20 July 2015

[Resensi TRILOGI DARAH EMAS #1] Mempelai Naga

Judul: Mempelai Naga (Trilogi Darah Emas #1)
Penulis: Meiliana K. Tansri
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Mei 2010
Tebal: 248 halaman
ISBN: 978-979-22-5723-6
Harga: Rp 10.000,00 (obral)
Rating saya: 3/5

"Kau tahu kenapa kau dinamai Cen Cu, mutiara? Karena kau adalah luka bagi kerang yang menciptakanmu. Karena kau lahir setelah merenggut nyawa ibumu." 
(Guat Kim, hal. 181)

Jambi, tahun 1987.

Cen Cu, seorang gadis yang tinggal di dusun Kempuh bersama ibu tirinya, Guat Kim, dan adik-adik tirinya, sedang mencari Tibu, induk babinya yang terlepas ke hutan. Terkejutlah dirinya menemukan babi itu dengan seorang laki-laki asing yang tampan. Awalnya Cen Cu tidak percaya ketika laki-laki itu mengaku diri sebagai Naga, sang penguasa alam, roh langit dan bumi. Sebuah pembuktian yang ditunjukkan sang Naga atas kekuasaannya mengendalikan alam, membuat Cen Cu mau tak mau percaya. Sang Naga datang untuk menjemput mempelainya yang telah terpilih, Cen Cu.
“Aku mendampingi mereka melalui seorang perempuan yang lahir dari benihku, yang dilahirkan seorang perempuan terpillih. Dia akan membawa darahku dalam tubuhnya, yang akan diwariskannya pada semua perempuan keturunannya. Jika mereka mati tanpa memiliki anak perempuan, garis darah itu akan terputus. Dan aku akan mencari seorang pengganti. Seorang perempuan yang akan melahirkan anak perempuan untuk mewarisi darahku.” 
(Naga, hal. 41)
Anak perempuan yang akan dilahirkan oleh sang mempelai itulah yang nanti akan merebut kembali mahkota di dalam kerajaan yang dimusnahkan para manusia jahat untuk mendirikan pabrik kayu lapis. “Kerajaan” yang dimaksud itu adalah situs purbakala di Kemingking, yang konon terdapat di bawah bangunan pabrik. Si hartawan pemilik pabrik itu, Hartanto, telah mendengar bahwa Naga akan menghabisi keluarganya. Datuk Itam, dukun komplotannya telah mengetahuinya lewat ramalan menggunakan ampas di cangkir kopinya. Bersama dukun itu, Hartanto melakukan segala cara untuk menemukan si mempelai Naga yang terpilih, sebelum gadis itu mengandung. Naga mengelabui Datuk Itam, sehingga mereka terlambat mengetahui setelah Cen Cu mengandung.

Rigel, seorang wartawati yang berusaha mengungkap kebenaran eksistensi situs purbakala Kemingking, tanpa sadar menjadi bagian dari rantai berbahaya yang menghubungkan Hartanto, Cen Cu, Naga, dan calon putri Naga. Hubungan terlarang dengan Betel, anak Hartanto, yang ternyata adalah saudara tirinya, membuatnya hamil. Datuk Itam memperingatkan Hartanto bahwa kelak anak Rigel itu akan menjadi sekutu Naga. Namun, Hartanto punya rencana sendiri untuk Rigel.

Mengetahui kehamilan anak tirinya, Guat Kim mengusir Cen Cu dan menitipkannya pada Rombeng, seorang pemulung, yang ternyata bukan pemulung biasa. Hartanto dan Datuk Itam berhasil sampai di rumah Rombeng, tepat ketika Cen Cu sedang berusaha melahirkan.

***

Pada suatu sore, di Gramedia Book Fair, di tengah lautan buku, saya menemukan buku trilogi ini, lengkap. (Biasanya kalau di acara obralan, buku seri semacam ini jarang ada yang lengkap.) Dan karena harganya hanya sepuluh ribu rupiah per buku, maka saya memutuskan tak ada salahnya untuk membeli. Saya tertarik akan unsur fantasi, lokalitas Indonesia, dan budaya orang Tionghoa Jambi yang mungkin jarang diangkat jadi ide cerita novel. Ini adalah kali pertama saya membaca karya Meiliana K. Tansri, dan ya, yang menjadi cirinya adalah penggunaan bahasa yang amat baku. Namun, di tangan penulis, gaya bahasa baku tersebut ringan dibaca, mudah diikuti, dan tidak membosankan.


Hitam dan putih dalam satu elemen


Penulis mengombinasikan sifat-sifat yang bertolak belakang dalam tokoh-tokohnya. Memang tak seharusnya para tokoh digambarkan melulu hitam saja atau benar-benar putih tanpa cela. Di dunia nyata, semua manusia pasti memiliki sisi gelap dan terang dalam dirinya, bukan?

Contohnya, tokoh Guat Kim. Di bagian awal, yang terlihat dari karakternya adalah sosok ibu tiri yang galak, suka membentak dan mengomeli Cen Cu. Di bagian tengah, bermula dari saat Cen Cu menghilang selama semalaman di hutan, Guat Kim mulai menunjukkan sifat lembutnya. Setelah ia marah-marah ketika mengetahui kehamilan Cen Cu, sebenarnya Guat Kim mengkhawatirkan keadaan anak tirinya itu.

Sementara itu,  karakter Cen Cu juga menunjukkan indikasi serupa. Gadis ini menancapkan sosok gadis penyabar, rajin, dan sederhana tapi cerdas dalam persepsi pembaca. Tapi, ada suatu adegan yang merekam keganasan Cen Cu saat murkanya tak tertahankan terhadap A Lung, adik tirinya yang paling besar. Lalu, sepertinya “cerdas” juga tak terlalu menggambarkannya, karena kebaikan hati membuatnya membahayakan diri sendiri. Naga sudah memberitahunya akan bahaya menggunakan sisik emas untuk membeli obat, tapi dia tetap melakukannya.

