Suatu siang di kedai Jualan Buku Sastra (JBS), Wijilan, Yogyakarta, bersama seorang teman, saya melihat-lihat buku yang dijajakan. Saya tak tahu mau beli buku apa—banyak sekali pilihan dan saya bingung. Setelah bolak-balik melahap judul-judul buku yang ada di meja-meja, saya iseng melongokkan kepala ke barisan pasukan buku di rak pojok, di bawah tulisan “diskon 15%”. Pandangan saya terperangkap oleh sebuah punggung buku oranye yang amat tipis. Lha, ini novel tipis banget, mungkin lebih tepat disebut novela, ya. Biasanya saya tertarik pada buku tebal (yang isinya bagus, biar tak lekas berpisah dengannya—tapi saya pernah juga membeli sebuah buku tebal dan isinya sangat membosankan hingga saya tak sanggup menyelesaikannya). Biasanya juga, sebelum membeli buku, saya akan mengepoin terlebih dulu buku itu di Goodreads atau jalan-jalan di blog-blog para blogger buku.
Kali ini
saya mengambil risiko. Sekali ini saya mau membeli buku yang sama sekali tidak
saya kenali sebelumnya. Saya belum pernah dengar atau baca nama penulisnya
(iya, parah banget saya). Yang meyakinkan saya hanyalah blurb yang sangat bikin penasaran dan gambar sampulnya yang menarik
(buku-buku membentuk sosok seorang lelaki tua sedang baca buku). Akhirnya saya
putuskan untuk membelinya (lagi pula, harganya tidak mahal). Sebelum membawanya
ke kasir pun saya tak hendak mengintip rating-nya di Goodreads. Biarlah segala
tentang buku ini menjadi kejutan. Apa yang bisa diperbuat oleh buku nan tipis
ini kepada saya? Apakah saya akan menemukan serendipity?
Baca juga Serendipiturday #1: Dari Kondom Sampai Catatan Akhir Kuliah Jilid 2
Baca juga Serendipiturday #1: Dari Kondom Sampai Catatan Akhir Kuliah Jilid 2
***
Pada musim semi 1998, bu dosen Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku lawas Poems karya Emily Dickinson di sebuah toko buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal.
Setelah itu,
tokoh “aku” (seorang dosen dari Argentina), yang menggantikan Bluma mengajar di
Jurusan Sastra Amerika Latin Universitas Cambridge, menerima sebuah paket
berisi buku The Shadow-Line karya Joseph Conrad yang dialamatkan pada mendiang
Bluma. Bekas semen termaktub pada penampakan fisik buku itu, membuat si “aku”
penasaran bukan kepalang. Naluri untuk menyelidiki menguasai si “aku”. Buku
Joseph Conrad itu kemudian membawa si “aku” bertemu Delgado, pecinta buku yang
mengenal Carlos Brauer, si pengirim The Shadow-Line (La linea de sombre). Belakangan
tokoh “aku” mengetahui bahwa Bluma dan Carlos pernah berkenalan di sebuah
kongres penulis di Monterrey. Kemudian cerita—yang diceritakan oleh Delgado
kepada tokoh “aku”—berpusat pada kisah Carlos, sang penggila buku. Koleksinya
sekitar dua puluh ribu, memenuhi setiap bagian rumahnya, dan karena tidak
memiliki biaya yang memadai untuk merawatnya, Carlos dibikin gila oleh ngengat.
Kedua puluh ribu buku itu butuh diklasifikasi, dan Carlos dibuat gila oleh
sistem indeks rancangannya sendiri.
Seseorang bisa menaklukkan banyak buku, tapi si penakluk kemudian sadar bahwa ia harus menata apa yang ditaklukkannya. (hlm. 37)
Makin
gilalah Carlos setelah sebuah kecelakaan terjadi. Kebakaran menghanguskan
lemari indeksnya. Memang, rak-rak buku berisi isinya selamat, tapi semua kartu
indeksnya sebagian menjelma abu dan sebagian rusak kena air.
…sebab bagi seorang pecinta buku membayangkan kebakaran saja ibarat menghanguskan mimpi jadi abu. (hlm. 45)
Apa yang
dialami oleh Carlos ini diibaratkan oleh Delgado sebagai, “Bayangkan untuk
sejenak saja bahwa sepanjang hidup ini Anda mengawetkan serangkaian kenangan
dari masa kecil […] Anda terus memupuk kenangan akan semua pengalaman Anda
hingga saat ini. Lantas suatu hari, tak dinyana, Anda kehilangan urut-urutan
kenangan ini. Kenangannya sendiri tidak hilang, tapi juga tidak bisa
ditemukan.” (hlm. 50)
Kecelakaan
itu lalu membuat Carlos melakukan hal gila terhadap koleksi buku-bukunya.
***
Buku ini
cocok sekali dibaca oleh para pecinta buku. Saya berkali-kali dibikin membatin,
“Duh, bener banget ini. Ini, nih, yang kurasakan selama ini!”
Jauh lebih sulit membuang buku ketimbang memperolehnya. (hlm. 9)
[…] buku-buku merangsek ke sekujur rumah, diam-diam, tanpa rasa bersalah. Tak ada cara buat menghentikannya. (hlm. 9)
Kedua
penggila buku itu, Delgado dan Carlos, adalah dua tipe penimbun buku yang
sangat berbeda, tapi mereka cocok-cocok saja. Delgado, hobi mengumpulkan buku
yang “terjangkau dengan kondisi sebaik mungkin”. Dia juga pantang meninggalkan
bekas apa pun terhadap bukunya. Sementara itu, Carlos hobi mengumpulkan buku
–buku langka, tak peduli berapa harganya (tidak, tidak, dia bukan orang kaya-raya).
Yang paling bikin Delgado kesal dari Carlos adalah dia suka mencoret-coret
bukunya.
Aku sanggamai tiap-tiap buku, dan kalau belum ada bekasnya, berarti belum orgasme. (hlm. 32)
Sebaliknya buat saya, buku yang dicoret-coret selalu terasa sama brutal seperti sesumbarnya itu. Saya merasakan suka cita yang luar biasa saat membuka buku dan mendapati tidak ada ujung halaman yang tertekuk, saat mempelajari rentang antar barisnya yang dipikirkan masak-masak, marjin putihnya yang lebar; membuka, pada setiap hari ulang tahun saya, jilidan yang tidak disisir. (Delgado, hlm. 32)
Meski cocok
untuk dibaca pecinta buku, novela ini patut diwaspadai juga. Pasalnya, yang
dilakukan Carlos terhadap buku-bukunya bikin saya—dan mungkin para pecinta buku
lain—ngilu. Ngilu sekali. Saya juga ngilu lantaran dari sekian judul buku yang
disebut-sebut dalam novel ini, saya belum pernah membaca seluruhnya. Sungguh,
saya merasa bagai hanya sebuah titik dibandingkan dengan tulisan sepanjang
ratusan halaman. Begitulah taraf “kutu buku” saya dibandingkan Delgado dan
Carlos.
Buku ini
adalah salah satu jenis buku yang bikin saya ternganga dan berpikir keras,
bahkan lama setelah buku itu saya tutup—hanya dengan 76 halaman! Mengapa buku
The Shadow-Line, mengapa Joseph Conrad? Mungkin saya harus baca buku itu dulu.
Mengapa di halaman persembahan, penulis menulis “untuk mengenang Joseph sang
adiluhung”? Apakah karena dia sangat mengagumi Joseph Conrad? Meski buku ini
dibuka dengan kematian Bluma yang ganjil, saya pahami kemudian bahwa buku ini
bukan menceritakan tentang Bluma, melainkan tentang Carlos. Dan, mengapa Bluma
ingin jika ia meninggal, ia meninggal saat membaca puisi Emily Dickinson?
Mungkin saya harus baca dulu puisi-puisinya. Mengapa nama penggila
buku yang gila itu Carlos, seperti nama depan penulis novela ini?
Selain
memperoleh wawasan tambahan mengenai judul-judul buku yang belum pernah saya
tahu sebelumnya, juga tentang apa yang bisa diperbuat buku-buku terhadap
manusia, saya baru tahu adanya “jalan setapak” (jalur-jalur putih vertikal atau
diagonal yang terbentuk dari spasi-spasi antar kata—hlm. 43) yang bisa menentukan
keunggulan seorang penulis (menurut Carlos Brauer). Nah, saya juga takjub
betapa seseorang bisa sedemikian memperhatikan buku-bukunya ketika menyusunnya,
seperti Carlos. Ia memperhatikan masalah “kekerabatan” ketika menyusun buku di
rak.
Brauer juga merasa tidak mungkin meletakkan Shakespeare bersebelahan dengan Marlowe, mengingat tudingan-tudingan penjiplakan yang pedas antar kedua penulis itu…. (hlm. 38)
Meski saya
hanya mengenal Carlos lewat cerita Delgado yang diceritakan kepada tokoh “aku”,
saya bisa memahami mengapa ia melakukan hal gila kepada buku-buku yang
dicintainya. Didukung dengan terjemahan yang bagus oleh Ronny Agustinus, saya
sungguh menikmati membaca buku ini. Apa yang telah diperbuat Rumah Kertas pada
saya sungguh mengagumkan. Oh iya, saya tidak menyangka apa yang disebut “rumah
kertas” ternyata tidak seperti perkiraan awal saya. Yang jelas, membaca buku ini merupakan salah satu serendipity yang boleh saya alami.***
Identitas Buku
Judul: Rumah Kertas (diterjemahkan dari judul La casa
de papel)
Penulis:
Carlos Maria Dominguez
Penerjemah:
Ronny Agustinus
Ilustrator
isi: Melia P. Khoo
Penerbit:
Marjin Kiri
Cetakan: II,
Oktober 2016
Tebal: vi +
76 halaman
ISBN:
978-979-1260-62-6
Harga: Rp
34.000,00
Rating saya:
5/5
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^