31 December 2015

[Resensi DIJUAL: KEAJAIBAN] Sembilan+ Pelajaran Berharga dari Sastra Asia


Judul: Dijual: Keajaiban
Penulis: Gao Xingjian, Khayriyah Ibrahim as Saqqaf, Naguib Mahfouz, Orhan Pamuk, RK Narayan, Salman Rushdie, Taufiq el-Hakim, Yukio Mishima, Yusuf Idris
Penerjemah: Tia Setiadi
Editor: Ainini
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: I, Desember 2015
Tebal: 228 halaman
ISBN: 978-602-391-049-6
Rating saya: 4/5

Sembilan cerpen dari sembilan penulis besar Asia terkompilasi dalam buku ini, ditambah bonus seuntai esai dari pidato Nobel Sastra Gao Xingjian. Hanya dua dari sembilan nama itu yang saya sudah pernah berkenalan dengan karyanya, yaitu Naguib Mahfouz dan Orhan Pamuk. Pun waktu itu saya berkenalannya juga lewat karya terjemahan Tia Setiadi, Menggali Sumur dengan Ujung Jarum. Sebenarnya tiga dari sembilan penulis tersebut berasal dari Mesir (Naguib Mahfouz, Taufiq el-Hakim, dan Yusuf Idris), tapi mereka pun ikut disebut sebagai "pengarang besar Asia". Menurut penerawangan saya, mungkin karena karya-karya mereka berbahasa Arab. Mungkin, lho ini.

Gao Xingjian, seperti bisa ditebak dari namanya, berasal dari Tiongkok, tapi kemudian eksil ke Perancis. Dia orang Tiongkok pertama yang mendapat Nobel Sastra pada tahun 2000. Cerpennya, Di Sebuah Taman, membuka buku ini dengan serangkaian dialog antara dua orang laki-laki dan perempuan, yang berlatarkan di sebuah taman. Cerpen ini unik, lantaran penuh dialog dan miskin sekali narasi. Namun, dialog yang berisi selalu mampu bercerita semumpuni narasi, atau bahkan bisa mengungkap lebih, seperti dalam cerpen ini.

Tiap kali dialog menyentuh hal sensitif seputar hubungan antara mereka berdua, mereka berpindah ke topik lain, sebelum kemudian si perempuan mengungkapkan sesuatu yang membuat saya mengerti bahwa mereka dulu saling mencintai, tapi kemudian si perempuan terpaksa menikah dengan lelaki lain. Uniknya, ada satu tokoh di latar belakang: seorang perempuan muda, yang sedang menunggu seseorang sendirian di taman itu, dan kemudian menangis. Mereka berdua memperbincangkan sosok perempuan muda itu, tentang "menunggu" dan "berharap". Saya menangkap bahwa tokoh perempuan muda itu beserta kesedihannya diciptakan penulis sebagai cerminan akan perasaan dua orang yang sedang berdialog, tentang kepedihan dan penyesalan mereka sendiri.

"... orang mestinya hanya melakukan hal-hal yang seharusnya mereka lakukan." (hal. 25)

Cerpen kedua, Pembunuhan Cahaya di Alir Sungai, adalah karya Khayriyah Ibrahim as Saqqaf, seorang penulis dari Arab Saudi. Ia juga adalah editor perempuan pertama di sebuah koran terkenal di negaranya. Cerpen ini berkisah tentang Raha, seorang perempuan Arab yang berpikiran modern, berkat ilmu yang diserapnya dan dari pergaulan dengan teman-teman sekolah. Nahas sekali nasibnya, kepulangannya untuk menjenguk kedua orang tua berakhir pada penyiksaan batin dan fisik. Orang tuanya memaksa untuk menikahkannya dengan Fahid, seorang laki-laki tua yang kaya raya. Raha tak bisa kembali ke sekolahnya lagi.

"Aku mengira bahwa ibuku menginginkanku terlihat cantik di antara teman-temanku. Tak kusangka bahwa dia hanya mempersiapkanku untuk dikorbankan, bak si penggembala yang merawat dan menggemukkan kambingnya untuk dijual." (hal. 37)

Cerpen ini sungguh memilukan, terlebih adegan kekerasan yang dilakukan sang ibu pada Raha, semua hanya demi uang. Budaya yang membatasi para perempuan untuk menggapai mimpi-mimpinya, terpancang kokoh di cerpen ini. Membacanya membuat saya teringat Sitti Nurbaya. Penulis membuka cerpen ini dengan judul yang bikin penasaran. Jika boleh saya parafrasakan judulnya, "pembunuhan cahaya" mungkin berarti "matinya segala mimpi dan cita-cita Raha karena perjodohan yang tak diinginkannya". Kemudian, "alir sungai" mungkin berarti "air mata Raha".

Cerpen ketiga, Qismati dan Nasibi, adalah karya Naguib Mahfouz, berkisah tentang dua anak kembar siam, yang punya dua kepala tapi tubuh bagian bawahnya menyatu. Kisah berawal mulai dari saat orang tua mereka menginginkan anak, sampai mereka lahir, tumbuh besar, dan mati. Masalah mulai muncul ketika mereka mulai tumbuh menjadi sosok yang berbeda dan sering berseberangan cara berpikir dan cita-cita. Mereka terjebak oleh kedekatan dan sikap saling bergantung yang mengerikan. Saya mencium aroma magis-realis ketika membaca cerpen ini.

"Seandainya kami lahir dengan satu kepala dan dua bagian bawah yang terpisah, mungkin segalanya akan menjadi lebih mudah!" (Qismati, hal. 60)


Cerpen keempat, Memandang ke Luar Jendela, karya Orhan Pamuk, menggunakan sudut pandang seorang anak laki-laki. Di luar segala persoalan kanak-kanak, (termasuk kekalahannya yang bertubi-tubi saat main kartu dengan sang kakak dan ketakutannya akan suntikan) ada masalah lebih besar yang ditangkap oleh jala-jala pikirannya, yaitu kepergian ayahnya secara misterius ke Perancis. Tak ada yang tahu, kecuali ia. Nampak dalam cerpen ini, kesadaran dalam diri anak kecil akan masalah-masalah dan perasaan orang dewasa. Beberapa sumber mengindikasikan bahwa cerpen ini ditulis berdasarkan pengalaman Orhan sendiri (The Guardian, SFGate).

"Memandang ke luar jendela adalah sebuah hiburan penting sehingga tatkala televisi pada akhirnya datang ke Turki, orang-orang bertindak sama di depan kotak ajaib itu dengan yang mereka lakukan di depan jendela-jendela mereka." (hal. 66)


Cerita kelima, Anjing Buta, adalah karya RK Narayan, seorang penulis India. Cerpen ini memantik kepiluan lebih mendalam di hati saya, ketimbang ketika saya membaca Pembunuhan Cahaya di Alir Sungai. Cerpen ini mengisahkan persahabatan tak sempurna antara seorang lelaki buta dan seekor anjing. Si lelaki buta merasa tertolong oleh si anjing yang selalu menuntunnya ke mana pun dia pergi, pun melindunginya dari berbagai ancaman. Namun, sial bagi si anjing. Dunianya kini hanya sepanjang tali pengikat lehernya. Si lelaki buta pun kerap menendanginya. Anjing itu pun lama-lama jadi kurus. Orang lain yang melihat penderitaan itu berusaha membebaskan si anjing, dengan memotong talinya. Ironisnya, setelah beberapa saat mengecap kebebasan, si anjing kembali lagi ke lelaki buta karena ia butuh makan.

"'Ia keluyuran selama dia bisa menemukan sampah untuk dimakan di jalan, tapi kelaparan yang amat sangat membawanya kembali kepadaku, dan kini anjing itu tak akan meninggalkanku lagi. Lihat! Aku sekarang dapat ini,' dan si lelaki buta itu menggoyang-goyangkan talinya: kali ini rantai besi." (hal. 115)

Oleh karena itu, si anjing pun tak ubahnya sudah buta, karena gagal melihat kebebasan yang telah ia dapatkan kembali. Dilema yang dialami si anjing barangkali menggambarkan yang sering kita alami sebagai manusia, dalam pertarungan antara kebutuhan vs kebebasan. Saya pernah berada di situasi seperti ini, beberapa kali. Pada tahun 2012, saya pernah melamar kerja sebagai guru bahasa Indonesia bagi orang-orang luar negeri, di sebuah lembaga bahasa. Saya melewati beberapa tahap seleksi, hingga akhirnya diterima. Saya masih berada dalam tahap training, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri karena ikatan kerjanya terlalu membebani. Hmm, saya memang butuh uang tambahan untuk bertahan hidup, tapi saya lebih memilih kebebasan pada waktu itu.