Lain lagi dengan Rigel. Di satu sisi, ia adalah wartawati yang cerdas dan pantang menyerah. Namun, di sisi lain, ia kecanduan alkohol. Saking pantang menyerahnya mencari berita, ia tak segan tidur bersama dengan narasumbernya untuk mendapatkan informasi. Sementara itu, Hartanto konstan sebagai antagonis yang kejam dan menghalalkan segara cara untuk mempertahankan kekayaan duniawinya. Di samping itu, ia juga gegabah dan beberapa kali mengabaikan nasihat Datuk Itam. Sebagai komplotan Hartanto, Datuk Itam mau tak mau terposisikan sebagai antagonis juga. Namun, lain dengan Hartanto, dukun ini lebih cerdik dan bisa dibilang bagian "otak" dari komplotan itu, sedangkan Hartanto adalah bagian "otot".

Awalnya oke, tapi kok lama-lama...



Adegan yang menjadi pembuka novel, ketika Cen Cu mencari Tibu di hutan, cukup menimbulkan keingintahuan dan keinginan untuk terus membaca. Alurnya bertempo pas, tidak lambat dan juga tidak cepat, tapi pas untuk menceritakan hal-hal yang perlu diceritakan tanpa berpanjang-lebar dan berbelit-belit. Konflik utamanya hanya satu, yaitu Naga cs versus Hartanto cs, tapi meluber hingga ke konflik-konflik kecil yang menyertainya.

Sayangnya, menginjak bab 8, atau sekitar 2/5 tebal buku, saya mulai meragukan logika cerita. (Cerita fantasi sekhayal apa pun tetap harus logis.)

Pertama. Keraguan saya ini bermula ketika Guat Kim sakit dan Cen Cu meminta pertolongan Naga karena ia tak punya uang untuk membeli obat yang mahal. Dalam novel ini, Naga adalah roh langit dan bumi, penguasa alam yang seharusnya amat sakti. Alih-alih langsung menyembuhkan Guat Kim dengan kekuatannya, ia malah repot-repot memberikan tiga sisik naga emas pada Cen Cu untuk membeli obat. Nah, anehnya lagi, setelah itu si pemilik toko obat itu langsung melaporkan tentang sisik naga itu pada Hartanto. Padahal sebelumnya tidak ada keterangan kalau mereka saling kenal, atau keterangan bahwa Hartanto memberitahunya bahwa ia sedang mencari mempelai Naga.

Kedua.  Tentang kelemahan Naga yang dimanfaatkan Datuk Itam untuk membunuh tubuh manusianya.
"Naga hanya bisa mewariskan darahnya selama tubuh manusianya masih ada. Kalau tubuh manusia itu mati, dia akan kehilangan penghubung dengan raga seluruh manusia di bumi. Tidak akan ada lagi darah emas.  Campur tangan Naga dalam kehidupan manusia akan berakhir." 
(Datuk Itam, hal. 118)
Padahal, sebelumnya Datuk Itam menjelaskan pada Hartanto seperti ini, "Naga bisa mengambil bentuk rupa apa pun, termasuk manusia." (hal. 83). Jika Naga terjebak jerat sakti yang dibikin Datuk Itam hingga tubuh manusianya mati, seharusnya Naga bisa berpindah ke rupa lain, bukan? Jadi mengapa Naga sebegitu lemahnya?

Setelah terjerat, Naga meminta tolong Cen Cu untuk melepaskan jerat itu. Caranya adalah melumurinya dengan remasan daun delima merah. Kebetulan, tiap ke hutan Cen Cu membawa daun itu sebagai "penangkal supaya tidak diganggu setan" (Guat Kim, hal. 129). 
"Cen Cu mengeluarkan ranting delima merah dari sakunya, lalu meremas daun-daunnya sampai hancur. Dari seluruh daun di ranting itu dia hanya mendapatkan pulungan seujung jari." (hal. 126)
Anehnya, "seujung jari" itu bisa digunakan untuk melumuri seluruh tali jerat, yang bisa dibilang panjang, karena ia "membelit hampir seluruh tubuh Naga" (hal. 125).

Saya juga sempat bingung karena tiba-tiba disebutkan bahwa Betel meninggal. Kenapa meninggal? Hmm, ternyata di bab selanjutnya baru disebutkan lagi alasan Betel meninggal, hanya secara sekilas.

Bersambung ke buku kedua...


Terlepas dari semua hal yang kurang logis menurut saya, buku ini tetap memberikan kesenangan tersendiri saat membacanya. Terlebih karena gaya penuturan penulis yang sederhana dan enak diikuti. Unsur-unsur budaya orang Tionghoa dari kampung Kumpeh pun tergambarkan dengan apik. Latar tempatnya, kandang babinya, hutannya, kebun sawinya, meski dideskripsikan seperlunya, mampu menyeret imajinasi saya untuk seolah melihat langung kehidupan sehari-hari Cen Cu yang sederhana dan penuh kerja keras.

Saya berharap buku kedua lebih memuaskan ^^. Oh iya, pihak penerbit melabeli novel ini "dewasa", mungkin karena keliaran Rigel, yang hanya digambarkan sekilas-sekilas sebenarnya. Bandingkan dengan Marry Now, Sorry Later-nya Christian Simamora, yang benar-benar pantas dilabeli dewasa (",).

Bocoran: buku kedua bertokoh-utamakan Leng Cu, putri Cen Cu dari sang Naga.
Sila baca di tautan ini. ^^

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets