Judul Buku :
Yang Hidup dan Mati
Penulis : Rabindranath
Tagore
Penerjemah : Sovia Veronica Purba
(diterjemahkan
dari Selected Short Stories, London:
Penguin Books)
Tebal : 384
halaman
Penerbit/cetakan : DIVA
Press/Cetakan I,
Desember
2014
ISBN : 978-602-255-771-5
Harga : Rp 60.000,00
Buku ini merupakan kumpulan tiga
puluh cerpen pilihan karya Rabindranath Tagore, yang diterbitkan pertama kali
di beberapa majalah[1]
Bengali pada tahun 1891 – 1900. Sebuah pendahuluan setebal 35 halaman yang
sepertinya ditulis oleh pihak penerjemah dari Penguin Books memiliki peran tersendiri dalam buku ini. Bagian
pendahuluan yang berisi biografi singkat Tagore itu cukup menjawab pertanyaan
awal pembaca yang awam akan karyanya (layaknya saya), seperti tema cerpen seperti
apa yang biasanya beliau tulis? Berikut ini adalah pengakuannya.
“...ceritaku dipenuhi oleh perangai orang-orang desa.... Ada sebuah daya tarik universal yang tercatat dalam diri mereka, karena manusia di mana pun adalah sama.” (hal. 12)
Bagian pendahuluan
ini juga menyelipkan latar belakang mengapa Tagore lebih memilih untuk
menuliskan kehidupan orang-orang desa dibandingkan dengan kehidupan di kota[2].
Orang Desa versus Orang Kota
Sumber di sini. |
Memang,
Tagore menjadikan orang-orang desa sebagai tokoh utama ceritanya, dan berbagai
masalah hidup mereka sebagai pemandu plotnya. Orang desa ini terwakili oleh
sosok Kadambini (Yang Hidup dan Mati).
Tokoh ini terbelah status hidupnya, berada di antara “hidup” dan “mati”, yang
menjadi simbol krisis jati diri orang desa yang mengalami transisi menuju
kehidupan modern. Sifat orang desa yang peka dan penuh kasih muncul dalam sosok
Ratan (Kepala Kantor Pos). Juga dalam
kerelaan Raicharan (Kembalinya si Tuan
Kecil) menyerahkan anaknya[3] pada
majikannya agar hidupnya terjamin, lantaran ia amat miskin. Tagore juga
menggambarkan kepolosan (yang teramat berlebihan) orang desa melalui karakter
Taraprasanna (Popularitas Taraprasanna),
sehingga ditipu oleh orang-orang kota (Kalkuta).
Tak
semua orang desa berkarakter polos. Ternyata ada juga yang kikir, seperti
Yajnanath (Penyerahan Kekayaan), yang
sedemikian kikir mengumpulkan harta hingga direlakannya istrinya meninggal
daripada jika harus menghabiskan uang untuk memanggil dokter. Tagore juga
mengangkat cerita tentang orang desa yang menjadi orang kaya baru, kemudian
pindah ke Kalkuta (tokoh Baidyanath dalam Anak Tumbal). Fenomena orang kaya baru ini memiliki kekuatan mengubah
orang menjadi sombong dan menimbulkan ironi tersendiri.
“Baidyanath justru duduk di tengah-tengah makanan berlimpah dan sibuk memikirkan siapa kelak yang harus memakannya. Seluruh wilayah negara yang sedang kelaparan menatap piring kosongnya dan bertanya-tanya apa yang harus dimakannya.” (hal. 298)
Lebih
parah lagi, Tagore mengeksplorasi bahwa di tengah kemiskinan pun dapat terjadi
perselisihan antarkeluarga karena perebutan harta. Hanya gara-gara perebutan
sebuah parit pembatas kedua rumah beserta sebatang pohon limau yang tumbuh di satu
sisinya, memecah kerukunan keluarga Harachandra dan Gokulchandra (dalam Perpecahan). Harga diri dan harta yang
tak seberapa itu merusak persahabatan di antara kedua anak mereka, Banamali dan
Himangshu.
