8 August 2015

[Resensi TRILOGI DARAH EMAS #3] SEMBRANI

Judul: Sembrani
Penerjemah: Meiliana K. Tansri
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2010
Tebal: 240 halaman
ISBN: 978-979-22-6038-0
Harga: Rp 10.000,00 (obral)
Rating saya: 3/5

[Untuk resensi buku pertama, bisa dibaca di sini.
Resensi buku kedua bisa dibaca di sini.]

Akhirnya, sampai juga di buku ketiga. Di buku ketiga ini, tokoh-tokoh yang awalnya hanya muncul sekilas di kedua buku sebelumnya, ternyata memiliki peranan penting bagi perkembangan cerita.

Sembrani dibuka dengan perkenalan tokoh baru, yaitu si kuda penarik sado yang bernama Sembrani. Sembrani bermimpi punya sayap dan bisa terbang. Entah bagaimana, ketiga ekor tikus bertemu dengan Sembrani dan meminta bantuannya untuk menemukan Putri Naga yang tengah dikuasai kekuatan jahat. Sementara itu, di tempat lain, Sakim masih teringat kata-kata sang harimau padanya, sebelum ia membebaskannya dari kebun binatang, "Temukan raja!".

Seekor harimau diberitakan keluar dari hutan dan telah membunuh seorang manusia di Muaro Jambi. Kemudian, muncullah Rusdi, dari Dinas Kehutanan, yang ditugasi menangkap si harimau. Ia meminta bantuan Sakim untuk menemukan si harimau, lantaran pengalamannya sebagai pawang (dan karena ia sudah pernah diserang Sultan) dinilai bisa digunakan sebagai pemandu.

"Menurut mereka, orang yang pernah diserang harimau berarti sudah ditandainya. Orang itu biasanya kemudian punya semacam kemampuan untuk merasakan kehadiran harimau." 
(Rusdi, hal. 25)

Sakim akhirnya bersedia. Namun, di tengah hutan, ia menemukan tiga fakta mengejutkan. Pertama, harimau itu memangsa manusia karena mereka telah memangsa anaknya. Kedua, Rusdi sebenarnya bukan seperti penampakannya. Ketiga, ia menemukan raja--seekor anak harimau, anak lain dari si induk yang memangsa manusia itu.

Teddy Kho, anggota keluarga darah emas, juga ikut dalam rombongan Rusdi. Nantinya, Teddy akan bertemu dengan tiga ekor tikus yang menunggang Sembrani dan membantu menemukan Putri Naga.

Sementara itu, misteri kematian beberapa orang dengan cara yang aneh mengusik Kemas Ramli. Kematian mereka diduga didalangi oleh roh Putri Naga yang terpisah dari tubuhnya untuk membalaskan dendam sang Naga. Hartanto yang mengetahui hal ini, cemas menunggu gilirannya dibunuh. Yang paling mengejutkan, terungkapnya motivasi Reuben Moore atas ketertarikannya terhadap situs Kemingking.

***

Dibandingkan kedua buku pendahulunya, alur dalam buku ketiga ini paling menegangkan dan padat. Penulis seakan tak membiarkan pembacanya untuk menarik napas. Teka-teki tertebar di mana-mana. Selain kompleksitas ceritanya, pembaca juga dihadapkan pada jumlah tokoh yang terlalu banyak, saling berhubungan (entah hubungan keluarga, atau sebagainya), dan hampir semuanya memiliki peran penting. Fenomena ini memunculkan kebingungan tersendiri. Alur yang dibangun sejak buku pertama malah menjadi terseok-seok di buku ketiga ini.

Meski begitu, tetap ada hal menarik dari trilogi ini. Yang pertama, tentu saja, adalah perihal situs sejarah di Muaro Jambi. Hasil pencarian di internet pun menyebutkan bahwa Kabupaten Muaro Jambi kaya akan peninggalan sejarah yang (sayangnya) belum terawat dengan baik. Salah satunya adalah candi yang terdapat di Desa Kemingking Dalam, yang disebut "Candi Cino" oleh masyarakat sekitar [1]. Di Muaro Jambi ini terdapat sebuah situs percandian terluas di Indonesia (luasnya 12 kali luas kompleks Borobudur) yang terancam keberadaannya karena aktivitas penambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit [2]. Situs ini merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu pada abad ke-7 sampai ke-14 [3].

Situs percandian di Muaro Jambi. Sumber di sini.
Uniknya, petisi Save Muarajambi digencarkan pada tahun 2012, sedangkan pada tahun 2010, Meiliana K. Tansri telah berusaha mengangkat eksistensi situs ini melalui Trilogi Darah Emas. Mengesankan, ya, insting penulis terhadap permasalahan di dunia sekitarnya?

Berikutnya, tokoh-tokoh di buku ini melambangkan sesuatu. Xander merupakan simbol krisis identitas. Meskipun berkewarganegaraan Indonesia, sejak kecil ia tinggal di Jerman. Sungguh memalukan bahwasanya ia tidak mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, sementara Reuben Moore--arkeologis dari Amerika Serikat--fasih menjelaskannya.

Semenjak awal membaca buku pertama, saya bertanya-tanya, mengapa situs Kemingking yang dijadikan poin permasalahan? Ternyata penulis menjawabnya di buku ketiga ini.

"Situs Kemingking adalah tonggak arkeologi yang penting. Pengungkapannya akan membongkar banyak rahasia peradaban, meluruskan kekeliruan sejarah. Misalnya tentang kerajaan-kerajaan besar yang memengaruhi kebudayaan Indonesia." 
(Reuben Moore, hal. 67)
Sembrani, bersama ketiga ekor tikus, (seperti yang sudah saya singgung di resensi buku kedua), melambangkan harapan dan kesetiaan. Sembrani tak pernah lelah memegang harapan dan mimpinya untuk punya sayap dan bisa terbang. Ketiga ekor tikus pun, meski terkadang ragu, pada akhirnya tetap percaya bahwa mereka akan bisa menjadi manusia lagi.

Di buku ketiga ini, tokoh Putri Naga sudah tak menarik lagi. Center of attention malah berpindah ke Sembrani, tiga ekor tikus, dan bahkan Moore. Hal ini dikarenakan Putri Naga tak melakukan aksi berarti di sepanjang cerita, lantaran ia sedang tak sadarkan diri.

Kemunculan Reuben Moore dengan ilmu klenik khas Baratnya, menyimbolkan penjajahan modern yang dilakukan negara-negara Barat terhadap Indonesia. Fenomena perdagangan hewan langka ke luar negeri (dalam buku ini adalah harimau Sumatera) juga mendukung argumen tersebut.

Kemunculan Nyai Sati di ketiga buku mewakili kehadiran sang Naga yang selalu melindungi keturunannya dan semua yang berada dalam lingkupan silsilah darah emas. Malah, saya rasa peran wanita berpakaian tradisional Jambi itu lebih penting daripada Naga sendiri. Haha.

Ada dua hal yang seperti "dipaksakan" oleh penulis. Pertama, adegan saat Rigel memotong tali pengikat tangan dengan pecahan kaca dari jam tangan, yang sulit saya bayangkan (hal. 179). Kedua, praktik sihir yang dilakukan Reuben Moore, yang menurut saya terlalu tidak masuk akal untuk konteks cerita. Kok, saya malah teringat sihir yang dilakukan Voldemort untuk mendapatkan tubuh manusia (Harry Potter and The Goblet of Fire). 

Yang menjadi bagian favorit saya di buku ini adalah interaksi antara Teddy Kho, tiga ekor tikus, dan Sembrani. Meski perbedaan bahasa menghalangi komunikasi, mereka tetap bisa saling memahami. Berkat jasa dan aksinya, Teddy Kho jadi tokoh favorit saya di buku ini.

Secara keseluruhan, membaca Trilogi Darah Emas memberikan hiburan tersendiri, saat saya mulai jarang membaca buku fantasi. (Padahal genre fantasi adalah salah satu genre favorit saya!) ^^

Sumber gambar di sini.


0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets