Judul buku: Aruna & Lidahnya
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Tebal buku: 432 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: II, 2015
ISBN: 978-602-030-852-4
Harga buku: Rp 78.000,00
Rating saya: 4/5 |
“Orang yang makan pagi seperti raja biasanya akan terus makan seperti raja. Makan siang dan makan malamnya juga akan seperti raja. Semakin sering kita memberi diri konsesi-konsesi, perut kita semakin menuntut lebih banyak. Nah, begitulah bagaimana sarapan bisa berbahaya.”
(Nadehzda, hal. 187)
Untungnya
saya belum baca Amba (kudet banget, ya), sehingga saya lepas dari segala
ekspektasi yang dibebankan pembaca pada nama seorang Laksmi Pamuntjak. Saya
bilang begitu setelah membaca beberapa review teman di Goodreads yang kecewa
lantaran Aruna & Lidahnya tak sesuai harapan mereka pasca-baca buku Amba.
Kalau boleh saya ringkas dalam satu kalimat, buku ini bercerita tentang jalan-jalan untuk wisata kuliner sambil bekerja. Ya, bukan
bekerja sambil wisata kuliner, lantaran sebenarnya motif utama si Aruna adalah
wisata kuliner, bukan pekerjaannya sebagai seorang epidemiologist (ahli wabah). Ketika wabah flu burung
menjangkiti Indonesia, muncul suatu hal aneh. Di beberapa kota yang saling
berjauhan, muncul penderita yang dicurigai terkena flu burung. Tapi, penderita
itu jumlahnya hanya satu di tiap kota. Aneh, kan? Oleh karena itu, Aruna dan
Farish, dari NGO One World ditugaskan untuk menyelidiki kasus itu di tiap-tiap
daerah—Surabaya, Madura, Palembang, Medan, Lombok.
Lantaran
motivasi utama Aruna adalah berburu makanan khas tiap kota, ia mengajak dua
sahabatnya yang juga menggilai makanan, Bono, si chef, dan Nadehzda, si penulis
artikel kuliner. Selain mencicipi berbagai makanan dari pelosok Nusantara
(misalnya nasi tempong dari Lombok, bakmi kepiting Pontianak, bakso lohwa Tangerang, sambal kecombrang Jakarta, gulo puan Cek Mia dari Palembang), Aruna ternyata juga berkesempatan mencicipi rasanya jatuh
cinta pada orang yang tak terduga.
“Memang benar ada, rupanya, gestur-gestur antara dua manusia yang menentukan arah hidup kita selanjutnya.”
(Aruna, hal. 312)
Sebagai gadis 35 tahun yang masih menjomblo, sering ia merasa insecure akan statusnya itu, apalagi tiap mendengar curhatan Nadehzda tentang petualangan cintanya yang liar. Apakah Aruna berhasil mengungkap kebenaran di balik kasus aneh flu burung itu?
***
Saya
melihat buku ini sebagai kitab kuliner yang diberi bumbu konspirasi sedikit biar
agak seru. Meski hasilnya kurang seru, semata-mata karena isu flu burung dan politik tidak terlalu
menarik bagi saya (yang berarti belum tentu tidak menarik juga bagi pembaca
lain). Menurut saya, konspirasi yang dijalin penulis kurang nendang, rasanya
hanya seperti taburan katsuobushi di atas jajaran takoyaki. Memang kalau nggak
ada katsuobushi, rasanya ada yang kurang. Tapi tetap saja, kan, bintang
utamanya adalah si takoyaki? Yah, mungkin biar buku ini tak sekadar menjadi
catatan harian seorang maniak kuliner. Meski begitu, saya mengapresiasi usaha penulis untuk menguak sedikit kemirisan sosial dan kesehatan masyarakat di negeri ini, saat tokoh Aruna melihat fasilitas kesehatan yang sangat tidak memadai.
“Tapi memang begitulah negeri ini. Ada banyak hal yang membuat kita miris. Betapa rentannya manusia, ketika mereka masih begitu tergantung pada nasib baik dan bukan pada sistem yang bisa diandalkan, di mana segala yang membawa kebajikan dan perbaikan—sains, dokter, rumah sakit, guru, sekolah, tak selalu bisa diakses.”
(Aruna, hal. 239-40)
Saya
jatuh cinta pada tokoh Bono dan Nadehzda. Dua tokoh ini bersinar amat terang,
hingga menjadikan Aruna semacam bayang-bayang saja. Saya lebih tertarik ketika
Aruna menceritakan tentang mereka berdua daripada jika ia bercerita tentang
dirinya sendiri (kejam? Kebenaran memang terkadang kejam, Nak, hohoho. Tapi ini
hanya pendapat saya, bukan kebenaran mutlak.). Bono sangat keren setiap kali ia
menjelaskan tentang makanan dengan sikap kalem tapi tegas. Ia manifestasi “air tenang
menghanyutkan”, hingga orang sok tahu yang nantang dia langsung tak berkutik.
Nadehzda,
yang kecantikannya tiada tara itu, keren banget saat menjelma bak filsuf, meski
kadang ia tak lebih daripada seorang manusia biasa yang galau akan kisah
percintaannya yang liar dan selalu mengembara. Seperti inilah Aruna menggambarkan kesempurnaan Nadehzda di matanya:
“Dia seolah tak sudi barang sedikitpun oleh sesuatu yang ia anggap norak, atau jelek, atau kodian, atau kitsch. Meskipun begitu ia tak pernah memperlakukan orang lain dengan buruk, apalagi merendahkan. Bagaimana gerangan memadukan kedua perilaku yang begitu berseberangan dalam satu diri?”
(Aruna, hal. 217)
Setelah melihat foto Mbak Laksmi
di sampul belakang, alam bawah sadar saya langsung membayangkan rupa fisik
Nadehzda mirip Mbak Laksmi, hihi. Fisiknya doang, lho, ya, hayo jangan mikir macam-macam, hehe. Nadehzda juga yang membesarkan hati Aruna saat ia ragu akan kesungguhan Farish, karena ia merasa tidak cukup cantik.
“Kalau sudah merasa cocok, banyak orang nggak lagi peduli pada penampilan fisik. Karena bagi orang itu, dengan siapa ia merasa cocok itu ya itu dialah yang cantik.”
(Nadehzda, hal. 376)
Selepas
membicarakan kedua tokoh tersebut, marilah kita kembali ke tokoh utama bernama
Aruna Rai. Tokoh ini membuat saya agak kesal karena sikapnya yang plin-plan,
malu-malu tapi mau. Namun, cara penulis menggambarkan suasana batin Aruna
sangat bagus. Dengan jujur, penulis menggambarkan bagaimana Aruna sebenarnya
cemburu akan segala kelebihan Nadehzda yang tidak dimilikinya.
“Lagi-lagi aku merasakan kecemburuan itu, kecemburuan yang lebih merupakan kekecewaan terhadap diri sendiri. Kekecewaan atas diri yang demikian sejalur dan senada, yang tidak sejamak perempuan menawan yang kebetulan adalah sahabatku sendiri.”
(Aruna, hal. 199)
Tapi saya sadar,
tidak adil jika pembaca (dan apalagi peresensi buku) menghakimi sifat tokoh
dalam sebuah buku. Yah, mungkin saja, Mbak Laksmi memang membuat tokoh Aruna seperti itu. Kalau tokoh Aruna digambarkan sebagai sebuah titik pada sebuah kurva statistik, ia adalah sebuah outlier. Ia seorang wanita yang melenceng dari pandangan stereotip masyarakat Indonesia terhadap wanita Indonesia. Nadehzda juga seperti itu, sih. Pekerjaan Aruna yang unik itu sudah menyumbang satu penyebab keunikan tokoh ini. Lalu, sudah kepala tiga tapi belum menikah. Parahnya, Aruna belum menikah dan kurang menjaga penampilan. Bisa dibilang, ia sosok wanita yang malas dandan. Dalam idenditasnya sebagai wanita yang tidak biasa itu, sesungguhnya ia berpikir tentang bagaimana biasanya alam menakdirkan laki-laki dan perempuan.
“Dan begitulah: sesuai dengan kebiasaan, para laki-laki memilih kopi hitam, para perempuan memesan sanger—kopi susu dan gula. Begitulah alam mendedahkan bagi kita segebung rujukan kesepadanan. Laki-laki = gelap, perempuan = terang. Laki-laki = pahit, perempuan = manis.”
(Aruna, hal. 311)
Bicara
tentang kuliner, yang saya tahu paling banter adalah makan asal ada sayur dan lauknya, plus nasi (meski saya nggak selalu
makan nasi), dan murah (kejujuran seorang anak kos yang hidup sederhana
*halah*), jadi waktu baca berjuta istilah asing seputar kuliner dalam buku ini,
saya langsung telan saja mentah-mentah. Istilah itu banyak sekali dan buku ini
sangat bersih dari makhluk bernama footnote.
Awalnya ada keinginan untuk mencari arti tiap istilah lewat internet, tapi
lama-lama malas juga lantaran hal itu akan menginterupsi kenikmatan membaca.
Selain
mendapat berbagai kosakata baru di bidang kuliner, pembaca juga mendapat
pengetahuan seputar kuliner dan kosakata baru yang jarang digunakan oleh
penulis lain. Malah, ada kata-kata tertentu yang saya baru tahu bahwa ia eksis
dalam KBBI selama ini (iya, saya tahu, saya kuper banget), seperti kata “menghidu” dan “demap”. Langsung saya catat
daftar kata baru itu untuk menambah kekayaan kosakata saya, dan untuk saya
terapkan dalam tulisan saya sendiri.
Di
bagian tengah, saya bosan oleh rutinitas para tokoh. Tiba di kota baru, ke
rumah sakit untuk mengunjungi pasien flu burung, makan-makan, makan-makan,
makan-makan, lalu kembali ke hotel. Tapi rasa bosan itu dikompensasi oleh berbagai
filosofi kuliner, cerita unik, hal-hal menarik dari tempat-tempat yang mereka
kunjungi dan makanan yang mereka cicipi (tulis contohnya).
Sebenarnya,
saya hanya merelakan rating 3,5/5 untuk buku ini. Namun, di Goodreads saya
bulatkan jadi empat, karena penulis berhasil membawa banyak hal baru untuk saya
nikmati. Oya, buku ini saya dapat dari Litbox pertama tahun 2015 (bulan Maret
lalu), dan saya dapat edisi bertandatangan penulis ^^.
Dapat tanda tangan Mbak Laksmi :D |
Terakhir,
saya ingin membahas tentang prolog. Sungguh, saya syok dan ngos-ngosan
waktu penulis mengajak saya lari marathon melalui bagian prolognya sepanjang
delapan halaman yang terdiri dari hanya satu kalimat. Iya, SATU. GILA!!! Di
bagian belakang, Mbak Laksmi menjelaskan bahwa gaya penulisan itu terinsipirasi
dari pembukaan novel Jeet Thayil berjudul Narcopolis (kalau penasaran novel apa ini, sila baca review-nya di sini, tapi bukan review saya, hoho). Meski mungkin bagi
sebagian pembaca satu kalimat yang panjangnya ngalahin gerbong kereta itu
dianggap menyusahkan dan tidak efisien, menurut saya itu malah KEREN. Penulis
berani berinovasi (sepanjang karier membaca buku karya penulis Indonesia, belum
pernah saya menemukan prolog kayak begitu selain ini—maaf, pengetahuan saya
juga terbatas), dan yang lebih keren adalah meskipun sepanjang itu, tidak ada
yang meleset! Semua penggunaan pungtuasi tepat dan jelas, sama sekali tidak
bikin bingung atau pun salah tafsir. Saya bisa menangkap semua isi kalimat itu
dengan mudah, meski sambil lari-lari. You
rock, Mbak Laksmi!
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^