16 October 2015

[Resensi THE WITCHES] Awas, Mungkin Saja Wanita di Sebelahmu itu Penyihir!

Judul: The Witches (Ratu Penyihir)
Penulis; Roald Dahl
Penerjemah: Diniarty Pandia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: V, Januari 2010
ISBN: 978-979-686-631-1
Rating: 
4/5


Three Witches dalam Macbeth.
Aktivitas sihir dan penyihir tak hanya ada di cerita fiksi seperti Harry Potter. Faktanya, mereka benar-benar ada, dan telah menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Kata "witchcraft", yang bisa diartikan sebagai fenomena magis, paganisme, dan sebagainya. Kata ini berakar dari kata "wicca", yang berarti "yang bijak" (sumber: Witchcraft). Mulai tahun 1000, aktivitas sihir ini dikecam oleh gereja. Dalam sejarah tercatat pembantaian besar-besaran terhadap penyihir dan semua yang dicurigai berkaitan dengan sihir, sekitar abad ke-17 (ada contoh beberapa penyihir yang akhirnya dihukum mati, seperti dituliskan dalam artikel ini). 

Cerita-cerita tentang praktik sihir ini akhirnya jadi bahan yang menarik untuk difiksikan. Nah, Roald Dahl menuliskan bahwa para penyihir itu suka memburu anak-anak kecil. Dalam buku ini, tokoh "aku" mengatakan bahwa ternyata itu bukan cerita fiksi semata! Para penyihir wanita benar-benar ada di seluruh dunia, dan mereka selalu berusaha mengganyang bocah-bocah yg keluyuran dan tidak cukup cerdik untuk menghindari mereka. Parahnya, mereka nyaris tak bisa dibedakan dengan wanita-wanita normal! Bisa jadi, gurumu sebenarnya adalah penyihir, atau wanita yg memberimu permen di stasiun tadi, atau wanita tua yg tinggal di sebelah rumahmu... Kemungkinannya nyaris tak terbatas!


Beruntung sekali si 'aku' mempunyai seorang nenek--neneknya ini orang Norwegia, yang terbiasa dengan hal-hal  magis--yang memberitahunya ciri-ciri seorang penyihir, dan mengapa penyihir biasanya perempuan. Si 'aku' tinggal bersama neneknya setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Sebenarnya mereka lebih suka tinggal di Norwegia, tapi almarhum ortunya memintanya tinggal di Inggris saja. Dan tahukah kau, bahwa "penyihir Inggris mungkin adalah penyihir paling jahat di seluruh dunia"? (hal. 41)


Ratu Penyihir

Sebelum berumur 8 tahun, si "aku" dua kali bertemu dengan penyihir sungguhan! Dan, nasibnya pada pertemuan keduanya tak seberuntung pertemuan pertama. Pasalnya, ia tersudut dalam satu ruangan berisi puluhan (hampir seratus) penyihir seluruh Inggris yang sedang mengadakan pertemuan tahunan! Si 'aku' pun melihat si Ratu Penyihir untuk pertama kalinya. Mereka ternyata sedang menyusun rencana besar untuk membasmi seluruh anak di Inggris menggunakan Ramuan 86, Pembuat Tikus yang Tertunda. Si Ratu langsung mempraktikkan kinerja ramuan itu pada Bruno Jenkins, bocah rakus teman si 'aku'.



Meringkuk di balik partisi, si 'aku' adalah saksi kunci eksistensi mereka, dan bahkan ia turut mendengar resep dan cara membuat Ramuan 86. Ia adalah manusia biasa pertama yang menjadi saksi mata aksi kejam si Ratu terhadap salah satu rekan penyihir. Si 'aku' sangat berbahaya bagi para penyihir, dan jika ketahuan pasti ia akan langsung dilenyapkan!

***

Novel ini berpusat pada peristiwa menegangkan selama sehari di Hotel Magnificent, Inggris, tentang petualangan seorang bocah (yang berubah jadi tikus) dibantu neneknya, untuk membasmi para penyihir. Saya kagum akan kedewasaan si 'aku', yang dengan cepat bisa tabah menerima wujud barunya: tikus.
"Kurasa jadi tikus tidak terlalu menyedikan kok." (hal. 130)

Pun kecerdasannya dalam menemukan kelemahan rencana si penyihir pantas diacungi jempol (bahkan neneknya tidak berpikiran sampai situ!) Ia mampu mengubah kelemahannya sebagai tikus menjadi kekuatan! Tubuh yang kecil dan mampu melesat ke tempat-tempat yang tak bisa dimasuki manusia dengan mudah.... Kerja sama yang kompak antara si "aku" dengan neneknya menentukan keberhasilan rencana mereka untuk membasmi para penyihir--sebelum mereka membasmi seluruh anak di Inggris.


Karakter nenek (Grandmamma) adalah favorit saya. Ia mengingatkan akan sosok Dumbledore dalam kisah Harry Potter, terutama dalam hal kemampuannya untuk "memercayai hal-hal yang mustahil dipercayai"


Grandmamma, yang hobi mengisap cerutu.
Seperti Dumbledore yang memahami berbagai kekurangan Harry Potter dan menerimanya, Grandmamma juga melakukan itu untuk si "aku". Meski sedari awal si "aku" telah berlapang dada menerima wujud barunya, sikap penuh kasih sayang Grandmamma-lah yang membuatnya yakin bahwa wujud barunya tak akan merugikannya. Ketika mereka berbincang tentang seberapa lama seekor tikus akan hidup, mendadak pembicaraan menjadi mengharukan.
"Karena aku tidak ingin hidup lebih lama darimu. Aku tidak bisa membayangkan dirawat orang lain." (hal. 214)
Dialog-dialog antara si "aku" dan Grandmamma membuat saya menyadari betapa berkualitasnya hubungan interpersonal mereka berdua! Di masa yang belum ada barang-barang elektronik, mereka berdua menghabiskan waktu bersama di depan perapian sambil berbincang-bincang sampai waktunya tidur. Mungkin jika si "aku" dan Grandmamma ada di zaman sekarang, mereka berdua akan menghabiskan waktu bersama dengan saling komen foto Instagram, atau bercakap-cakap lewat chat di grup WA. Haa!

Alur novel ini bertempo cepat, banyak kejadian penting terjadi secara intens dalam jangka waktu satu hari saja. Inilah yang menjadikan cerita sangat seru (dan mungkin menegangkan bagi pembaca anak). Poin menarik lain adalah paradoks yang disajikan oleh Roald Dahl, yang bikin saya tersenyum-senyum sendiri. Para penyihir itu menyamarkan identitas dan hendak melakukan tindak kekerasan terhadap anak bertamengkan nama Perkumpulan Pencegahan Kekerasan terhadap Anak-anak (PPKTA). 


Dahl juga membalikkan kebiasaan yang biasanya dianggap baik, yaitu tentang 'mandi'. Bau tubuh bocah sangat menarik perhatian penyihir, dan mandi (kulit yang bersih) hanya akan menguatkan bau tubuh mereka.
"Anak-anak mestinya tidak usah mandi. Itu kebiasaan yang berbahaya." (Grandmamma, hal. 140)

Cerita yang sangat menghibur dan seru! Lucu dan cerdas! Dalam sosok mungil si tikus, Dahl mengajak kita semua untuk bisa mengubah cara pandang terhadap apa yang sebelumnya kita anggap sebagai kelemahan, menjadi kekuatan. Ia juga mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap segala hal yang terlihat baik, yang bisa saja, sebenarnya itu hanyalah tameng.

"Bukan masalah siapa dirimu atau seperti apa penampilanmu, selama ada yang menyayangimu." (hal. 216)

4 comments:

  1. Sihir menyihir...serem ah... Ngga mendidik menurut saya... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah pernah baca, belum? Kalau belum baca sendiri, alangkah tidak bijaksananya jika langsung menghakimi seperti itu :)

      Delete
  2. layak baca nie, karena buku terakhir yg gw baca bikin ngantuk "dunia anna" hanya tertarik krn tipis :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmm, "Dunia Anna" itu cukup ramah menurutku, dibandingkan "Dunia Sophie", hehehe.

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets