18 February 2015

[Resensi "Yang Hidup dan Mati"] Budaya Bengali Klasik yang Menyimpan Banyak Kejutan


Judul Buku                       : Yang Hidup dan Mati
Penulis                            : Rabindranath Tagore
Penerjemah                     : Sovia Veronica Purba
  (diterjemahkan dari Selected Short Stories, London: Penguin Books)
Tebal                              : 384 halaman
Penerbit/cetakan              : DIVA Press/Cetakan I, Desember 2014
ISBN                              : 978-602-255-771-5
Harga                             : Rp 60.000,00

Rating : 

Buku ini merupakan kumpulan tiga puluh cerpen pilihan karya Rabindranath Tagore, yang diterbitkan pertama kali di beberapa majalah[1] Bengali pada tahun 1891 – 1900. Sebuah pendahuluan setebal 35 halaman yang sepertinya ditulis oleh pihak penerjemah dari Penguin Books memiliki peran tersendiri dalam buku ini. Bagian pendahuluan yang berisi biografi singkat Tagore itu cukup menjawab pertanyaan awal pembaca yang awam akan karyanya (layaknya saya), seperti tema cerpen seperti apa yang biasanya beliau tulis? Berikut ini adalah pengakuannya.
“...ceritaku dipenuhi oleh perangai orang-orang desa.... Ada sebuah daya tarik universal yang tercatat dalam diri mereka, karena manusia di mana pun adalah sama.” (hal. 12)
Bagian pendahuluan ini juga menyelipkan latar belakang mengapa Tagore lebih memilih untuk menuliskan kehidupan orang-orang desa dibandingkan dengan kehidupan di kota[2].

Orang Desa versus Orang Kota

Sumber di sini.

Memang, Tagore menjadikan orang-orang desa sebagai tokoh utama ceritanya, dan berbagai masalah hidup mereka sebagai pemandu plotnya. Orang desa ini terwakili oleh sosok Kadambini (Yang Hidup dan Mati). Tokoh ini terbelah status hidupnya, berada di antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi simbol krisis jati diri orang desa yang mengalami transisi menuju kehidupan modern. Sifat orang desa yang peka dan penuh kasih muncul dalam sosok Ratan (Kepala Kantor Pos). Juga dalam kerelaan Raicharan (Kembalinya si Tuan Kecil) menyerahkan anaknya[3] pada majikannya agar hidupnya terjamin, lantaran ia amat miskin. Tagore juga menggambarkan kepolosan (yang teramat berlebihan) orang desa melalui karakter Taraprasanna (Popularitas Taraprasanna), sehingga ditipu oleh orang-orang kota (Kalkuta).

Tak semua orang desa berkarakter polos. Ternyata ada juga yang kikir, seperti Yajnanath (Penyerahan Kekayaan), yang sedemikian kikir mengumpulkan harta hingga direlakannya istrinya meninggal daripada jika harus menghabiskan uang untuk memanggil dokter. Tagore juga mengangkat cerita tentang orang desa yang menjadi orang kaya baru, kemudian pindah ke Kalkuta (tokoh Baidyanath dalam Anak Tumbal). Fenomena orang kaya baru ini memiliki kekuatan mengubah orang menjadi sombong dan menimbulkan ironi tersendiri.
“Baidyanath justru duduk di tengah-tengah makanan berlimpah dan sibuk memikirkan siapa kelak yang harus memakannya. Seluruh wilayah negara yang sedang kelaparan menatap piring kosongnya dan bertanya-tanya apa yang harus dimakannya.” (hal. 298)
Lebih parah lagi, Tagore mengeksplorasi bahwa di tengah kemiskinan pun dapat terjadi perselisihan antarkeluarga karena perebutan harta. Hanya gara-gara perebutan sebuah parit pembatas kedua rumah beserta sebatang pohon limau yang tumbuh di satu sisinya, memecah kerukunan keluarga Harachandra dan Gokulchandra (dalam Perpecahan). Harga diri dan harta yang tak seberapa itu merusak persahabatan di antara kedua anak mereka, Banamali dan Himangshu.

