27 April 2016

[Resensi "The Violinist"] Violino, si Violinis

Judul Buku: The Violinist
Penulis: D.S.M. Dedelidae
Tebal: 264 halaman
Penerbit/cetakan: Mazola/Cetakan pertama, Juni 2014
ISBN: 978-602-255-620-6
Harga: Rp 38.000,00

“Kita? Sejak kapan aku dan kamu menjadi kita? Bukannya dulu kau membenci kata kita di antara aku dan kamu?” – Alle (halaman 260)
(By the way, pada penulisan kalimat tersebut, seharusnya kata “kita” diapit tanda petik *tangan usil reviewer*).

The Violinist. Judulnya sudah mengindikasikan cerita apa yang akan dijalin oleh penulis. Tentang seorang violinis bernama Violino Adriano yang masih belum bisa membebaskan diri dari jerat bayang-bayang mantan kekasihnya, Aleffra, yang telah meninggal tertabrak kereta api. Ia jadi suka mengurung diri dari lingkungan sekitar dan bersikap dingin dengan siapapun, kecuali kakaknya, Rea, dan sahabatnya, Ale. Hampir setiap malam ia memainkan alunan menyanyat hati dengan violinnya, di Stasiun Termini (sambil berdiri sangat mepet dengan rel kereta) atau di puncak atap rumah.

Lain dengan Violino alias Vio, permainan violin Alla masih sangat jelek, jika dibandingkan dengan permainan Dita, teman sekaligus musuhnya yang suka menyombongkan diri. Tapi, kemampuannya cukup berkembang dengan baik saat ia les violin dengan Kak Rea. Ke mana-mana ia membawa violinnya yang ia beri nama Vio, tapi belum percaya diri untuk memainkannya di tempat umum. Setelah Kak Rea kembali ke Roma, Alla bagai bulan yang ditinggalkan matahari. Ia mencari guru les ke sana-sini, tapi tak ada yang seramah, selembut, dan sebersahabat Kak Rea. Makin gilalah dia lantaran tanpa pikir panjang ia menerima tantangan Dita untuk berkompetisi memainkan violin pada bulan September.

Liburan semester itu Alla habiskan di Roma untuk mengunjungi sahabatnya Ale. Begitu sampai di Roma, di Stasiun Termini tepatnya, alunan violin membuai telinganya. Membuatnya penasaran akan sosok laki-laki yang sedang bermain violin sambil berdiri di tepi rel kereta. Alunan nada itu membuat Alla jatuh cinta, dan ia makin penasaran siapakah sosok lelaki itu. Kisah klise “dari benci jadi cinta” tercipta pula di sini.
***

Novel Profesi Ini Kurang Profesional

Kategorinya saja #novelprofesi, pasti saya langsung membayangkan cerita seorang violinis yang menggelar pertunjukan, tentang saingannya yang ingin menjatuhkan, tentang kisah pribadinya.... Mungkin seperti novel Galila, yang bisa disebut novel profesi artis. Sayangnya, kisah violinis sebagai profesi kurang mewarnai novel ini. Profesi, kan, berarti “bidang pekerjaan yg dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu”[1], sehingga tokohnya saya harapkan memiliki pekerjaan sebagai violinis beneran. Kenapa tadi saya bilang “kurang profesional”?

Tokoh utama novel ini, Alla, hanyalah seorang gadis yang sedang belajar menjadi violinis. Bukan violinis beneran. Tokoh utama lainnya, Violino, memang seorang violinis, tapi kurang ditonjolkan elemen-elemen pendukung pekerjaannya, seperti ketika dia membuat komposisi, misalnya. Atau ketika dia membaca partitur, atau hanya mengalunkan nada-nada dengan kunci tertentu.... Penulis hanya sekali menyinggung hal teknis tentang violin, yaitu ketika Kak Rea menjelaskan nada dasar masing-masing senar violin (halaman 36). Oke, mungkin penulis memaksudkan pekerjaan  Kak Rea sebagai guru les violin juga termasuk sisi “profesi”. Tapi, tokoh Kak Rea di sini hanya tokoh pendukung, kehadirannya hanya samar-samar mewarnai cerita. Seluruh isi cerita malah berfokus pada kisah Alla yang mengejar-ngejar Vio, dan Ale yang berada di antara mereka. Dengan begini, embel-embel “violinis” itu hanya menjadi tempelan, bukan ide utama cerita.

Bicara masalah setting tempat—kota Roma. Bukankah Roma itu kota yang indah? Seharusnya jauh lebih indah jika penulis lebih mau mendeskripsikan keindahannya. Yang cukup tergambar dengan baik hanyalah Fontana di Trevi. Adegan kebanyakan bertempat di Stasiun Termini (apa lagi yang bisa dideskripsikan dari sebuah stasiun?), di rumah Vio, dan di rumah Ale. Beberapa adegan mengambil tempat di jalanan, Fontana di Trevi, dan Juliet’s House (eh, saya jadi pengin nonton lagi film “Letters to Juliet”). Di tengah-tengah cerita, saya jadi bosan karena kejadian tertentu sering berulang, jadi seperti rutinitas (adegan di Stasiun Termini itu, lho). Nuansa kota Roma akan lebih hidup jika misalnya penulis menyelipkan deskripsi di mana lokasi tempat tinggal Ale dan Vio. Di kota Roma sebelah mananya, sih? Bahkan, novel “Partitur Dua Musim” (yang sama-sama berkisah tentang alat musik gesek itu, dan sama-sama ber-setting luar negeri) saya rasa lebih “profesional”, padahal novel itu tidak berjuluk “novel profesi”.

Bicara tentang tokoh, kelakuan tokoh Alla bikin saya gemas. Sudah tahu kalau dia sebal menerima SMS usil Dita terus menerus, kok, tetap dibalas? Bahkan dia sendiri bilang kalau “aku sengaja tidak membalas pesan singkat Dita. Aku sudah kenal kebiasaannya. Dia akan terus membalas pesan singkatku sebelum aku yang mengakhirinya sendiri.” (halaman 115), tetapi setelah itu pun dia membalas pesan Dita (-_-). Penulis juga seperti menganggap para pembaca sering lupa ingatan, sehingga harus terus diulang bahwa “Dita itu sombong”, bla-bla-bla.
Saya juga menemukan beberapa hal yang kurang logis dan atau kurang bisa saya pahami maksudnya.
1. “Matahari yang tepat berada beribu-ribu mil, mungkin juga berjuta-juta mil di atas kepalaku...” (halaman 76)
FYI, jarak antara matahari dan bumi sekitar 150 juta km, yang juga disebut sebagai satu tahun cahaya.
2. Sepuluh soal dengan jawaban yang sudah cukup membuat kepala ini ingin aku jedorin ke dinding. (halaman 45)
Maafkan kelemotan saya, tapi saya lebih bisa mengerti jika kalimat itu diubah menjadi begini, misalnya: “Sepuluh soal dengan jawaban rumit nan panjang itu membuatku frustasi hingga ingin menjedorkan kepala ke dinding.”
3. Ah, matanya memang tajam.“Hei, sedang apa kamu di sana? Tak usah bersembunyi!Ia memergoki aku. (halaman 150)
Urutan peletakan tiga kalimat tersebut terbalik, harusnya kalimat pertama dipindah setelah kalimat ketiga, sehingga menjadi lebih koheren.
4. Empat puluh lima hari berarti 540 jam, berarti juga 32.400 detik. (halaman 168)
Pernyataan itu benar, sampai “540 jam”. Seharusnya, 540 jam itu sama dengan (lingkari jawaban yang salah, hihihi):
a. 32.400 detik
b. 32.400 menit
c. 1.944.000 detik         
Saya pernah bilang di ulasan novel “Bukan Salah Waktu”, bahwa semakin detail tulisan, semakin banyak pula kesempatan untuk salah.
5. “Aku tidak bisa mengatur suhu matahari yang menerpa tubuhku lagi. (halaman 173)
6. Tidak ada Vio di sini, sekalipun aku mengedarkan mata. Di dinding sekitar balkon pun dipenuhi surat-surat cinta. (halaman 218)
Dua kalimat di atas tidak berhubungan sama sekali.
7. Iya, bagaimanapun berubahnya seseorang kalau yang dicintainya hanya satu orang, dia akan mencintai orang itu dengan tulus. (halaman 253)
Nah, ini juga saya sangat tidak mengerti maksudnya. Saya coba baca berkali-kali, coba saya ubah-ubah kalimatnya…. saya tetap tidak menangkap esensinya.

image
Sumber di sini.
8. Ada beberapa istilah asing (terutama judul bab) yang tidak dilengkapi footnote atau penjelasan artinya di dalam narasi. Seperti, “oblique fringe X itu apa, sih? (halaman 8) Eh, maaf, ini kayaknya saya yang kuper ><.

9. Adegan di halaman 122 yang membuat saya bertafakur cukup lama hanya untuk mencoba membayangkan kejadian itu, yang terasa janggal di otak saya. Akhirnya saya mencoba menggambarkan skema kejadian seperti berikut.
image
Setelah  menggambarkan itu, saya tetap bingung. Sepertinya ini karena adegan yang tertulis di novel itu miskin detail aksi. Semestinya penulis bisa lebih “menunjukkan (show)” seperti apa, sih, adegan itu, hingga pembaca tidak kebingungan. Memang, sih,  tidak semua adegan harus didetailkan…. *menunduk dalam, ampuni saya*
***
Awalnya, ketika membaca adegan dengan sudut pandang Violino, saya jadi tertarik ingin melanjutkan. Saya memang suka membaca kisah orang-orang kelainan mental seperti itu (menurut saya, depresi dan tak bisa move on dari masa lalu itu juga merupakan kelainan mental, hehehe), apalagi tokohnya laki-laki. Karena saya perempuan, maka saya tertarik membaca sudut pandang laki-laki. Just as simple as that. Eh, tapi, ternyata… belakangan malah penulis lebih banyak menuliskan sudut pandang Alla.

Bagian akhir novel ini juga kurang memuaskan. Terlalu mendadak, menurut saya, Vio tiba-tiba berubah begitu saja. Karena beberapa kelemahan tersebut, saya cuma berani memberi 2 bintang buat novel ini.


[1] Ambil dari KBBI.

2 comments:

  1. PR-nya banyak untuk penulis dan editor buku ini. walah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emang, Bang. Mungkin saya terlalu jujur ngeresensinya :)]

      Delete

Your comment is so valuable for this blog ^^

bloggerwidgets