blah, blah, blah
Sebelum meresensi Perfection, saya mau membuat pengakuan.
Saya kenal Farrah (awalnya karena dia penongkrong setia tiap acara Kampus
Fiksi) dan sebagai seorang teman yang baik, seharusnya saya membeli bukunya
ini. Oke, saya memang tahu Perfection
terbit, tapi saya tidak membelinya. Saya selektif sekali kalau mau beli buku
(yang akhir-akhir ini tidak terlalu lagi, malah makin menjadi-jadi hobi menimbun buku saya—ups, apakah itu suatu kelainan semacam hoarding?) dan seringnya lebih memilih memburu gratisan atau
pinjaman. Saya kira, Perfection ini
akan bisa saya pinjam dari entah siapa (mungkin pinjam ke Farrah *digeplak).
Sebagai teman yang baik, seharusnya saya membeli bukunya. Tapi saya memang
teman yang kurang baik, sih.
Mungkin semesta menginginkan saya berjumpa secara langsung
dengan Perfection. Suatu kali, pada
masa kegemilangan saya sebagai pemburu buku gratisan, Ariansyah ABO mengadakan giveaway di blog-nya pada bulan Maret 2016.
Pemenangnya bisa memilih empat dari delapan (kalau tidak salah) buku kolpri
yang ia tawarkan. Sebelum mengirimkan jawaban saya atas pertanyaan kuis, saya
sudah mengincar empat buku yang akan saya pilih kalau menang. Well, saya memang kelebihan self-esteem. Singkat cerita, saya menang, lalu Ariansyah menyerahkan empat buku kolprinya untuk saya adopsi. Salah
satunya adalah Perfection. Tak lama
kemudian, saya bertemu Farrah dan minta dia menandatangani buku ini (nggak tahu diri ya, saya).
***
sinopsis
Bermula dari
insiden bola basket di masa awal SMA, Nina terlibat dengan Panji, seorang cowok
kelas XII yang suka sekali sejarah, terutama tentang Perang Dunia. Nina, yang
selama ini belum pernah “dilirik” cowok dengan tatapan yang bukan mengejek,
terbengong-bengong ketika Panji mengajaknya berkenalan gara-gara buku Mein Kampf. Sebelumnya, seorang kakak
kelas XII bernama Wedari juga mengajaknya berkenalan di perpustakaan kala Nina mengubek-ubek
rak buku sejarah. Lama-lama, Nina menyukai Panji dan bertekad untuk lebih dekat
dengan Panji. Dia mantap mengambil jurusan Sosial, bertekad menjadi sepintar
dan selevel dengan Panji (terutama dalam hal Sejarah). Tidak cuma itu. Nina pun
sampai bertekad untuk melakukan diet supaya berat badannya turun. Ups, belum
saya bilang, ya, kalau badan Nina agak
berisi? Dia sering diejek karena itu.
Ya ampun, Ndut, masih pagi sudah jajan? Kapan kurusnya kalau begini? (Ines, hlm. 51)
Awalnya, dia tidak
mau Nila, kembarannya tahu bahwa dia diet, karena takut akan mendapat tanggapan
negatif. Ups, belum saya bilang juga, ya, kalau Nina punya kembaran?
“Kalian kembar? Kok nggak mirip?”Kami mirip, tapi beda ukuran. Catat itu.“Wah, lebih cantik Nila, ya.”(hlm. 28)
Selama ini Nina
sudah kenyang dibanding-bandingkan dengan Nila yang tidak gendut dan dianggap
orang-orang “cantik”. Yah, memang, sih, Nina punya kemampuan akademis yang bisa
dibanggakan, tapi tetap saja mereka tak akan berhenti mengejek bentuk tubuhnya
hanya karena nilai-nilainya bagus. Namun ternyata perkiraannya salah. Nila justru
mendukung dan membantunya.
Tak ada yang salah
dengan usaha Nina untuk menurunkan berat badan, awalnya. Hubungannya dengan
Panji pun makin dekat, bahkan bisa dibilang pacaran. Berat badan proporsional
sudah dicapainya. Namun, lama-lama... Disiram bensin oleh cercaan Vera (si
antagonis) dan orang-orang di sekitarnya yang kurang peka, tekad Nina makin
berkobar-kobar. Nina jadi terobsesi. Alih-alih merapalkan doa sebelum makan,
Nina komat-kamit menghitung berapa kalori yang ada di piringnya. Nina seolah
papan ski yang meluncur dari atas bukit tinggi tanpa bisa dikendalikan. Tak bisa
direm. Begitu pula berat badannya yang meluncur terus, karena ia
mengeksploitasi fisiknya dan ketakutan tiap kali melihat makanan.
[...] kalau memiliki ambisi yang terlalu besar, akhirnya akan mengerikan. Yang paling jelas contohnya itu Hitler. (Panji, hlm. 43)
Ambisi yang
terlalu besar telah menguasai Nina. Apakah akhirnya akan mengerikan juga?
Apakah orang-orang memang tidak pernah belajar dari sejarah, seperti kata Nina?
***
familiar?
Mengambil setting di Yogyakarta, beberapa tempat
yang Farrah sebutkan dalam cerita familiar bagi saya. Pun kisahnya sehari-hari
banget. Contohnya, jajanan yang tertangkap pembacaan saya: tempe mendoan, tahu
sumedang, lalu Nina jajan bakso tusuk di dekat gerbang sekolah. Kisah remaja
gendut yang jadi korban bullying dan
akhirnya melakukan hal mengerikan pada dirinya sendiri, mungkin juga kisah yang
tidak terlalu asing, tapi tidak lantas menjadikannya klise, lho. Dijuluki Young Adult Realistic Novel oleh penerbitnya, novel ini (dan judul-judul lain dalam
seri YARN--mungkin, karena saya belum baca yang lain) benar-benar realistis.
mari tenggelam dalam isi kepala nina
Bertokohutamakan
Nina dan diceritakan dengan sudut pandang orang pertama Nina, Farrah mengajak
saya menyelami isi kepala Nina, yang berisi beberapa hal penting dan dominan
berikut.
Setelah Raka
berceletuk begitu, Nina memberinya pelajaran dengan mengambil bola basket
tersebut dan melakukan bounce pass sampai mengenai perut Raka. Atau, Nina akan
menanggapi dengan senewen ejekan yang disebut oleh si pengejek sebagai sekadar “bercanda”.
Bercanda? Dari dulu “hanya bercanda” memang selalu dijadikan pembelaan untuk mengatai orang lain. Yang mereka tidak ketahui, “candaan” yang mereka lontarkan itu adalah senjata mengerikan untuk melukai perasaan seseorang. Termasuk perasaanku. (hlm. 51)
Sadar atau tidak, di Indonesia ada semacam “tradisi” ketika seseorang memiliki hubungan yang dekat dengan kita, maka semakin seenaknya pula dia boleh mengata-ngatai kita. Yah, mungkin di luar negeri juga seperti itu, aku kurang paham. Yang jelas, kebiasaan semacam ini mengesalkan. (hlm. 55)2. Membela diri terhadap kesukaan akan makanan
Lagi pula, sayang, kan, kalau ada sisa makanan. Masih banyak orang kelaparan di luar sana. Tapi, oke, pada dasarnya aku memang suka pizanya. (hlm. 31)
(Yeah, well, Nina, kalau kamu tahu masih banyak
orang kelaparan di luar sana, mengapa kamu tidak memberikan makananmu pada
mereka saja?)
Kupikir, kalau ada yang bilang anak Sains lebih pintar daripada anak Sosial, itu tidak sepenuhnya benar. Kalau anak Sains yang pintar Fisika ditanya tentang perang-perang yang mereka sebut barusan, belum tentu juga anak-anak Sains itu tahu. Setiap orang punya bidang masing-masing, kan? makanya, kadang hal ini juga yang bikin aku tidak setuju dengan cap anak pintar pasti masuk kelas Sains. (hlm. 48)
Juga
ucapannya terhadap Nila yang merasa bodoh karena tidak jago hitung-hitungan dan
karena (lagi-lagi) jadi korban omongan nyelekit Bude.
“Kamu nggak bodoh, La. Kamu pintar, nilai-nilaimu di bidang seni dan olahraga bagus. Kalau pintar hanya diukur dari hitung-hitungan, berarti ada banyak orang bodoh di dunia ini.” (Nina, hlm. 139)
Pemikiran ini
menunjukkan bahwa Nina remaja yang kritis.
4. Pendapatnya akan status hubungan percintaan 5. Ambisinya yang bikin saya lelah sekaligus salut“Status hubungan itu nggak penting. Status bisa aja ada tanpa perasaan, begitu juga sebaliknya. Buatku, adanya perasaan yang kuat, meski tanpa diikat status sekalipun, lebih menyenangkan dan mendebarkan.” (hlm. 180)
Aku sudah terbiasa menahan lapar, bahkan aku merasakan kenikmatan tersendiri saat menahan sensasi lapar. (hlm. 188)
Saya
sudah bilang, kan, kalau lama-lama Nina berambisi menjadi kurus? Nah, Farrah
berhasil membentuk karakter Nina dengan baik, sehingga ambisi dalam pikirannya
bikin saya lelah. Ia selalu menghitung kalori (terutama untuk mencapai defisit
kalori) dan menulis catatan secara cermat dan detail terkait proses dietnya di
jurnal.
Diam-diam aku merasa puas ketika tahu aku kekurangan darah. Aku pernah mendengar percakapan Vera dengan temannya bahwa salah satu ciri orang kurus adalah sering kurang darah. Ini berarti aku semakin dekat dengan target berat badanku! (hlm. 194)
Kekesalannya karena
omongan orang yang sepertinya terus mengatainya gendut, padahal berat badannya
sudah turun beberapa kilo. Menurut Nina, ini ada hubungannya dengan teori labelling.
Kalau aku pernah gendut dan orang-orang juga melihatku sebagai sosok orang gendut, maka mereka akan terus memandangku seperti itu. (hlm. 182)Melalui tokoh Nina, saya jadi tahu banyak hal tentang diet, termasuk beragam metodenya. Saya mengapresiasi Farrah atas risetnya (oh, sepanjang pengetahuan saya, dia memang totalitas kalau masalah riset).
tokoh-tokoh lain yang kamu harus kenal
1. Nila
Awalnya, saya mengira tokoh Nila akan
menjadi kembaran yang menyebalkan (oh,
tidak, ternyata yang benar-benar menyebalkan adalah Bude dan Vera). Saya senang
sekali, Farrah tidak membuatnya demikian. Sebaliknya, Nila mendukung niat Nina
untuk menurunkan berat badan. Ia juga membantunya, mulai dengan mengajaknya
berolahraga lari. Terlebih, dalam menghadapi omongan Bude, mereka berada di
atas perahu yang sama.
“Kamu kapan mau kurus, Nduk?” – Bude“Nina sudah kurusan, kok. Dia lagi berjuang diet loh, Bude.” – Nina (hlm. 137)
2. Panji
Dari awal, saya tahu Panji akan jadi tokoh
cowok yang bak ksatria. Benar-benar gentleman.
Sejak awal, dia tidak pernah menganggap ukuran tubuh Nina sesuatu hal yang penting. Belakangan, setelah ia kuliah
di Depok, ia sama sekali tidak melepaskan perhatian terhadap Nina.
“Tapi waktu itu semua orang masih mengataiku gendut!”“Kenapa harus ambil pusing sama kata orang-orang?”(hlm. 229)
Dan, yang dia katakan pada Nina sungguh
manis.
“Nina, dengar. Selama kamu sehat, kamu selalu cantik di mataku, Na.” (Panji, hlm. 230)
Sebagai
semacam history freak, obrolan
Panji-Nina sering membahas tentang sejarah, terutama Perang Dunia. Dari situlah,
juga dari obrolan dengan Wedari, saya mendapat pengetahuan baru.
3. Raka
Raka adalah sosok yang blak-blakan,
terlalu pede, dan tak jarang menyakiti perasaan orang lain dengan kata-katanya.
Ingat, kan, celetukannya saat bertemu Nina pertama kali di halaman 4? Namun, setelah
Panji kuliah di Depok, kelihatanlah sifat Raka yang perhatian.
semacam simpulan
Kisah tentang
orang-orang yang tidak sempurna (ya,
saya tahu, tidak ada orang yang sempurna, tapi kau pasti paham maksud saya)
selalu lebih menarik ketimbang kisah tentang gadis cantik jelita yang bertemu
pangeran, saling jatuh cinta, lalu hidup bersama dan bahagia selamanya. Dari
tokoh-tokoh yang tidak sempurna itu, saya sering menemukan sebagian diri saya
sendiri (meski saya tidak merasa gendut
dan sama sekali tidak terserang anorexia
nervosa). Dan dengan bangkitnya mereka dari keterpurukan melalui serentetan
perjuangan, saya merasa tidak sendirian. Kita semua pasti punya masalah dan
hidup terlalu indah untuk tidak diperjuangkan, seburam apa pun dia terbayangi
masalah itu, kan? Perfection jadi
pembuka yang baik bagi saya untuk mengenal seri YARN Ice Cube lebih jauh.
(Mungkin suatu saat saya akan berkesempatan membaca YARN yang lain, maupun young adult dari penerbit lain.)
rating saya
identitas buku
Judul: Perfection
Penulis: Farrahnanda
Editor: Katrine Gabby Kusuma
Penerbit: Ice Cube
Cetakan: I, Maret 2015
Tebal: vii + 238 halaman
ISBN: 978-979-91-0834-0
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^