Berlawanan dengan kata-katanya
sendiri, nyatanya banyak cerpen Tagore yang justru bercerita tentang kehidupan
orang kaya, sebagian besar berprofesi sebagai zamindar[4]. Bahkan,
zamindar yang berasal dari Nayanjor dipanggil dengan gelar bangsawan (dalam Thakurda). Dalam cerpen ini, Kailas Babu
adalah keturunan keluarga kaya itu, tapi sudah tak tersisa lagi warisan
baginya, sehingga ia tak ubahnya orang miskin. Tapi, penampilannya membuat
tetangganya mengira ia masih sok kaya, padahal itu semua dilakukannya semata
untuk menjaga martabat nenek moyangnya. Seorang zamindar bijaksana, Matilal Babu (dalam Sang Tamu) menemukan kekayaan lain di
luar kekayaan materinya, semenjak bertemu dengan Tarapada. Dari kepribadian sederhana
bocah brahmana itu ia belajar membuka pikirannya. Calon menantu untuk anak
perempuannya tak harus berasal dari keluarga yang selevel dengannya, karena ada
yang lebih penting daripada itu, yaitu kepribadian yang baik, seperti yang
dimiliki Tarapada. Namun, bocah itu ternyata memiliki kekayaan jiwa yang bebas
hingga ia tak mau terikat selamanya akan apa pun.
Jangan Anggap Remeh Seorang Anak
Sumber di sini. |
Mungkin Tagore hidup sebelum kutipan terkenal itu ditulis, tapi kepekaannya
akan kehidupan telah membuatnya menuliskan cerita-cerita di mana seorang anak
memiliki peran yang penting dalam membalik kehidupan orang dewasa. Petikan di
atas sangat sesuai dengan yang Tagore sampaikan melalui Terkabulnya Sebuah Keinginan, di mana ayah dan anak (Subal dan
Sushil) saling belajar dari diri satu sama lain setelah sang Dewi Keinginan
membuat mereka bertukar tubuh. Cerita serupa juga muncul dalam Sang Redaktur.
“Aku tidak begitu paham, perhatian siapa yang lebih kuat: diriku yang harus membesarkan putriku yang tidak lagi memiliki ibu dengan kasih sayang ganda, atau dia yang harus merawat ayahnya yang tidak lagi beristri.... Terlihat jelas bahwa anak kecil ini mencoba menjadi malaikat penjaga ayahnya.” (hal. 157)
Tokoh “aku” tersebut akhirnya menjadi tenar sebagai penulis, dan juga
seorang redaktur majalah. Kesibukannya itu membuatnya tak lagi punya waktu
untuk anaknya, dan dengan cepat hubungan mereka menjadi berjarak. Sampai
kemudian anaknya sakit, dan ia sadar bahwa tulisan-tulisannya jauh tidak lebih
penting dibandingkan anaknya.
Dengan bicara tentang ketidakadilan yang ditimpakan pada mereka, anak-anak memberikan
pembelajaran terhadap orang dewasa. Dalam Sang
Nyonya Rumah, Tagore menggunakan tokoh Ashu, yang dihina oleh gurunya yang
gemar mengganti nama murid-muridnya, untuk bicara tentang perlakuan tidak adil
tersebut.
“...orang umumnya mencintai namanya sendiri jauh melebihi diri mereka sendiri; mereka akan berbuat apa saja untuk memperjuangkan nama mereka.... Jika kamu mengubah nama seseorang, maka kamu mengusik sesuatu yang lebih berharga dibanding hidup itu sendiri.” (hal. 74)
Seorang anak, yang bahkan tidak disadari keberadaannya oleh sang ayah
kandung, ternyata dapat menimbulkan masalah pelik, seperti dalam Anak Tumbal.
“Gurudoyal datang, kemudian mengusir perempuan dan anaknya yang kecil. Anak laki-laki kecil yang kelaparan itu ternyata adalah anak satu-satunya Baidyanath. Ratusan pendeta brahmana yang diberi gizi dengan baik dan tiga sannyasi gendut, terus memikat Baidyanath dengan janji bahwa ia akan mempunyai seorang anak, dan terus memakan makanannya dengan rakus.” (hal. 299)
Kehadiran seorang anak yang tampak tak berdaya ternyata dapat menghancurkan
harapan dan rencana licik orang dewasa, seperti dimunculkan Tagore dalam Kakak Perempuan. Nilkanta, seorang bocah
brahmana dalam Yang tak Diinginkan,
juga mengalami kesulitan akibat perlakuan buruk yang ditimpakan Sharat padanya
karena orang dewasa itu merasa tersingkir dan iri hati.
Posisi Perempuan yang Begitu Mengerikan
Sumber di sini. |
Dari
cerita-cerita Tagore, saya mempelajari peran dan posisi perempuan dalam budaya
India zaman dulu. Dan, meski mungkin di banyak negara lain di zaman dulu para
perempuan diperlakukan sama buruknya, tetap saja saya terkejut akan betapa
mengerikan hal-hal yang saya temukan di sini.
PERNIKAHAN
USIA TERAMAT DINI
Gadis-gadis
India zaman dulu menikah pada usia kanak-kanak.
“Umurku belum genap delapan tahun ketika aku menikah.” (Anugerah Penglihatan, hal. 319)
Fenomena
ini menyebabkan banyak anak perempuan yang tak sempat mengecap pendidikan. Belajar
menulis pun menjadi sesuatu yang teramat salah, jika itu dilakukan oleh seorang
gadis muda yang telah bersuami. Uma, yang menikah pada umur sembilan tahun
(dalam Buku Latihan) mengalami hal ini.
Kegemarannya menulis apa pun dalam buku latihannya menimbulkan kecaman keluarga
sang suami.
“Rupanya si istri juga ingin pergi ke kantor dengan menyelipkan pena di telinganya?” (hal. 187)
Ironisnya,
“Pyarimohan (sang suami) juga mempunyai
sebuah buku latihan yang penuh dengan berbagai macam esai sepihak yang menusuk,
tapi tak ada seorang pun berani mencuri dan memusnahkannya.” (hal. 188)
PERNIKAHAN
ADALAH UPACARA JUAL-BELI
Tagore
berusaha menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap adat pernikahan India yang
mewajibkan orang tua si mempelai perempuan membayar sejumlah mahar kepada pihak
mempelai laki-laki. Jadi, orang tua mempelai perempuan harus menanggung dua
beban: menyerahkan anaknya untuk tinggal di rumah mertua[5] dan
membayar mahar yang tidak sedikit. Jika gagal melunasi mahar, maka sesuatu yang
buruk dapat terjadi pada anak gadisnya, seperti dalam Untung dan Rugi.
ISTRI HARUS
MEMBELA SUAMI, APAPUN YANG TERJADI
Dalam
masa itu, seorang istri memiliki pengabdian yang tak terhingga pada sang suami,
sehingga apa pun akan dilakukan untuk menjaga nama baik suami. Tokoh “aku” yang
buta dalam Anugerah Penglihatan
melakukan hal semacam ini. Ketika terbukti bahwa upaya pengobatan yang
dilakukan suaminya (yang adalah dokter muda) ternyata malah makin merusak
matanya, ia tetap menutupi kesalahan suaminya itu.
“Seorang ibu harus membohongi anaknya; seorang istri harus membuat suaminya senang...” (hal. 322)
Bukan
hanya itu, ia juga tak mengizinkan suaminya merawatnya terlalu berlebihan.
“Tidak ada laki-laki yang harus membuat janji untuk menjadi budak abadi bagi istrinya yang buta.” (hal. 326)
Pernah
terjadi juga, sang suami menimpakan kesalahan pada istrinya. Dalam Hukuman, Chidam bahkan menjadikan
istrinya sendiri, Chandara, sebagai tersangka pembunuhan terhadap kakak
iparnya, Radha. Padahal sebenarnya kakak laki-lakinyalah, Dukhiram, yang
membunuh istrinya sendiri.
ADA JUGA
PEREMPUAN PEMBERANI...
Jika
sebelumnya Tagore memunculkan tokoh perempuan yang mengalami perlakuan buruk
oleh suaminya dan tak melakukan apa pun untuk membela dirinya, maka kini
sebaliknya. Melalui tokoh Giribala dalam Ketenangan
yang Lembut, Tagore menyatakan bahwa perempuan juga dapat membela dirinya
sendiri. Juga melalui keteguhan tokoh Sashi dalam membela adiknya di hadapan
sang suami (Kakak Perempuan).
Tagore
juga memunculkan kontradiksi, dengan adanya sosok perempuan berpendirian kuat dan
sangat kaku, yang berlawanan dengan kepribadian umum para perempuan lainnya.
Tokoh ini adalah Jaylkali dalam Dilarang
Masuk.
“Perempuan ini memiliki semua kelebihan yang seharusnya dimiliki seorang laki-laki.... Para lelaki di desa itu juga takut kepadanya....” (hal. 190)
Pada Akhirnya....
Tagore
menggunakan hal-hal gaib untuk menimbulkan kesan dramatis terhadap ceritanya.
Seperti saat ia menciptakan kejutan yang mustahil di bagian akhir Kembalinya si Tuan Kecil. Ia juga menggunakan
sosok hantu, seperti dalam Kerangka. Beberapa
kali Tagore menggunakan sudut pandang orang pertama, dan kadang muncul hanya
sebagai sosok tersembunyi sebagai narator “aku”. Ajaibnya, ia juga kadang muncul
secara tiba-tiba (padahal sebelumnya tak ada narator “aku”) di satu bagian
cerita sebagai tokoh pencerita, si “aku”, seperti dalam Kakak Perempuan.
“Ketika ia mengucapkan selamat tinggal kepada adiknya, Sashi mengatakan bahwa ia akan bertemu lagi dengannya. Aku tidak tahu, apakah janji itu telah dipenuhi olehnya atau tidak.” (hal. 232)
Yang sangat disayangkan dari buku ini adalah keberadaan footnote. Tak ada footnote saat dibutuhkan, dan malah ada saat keberadaannya tidak
bermanfaat, seperti footnote pada
halaman 273. Footnote ini menjelaskan
arti kata subal dan sushil, padahal sudah dijelaskan dalam
narasi. Banyaknya istilah dalam bahasa India yang digunakan Tagore menimbulkan
kesulitan pemahaman cerita. Memang, arti istilah-istilah tersebut telah
dijelaskan di bagian glosarium, tapi banyak juga yang tidak ada di sana. Tentang
glosarium ini, saya tidak terlalu nyaman menggunakannya. Ketika sedang asyik
membaca, saya harus mencari arti suatu istilah di bagian belakang buku, dan
begitu kembali membaca cerita, saya sudah lupa tadi sampai mana. Menurut saya,
lebih nyaman jika menggunakan footnote.
Lagipula, meski banyak, keberadaan istilah asing ini tidak padat (tidak mesti
dalam satu halaman ada istilah asing), sehingga tak masalah jika penjelasannya
diletakkan di footnote saja.
Satu hal lagi yang paling disayangkan adalah
penerjemahan. Karena sudah melewati dua tahap penerjemahan (India – Inggris –
Indonesia), maka banyak makna yang hilang, tak sesuai, atau tak tersampaikan
dengan baik. Kondisi ini menyebabkan saya kurang mengerti apa yang ingin
disampaikan oleh Tagore, sehingga mengurangi kenikmatan membaca. Oleh karena
itu, saya hanya dapat memberikan rating 3 dari 5 untuk buku ini.
[1]
Majalah Sadhana (1891 – 1895), Hitabadi (1891), jurnal Sakha o sashi (1895), dan Bharati (1898 – 1900).
[2]
Dalam banyak cerpennya, istilah kota sering
merujuk pada Kalkuta.
[4]
Pemilik saham tanah dan pengumpul pajak.
[5]
“Rumah mertua” dalam bahasa India
adalah “svasur-bari”, yang juga berarti penjara. Dalam Kabuliwallah, tokoh Rahamat menggunakan permainan kata antara penjara dan rumah mertua.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^