
itu benar-benar menguras energi saya.
Penulis
cenderung gemar menjabarkan perasaan tokoh-tokohnya, tapi tidak banyak
menceritakan aksi para tokoh. Mungkin saya yang terlalu ingin membaca novel
beralur cepat dan penuh aksi. Maafkan saya. Seharusnya saya baca The Maze Runner saja *nggak punya
novelnya, pinjam dong*, hehehe.
“Hanna melebarkan langkahnya ketika melihat cowok jangkung yang selalu menghadirkan senyum di bibirnya sudah berdiri di bawah pohon rindang di depan pagar sekolah.” (halaman 68)
Saya mendapati beberapa kali penulis
menggunakan kalimat majemuk semacam itu, yang diulang-ulang di beberapa bagian
(tidak sama persis, tapi intinya sama). Menurut saya, bagian itu lebih
baik dibikin ringkas. Misalnya, nih, “Hanna melebarkan langkahnya ketika
melihat Derry sudah berdiri di bawah pohon rindang di depan pagar sekolah. Mata
Hanna seluruhnya terpusat pada senyum cemerlang lelaki itu.”
*Ya
udah, Frida, sana kamu bikin sendiri novelnya! Plak!*
Terkadang,
kalimat panjang itu membuat saya bingung. Makin panjang, bukannya makin jelas, malah
makin kurang jelas.
“Meski belum sepenuhnya hangat, namun matahari sudah berbaik hati hadir lebih awal dari biasanya. Juga akan kembali beristirahat menjelang malam. Tidak secepat musim dingin kemarin.” (halaman 265)
Tentu
saja menjelang malam matahari akan beristirahat, kan? Meskipun di Norwegia saat
malam hari musim panas tetap terang…. Namun, malam itu disebut “malam” karena
absennya cahaya matahari, kan?
Selanjutnya,
bagaimana jika kita disodori
dialog yang tidak penting dalam sebuah novel?
“Kau tahu, bandara Gardermoen ini sangat kecil. Berbentuk persegi panjang. Tidak sama dengan bandara Soetta yang sangat luas...” – Hanna (halaman 135)“Bandara ini memang berbentuk persegi panjang, Hanna. Jangan membandingkannya dengan Soetta yang besar itu.” – Fyo (halaman 136)
Menurut
saya, kesalahan fatal dalam dialog itu adalah tidak adanya korelasi antara “bentuk
persegi panjang” dengan “luas atau tidaknya suatu bangunan”. Hei, memangnya
kalau persegi panjang lantas tidak luas, begitu? Selain itu, kesalahan lain
adalah tanggapan Fyo yang hanya membeo kata-kata Hanna. Terus ngapain, gitu? Mending
Fyo tidak usah bicara. Bukankah dialog itu ditulis untuk membangun cerita? Kalau
tidak mendukung inti cerita, sebaiknya tidak usah disertakan, jika bukan karena
alasan ingin menebalkan naskah.
Jika
penulis ingin mendeskripsikan penampilan fisik bandara Gardermoen, mungkin penulis
bisa menggunakan teknik narasi deskripsi saja. Misalnya seperti tulisan saya
yang tidak indah ini.
“Begitu turun dari pesawat, Hanna melongo menatap koridor di hadapannya. Teramat sempit untuk sebuah koridor bandara. Ia melangkahkan kaki sembari mengamati sekitarnya. Baginya, koridor itu malah lebih cocok disebut jalan setapak untuk dua orang….(dan seterusnya)”
*Grrrr!
Ya udah, Frida, sana kamu bikin sendiri novelnya! Plak, plak, plak!*
Berikutnya,
ada satu adegan yang menurut saya terlalu klise (sinetron banget, lah!), yaitu
adegan ketika Flos menjebak Hanna di halaman 277. Selain itu, saya juga menemukan satu buah typo di novel ini.
“Nada suaranya naik satu oktav.” (halaman 78)
But, A Few Things Are Pretty Fair....
Saya
menghargai usaha penulis melakukan riset seputar Norwegia, lengkap dengan
budayanya. Misalnya, dog sledding
(halaman 238), tentang study permit
(halaman 138). Tentang makanan khas Norwegia, seperti reindeer salad (begitu membaca “reindeer”, langsung terbayang rusa
berhidung merah yang menarik kereta Santa Klaus). Tak ketinggalan juga
tempat-tempat wisata di Norwegia, seperti National Theatre (halaman 201-204), Taman Gustav
Vintage (152-154). Penulis juga memberi saya wawasan baru tentang
lukisan, misalnya tentang lukisan favorit Hanna, “Penguburan di Ornans”, karya
Gustav Courbet (halaman 43).
Dog sledding. Lihatlah, para anjing itu memakai kaus kaki! |
Apa lagi, kalau bukan... aurora! |
Saya
menghargai usaha penulis untuk memperkenalkan kota Bukittinggi dan sekitarnya,
dengan mengambil latar tempat di sana. Penulis juga mempromosikan tempat-tempat
wisata di kota itu, seperti Taman Panorama, Ngarai Sianok, air terjun lembah Anai, dan Jam Gadang.
Ngarai Sianok
http://empimuslion.files.wordpress.com/2008/05/ngarai-sianok-1.jpg
|
Analogi
yang digunakan penulis untuk beberapa situasi cukup bervariasi dan kreatif.
Meskipun
begitu, analogi yang kreatif, atau ide cerita yang cetar membahana dahsyat
mandraguna, tak akan mengesankan pembaca jika diceritakan dengan gaya menulis
yang kurang lincah. Tapi, sesederhana apa pun ide ceritanya, tidak akan jadi
membosankan jika ditulis dengan gaya yang cerdas dan lincah. Salam penulis!
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^