"Apa yang bisa kita lakukan dengan sesosok makhluk yang kembali kepada hukumannya dengan begitu sukarela?" (hal. 116)

Cerpen keenam, Di Selatan, Dua Lelaki Tua India, adalah karya Salman Rushdie, seorang penulis India. Cerpen ini berkisah tentang dua orang lelaki tua yang tinggal di India Selatan. Beberapa persamaan menyatuhkan mereka, termasuk kesamaan nama, V entah siapa, sehingga mereka lebih suka dipanggil Senior dan Junior (tanggal lahir mereka beda 7 hari). Namun, mereka memiliki masa lalu yang berbeda. Si Senior, memiliki masa lalu yang berkelimpahan dan keluarga besar yang terdiri dari 200+ anggota keluarga, sehingga lama-lama ia merasa terlalu "ramai". Sebaliknya, si Junior, memiliki masa lalu yang mengecewakan dan tidak beristri. Mereka berdua menjalin persahabatan, meski dengan pemikiran berbeda, sebelum si Junior meninggal lebih dulu. Peristiwa tsunami tahun 2004 juga masuk dalam cerita ini. Dalam cerpen ini, Salman Rushdie berhasil membentuk kedua tokohnya seperti layaknya kakek-kakek tua, dari cara berpikir dan berkelakuan mereka.

Cerpen ketujuh, Dijual: Keajaiban, adalah karya Taufiq el-Hakim, seorang penulis dari Mesir. Bertokoh-utamakan seorang rahib atau pendeta, cerpen ini mengisahkan bagaimana rahib itu dimintai tolong untuk menyembuhkan seorang yang sedang sakit di sebuah desa. Setelah ia berhasil menyembuhkan orang itu, dan hendak pergi dari desa tersebut, datanglah orang lain lagi yang juga memintanya datang ke desanya untuk menyembuhkan seseorang. Ia telah melakukan keajaiban-keajaiban penyembuhan. Sebagai balasnya, orang-orang itu menampung sang rahib di rumah mereka dan melimpahinya dengan keramahtamahan. Ternyata, tanpa ia ketahui, keajaiban yang telah diperbuatnya itu harus dibayar mahal oleh gerejanya. Saya terperenyak sembari senyam-senyum ketika sampai pada twist di bagian akhir. Taufiq el-Hakim telah mempermainkan saya, hahaha.

Cerpen kedelapan, Tujuh Jembatan, adalah karya Yukio Mishima, yang sering disebut sebagai penulis terbesar Jepang abad ke-20. Dua orang geisha, Kanako dan Koyumi, bersama Masako, putri pemilik Yonei House, melakukan ritual menyeberangi tujuh jembatan agar doa-doa mereka terkabul. Di detik terakhir, Mina, pembantu Masako, ikut serta dalam ritual itu. Agar doa-doa terkabul, syaratnya adalah:

"Dari menit sejak kita beranjak dari rumah ini kau tak akan buka mulut, tak peduli apa pun yang terjadi, sampai kita menyeberangi tujuh jembatan seluruhnya. Bahkan kalau sepatah kata saja kau ucapkan maka kau tak akan mendapatkan apa yang kau doakan. Dan kalau siapa pun yang mengenalmu berbicara kepadamu, maka siallah kau.... Kau tak diperkenankan untuk kembali ke jalan yang sama dua kali." (hal. 163)

Sebelum sampai di jembatan terakhir, Kanako dan Koyumi telah gagal. Tinggallah Masako berdua dengan Mina. Masako sangat membenci gadis itu, sehingga sepanjang jalan ia merasa tidak nyaman. Namun, pada akhirnya Masako pun gagal menyeberangi ketujuh jembatan. Sang penulis berhasil membuat saya penasaran sampai akhir, akan apa sebenarnya doa yang dipanjatkan Mina. Sosoknya pun misterius, dan karenya ada hawa menyeramkan keluar darinya. Sepanjang perjalanan dari awal hingga akhir, penulis banyak mendeskripsikan latar hal-hal di sekitar mereka. Ada deskripsi yang meninggalkan kesan kuat bagi saya:

"Beberapa jonjot awan berlayar di langit.." (hal. 165)
"Air di dalam sungai berlipat-lipat dalam cahaya bulan." (hal. 168)

Cerpen terakhir, Nampan dari Surga, adalah karya Yusuf Idris, seorang penulis Mesir, yang terkenal sebagai pelopor yang membaurkan bahasa Arab standar dengan bahasa Mesir pasaran. Syaikh Ali, tokoh dalam cerpen ini, menjadi bahan olok-olokan sedesa karena keanehan dan kemiskinannya. Suatu kali, ia mengutuk Tuhan karena kemiskinan dan kelaparan yang sudah tak tertahankan. Seisi desa menjadi takut kalau-kalau Tuhan akan murka karena hujatan Syaikh Ali itu.

"Aku tak akan diam kecuali Dia mengirimiku sebuah meja yang sarat makanan dari langit, sekarang juga." (hal. 193)

Mendengar itu, orang-orang mulai memberinya makan, meski mereka sendiri pun sebenarnya jauh dari "kaya". Sosok Syaikh Ali ini menggampar saya, dan mungkin kita semua, yang kadang mengaku bertakwa kepada Tuhan, tapi melupakan orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan uluran tangan.

Terakhir, lewat pidato nobelnya, Gao Xingjian menyerukan perihal hakikat sastra yang sejati menurut pemikirannya. Esai ini menarik, karena menambah keyakinan saya yang sempat terombang-ambing: haruskah saya menulis apa yang saya inginkan, atau yang pasar inginkan?

"... sastra hanya bisa menjadi suara individual dan selalu begitu. Sekali sastra dibuat sebagai himne sebuah bangsa, bendera ras, corong partai politik, atau suara kelas atau kelompok, ia berlaku hanya sekadar sebagai alat propaganda. Sastra semacam itu kehilangan apa yang melekat dalam sastra, berhenti sebagai sastra, dan menjadi pengganti bagi kekuasaan dan keuntungan." (hal. 203)

"Sastra bukan buku paling best-seller atau buku paling laris.... tapi bilamana penilaian estetis penulis mengikuti pergerakan-pergerakan pasar ini akan berarti bunuh diri sastra." (hal. 209, 221)
***

Saya setuju dengan pendapat Bernard Batubara dalam prolognya di buku ini, bahwasanya Tia Setiadi telah menerjemahkan karya-karya sastra ini dengan baik. Terjemahannya mampu memberikan kesan seolah-olah ini bukan terjemahan, seolah isi buku ini memang sedari awal ditulis dalam bahasa Indonesia. Seperti Bernard Batubara, saya juga mengakui bahwa banyak elemen bahasa menarik dan unik yang tercipta dari proses terjemahan, seperti:

"Qismati mabuk oleh nektar hasrat..." (hal. 56)
"Kanako sangat pendiam sehingga terlihat seakan-akan angin semilir pun akan melupakannya..." (hal. 159)
"...jonjot-jonjot awan mulai meluas di atas kepala." (hal. 16)
"Dia adalah keluarga nyamuk, kerumunan yang berdengung, dan cinta adalah gigitan mereka yang bikin gatal." (hal. 124)

Lagi-lagi, saya juga setuju dengan Bernard Batubara, bahwa penerjemah memilih cerpen-cerpen yang "tepat untuk memberi kesan pertama yang menyenangkan bagi pembaca yang masih awam terhadap pengarang-pengarang dalam buku ini" (hal. 8). Secara keseluruhan, saya menyukai semua cerpennya, tapi yang paling berkesan adalah Anjing Buta dan Tujuh Jembatan. Pidato Nobel Gao Xingjian, yang berjudul Perihal Sastra pun menempati sudut spesial dalam benak saya.[ ]

2 comments:

  1. Halo :)

    Aku juga suka buku ini, terutama cerpennya Orhan Pamuk sama Gao Xingjian.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo juga, Ratih :D
      Ah, iya, cerpen Gao Xingjian itu unik, ya. Isinya percakapan doang. Suka :D

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets