Judul: Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus
Penerjemah: Meiliana K. Tansri
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Mei 2010
Tebal: 248 halaman
ISBN: 978-979-22-5736-6
Harga: Rp 10.000,00 (obral)
|
[Apa hubungannya jawaban atas teka-teki
itu dengan nafkah untuk Sakim? Pasalnya, hingga buku ketiga berakhir dan teka-teki
itu terjawab, tak ada perihal tentang nafkah disinggung. Atau mungkin saya yang melewatkannya, hmm.]
Dua puluh satu tahun setelah bayi Mempelai Naga lahir.
Putri Naga ternyata selamat, setelah
ibunya dibunuh Datuk Itam pasca-melahirkan. Saat itu, sang bayi tak kunjung
membuka mulutnya, sehingga Naga tak bisa memberinya mustika di lidahnya.
Alhasil, bayi itu tumbuh menjadi seorang gadis buta. Leng Cu, nama gadis itu,
dibesarkan oleh Rombeng, yang mengaku sebagai kakeknya. Rombeng mengajarinya
bela diri dan mengajarkannya bahwa “cacat tidak berarti tidak berdaya, tidak
berguna, dan hanya pantas dikasihani” (hal. 28). Selama ini mereka tidak lagi
tinggal di Jambi. Setelah Rombeng memberitahu tentang tujuan penting yang Leng
Cu bawa sedari lahir sebagai Putri Naga, mereka merantau ke Jambi untuk
menggali Kerajaan Kemingking dan menemukan mustika Naga.
Perjalanan mereka tidaklah mudah. Hartanto
dan Datuk Itam masih terus melacak keberadaan Putri Naga, meski Datuk Itam
punya tujuan lain. Akibat membunuh Mempelai Naga, tujuh sisik Naga tertancap di
sekujur sistem pencernaannya dan menimbulkan luka abadi yang hanya bisa
disembuhkan oleh Putri Naga. Sementara itu, Hartanto tetap keras kepala,
padahal Datuk Itam sudah memperingatkannya untuk menjauhkan cucunya, si Sumbing
alias Xander, dari Jambi—dari Putri Naga. Takdir menemukan jalannya sendiri
untuk mempertemukan Xander dengan Rigel, ibunya, dan juga dengan Putri Naga.
Ketika Hartanto menyerang rumah Rombeng
dan berhasil membunuhnya, Putri Naga berhasil melarikan diri dengan bantuan
tiga ekor tikus. Tiga ekor tikus itu, Akyg, Mnem, dan Noakh, sebenarnya adalah
pangeran, penasihat raja, dan hulubalang dari Kerajaan Kemingking, yang percaya
bahwa Putri Naga dapat membuat mereka menjelma kembali jadi manusia.
Banyak orang menggantungkan nasibnya pada
Putri Naga. Namun setelah sisik Naga dari tubuh Datuk Itam berpindah ke tubuh
Leng Cu, gadis itu jadi tak sama lagi. Kekuatan jahat Datuk Itam telah
mencemarinya, menjadikannya manusia yang haus kekuasaan. Setelah situs
Kemingking berhasil digali dengan bantuan Reuben Moore, teman Rigel, yang
adalah seorang arkeologis, Putri Naga mengambil mahkota kuno yang seharusnya
dikenakan oleh raja yang akan dinobatkan, kemudian menghilang.
***
Novel dimulai dengan adegan ajaib di kebun
binatang Jambi, ketika seorang pawang bernama Sakim melepaskan semua hewan di
sana. Katanya, seekor harimau bernama Sultan-lah yang menyuruhnya. Sultan juga
yang kemudian memberinya teka-teki tentang putri dan raja.
Sejak membaca buku pertama, Mempelai Naga, saya mendapati bahwa
penulis piawai dalam memilih adegan pembuka novelnya. Adegan pembuka di buku
kedua ini bahkan lebih merenggut perhatian daripada di buku pertama. Jawaban
teka-teki Sultan tampak sangat eksplisit. “Putri apa mencari mata” tentu saja
adalah sang Putri Naga yang buta, yang sedang mencari mustikanya. Lalu, “tikus
apa menobatkan raja” tentu saja si tikus jadi-jadian itu. Namun, tanpa
disadari, penulis menebar jebakan di sini. Sang raja yang awalnya saya kira
adalah Akyg (karena ia adalah pangeran, jadi seharusnya ia yang menjadi raja di
masa mendatang), ternyata adalah makhluk lain.
Banyak tokoh menyesaki plot novel ini.
Tokoh-tokoh baru pun bermunculan. Ibaratnya mati satu tumbuh seribu. Satu tokoh
mati, tokoh-tokoh baru berdatangan. Sakim, Sultan, tiga ekor tikus, Reuben
Moore, Xander, dan Leng Cu sendiri. Keberadaan masing-masing tokoh ini
menjanjikan peran penting, meski belum terlalu tampak di buku kedua. Reuben
Moore yang muncul untuk membantu penggalian Kerajaan Kemingking tentu saja
punya peran penting, tapi motivasi pribadinya belum terungkap. Sakim dan Sultan
juga punya peran penting untuk mengungkap siapa raja sebenarnya, meski masih
akan terungkap di buku ketiga.
Leng Cu, sebagai Putri Naga tentu saja
penting, karena ia menjadi center of
attention. Awalnya, ia adalah protagonis cerita. Namun, di akhir buku,
penulis memutarbalikkan perannya jadi antagonis. Bukan antagonis murni, sih,
lantaran perubahan Putri Naga disebabkan faktor yang tak disadarinya. Bagian
perubahan tokoh putih jadi hitam ini sangat menarik.
Tiga ekor tikus muncul sebagai simbol
pengharapan dan kesetiaan dalam menantikan keselataman, yang dihadirkan dalam
sosok Putri Naga. Bersama dengan situs Kemingking, ketiganya merupakan simbol
sejarah yang berjuang untuk bertahan hidup di tengah modernitas dan masyarakat
yang tak acuh.
Xander, muncul dengan dualisme. Di satu
sisi, ia harus menjadi cucu yang baik bagi Hartanto, kakeknya, karena ia
menyayanginya. Namun, di sisi yang lain, ia sangat tak setuju terhadap
keserakahan Hartanto; perusakan lingkungan dan situs Kemingking, juga
keabaiannya terhadap para pekerjanya. Xander muncul sebagai simbol akan diri kita,
manusia yang ibaratnya berada di pinggir jurang. Kita tahu bahwa perusakan
lingkungan terjadi di depan kita, atau bahkan kita sendiri yang melakukannya
dengan terpaksa, tapi kita belum berani untuk menghentikannya.
***
Dibandingkan buku pertama, alur di buku
kedua ini mengalir dengan tempo yang lebih cepat dan padat. Banyak elemen
cerita yang memiliki ceritanya sendiri, tapi berpusar jadi satu dalam konflik
utama: pencarian mustika. Alur yang padat ini di satu sisi mendukung
kompleksitas cerita dan membantu penulis untuk menceritakan banyak hal dalam jumlah
halaman yang relatif tidak tebal. Di sisi lain, diperparah dengan banyaknya
tokoh, buku ini berpotensi membingungkan pembaca. Saya sering lupa akan satu
tokoh, atau satu adegan yang telah terjadi, hingga harus membolak-balik
lembaran buku.
Selain isu sejarah yang telah saya
sebutkan sebelumnya, penulis juga kerap menyindir Indonesia. Salah satu
contohnya, ketika ada kecelakaan kerja di pabrik kayu lapis Hartanto. Saat itu,
Xander yang lama tinggal di luar negeri, menyarankan agar memanggil polisi. Hartanto
menolaknya dengan alasan: “Polisi di sini tidak sama dengan di Eropa”. Di
benaknya saat itu terbayang penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan polisi
atas bayarannya. (hal. 92)
Contoh yang lain adalah tentang isu sumber
daya alam. Selama ini Indonesia terlalu percaya diri akan kekayaan sumber daya
alamnya, sehingga menghamburkannya tanpa rasa berdosa.
Selain itu, penulis juga seperti berusaha
mengangkat nama baik wartawan.
Seperti biasa, tulisan Meiliana K. Tansri penuh
dengan bahasa baku yang mudah dimengerti dan anti typo. Namun, ada satu kalimat yang gagal saya pahami.
“Membohongi Hartanto adalah tindakan berisiko, tetapi Datuk Itam merasa tumpukan tahun lalu di belakang namanya sudah cukup akomodatif untuk mengganjal jiwa kalau kemarahan Hartanto menerjangnya.”
(hal. 121)
Hmm, “tumpukan tahun lalu” maksudnya apa,
ya?
Secara keseluruhan, saya lebih menikmati
buku kedua ini daripada yang pertama. Pada akhirnya, saya akan menutup resensi
ini dengan satu teriakan, “Temukan raja!”
Sila kunjungi tautan ini untuk membaca resensi buku pertama, Mempelai Naga. ^^
Sumber foto di sini. |
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^