Judul: Dear Ellie Penulis: Puji Eka Lestari Editor: Avifah Ve Penerbit: de TEENS Cetakan: I, Desember 2015 Tebal: 312 halaman ISBN: 978-602-391-034-2 Harga: Rp 40.000,00 Rating saya: 3,5/5 |
"Perhaps our eyes need to be washed by our tears once in a while, so that we can see life with a clearer view again." (hlm. 226)
Ellie McAdams, seorang gadis 17 tahun, memiliki sahabat baik bernama Julie. Mereka berdua sama-sama suka membaca novel remaja, dan suka menghabiskan waktu bersama di kamar Julie, saling berdiam diri, larut dalam novel masing-masing. Ia tinggal di Dublin, dan sangat menyukai kota itu, dengan segala kelabilan cuacanya. Di musim panas yang seharusnya cerah itu, ia harus rela mengarungi hari beratapkan awan mendung, atau malah hujan tiba-tiba. Meski sudah 17 tahun, kedua orang tuanya masih bersikap terlalu protektif padanya. Pada liburan musim panas itu, ia telah membuat daftar kegiatan yang harus dilakukan. Salah satunya, yang membuat ia bergairah adalah bergabung ke Klub Membaca, tentunya bersama Julie. Well, gairah itu dinodai oleh kegusaran begitu Ellie mengetahui bahwa yang menjadi mentor adalah Dean, kakak Julie, cowok paling menyebalkan yang pernah ia kenal.
Lupakan Dean yang menyebalkan, karena ada Elliot, yang tampan dan manis. Well, Elliot adalah anak pemilik O'Brien Pastry--tetangganya--cowok yang telah membuat Ellie jatuh cinta sejak lama. Yah, sayang sekali, Ellie adalah gadis yang sangat kurang berani, termasuk dalam memperjuangkan cintanya. Ia belum pernah mengungkapkan perasaan pada Elliot, sehingga begitu senang ketika Elliot mengajaknya... kencan? Kencan pertama mereka berjalan dengan sukses, pokoknya sukses membuat Ellie berbunga-bunga. Namun, bencana mulai menampakkan diri saat Ellie seharusnya pergi kencan kedua kalinya dengan Elliot. Dean menantangnya hadir di acara pembacaan puisi di Bailey Bar Cafe, pada Minggu sore (juga). Ellie, yang dengan mudah terpancing oleh tantangan bernada meremehkan Dean itu langsung mengiyakan, sebelum ia ingat dengan kencannya. Apa yang harus ia lakukan? INI BENCANA!
Sebenarnya solusinya tidak rumit, sih, seperti saran dari Adam, seorang teman Ellie yang tinggal di Zurich, dan rajin berkorespondensi dengannya.
1. Membatalkan janji dengan Dean dan pergi bersama Elliot.
2. Membatalkan janji dengan Elliot dan pergi bersama Dean.
3. Mengundur atau memajukan jadwal kencanmu dengan Elliot.
4. Mengatur janji dengan Dean untuk pergi dengannya pada kesempatan lain.
5. Mengajak Elliot datang ke tempat yang akan kau datangi bersama Dean.
6. Tidak pergi dengan keduanya.
(hlm. 129)
Well, tapi namanya bukan Ellie jika tidak memperumit persoalan! Ia malah meminta (memaksa) Julie menggantikannya bertemu dengan Elliot (sepertinya bukan keputusan yang benar, ya), sementara ia sendiri pergi ke Bailey Bar Cafe dan membacakan puisinya di sana (yang menurutnya teramat jelek--dibandingkan dengan puisi Dean). Ternyata bencana sungguhan baru datang kemudian.
***
Tak ada ekspektasi apa pun ketika saya mulai membaca novel romance remaja ini. Bisa dibilang, saya hanya terjebak oleh tutur kata penulis yang melompat-lompat lincah dan menyenangkan, sehingga mampu menyeret saya untuk terus membaca. (Sebenarnya malam itu saya harus membuat slide presentasi untuk seminar pra-pendadaran keesokan harinya. Tapi, karena sudah kepalang tanggung mengintip bab-bab awal novel ini, akhirnya saya putuskan untuk langsung menyelesaikannya malam itu juga. Baru setelah itu, saya akan meneruskan slide presentasi saya :3. Saya memang tidak tahan godaan :3.) Saya jarang membaca novel romance remaja (kecuali dulu, ya, waktu masih SMA), pun saya belum pernah baca karya-karya Rainbow Rowell--yang kata orang bagus-bagus. Nah, di dalam novel ini, karena Ellie dan Julie sama-sama suka baca novel remaja, maka penulis banyak memberikan daftar novel favorit mereka, salah satunya adalah Eleanor & Park karya Rainbow Rowell. Dari situ, otomatis saya menduga bahwa sang penulis sendiri mungkin juga mem-favoritkan daftar novel tersebut :3.
Tema persahabatan dan percintaan memegang kendali atas tubuh novel ini. Keduanya berbagi dominansi, yang cukup sama besar. Tema universal ini bukanlah tema unik, tapi selalu ada hal-hal baru yang bisa digali. Nah, untungnya, penulis menampilkan sastra sebagai sub-tema (meski saya juga tak tahu pasti, apakah novel pop remaja tergolong sastra atau tidak), yang mengiringi tema utama secara nyaris tak kentara, tapi berperan kuat dalam perkembangan plot dan karakternya. Misalnya, Ellie dan Julie memiliki chemistry tersendiri berkat kesukaan yang sama akan novel-novel remaja.
"Aku dan Julie telah menghabiskan waktu beratus-ratus jam untuk membaca novel-novel remaja di kamarnya.... Tidak melakukan apa-apa selain membaca, aku dengan novelku dan dia dengan novelnya. Kami berbagi keheningan bersama, terkadang tertawa seorang diri..." (hlm. 11)
Contohnya lagi, bencana tak akan menimpa hidup Ellie jika ia tak bergabung dengan klub membaca, atau jika ia tak meladeni tantangan Dean untuk membaca puisi di Bailey Bar Cafe. Sub-tema kedua adalah pencarian jati diri tokoh Ellie, bagaimana akhirnya dia menyadari bahwa pusat masalah bukan berada di luar dirinya, melainkan di dalam dirinya sendiri.
"Julie adalah gadis paling berani yang pernah kukenal. Dia tidak pernah membiarkan kebahagiaannya disetir oleh orang lain. Dia tidak pernah mengizinkan seseorang untuk merusak hidupnya dan menghancurkan hari-harinya. Yang paling penting, dia memiliki kemampuan yang sangat ingin kumiliki. Dia berani melakukan hal-hal yang ingin dia lakukan tanpa memikirkan bagaimana pemikiran orang lain tentangnya. Dia selalu penuh percaya diri." (hlm. 102)
Karakter Ellie dan Julie digambarkan berseberangan. Namun, saya pasti senang sekali punya sahabat seperti Julie, yang tidak segan-segan mengatakan kebenaran menyakitkan di depan wajah sahabatnya. Dia selalu mendorong Ellie untuk berani, termasuk berani mengatakan perasaannya pada Elliot.
"You need to be brave. Kau harus berani." (Julie, hlm. 126)
Sayangnya, sifat pemalu dan kurang percaya diri yang bercokol dalam diri Ellie memantulkan semua dorongan Julie. Menggunakan sudut pandang orang pertama Ellie, pembaca diajak untuk menyelami pribadi remaja Ellie dengan mendalam. Karakter Ellie terbentuk dengan baik, contohnya dari sikapnya yang pemalu, mudah terprovokasi oleh Dean, kurang berpikir panjang, dan suka memperumit masalah (seperti saya tulis di bagian sinopsis). Di salah satu adegan karakternya jadi terlalu lebay dalam menyikapi masalah, yaitu saat ia akhirnya mengetahui bahwa Dean-lah yang akan menjadi mentor klub membaca (hlm. 65). Ia juga menjadi tergantung akan keberadaan Julie. Lalu, di bagian konflik utama, terlihat jelas karakter Ellie yang sesungguhnya: egois. Meski begitu, bukan berarti karakter Ellie tak memiliki kualitas. Ia memiliki otak yang kritis, khususnya dalam hal kritik sastra.
Karakter para cowok, Elliot dan Dean, bisa dibilang berseberangan juga. Pasti tak jarang pembaca menjumpai kisah semacam ini: seorang gadis harus memilih dua lelaki; yang satu bersikap sangat manis, sedangkan yang lain sangat menyebalkan. Well, dua novel Julie James yang telah saya baca (ini dan ini) pun memiliki benang merah seperti ini. Bisa ditebak juga, kan, akhirnya siapa yang dipilih si gadis--alias Ellie?
Baik Dean, maupun Elliot, sama-sama memiliki kriteria "manis" tersendiri. Elliot bersikap "manis" secara blak-blakan, sedangkan Dean secara terselubung. Saya tidak bisa tidak klepek-klepek terhadap Elliot, dan jadi delusional berkat segala tingkah Dean.
"Aku sengaja menunggumu di luar. Supaya aku tahu kapan kau akan muncul." (Elliot, hlm. 75--berdiri di luar rumah Ellie selama 20 menit di tengah udara dingin)
(Sebentar, saya mendadak menyadari bahwa nama "Ellie" dan "Elliot" nyaris sama.) Elliot, sosok tampan dan sopan, siapa yang tak akan jatuh cinta padanya? Apalagi Ellie sudah mengenalnya sejak kecil.
Sementara itu, Dean selalu menggunakan jurus ejekan, untuk melukai harga diri Ellie, sehingga gadis itu terprovokasi dan mau tidak mau memenuhi ajakannya. Harus saya akui, Dean jenius. Ia pasti sangat memahami bagaimana Ellie akan menanggapi perlakuan darinya, sehingga ia bisa merancang apa yang akan ia lakukan untuk memancing reaksi gadis itu sesuai keinginannya. Ibaratnya, Dean itu manusia pembuat chip dalam otak robot, sedangkan Ellie adalah robotnya. Hmm, tapi tidak persis seperti itu juga, sih, maknanya. Mirip dengan adiknya, Dean juga penuh percaya diri dan selalu optimis.
"Kalau adikku tidak ingin pergi ke acara itu, kau pasti tidak ingin pergi juga. Benar, kan, Ellie? Kau itu seperti tiang penopang pada kursi, ya? Tidak bisa berdiri kalau sendirian." (Dean, hlm. 113--begitulah caranya mengajak Ellie ke Bailey Bar Cafe)
Ada satu tokoh lain yang berada di balik surat-surat dan serentetan e-mail: Adam. Awalnya, saya mengantisipasi akan kemungkinan adanya surprise di balik tokoh Adam ini. Yah, sepert, mungkin sebenarnya Adam adalah siapa... Sebenarnya Adam juga menyukai Ellie, atau apalah. Namun, ternyata tidak ada. Penulis membiarkan eksistensi Adam hanya sebatas nama dan narasi Ellie. Ia tak pernah muncul secara fisik di dalam novel, padahal perannya cukup penting sebagai "tempat sampah" Ellie.
Nah, kembali ke masalah sudut pandang. Meski penulis menggunakan sudut pandang Ellie, pembaca tetap mampu memahami motivasi dari tindakan para tokoh lain. Di bagian menjelang akhir, penulis dengan baik hati mengungkapkan "penjelasan" dari tiga tokoh penting lainnya (Julie, Elliot, dan Dean). "Penjelasan" ini membuat saya lega dan puas.
Penulis menggunakan plot progresif, dengan sedikit alur mundur yang tergambar melalui selipan ingatan Ellie di beberapa adegan. Meski benang merah cerita terbilang klise, alur yang diciptakan penulis mampu mengajak pembaca untuk terus membalik halaman demi halaman hingga akhir, berkat keterlibatan unsur romance yang kemanisan dan bikin mupeng, juga unsur suspense dan surprise. Contoh suspense adalah ketika Ellie baru mengetahui siapa mentornya. Di situ, pembaca dibuat penasaran dengan tingkah Ellie yang berlebihan, siapa sebenarnya si mentor. Contoh surprise, mungkin "penjelasan" Elliot tentang perasaannya, dan "penjelasan" Dean terkait daftar kegiatan Ellie, cukup mewakili.
Menurut saya, keberhasilan penulis paling besar ada pada penyajian unsur latar tempat. Penulis menggunakan latar konkret, yaitu kota Dublin, Irlandia, beserta objek-objek menarik yang ada di sana. Tak hanya sebatas mengeksplorasi secara deskriptif, penulis juga menggali peristiwa, nama, makna, dsb. di balik pemilihan latarnya. Saya mendapat banyak informasi baru terkait Dublin dan Irlandia dari novel ini. (Saya sudah tahu, sih, kalau Westlife berasal dari Irlandia. Ya, cuma itu yang saya tahu -_-) Kadang, penulis memanfaatkan deskripsi Ellie akan kota tersebut, atau dalam dialog dengan Elliot dan Dean. Namun, paling sering adalah dengan deskripsi Ellie. Di beberapa tempat, Ellie menjadi terlalu informatif, sehingga ia membuat adegan lebih mirip reportase ketimbang novel.
Penulis juga menyertakan elemen-elemen kecil pendukung cerita, seperti permainan "Sebutkan Tiga", yang bikin dialog Ellie-Julie lebih berwarna dan... bermakna.
Misi penulis barangkali mirip dengan keyakinan Ellie, hendak memberitahukan kepada dunia, bahwa novel remaja bukan "sampah". Selalu ada amanat yang bisa diambil dari tingkah para tokoh remaja itu. Bisa dibilang, penulis berhasil menyampaikan amanatnya secara sangat tidak menggurui. Proses perubahan sikap Ellie adalah pelajaran bagi pembaca semua, bahwa diri kita bukanlah pusat alam semesta. Jangan sampai kita bertindak seperti dua ekor ikan muda dalam "This is Water"-nya David Foster Wallace.
Meski beberapa elemen bisa tertebak alias klise, tapi saya sangat menikmati membaca novel ini. Novel romance remaja yang saya rekomendasikan untuk pembaca yang jarang membaca genre romance (apalagi yang teenlit) dan ingin mencoba mencicip.There are these two young fish swimming along, and they happen to meet an older fish swimming the other way, who nods at them and says, “Morning, boys, how's the water?”
And the two young fish swim on for a bit, and then eventually one of them looks over at the other and goes, “What the hell is water?
"Hidup ini menyenangkan, Ellie. Bukan begitu? Ketika kau tidak menyukai pilihan yang kau buat, kau masih punya pilihan lain di sekitarmu. Hidup itu selalu tentang pilihan." (Dean, hlm. 214)
makasih infonya
ReplyDelete