13 February 2017

[Resensi PERFECTION] Aku Sudah Berjuang Keras tapi Mereka Masih Mengataiku Gendut


blah, blah, blah

Sebelum meresensi Perfection, saya mau membuat pengakuan. Saya kenal Farrah (awalnya karena dia penongkrong setia tiap acara Kampus Fiksi) dan sebagai seorang teman yang baik, seharusnya saya membeli bukunya ini. Oke, saya memang tahu Perfection terbit, tapi saya tidak membelinya. Saya selektif sekali kalau mau beli buku (yang akhir-akhir ini tidak terlalu lagi, malah makin menjadi-jadi hobi menimbun buku saya—ups, apakah itu suatu kelainan semacam hoarding?) dan seringnya lebih memilih memburu gratisan atau pinjaman. Saya kira, Perfection ini akan bisa saya pinjam dari entah siapa (mungkin pinjam ke Farrah *digeplak). Sebagai teman yang baik, seharusnya saya membeli bukunya. Tapi saya memang teman yang kurang baik, sih.

Mungkin semesta menginginkan saya berjumpa secara langsung dengan Perfection. Suatu kali, pada masa kegemilangan saya sebagai pemburu buku gratisan, Ariansyah ABO mengadakan giveaway di blog-nya pada bulan Maret 2016. Pemenangnya bisa memilih empat dari delapan (kalau tidak salah) buku kolpri yang ia tawarkan. Sebelum mengirimkan jawaban saya atas pertanyaan kuis, saya sudah mengincar empat buku yang akan saya pilih kalau menang. Well, saya memang kelebihan self-esteem. Singkat cerita, saya menang, lalu Ariansyah menyerahkan empat buku kolprinya untuk saya adopsi. Salah satunya adalah Perfection. Tak lama kemudian, saya bertemu Farrah dan minta dia menandatangani buku ini (nggak tahu diri ya, saya).
 ***

sinopsis

Bermula dari insiden bola basket di masa awal SMA, Nina terlibat dengan Panji, seorang cowok kelas XII yang suka sekali sejarah, terutama tentang Perang Dunia. Nina, yang selama ini belum pernah “dilirik” cowok dengan tatapan yang bukan mengejek, terbengong-bengong ketika Panji mengajaknya berkenalan gara-gara buku Mein Kampf. Sebelumnya, seorang kakak kelas XII bernama Wedari juga mengajaknya berkenalan di perpustakaan kala Nina mengubek-ubek rak buku sejarah. Lama-lama, Nina menyukai Panji dan bertekad untuk lebih dekat dengan Panji. Dia mantap mengambil jurusan Sosial, bertekad menjadi sepintar dan selevel dengan Panji (terutama dalam hal Sejarah). Tidak cuma itu. Nina pun sampai bertekad untuk melakukan diet supaya berat badannya turun. Ups, belum saya bilang, ya, kalau badan Nina agak berisi? Dia sering diejek karena itu.
Ya ampun, Ndut, masih pagi sudah jajan? Kapan kurusnya kalau begini? (Ines, hlm. 51)
Awalnya, dia tidak mau Nila, kembarannya tahu bahwa dia diet, karena takut akan mendapat tanggapan negatif. Ups, belum saya bilang juga, ya, kalau Nina punya kembaran?
“Kalian kembar? Kok nggak mirip?”
Kami mirip, tapi beda ukuran. Catat itu.
“Wah, lebih cantik Nila, ya.”
(hlm. 28)
Selama ini Nina sudah kenyang dibanding-bandingkan dengan Nila yang tidak gendut dan dianggap orang-orang “cantik”. Yah, memang, sih, Nina punya kemampuan akademis yang bisa dibanggakan, tapi tetap saja mereka tak akan berhenti mengejek bentuk tubuhnya hanya karena nilai-nilainya bagus. Namun ternyata perkiraannya salah. Nila justru mendukung dan membantunya.

Tak ada yang salah dengan usaha Nina untuk menurunkan berat badan, awalnya. Hubungannya dengan Panji pun makin dekat, bahkan bisa dibilang pacaran. Berat badan proporsional sudah dicapainya. Namun, lama-lama... Disiram bensin oleh cercaan Vera (si antagonis) dan orang-orang di sekitarnya yang kurang peka, tekad Nina makin berkobar-kobar. Nina jadi terobsesi. Alih-alih merapalkan doa sebelum makan, Nina komat-kamit menghitung berapa kalori yang ada di piringnya. Nina seolah papan ski yang meluncur dari atas bukit tinggi tanpa bisa dikendalikan. Tak bisa direm. Begitu pula berat badannya yang meluncur terus, karena ia mengeksploitasi fisiknya dan ketakutan tiap kali melihat makanan.
[...] kalau memiliki ambisi yang terlalu besar, akhirnya akan mengerikan. Yang paling jelas contohnya itu Hitler. (Panji, hlm. 43)
Ambisi yang terlalu besar telah menguasai Nina. Apakah akhirnya akan mengerikan juga? Apakah orang-orang memang tidak pernah belajar dari sejarah, seperti kata Nina?
***

familiar?

Mengambil setting di Yogyakarta, beberapa tempat yang Farrah sebutkan dalam cerita familiar bagi saya. Pun kisahnya sehari-hari banget. Contohnya, jajanan yang tertangkap pembacaan saya: tempe mendoan, tahu sumedang, lalu Nina jajan bakso tusuk di dekat gerbang sekolah. Kisah remaja gendut yang jadi korban bullying dan akhirnya melakukan hal mengerikan pada dirinya sendiri, mungkin juga kisah yang tidak terlalu asing, tapi tidak lantas menjadikannya klise, lho. Dijuluki Young Adult Realistic Novel oleh penerbitnya, novel ini (dan judul-judul lain dalam seri YARN--mungkin, karena saya belum baca yang lain) benar-benar realistis.

mari tenggelam dalam isi kepala nina

Bertokohutamakan Nina dan diceritakan dengan sudut pandang orang pertama Nina, Farrah mengajak saya menyelami isi kepala Nina, yang berisi beberapa hal penting dan dominan berikut.

1. Tanggapannya akan ejekan serupa, “Bola bisa ambil bola, toh?” (Raka, hlm. 4)
Setelah Raka berceletuk begitu, Nina memberinya pelajaran dengan mengambil bola basket tersebut dan melakukan bounce pass sampai mengenai perut Raka. Atau, Nina akan menanggapi dengan senewen ejekan yang disebut oleh si pengejek sebagai sekadar “bercanda”.
Bercanda? Dari dulu “hanya bercanda” memang selalu dijadikan pembelaan untuk mengatai orang lain. Yang mereka tidak ketahui, “candaan” yang mereka lontarkan itu adalah senjata mengerikan untuk melukai perasaan seseorang. Termasuk perasaanku. (hlm. 51)
Atau, ketika budenya dengan menyebalkan meledeknya karena gendut. 
Sadar atau tidak, di Indonesia ada semacam “tradisi” ketika seseorang memiliki hubungan yang dekat dengan kita, maka semakin seenaknya pula dia boleh mengata-ngatai kita. Yah, mungkin di luar negeri juga seperti itu, aku kurang paham. Yang jelas, kebiasaan semacam ini mengesalkan. (hlm. 55)
2. Membela diri terhadap kesukaan akan makanan
Lagi pula, sayang, kan, kalau ada sisa makanan. Masih banyak orang kelaparan di luar sana. Tapi, oke, pada dasarnya aku memang suka pizanya. (hlm. 31)
(Yeah, well, Nina, kalau kamu tahu masih banyak orang kelaparan di luar sana, mengapa kamu tidak memberikan makananmu pada mereka saja?)

3. Pendapatnya tentang stigma anak “pintar” dan “bodoh”
Kupikir, kalau ada yang bilang anak Sains lebih pintar daripada anak Sosial, itu tidak sepenuhnya benar. Kalau anak Sains yang pintar Fisika ditanya tentang perang-perang yang mereka sebut barusan, belum tentu juga anak-anak Sains itu tahu. Setiap orang punya bidang masing-masing, kan? makanya, kadang hal ini juga yang bikin aku tidak setuju dengan cap anak pintar pasti masuk kelas Sains. (hlm. 48)
Juga ucapannya terhadap Nila yang merasa bodoh karena tidak jago hitung-hitungan dan karena (lagi-lagi) jadi korban omongan nyelekit Bude.
“Kamu nggak bodoh, La. Kamu pintar, nilai-nilaimu di bidang seni dan olahraga bagus. Kalau pintar hanya diukur dari hitung-hitungan, berarti ada banyak orang bodoh di dunia ini.” (Nina, hlm. 139)
Pemikiran ini menunjukkan bahwa Nina remaja yang kritis.
4. Pendapatnya akan status hubungan percintaan
“Status hubungan itu nggak penting. Status bisa aja ada tanpa perasaan, begitu juga sebaliknya. Buatku, adanya perasaan yang kuat, meski tanpa diikat status sekalipun, lebih menyenangkan dan mendebarkan.” (hlm. 180)
5. Ambisinya yang bikin saya lelah sekaligus salut
Aku sudah terbiasa menahan lapar, bahkan aku merasakan kenikmatan tersendiri saat menahan sensasi lapar. (hlm. 188)
Saya sudah bilang, kan, kalau lama-lama Nina berambisi menjadi kurus? Nah, Farrah berhasil membentuk karakter Nina dengan baik, sehingga ambisi dalam pikirannya bikin saya lelah. Ia selalu menghitung kalori (terutama untuk mencapai defisit kalori) dan menulis catatan secara cermat dan detail terkait proses dietnya di jurnal.
Diam-diam aku merasa puas ketika tahu aku kekurangan darah. Aku pernah mendengar percakapan Vera dengan temannya bahwa salah satu ciri orang kurus adalah sering kurang darah. Ini berarti aku semakin dekat dengan target berat badanku! (hlm. 194)
Kekesalannya karena omongan orang yang sepertinya terus mengatainya gendut, padahal berat badannya sudah turun beberapa kilo. Menurut Nina, ini ada hubungannya dengan teori labelling.
Kalau aku pernah gendut dan orang-orang juga melihatku sebagai sosok orang gendut, maka mereka akan terus memandangku seperti itu. (hlm. 182)
Melalui tokoh Nina, saya jadi tahu banyak hal tentang diet, termasuk beragam metodenya. Saya mengapresiasi Farrah atas risetnya (oh, sepanjang pengetahuan saya, dia memang totalitas kalau masalah riset).

tokoh-tokoh lain yang kamu harus kenal

1. Nila 
Awalnya, saya mengira tokoh Nila akan menjadi kembaran yang menyebalkan (oh, tidak, ternyata yang benar-benar menyebalkan adalah Bude dan Vera). Saya senang sekali, Farrah tidak membuatnya demikian. Sebaliknya, Nila mendukung niat Nina untuk menurunkan berat badan. Ia juga membantunya, mulai dengan mengajaknya berolahraga lari. Terlebih, dalam menghadapi omongan Bude, mereka berada di atas perahu yang sama. 
“Kamu kapan mau kurus, Nduk?” – Bude 
“Nina sudah kurusan, kok. Dia lagi berjuang diet loh, Bude.” – Nina (hlm. 137) 
2. Panji 
Dari awal, saya tahu Panji akan jadi tokoh cowok yang bak ksatria. Benar-benar gentleman. Sejak awal, dia tidak pernah menganggap ukuran tubuh Nina sesuatu hal yang penting. Belakangan, setelah ia kuliah di Depok, ia sama sekali tidak melepaskan perhatian terhadap Nina. 
“Tapi waktu itu semua orang masih mengataiku gendut!” 
“Kenapa harus ambil pusing sama kata orang-orang?” 
(hlm. 229) 
Dan, yang dia katakan pada Nina sungguh manis. 
“Nina, dengar. Selama kamu sehat, kamu selalu cantik di mataku, Na.” (Panji, hlm. 230) 
Sebagai semacam history freak, obrolan Panji-Nina sering membahas tentang sejarah, terutama Perang Dunia. Dari situlah, juga dari obrolan dengan Wedari, saya mendapat pengetahuan baru. 

3. Raka 
Raka adalah sosok yang blak-blakan, terlalu pede, dan tak jarang menyakiti perasaan orang lain dengan kata-katanya. Ingat, kan, celetukannya saat bertemu Nina pertama kali di halaman 4? Namun, setelah Panji kuliah di Depok, kelihatanlah sifat Raka yang perhatian.

semacam simpulan

Kisah tentang orang-orang yang tidak sempurna (ya, saya tahu, tidak ada orang yang sempurna, tapi kau pasti paham maksud saya) selalu lebih menarik ketimbang kisah tentang gadis cantik jelita yang bertemu pangeran, saling jatuh cinta, lalu hidup bersama dan bahagia selamanya. Dari tokoh-tokoh yang tidak sempurna itu, saya sering menemukan sebagian diri saya sendiri (meski saya tidak merasa gendut dan sama sekali tidak terserang anorexia nervosa). Dan dengan bangkitnya mereka dari keterpurukan melalui serentetan perjuangan, saya merasa tidak sendirian. Kita semua pasti punya masalah dan hidup terlalu indah untuk tidak diperjuangkan, seburam apa pun dia terbayangi masalah itu, kan? Perfection jadi pembuka yang baik bagi saya untuk mengenal seri YARN Ice Cube lebih jauh. (Mungkin suatu saat saya akan berkesempatan membaca YARN yang lain, maupun young adult dari penerbit lain.)
rating saya

identitas buku

Judul: Perfection
Penulis: Farrahnanda
Editor: Katrine Gabby Kusuma
Penerbit: Ice Cube
Cetakan: I, Maret 2015
Tebal: vii + 238 halaman
ISBN: 978-979-91-0834-0

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets