11 July 2015

[Resensi PULANG] Malpraktek Sejarah dan Perzinahan Politik

Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit : KPG
Cetakan : IV, Desember 2013
Tebal : vii + 461 halaman
ISBN : 978-979-91-0515-8
Harga : Rp 70.000,00
Rating saya: 4/5

Tahun 1965, ketika Indonesia terpecah-belah antara pihak kiri dan kanan, orang yang tidak memihak kedua kubu pun artinya telah memihak. Itulah yang dialami Dimas Suryo. Ia tidak memilih pihak kiri seperti Hananto. Tapi, tetap saja ia terasingkan sampai ke Paris pada tahun 1968, bersama ketiga sahabatnya, Risjaf, Tjai, dan Mas Nug. Belakangan nasib mereka lebih beruntung dibandingkan Hananto yang akhirnya berhasil ditangkap dan dieksekusi. Meski sebagai gantinya mereka harus kehilangan identitas ke-Indonesia-annya dan KTP-nya dicap sebagai E.T. (eks tapol). Sampai generasi kedua, pada zaman putri Dimas, Lintang Utara, peristiwa 1965 masih menghantui para keluarga dan kerabat eks tapol. 

Perjalanan Dimas Suryo, sebelum terdampar di Paris.

Dimas kemudian menikah dengan Vivienne, meski tetap ada cinta tak tersampaikan pada Surti, istri Hananto. Bersama Risjaf, Tjai, dan Mas Nug, Dimas mendirikan restoran Indonesia bernama "Tanah Air", yang berhasil menjadi salah satu restoran terkenal di Paris. Meskipun pada akhirnya Dimas dan Vivienne bercerai, mereka berdua tetap menjaga komunikasi.


Tibalah saat bagi Lintang--yang seumur hidupnya belum pernah menginjak Indonesia--untuk mulai menguak sejarah bangsanya dalam bentuk film dokumenter tentang 1965 sebagai tugas akhir kuliahnya di Universitas Sorbonne.

“Tak inginkah kau menjenguk kembali asal mula dirimu? Tak inginkah kau mengetahui apa yang membawa ayahmu dan kawan-kawannya terbang ke sini, ke sebuah negara yang nyaris tak memiliki hubungan historis dengan Indonesia?” 
(Monsieur Dupont, hal. 134)

Mei 1998. Bersama Alam, Lintang menyaksikan sendiri peristiwa berdarah yang berkubang di negeri asalnya.



Pada akhirnya, ayahnya kembali mengajukan pertanyaan ini,
"Apa yg akhirnya kau petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A, Lintang?" 
(Dimas Suryo, hal. 446)


***


Butuh waktu lama untuk saya menyelesaikan buku ini, karena banyak buku lain yang lebih mendesak untuk saya baca. Meski kontinuitas membaca saya tersendat-sendat, tapi saya tetap menikmati buku ini. Membaca "Pulang" seperti belajar sejarah Indonesia tahun 1965 sampai 1998, sembari bertanya pada diri sendiri, apa yang bisa kupetik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A?

Dalam Rangkulan Sastra dan Budaya


Membaca "Pulang", saya menangkap gelagat penulis untuk mengomparasikan beberapa hal yang dimiliki Indonesia dengan negara lain. Pertama, penulis membandingkan peristiwa unjuk rasa Mei 1968 di Paris (yang serusuh apa pun masih jauh lebih santun) dengan peristiwa tak beradab untuk memberantas PKI di Indonesia. Kedua, penulis menyandingkan para penyair Indonesia (Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, dll.) dengan penyair luar negeri (T.S. Eliot, Jalaludin Rumi, John Keats, dll.). Tokoh Narayana pernah menyandingkan Shakespeare dan Subagio Sastrowardoyo dalam satu halaman. Mungkin penulis beriktikad menyejajarkan para sastrawan Indonesia dengan sastrawan dunia.

Selain itu, melalui tokoh-tokohnya, yang mencintai sastra dan budaya, penulis seolah menyindir generasi muda negeri ini yang kurang menyukai kedua hal itu. Penulis mengetengahkan kisah-kisah Mahabharata, terutama wayang Ekalaya, yang Dimas anggap mewakili dirinya. Selain banyak partikel-partikel sastra di dalamnya (seperti petikan-petikan puisi milik penyair terkenal), penulis juga menyebut-nyebut film-film karya Akira Kurosawa. (Barusan saya mencari di Google, ternyata Akira Kurosawa juga menyutradai film Rashomon, yang diangkat dari cerita karya Ryunosuke Akutagawa--salah satu cerita favorit saya.)
Sumber di sini.
Oh, ya, jangan lupakan setoples kunyit bubuk dan cengkeh milik Dimas!


Lho, Kok Sama?

Menggunakan 6 sudut pandang orang pertama (Hananto, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Deveraux, Segara Alam [anak Hananto], Bimo Nugroho [anak Mas Nug]) dan sudut pandang orang ketiga, penulis merangkai kisah sejarah sampai dua generasi dengan sangat nyambung. Terlalu nyambung, malah, karena gaya bahasa keenam tokoh itu seragam. Saya mendapati satu kata yang sering sama-sama digunakan oleh mereka: membuhulkan. Meski karakteristik tiap tokoh tergambar dengan apik jika diceritakan oleh tokoh lain, rasanya aneh ketika menjumpai saat mereka berbicara sebagai sudut pandang orang pertama; mereka jadi seolah 6 orang yang sama.

Protagonis vs Antagonis


Saya bertanya-tanya, mengapa penulis menciptakan semua tokoh protagonisnya ganteng dan cantik bak dewa-dewi? Suatu jenis kecantikan dan kegantengan yang tak terelakkan oleh lawan jenis. Kecantikan fisik plus kebaikan hati. Dimas, yang tampan dan cerdas. Risjaf, yang paling tampan, jantan, berhati lurus dan tulus. Lintang yang amat cantik dan cerdas, dan lain-lain.

Sementara itu, tokoh antagonisnya digambarkan buruk: entah gendut, berkumis mengerikan, atau bergigi emas norak (seperti Si Telunjuk alias Sumarno Biantoro, pengkhianat Hananto), dll. Ada apa dengan dikotomi hitam-putih ini?

Kumis Clark Gable. (Sumber di sini)
Di antara keempat pilar restoran "Tanah Air", Mas Nug adalah orang yang paling optimistik, merasa diri paling ganteng dengan kumis Clark Gable-nya, gemar bernyanyi dan bersiul meski suaranya paling sember dan tak beraturan (hal. 92), memiliki kemampuan memijit & akupuntur yang dipelajari selama di Peking.

Tjai, adalah yang mulutnya paling tajam, tapi kata-katanya benar. Dimas menggambarkannya seperti ini: "yang lekat dengan kalkulator di tangan kirinya jauh melebihi nyawanya sendiri, lebih banyak berbuat, berpikir cepat daripada coa-coa (hal. 50). Pekerja keras dengan kepribadian “yang tak punya keanehan atau kekenesan” (hal. 98), sama sekali tak suka berpolitik.

Beralih ke generasi kedua, kita berjumpa dengan Segara Alam, anak Hananto Prawiro. Sebagai anak seorang tertuduh komunis yang dieksekusi, Alam tumbuh menjadi seorang aktivis LSM Satu Bangsa, yang kerjaannya advokasi kelompok minoritas yang diperlakukan tidak adil. Alam tumbuh sebagai pemuda yang "penuh pertanyaan dan kemarahan" (hal. 290); tidak percaya akan sejarah. Sejarah yang selama ini disematkan pemerintah ke dalam semua buku teks pelajaran sekolah.

"[...] Siapakah pemilik sejarah? Siapa yang menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang penjahat?" 
(Segara Alam, hal. 288)

Krisis Identitas Pasca Peristiwa 1965

Sebagai seorang eks-tapol, Dimas Suryo tentunya mengalami krisis identitas. Jauh di lubuk hati ia amat mencintai Indonesia, tapi ketidakadilan sosial yang ia alami mengakibatkan sikapnya menjadi nyinyir terhadap keadaan. Salah satu contohnya adalah ketika ia bertengkar dengan putrinya, Lintang, tentang keluarga Narayana. Narayana adalah kekasih Lintang di Paris, yang sama seperti Lintang, berasal dari keluarga blasteran Perancis-Indonesia. Namun, lain dengan keluarga Dimas, keluarga Nara kaya dan terhormat di kalangan orang-orang Indonesia yang ada di Perancis. Oleh karena kecemburuan ini, Dimas tidak bisa menyukai Nara.
"Bagaimana Maman bisa betah hidup bersama lelaki yang gemar mengkritik segala yang salah di matanya?" 
(Lintang, hal. 177)
Sementara itu, Lintang juga mengalami krisis identitas, yang menurut Dimas terindikasi dari pilihan putrinya itu akan tokoh-tokoh wayang yang berubah jender (Srikandi dan Panji Semirang). Setelah Dimas dan Vivienne bercerai, Lintang merindukan keluarga yang harmonis. 
"Saya merasa tenteram dengan keluarga Nara. Famille harmonieuse. Mereka baik hati dan hangat pada siapa saja. Saya merasa nyaman berada di antara mereka." 
(hal. 177)

Le Coup de Foudre

Mengenai kisah le coup de foudre--cinta pada pandangan pertama--antara Vivienne dan Dimas, saya bisa merasakan kesenduan yang manis, sehingga saya, yang pesimis akan cinta jenis itu, menerimanya dengan terbuka. Namun, ketika cinta jenis itu juga terjalin antara Alam dan Lintang, bagi saya itu adalah jenis cinta yang didorong oleh nafsu belaka, dan sedikit menyebalkan. Sementara sudah memiliki Nara yang bak malaikat jatuh, Lintang malah terpesona pada Alam, yang memiliki pamor sebagai playboy yang tengil dan slenge'an. Jenis laki-laki yang hanya ingin bersenang-senang tanpa keinginan menjalani hubungan yang serius.

"Urusan badan dan hati adalah dua hal yang berbeda. Badan ada di bumi, dan hati ada di langit. Problemnya, aku lebih suka membumi belaka, sedangkan para perempuan lebih suka membicarakan langit masa depan." 
(Segara Alam, hal. 290)
Membaca sudut pandang Lintang dan Alam membuat saya mengerti bagaimana gejolak perasaan masing-masing. Saya masih agak tidak terima ketika mereka malah bercinta di saat para aktivis mahasiswa dan militer beradu dalam aksi demonstrasi panas.

***
Apakah saya akan dengan bangga dan lapang dada mengakui identitas diri, sebagaimana dilakukan oleh Dimas Suryo, meski dengan sikap nyinyirnya, atau lebih memilih malu dan menyembunyikan identitas sampai kelak terungkap dengan cara yang lebih memalukan, seperti yang dilakukan Rama (keponakan Dimas)?
Akhir kata, terlepas dari segala kekurangannya, buku ini adalah buku yang memadukan sejarah dan semangat nasionalisme yang kental, dengan budaya, sastra, kisah cinta yang jauh dari menye-menye, dengan proses penemuan jati diri para tokohnya, yang sangat menarik untuk dibaca.


Catatan:
"Malpraktek sejarah" dan "perzinahan politik" adalah dua terminologi bikinan penulis. Yang pertama dipopulerkan oleh tokoh Segara Alam. Yang kedua dipopulerkan oleh Dimas Suryo.

0 komentar:

Post a Comment

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets