Judul: Kambing & Hujan
Penulis: Mahfud Ikhwan
Editor: Achmad Zaki
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, Mei 2015
Tebal: vi + 374 halaman
ISBN: 978-602-291-027-5
Harga: Rp 69.000,00
Rating saya: 4/5
Betapa kehidupan selalu penuh ironi. Rencana pernikahan Sung Bo Ra dan Sung Sun Woo awalnya tak diterima oleh kedua orang tua mereka karena mereka berdua sama (sama-sama bermarga Sung). (Efek belum bisa move on dari drama Korea Reply 1988). Nah ini, hubungan Mif dan Fauzia ditentang karena mereka berbeda (beda kelompok agama).
Sebuah pertemuan tak disengaja di dalam bus membuat Mif dan Fauzia bertukar alamat surel. Mereka memang berasal dari satu desa yang sama, Centong, tapi tak pernah akrab waktu kecil. Bukan hal yang mengherankan, lantaran Mif adalah anak tokoh Masjid Utara, sedangkan Fauzia anak tokoh Masjid Selatan. Saat itu Mif, yang sudah lulus kuliah di Yogya, bekerja sebagai editor buku. Sementara itu, Fauzia kuliah di Surabaya dan sebentar lagi wisuda. Diawali sebuah surel dari Mif, hubungan dan kisah cinta di antara mereka berdua terjalin.
Sejak awal Mif dan Fauzia tahu, tak akan mudah memperjuangkan cinta mereka. Awalnya, Mif dan Fauzia sama-sama mengira bahwa Pak Kandar (bapak Mif) dan Pak Fauzan (bapak Fauzia) adalah dua orang tokoh agama Islam yang berseberangan dan saling membenci. Yang pertama tokoh Pembaharu, yang terakhir tokoh Nahdliyin. Mif dan Fauzia kemudian sepakat untuk pulang ke Centong dan berbicara pada orang tua terkait rencana mereka untuk menikah.
Tak dinyana, dari cerita yang dituturkan Pak Kandar dan Pak Fauzan, dari sebendel surat-surat lama yang disimpan Pak Fauzan, serta cerita dari Pak Anwar belakangan, Mif dan Fauzia masing-masing akhirnya mengetahui sejarah dua kelompok muslim yang berseberangan di Centong sejak tahun 1960-an dan sejarah hubungan Is dan Mat. Mereka akhirnya tahu, bahwa Is dan Mat bukanlah dua orang yang saling membenci. Bukan, mereka adalah dua orang sahabat bagai saudara yang terpaksa berada di posisi yang berseberangan, dan terpaksa tak saling menyapa selama puluhan tahun.
Tahulah kini Mif dan Fauzia, yang harus mereka hadapi bukan sekadar dua orang tua yang telah lama tak saling menyapa, melainkan dua kelompok penduduk Centong: orang Utara dan orang Selatan.
Awal November 2015, saya menjadi tamu (yang tidak diundang dan tidak tahu diri) di Kampus Fiksi #14. Acara Kampus Fiksi reguler selalu menghadirkan pemateri yang berkecimpung di dunia tulis-menulis atau nyerempet-nyerempet itu. Angkatan saya (angkatan 12) dulu mendapatkan materi menulis dari Agus Noor (terkutuklah saya yang sampai saat itu belum pernah membaca karya blio). Nah, angkatan ini dihadiri oleh Mahfud Ikhwan, yang membagikan kisah di balik penulisan Kambing & Hujan. Betapa keras perjuangan yang blio lakukan demi lahirnya novel ini.
Sejak itulah, saya bertekad untuk memburu novel Kambing & Hujan. Nahas, pada suatu Selasa di Togamas Affandi (hari diskon 25% untuk novel), saya hanya menemukan Di Tanah Lada dan Napas Mayat, sedangkan Kambing & Hujan berstatus "in order". Sampai beberapa lama kemudian, statusnya tak berganti. Akhirnya, saya meminjam novel ini dari Mbak Tiwi, seorang perempuan biasa yang tak sebiasa yang diakuinya.