Berlawanan dengan kata-katanya sendiri, nyatanya banyak cerpen Tagore yang justru bercerita tentang kehidupan orang kaya, sebagian besar berprofesi sebagai zamindar[4]. Bahkan, zamindar yang berasal dari Nayanjor dipanggil dengan gelar bangsawan (dalam Thakurda). Dalam cerpen ini, Kailas Babu adalah keturunan keluarga kaya itu, tapi sudah tak tersisa lagi warisan baginya, sehingga ia tak ubahnya orang miskin. Tapi, penampilannya membuat tetangganya mengira ia masih sok kaya, padahal itu semua dilakukannya semata untuk menjaga martabat nenek moyangnya. Seorang zamindar bijaksana, Matilal Babu (dalam Sang Tamu) menemukan kekayaan lain di luar kekayaan materinya, semenjak bertemu dengan Tarapada. Dari kepribadian sederhana bocah brahmana itu ia belajar membuka pikirannya. Calon menantu untuk anak perempuannya tak harus berasal dari keluarga yang selevel dengannya, karena ada yang lebih penting daripada itu, yaitu kepribadian yang baik, seperti yang dimiliki Tarapada. Namun, bocah itu ternyata memiliki kekayaan jiwa yang bebas hingga ia tak mau terikat selamanya akan apa pun.

Jangan Anggap Remeh Seorang Anak

Sumber di sini.

Mungkin Tagore hidup sebelum kutipan terkenal itu ditulis, tapi kepekaannya akan kehidupan telah membuatnya menuliskan cerita-cerita di mana seorang anak memiliki peran yang penting dalam membalik kehidupan orang dewasa. Petikan di atas sangat sesuai dengan yang Tagore sampaikan melalui Terkabulnya Sebuah Keinginan, di mana ayah dan anak (Subal dan Sushil) saling belajar dari diri satu sama lain setelah sang Dewi Keinginan membuat mereka bertukar tubuh. Cerita serupa juga muncul dalam Sang Redaktur.
“Aku tidak begitu paham, perhatian siapa yang lebih kuat: diriku yang harus membesarkan putriku yang tidak lagi memiliki ibu dengan kasih sayang ganda, atau dia yang harus merawat ayahnya yang tidak lagi beristri.... Terlihat jelas bahwa anak kecil ini mencoba menjadi malaikat penjaga ayahnya.” (hal. 157)
Tokoh “aku” tersebut akhirnya menjadi tenar sebagai penulis, dan juga seorang redaktur majalah. Kesibukannya itu membuatnya tak lagi punya waktu untuk anaknya, dan dengan cepat hubungan mereka menjadi berjarak. Sampai kemudian anaknya sakit, dan ia sadar bahwa tulisan-tulisannya jauh tidak lebih penting dibandingkan anaknya.
Dengan bicara tentang ketidakadilan yang ditimpakan pada mereka, anak-anak memberikan pembelajaran terhadap orang dewasa. Dalam Sang Nyonya Rumah, Tagore menggunakan tokoh Ashu, yang dihina oleh gurunya yang gemar mengganti nama murid-muridnya, untuk bicara tentang perlakuan tidak adil tersebut.
“...orang umumnya mencintai namanya sendiri jauh melebihi diri mereka sendiri; mereka akan berbuat apa saja untuk memperjuangkan nama mereka.... Jika kamu mengubah nama seseorang, maka kamu mengusik sesuatu yang lebih berharga dibanding hidup itu sendiri.” (hal. 74)
Seorang anak, yang bahkan tidak disadari keberadaannya oleh sang ayah kandung, ternyata dapat menimbulkan masalah pelik, seperti dalam Anak Tumbal.
“Gurudoyal datang, kemudian mengusir perempuan dan anaknya yang kecil. Anak laki-laki kecil yang kelaparan itu ternyata adalah anak satu-satunya Baidyanath. Ratusan pendeta brahmana yang diberi gizi dengan baik dan tiga sannyasi gendut, terus memikat Baidyanath dengan janji bahwa ia akan mempunyai seorang anak, dan terus memakan makanannya dengan rakus.” (hal. 299)
Kehadiran seorang anak yang tampak tak berdaya ternyata dapat menghancurkan harapan dan rencana licik orang dewasa, seperti dimunculkan Tagore dalam Kakak Perempuan. Nilkanta, seorang bocah brahmana dalam Yang tak Diinginkan, juga mengalami kesulitan akibat perlakuan buruk yang ditimpakan Sharat padanya karena orang dewasa itu merasa tersingkir dan iri hati.