Pada percobaan awal membaca Kambing & Hujan, entah kenapa, saya menyerah ketika baru melahap beberapa puluh halaman. Entah apa yang terjadi pada kemampuan baca saya waktu itu. Mungkin saya hanya belum menemukan keseruan alur atau gaya ceritanya. Sampai berbulan-bulan kemudian, novel ini bak mati (suri) di atas meja saya (untung yang punya tidak terburu memintanya kembali). Akhirnya, saya beranikan diri untuk mulai baca novel ini lagi, karena tak lama lagi saya harus meninggalkan kosan dan Yogya tercinta untuk memulai petualangan baru (saat tulisan ini dipunlikasikan, saya sudah tak di Yogya), sehingga sebagai orang yang agak tahu diri, saya bertekad menyelesaikan dan mengembalikannya secepat mungkin.
Wajar jika saya awalnya mengira novel pemenang pertama sayembara menulis novel DKJ 2014 ini hanya berisi perjuangan sepasang manusia memperjuangkan cinta terlarang akibat pertentangan dua keluarga. Wajar jika fantasi saya langsung melayang ke kisah Romeo & Juliet dengan keluarga Capulet vs Montague-nya. (Judul novel ini pun memiliki pola ... & ...) Eh, ternyata, saya terkelabui.
Kisah cinta terlarang Mif & Fauzia hanyalah lapisan epidermis dari organisme novel ini. Atau, ia hanyalah pembuka kaleng yang digunakan oleh penulis untuk membuka kaleng berisi kisah sejarah Centong dan dua kelompok yang berseteru, yang menempatkan Is dan Fauzan sebagai pentolan. Kisah Mif & Fauzia hanya diceritakan sepotong-sepotong, di bagian awal, pertengahan, dan akhir. Sebagian besar novel ini berisi sejarah dan dokumentasi dinamika sosial penduduk Centong. Oleh karena itu, tak adil bila saya menggugat penulis, mengapa Mif dan Fauzia, tiba-tiba memiliki keinginan menikah, padahal hubungan mereka tak banyak dibahas.
Apakah saya menyesal karena terkelabui? Tidak, malah saya menjadikan buku ini salah satu favorit saya. Saya bersyukur karena penulis memfokuskan ceritanya pada sejarah kultural dan sosial Centong yang kompleks, yang nantinya memengaruhi hubungan Mif dan Fauzia. Saya bersyukur karena novel ini tak jadi roman yang sekadar berisi percintaan terlarang dua manusia.
Ketika membaca kalimat demi kalimat yang mengalir lincah dan dapat memerangkap rasa penasaran saya (meski saya sudah tahu sejak awal kalau kisahnya akan berakhir bahagia dan tidak ada teka-teki eksplisit yang minta dipecahkan) akan bagaimana nantinya hubungan Is dan Mat berakhir. Saya tahu kalau mereka akan berdamai, tapi bagaimana caranya? Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan mereka berdua terlihat saling membenci? Apakah sesederhana alasan cinta segitiga Is-Yatun-Mat di masa lalu?
Nah, itulah yang bikin novel ini menarik. Cara penulis memvisualisasikan setiap kejadian di Centong sungguh hidup dan "dekat", membuat saya seolah menjadi saksi mata langsung atas sejarah Centong. Dinamika kehidupan beragama penduduk Centong sangat menarik dikaji. Bagaimana awalnya mereka beragama sekaligus menyembah pohon yang disebut kukun kawin. Bagaimana tradisi orang-orang tegalan kala masa menanam dan panen. Bagaimana desa santri itu, yang awalnya semua kegiatan agama berpusat di satu masjid--yang nantinya disebut Masjid Selatan--setelah kemunculan Cak Ali dan para pengikutnya, kemudian bercabang dua. Kelompok Muhammadiyah di Utara dan NU di Selatan. Bagaimana penulis mengeksplorasi detail kejadian yang berpengaruh terhadap dinamika orang Centong. Bagaimana penulis dengan piawai menyelipkan humor (yang banyak terdapat di bagian kisah masa remaja Is dan kawan-kawan) dalam roman yang kadang bikin terharu ini.
Lebih menarik lagi ketika penulis menakdirkan Is dan Mat, yang awalnya sahabat, terpaksa berada di pihak yang berseberangan. Itulah awal munculnya istilah "kambing dan hujan", seperti petikan yang saya tulis di bagian awal resensi ini. Meski demikian, saya susah menangkap mengapa kambing dan hujan dijadikan simbol dua hal yang berseberangan, yang susah dipertemukan. Apakah karena kambing tak suka hujan? Lalu, kenapa kover novel ini bergambar sebotol susu kambing (?)?
Ternyata memang kambing tak suka hujan, seperti saya baca di sini. Sementara itu, makna gambar sebotol susu di kovernya, mungkin seperti yang coba diterjemahkan oleh Sri Hadriana di artikel ini. Mahfud menguraikan kisah yang sebenarnya berat dengan bahasa yang encer, sederhana, mudah dicerna, seperti susu yang berwarna putih itu. Namun, sarat nutrisi.
Kambing dan hujan mewakili kelompok NU dan Muhammadiyah di Centong. Oleh karena saya sebelumnya belum tahu bagaimana sejarah munculnya dua kelompok tersebut, apa yang diceritakan oleh novel ini memberi pengetahuan baru bagi saya. Kisah NU dan Muhammadiyah ini mengingatkan saya akan pertentangan Katolik dengan Protestan yang menyebabkan keduanya menjadi agama berbeda. Yang satu kelompok "tua", yang lain kelompok "muda" alias pembaharu.
Meski penulis menggambarkan bahwa kedua kelompok di Centong itu sangat bertentangan, ada elemen-elemen yang secara malu-malu menyatakan bahwa sebenarnya mereka merindukan untuk bersatu. Tampaklah dari narasi di halaman 263-265, yang mengatakan, "Tidak ada enaknya terdapat dua hari raya di desa sekecil Centong. Sungguh. Jika ditanya, semua orang, baik orang Selatan maupun orang Utara, akan bilang tidak suka."
Penulis sendiri menghadirkan elemen yang sama di antara dua kelompok itu, mungkin sebagai simbol bahwa sebenarnya mereka adalah satu: sama-sama umat Muslim. Nama guru Is, yang menggerakkan pembaharuan, bernama Cak Ali. Nama salah satu tokoh yang memengaruhi pemikiran Mat, yang menentang pembaharuan, bernama Ali juga (Ali Qomaerullaeli). Mungkin saya terlalu mengada-ada *sigh*.
Meski kisah ini berpusat pada sosok-sosok lelaki (Is, Mat, Cak Ali dan para pengikutnya, Pak Kamituwo dan kerabatnya), penulis menunjukkan bahwa sekalinya perempuan diberi kesempatan bicara, ia mampu membalik keadaan sedemikian rupa. Salah satu adegan favorit saya adalah ketika Bu Sri, ibu Mif, menyarankan putranya untuk meminta bantuan Pakde Anwar.
Sejak awal Mif dan Fauzia tahu, tak akan mudah memperjuangkan cinta mereka. Awalnya, Mif dan Fauzia sama-sama mengira bahwa Pak Kandar (bapak Mif) dan Pak Fauzan (bapak Fauzia) adalah dua orang tokoh agama Islam yang berseberangan dan saling membenci. Yang pertama tokoh Pembaharu, yang terakhir tokoh Nahdliyin. Mif dan Fauzia kemudian sepakat untuk pulang ke Centong dan berbicara pada orang tua terkait rencana mereka untuk menikah.
Tak dinyana, dari cerita yang dituturkan Pak Kandar dan Pak Fauzan, dari sebendel surat-surat lama yang disimpan Pak Fauzan, serta cerita dari Pak Anwar belakangan, Mif dan Fauzia masing-masing akhirnya mengetahui sejarah dua kelompok muslim yang berseberangan di Centong sejak tahun 1960-an dan sejarah hubungan Is dan Mat. Mereka akhirnya tahu, bahwa Is dan Mat bukanlah dua orang yang saling membenci. Bukan, mereka adalah dua orang sahabat bagai saudara yang terpaksa berada di posisi yang berseberangan, dan terpaksa tak saling menyapa selama puluhan tahun.
Tahulah kini Mif dan Fauzia, yang harus mereka hadapi bukan sekadar dua orang tua yang telah lama tak saling menyapa, melainkan dua kelompok penduduk Centong: orang Utara dan orang Selatan.
"Dan, apa salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda... Dan, mereka memang menjadi dua orang yang berbeda. Tapi, karena apa yang kalian lakukan--atau apa yang kalian tidak lakukan--anak-anak kalian jadi dua orang yang berbeda sekaligus saling ingin melenyapkan." (Anwar, hlm. 338)
***
Bagaimana Awalnya Novel Ini Berada di Apitan Ketiak Saya
Awal November 2015, saya menjadi tamu (yang tidak diundang dan tidak tahu diri) di Kampus Fiksi #14. Acara Kampus Fiksi reguler selalu menghadirkan pemateri yang berkecimpung di dunia tulis-menulis atau nyerempet-nyerempet itu. Angkatan saya (angkatan 12) dulu mendapatkan materi menulis dari Agus Noor (terkutuklah saya yang sampai saat itu belum pernah membaca karya blio). Nah, angkatan ini dihadiri oleh Mahfud Ikhwan, yang membagikan kisah di balik penulisan Kambing & Hujan. Betapa keras perjuangan yang blio lakukan demi lahirnya novel ini.
Sejak itulah, saya bertekad untuk memburu novel Kambing & Hujan. Nahas, pada suatu Selasa di Togamas Affandi (hari diskon 25% untuk novel), saya hanya menemukan Di Tanah Lada dan Napas Mayat, sedangkan Kambing & Hujan berstatus "in order". Sampai beberapa lama kemudian, statusnya tak berganti. Akhirnya, saya meminjam novel ini dari Mbak Tiwi, seorang perempuan biasa yang tak sebiasa yang diakuinya.
Pada percobaan awal membaca Kambing & Hujan, entah kenapa, saya menyerah ketika baru melahap beberapa puluh halaman. Entah apa yang terjadi pada kemampuan baca saya waktu itu. Mungkin saya hanya belum menemukan keseruan alur atau gaya ceritanya. Sampai berbulan-bulan kemudian, novel ini bak mati (suri) di atas meja saya (untung yang punya tidak terburu memintanya kembali). Akhirnya, saya beranikan diri untuk mulai baca novel ini lagi, karena tak lama lagi saya harus meninggalkan kosan dan Yogya tercinta untuk memulai petualangan baru (saat tulisan ini dipunlikasikan, saya sudah tak di Yogya), sehingga sebagai orang yang agak tahu diri, saya bertekad menyelesaikan dan mengembalikannya secepat mungkin.
Hanyalah Lapisan Epidermis
Wajar jika saya awalnya mengira novel pemenang pertama sayembara menulis novel DKJ 2014 ini hanya berisi perjuangan sepasang manusia memperjuangkan cinta terlarang akibat pertentangan dua keluarga. Wajar jika fantasi saya langsung melayang ke kisah Romeo & Juliet dengan keluarga Capulet vs Montague-nya. (Judul novel ini pun memiliki pola ... & ...) Eh, ternyata, saya terkelabui.
Kisah cinta terlarang Mif & Fauzia hanyalah lapisan epidermis dari organisme novel ini. Atau, ia hanyalah pembuka kaleng yang digunakan oleh penulis untuk membuka kaleng berisi kisah sejarah Centong dan dua kelompok yang berseteru, yang menempatkan Is dan Fauzan sebagai pentolan. Kisah Mif & Fauzia hanya diceritakan sepotong-sepotong, di bagian awal, pertengahan, dan akhir. Sebagian besar novel ini berisi sejarah dan dokumentasi dinamika sosial penduduk Centong. Oleh karena itu, tak adil bila saya menggugat penulis, mengapa Mif dan Fauzia, tiba-tiba memiliki keinginan menikah, padahal hubungan mereka tak banyak dibahas.
Apakah saya menyesal karena terkelabui? Tidak, malah saya menjadikan buku ini salah satu favorit saya. Saya bersyukur karena penulis memfokuskan ceritanya pada sejarah kultural dan sosial Centong yang kompleks, yang nantinya memengaruhi hubungan Mif dan Fauzia. Saya bersyukur karena novel ini tak jadi roman yang sekadar berisi percintaan terlarang dua manusia.
Ketika membaca kalimat demi kalimat yang mengalir lincah dan dapat memerangkap rasa penasaran saya (meski saya sudah tahu sejak awal kalau kisahnya akan berakhir bahagia dan tidak ada teka-teki eksplisit yang minta dipecahkan) akan bagaimana nantinya hubungan Is dan Mat berakhir. Saya tahu kalau mereka akan berdamai, tapi bagaimana caranya? Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan mereka berdua terlihat saling membenci? Apakah sesederhana alasan cinta segitiga Is-Yatun-Mat di masa lalu?
Nah, itulah yang bikin novel ini menarik. Cara penulis memvisualisasikan setiap kejadian di Centong sungguh hidup dan "dekat", membuat saya seolah menjadi saksi mata langsung atas sejarah Centong. Dinamika kehidupan beragama penduduk Centong sangat menarik dikaji. Bagaimana awalnya mereka beragama sekaligus menyembah pohon yang disebut kukun kawin. Bagaimana tradisi orang-orang tegalan kala masa menanam dan panen. Bagaimana desa santri itu, yang awalnya semua kegiatan agama berpusat di satu masjid--yang nantinya disebut Masjid Selatan--setelah kemunculan Cak Ali dan para pengikutnya, kemudian bercabang dua. Kelompok Muhammadiyah di Utara dan NU di Selatan. Bagaimana penulis mengeksplorasi detail kejadian yang berpengaruh terhadap dinamika orang Centong. Bagaimana penulis dengan piawai menyelipkan humor (yang banyak terdapat di bagian kisah masa remaja Is dan kawan-kawan) dalam roman yang kadang bikin terharu ini.
Mengapa Kambing & Hujan?
Lebih menarik lagi ketika penulis menakdirkan Is dan Mat, yang awalnya sahabat, terpaksa berada di pihak yang berseberangan. Itulah awal munculnya istilah "kambing dan hujan", seperti petikan yang saya tulis di bagian awal resensi ini. Meski demikian, saya susah menangkap mengapa kambing dan hujan dijadikan simbol dua hal yang berseberangan, yang susah dipertemukan. Apakah karena kambing tak suka hujan? Lalu, kenapa kover novel ini bergambar sebotol susu kambing (?)?
Ternyata memang kambing tak suka hujan, seperti saya baca di sini. Sementara itu, makna gambar sebotol susu di kovernya, mungkin seperti yang coba diterjemahkan oleh Sri Hadriana di artikel ini. Mahfud menguraikan kisah yang sebenarnya berat dengan bahasa yang encer, sederhana, mudah dicerna, seperti susu yang berwarna putih itu. Namun, sarat nutrisi.
Kambing dan hujan mewakili kelompok NU dan Muhammadiyah di Centong. Oleh karena saya sebelumnya belum tahu bagaimana sejarah munculnya dua kelompok tersebut, apa yang diceritakan oleh novel ini memberi pengetahuan baru bagi saya. Kisah NU dan Muhammadiyah ini mengingatkan saya akan pertentangan Katolik dengan Protestan yang menyebabkan keduanya menjadi agama berbeda. Yang satu kelompok "tua", yang lain kelompok "muda" alias pembaharu.
Meski penulis menggambarkan bahwa kedua kelompok di Centong itu sangat bertentangan, ada elemen-elemen yang secara malu-malu menyatakan bahwa sebenarnya mereka merindukan untuk bersatu. Tampaklah dari narasi di halaman 263-265, yang mengatakan, "Tidak ada enaknya terdapat dua hari raya di desa sekecil Centong. Sungguh. Jika ditanya, semua orang, baik orang Selatan maupun orang Utara, akan bilang tidak suka."
Penulis sendiri menghadirkan elemen yang sama di antara dua kelompok itu, mungkin sebagai simbol bahwa sebenarnya mereka adalah satu: sama-sama umat Muslim. Nama guru Is, yang menggerakkan pembaharuan, bernama Cak Ali. Nama salah satu tokoh yang memengaruhi pemikiran Mat, yang menentang pembaharuan, bernama Ali juga (Ali Qomaerullaeli). Mungkin saya terlalu mengada-ada *sigh*.
Meski kisah ini berpusat pada sosok-sosok lelaki (Is, Mat, Cak Ali dan para pengikutnya, Pak Kamituwo dan kerabatnya), penulis menunjukkan bahwa sekalinya perempuan diberi kesempatan bicara, ia mampu membalik keadaan sedemikian rupa. Salah satu adegan favorit saya adalah ketika Bu Sri, ibu Mif, menyarankan putranya untuk meminta bantuan Pakde Anwar.
"Pakdemu itu... suaminya... Bude Siti. Bude Siti... tak lain... adalah adik Pak Fauzan. Jadi... anakku... cah ngganteng... Pakde Anwar-mu itu... sekaligus juga... Paklik Anwar-nya Fauzia." (Bu Sri, hlm. 277-78)
"... seorang ibu tak akan bisa membiarkan anaknya menyelesaikan masalahnya sendirian. Ia selalu ingin ambil bagian. Semampunya. Sebisanya." (Bu Sri, hlm. 278)Kisah memang berpusat pada Is dan Mat, serta Mif dan Fauzia, tapi penulis tetap memberi porsi yang pas untuk mengeksplorasi tokoh-tokoh lainnya, seperti Pak Anwar. Barangkali, tokoh favorit saya adalah Pak Anwar. Berkat dia, akhirnya dua orang yang sekian lama tak saling menyapa bisa punya alasan dan keberanian untuk saling berbicara lagi. Pak Anwar adalah simbol pemersatu. Di masa lalu, ia pun tak segan menyeberang dari Utara ke Selatan, karena niat tulusnya untuk mengajar di madrasah. Lalu, sebagai orang Utara, ia menikah dengan Bu Siti, orang Selatan. Namun memang tak mudah jadi orang yang sekaligus Utara dan Selatan seperti Pak Anwar. Ia tak diterima dua-duanya, dan akhirnya minggat ke Brunei Darussalam. Tindakan ini bisa dianggap pengecut, sih. Tapi setidaknya, Pak Anwar menebus kepengecutannya itu dengan mempertemukan kembali Is dan Mat.
***
Tak salah jika novel ini menjadi pemenang pertama sayembara menulis novel DKJ 2014. Dibandingkan novel pemenang kedua dan ketiga, novel ini sangat mencolok unggulnya. Namun, ada teman yang bilang kalau Ulid Tak Ingin ke Malaysia lebih menarik ketimbang Kambing & Hujan. Baiklah, saya tak tahu benarkah itu sebelum membaca Ulid sendiri. Terima kasih, Mbak Tiwi, telah rela hati membiarkan Kambing & Hujan berada di apitan ketiak saya selama berbulan-bulan.
0 komentar:
Post a Comment
Your comment is so valuable for this blog ^^