Posisi Perempuan yang Begitu Mengerikan

Sumber di sini.

Dari cerita-cerita Tagore, saya mempelajari peran dan posisi perempuan dalam budaya India zaman dulu. Dan, meski mungkin di banyak negara lain di zaman dulu para perempuan diperlakukan sama buruknya, tetap saja saya terkejut akan betapa mengerikan hal-hal yang saya temukan di sini.

PERNIKAHAN USIA TERAMAT DINI

Gadis-gadis India zaman dulu menikah pada usia kanak-kanak.
“Umurku belum genap delapan tahun ketika aku menikah.” (Anugerah Penglihatan, hal. 319)
Fenomena ini menyebabkan banyak anak perempuan yang tak sempat mengecap pendidikan. Belajar menulis pun menjadi sesuatu yang teramat salah, jika itu dilakukan oleh seorang gadis muda yang telah bersuami. Uma, yang menikah pada umur sembilan tahun (dalam Buku Latihan) mengalami hal ini. Kegemarannya menulis apa pun dalam buku latihannya menimbulkan kecaman keluarga sang suami.
“Rupanya si istri juga ingin pergi ke kantor dengan menyelipkan pena di telinganya?” (hal. 187)
Ironisnya, “Pyarimohan (sang suami) juga mempunyai sebuah buku latihan yang penuh dengan berbagai macam esai sepihak yang menusuk, tapi tak ada seorang pun berani mencuri dan memusnahkannya.” (hal. 188)

PERNIKAHAN ADALAH UPACARA JUAL-BELI

Tagore berusaha menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap adat pernikahan India yang mewajibkan orang tua si mempelai perempuan membayar sejumlah mahar kepada pihak mempelai laki-laki. Jadi, orang tua mempelai perempuan harus menanggung dua beban: menyerahkan anaknya untuk tinggal di rumah mertua[5] dan membayar mahar yang tidak sedikit. Jika gagal melunasi mahar, maka sesuatu yang buruk dapat terjadi pada anak gadisnya, seperti dalam Untung dan Rugi.

ISTRI HARUS MEMBELA SUAMI, APAPUN YANG TERJADI

Dalam masa itu, seorang istri memiliki pengabdian yang tak terhingga pada sang suami, sehingga apa pun akan dilakukan untuk menjaga nama baik suami. Tokoh “aku” yang buta dalam Anugerah Penglihatan melakukan hal semacam ini. Ketika terbukti bahwa upaya pengobatan yang dilakukan suaminya (yang adalah dokter muda) ternyata malah makin merusak matanya, ia tetap menutupi kesalahan suaminya itu.
“Seorang ibu harus membohongi anaknya; seorang istri harus membuat suaminya senang...” (hal. 322)
Bukan hanya itu, ia juga tak mengizinkan suaminya merawatnya terlalu berlebihan.
“Tidak ada laki-laki yang harus membuat janji untuk menjadi budak abadi bagi istrinya yang buta.” (hal. 326)
Pernah terjadi juga, sang suami menimpakan kesalahan pada istrinya. Dalam Hukuman, Chidam bahkan menjadikan istrinya sendiri, Chandara, sebagai tersangka pembunuhan terhadap kakak iparnya, Radha. Padahal sebenarnya kakak laki-lakinyalah, Dukhiram, yang membunuh istrinya sendiri.

ADA JUGA PEREMPUAN PEMBERANI...

Jika sebelumnya Tagore memunculkan tokoh perempuan yang mengalami perlakuan buruk oleh suaminya dan tak melakukan apa pun untuk membela dirinya, maka kini sebaliknya. Melalui tokoh Giribala dalam Ketenangan yang Lembut, Tagore menyatakan bahwa perempuan juga dapat membela dirinya sendiri. Juga melalui keteguhan tokoh Sashi dalam membela adiknya di hadapan sang suami (Kakak Perempuan).

Tagore juga memunculkan kontradiksi, dengan adanya sosok perempuan berpendirian kuat dan sangat kaku, yang berlawanan dengan kepribadian umum para perempuan lainnya. Tokoh ini adalah Jaylkali dalam Dilarang Masuk.
“Perempuan ini memiliki semua kelebihan yang seharusnya dimiliki seorang laki-laki.... Para lelaki di desa itu juga takut kepadanya....” (hal. 190)

Pada Akhirnya....

Tagore menggunakan hal-hal gaib untuk menimbulkan kesan dramatis terhadap ceritanya. Seperti saat ia menciptakan kejutan yang mustahil di bagian akhir Kembalinya si Tuan Kecil. Ia juga menggunakan sosok hantu, seperti dalam Kerangka. Beberapa kali Tagore menggunakan sudut pandang orang pertama, dan kadang muncul hanya sebagai sosok tersembunyi sebagai narator “aku”. Ajaibnya, ia juga kadang muncul secara tiba-tiba (padahal sebelumnya tak ada narator “aku”) di satu bagian cerita sebagai tokoh pencerita, si “aku”, seperti dalam Kakak Perempuan.
“Ketika ia mengucapkan selamat tinggal kepada adiknya, Sashi mengatakan bahwa ia akan bertemu lagi dengannya. Aku tidak tahu, apakah janji itu telah dipenuhi olehnya atau tidak.” (hal. 232)
Yang sangat disayangkan dari buku ini adalah keberadaan footnote. Tak ada footnote saat dibutuhkan, dan malah ada saat keberadaannya tidak bermanfaat, seperti footnote pada halaman 273. Footnote ini menjelaskan arti kata subal dan sushil, padahal sudah dijelaskan dalam narasi. Banyaknya istilah dalam bahasa India yang digunakan Tagore menimbulkan kesulitan pemahaman cerita. Memang, arti istilah-istilah tersebut telah dijelaskan di bagian glosarium, tapi banyak juga yang tidak ada di sana. Tentang glosarium ini, saya tidak terlalu nyaman menggunakannya. Ketika sedang asyik membaca, saya harus mencari arti suatu istilah di bagian belakang buku, dan begitu kembali membaca cerita, saya sudah lupa tadi sampai mana. Menurut saya, lebih nyaman jika menggunakan footnote. Lagipula, meski banyak, keberadaan istilah asing ini tidak padat (tidak mesti dalam satu halaman ada istilah asing), sehingga tak masalah jika penjelasannya diletakkan di footnote saja.

Satu hal lagi yang paling disayangkan adalah penerjemahan. Karena sudah melewati dua tahap penerjemahan (India – Inggris – Indonesia), maka banyak makna yang hilang, tak sesuai, atau tak tersampaikan dengan baik. Kondisi ini menyebabkan saya kurang mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Tagore, sehingga mengurangi kenikmatan membaca. Oleh karena itu, saya hanya dapat memberikan rating 3 dari 5 untuk buku ini.





[1] Majalah Sadhana (1891 – 1895), Hitabadi (1891), jurnal Sakha o sashi (1895), dan Bharati (1898 – 1900).
[2] Dalam banyak cerpennya, istilah kota sering merujuk pada Kalkuta.
[3] Yang anehnya mirip dengan almarhum putra sang majikan.
[4] Pemilik saham tanah dan pengumpul pajak.
[5] “Rumah mertua” dalam bahasa India adalah “svasur-bari”, yang juga berarti penjara. Dalam Kabuliwallah, tokoh Rahamat menggunakan permainan kata antara penjara dan rumah mertua.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets