31 January 2017

[Review] THE ONE (The Selection #3)

 
America, you are full of nothing but bad ideas. Great intentions but awful ideas. (Marlee, p. 86)
Last October, I began to read The Selection, and then I found myself craving for more. So then, I read The Elite and the two novella, The Queen and The Prince. Recently, I've finished reading The One. For the previous two novels and two novella, I haven't written the reviews yet, and I don't know if I'll ever write them or not. For this one--The One--on eventually, I wrote the review, mostly because The One unintentionally is matched with BBI January's Reading Challenge: "book with number on its title".

THE CLOSED-LOOP OF DOUBTS

The Selection came near to the end. Sooner or later, Prince Maxon had to make certain about his choice. One out of four of The Elite, America, Celeste, Elise, and Kriss, had to be chosen. It seemed that, in public's eyes or even among the Elite themselves, America must be the one. But, it wouldn't be as simple as that. Maxon had told America that he loved her, but then Mer demanded, if he truly loved her, then he ought to end the Selection eventually. What was he waiting for? Did he not want to lost his chance to catch more romance things with the other Elite? Moreover, Mer knew that Kriss loved him too, and Maxon seemed to very comfortable with it. Not to mention that King Clarkson clearly disliked Mer and untiringly tried to put her into a corner everytime he got the opportunity.
We get close and then something happens and it falls apart, and you never seem to be able to make a decision. If you want me as much as you've always claimed to, why isn't this over? (Mer, p. 42)
In the other hand, Maxon would eventually without doubt choose Mer as The One, but he needed Mer to give him her whole heart. He needed Mer to let go of her former love. Yeah, Mer had to determine her heart over Maxon or Aspen. If she truly loved Maxon, she should let Aspen go. She couldn't be that selfish to have Aspen as a back-up if she didn't end up with Maxon.
Because half the time I've been sure you loved someone else and the other half I've doubted you could love me at all. (Maxon, p. 42)
When finally Maxon decided to end the Selection, the truth about who Aspen was came to the surface and it blew to bits the faith Maxon had in Mer. Would Maxon finally choose Kriss over Mer?

THE REVOLUTION BEGAN

Meanwhile, the Northern Rebels, represented by August Illea and Georgia Whitaker, went to the palace and asked to meet Maxon together with Mer. They explained the intention of Northern Rebels to end castes, and they believed that once Maxon be the king, he wouldn't disappoint them. They also would help fight down the Southern Rebels that kill people and the family of The Elite if the girls didn't abandon the Selection immediately. If Southern Rebels finally did carried out a coup d'etat, it would be the same for the people with the reign of King Clarkson--the tyrant, or even worse.
The Southerners are prepared to be far more cutthroat than you could ever be, and the chances of the country bouncing back are slim. It'll be the same old oppression under a brand-new name... (August, p. 32)
The Northern Rebels then made a request so that they would do everything to end the riots made by the Southerners. They demanded Maxon to pick America as the princess, since she was the only one who was in line with the revolution. Not long after that, in Report, regarding to the rebels' attack to people, King Clarkson told the people to "stay close to home and to take any security measures possible" (p. 49), but Mer told the opposite.
Fight. The rebels are bullies. [...] If you give them power, they're going to be a thousand times worse. So fight. However you can, fight. (Mer, p. 50)
The King, of course, hated the idea, but surprisingly, the people became to love Mer even more. And as Mer told them through the Report, they tried to defend theirselves and fight the rebels.
Lady America is just like the queen. She's a fighter. It's more than wanting her; we need her! (p. 63)
Mer infuriated the King even more through what she did in the Convicting. I knew that Mer would do something at the Convicting--she definitely would do something, I knew a girl with such character wouldn't easily obey the King and/or the rules--so I looked forward to it passionately. What would she do? Oh, then, not bad. Good. Love you, Kiera Cass.

But wait, to prove her love to Maxon, the King wanted her to do something against her principle. What would she do? This time, I was pretty disappointed by the way the author executing the ending. I've looked forward to it all this time--yeah, I knew that in the end, Mer would be the one, but how came? What did Maxon and Mer do to get his approval? I've been always wondering, but the author ended it that way. Since after I read book one, I saw that the author somehow liked to suspend the climaxes. The climax was an inch away from its peak, and then suddenly the author threw it to the valley of anti-climax.

THE GIRLS' RULES

The part I love the most maybe when the Elite began to open their hearts to one another, and got together a chat as such best friends would have. Thanks to Mer and Celeste who at the first struck fire. The two came to a mutual understanding about their not-beautiful past and then became good friends.

OTHER THOUGHTS

I wondered what had happened between Aspen and Lucy? How came they suddenly become like that? Well, maybe I can find it out in The Guard novelette. And then, about the truth Mer finally found out about her father--after he passed away--it was such a plot device. The author never gave me a hint that actually he was what he was, and then suddenly the truth was like that. But, maybe I was the one who overlooked it. And so did about who Kriss actually was.

At last, I feel relieved that many characters came to understanding, and though the ending was like that, I still love this series. Through the character of America, the author implied that we should do what is right even if it means that we stand alone (don't worry, sometimes it doesn't to be really alone). It's very not easy thing to do.[]

Title: The One (The Selection #3)
Author: Kiera Cass
Publisher: HarperCollins
Edition: EPub, March 2014
Pages: 219 (EPub edition)
ISBN: 9780062060013
My rating: 4/5

30 January 2017

[Resensi THE FIVE PEOPLE YOU MEET IN HEAVEN] Surga Versi Eddie Maintenance

Sinopsis

Sebuah kecelakaan di wahana Freddy's Free Fall di Taman Bermain Ruby Pier, merenggut nyawa Eddie, sang kepala maintenance taman bermain tersebut, yang saat itu mencoba menyelamatkan seorang bocah perempuan yang akan kejatuhan kabin. Eddie meninggal tanpa mengetahui apakah dia berhasil menyelamatkan anak itu. Di alam baka, Eddie bertemu dengan lima orang di tempat yang berbeda-beda, yang dipilih oleh masing-masing orang tersebut. Kelima orang tersebut, ada yang mati karena Eddie, ada yang dikenal hanya sekilas olehnya, ada yang dikenal baik, ada yang tak dikenalinya, ada yang sangat dikasihinya. Tiap orang itu memiliki hubungan dengan fragmen kehidupan Eddie, baik dia sadari maupun tidak. Tiap orang itu akan mengajarkannya sesuatu.
Masing-masing dari kami ada di kehidupanmu karena suatu sebab. Kau mungkin tidak tahu alasannya pada saat itu, dan itulah sebabnya ada alam baka. Untuk mengerti tentang kehidupanmu di dunia. (hlm. 40)
Setelah bertemu mereka, akankah Eddie menyadari bahwa keberadaannya di dunia, yang selama ini ia anggap tak berguna, sebenarnya bermanfaat bagi kehidupan lain? Akankah Eddie menerima dirinya sendiri apa adanya?
Aku sedih karena aku tidak melakukan apa pun dalam hidupku. Aku bukan apa-apa. Aku tidak menghasilkan apa pun. Aku merasa tidak berguna. Aku merasa aku tidak seharusnya ada di sana. (hlm. 198)

Tokoh

Eddie lahir pada tahun 1920-an. Ayahnya seorang petugas taman bermain Ruby Pier, bagian maintenance. Sejak kecil, Eddie telah akrab dengan taman bermain itu. Ia bercita-cita menjadi insinyur, tapi ketika perang meletus, ia memutuskan menjadi sukarelawan perang. Eddie pulang dari peperangan dengan membawa luka bakar, kaki digips dari pinggul sampai mata kaki, dan kenangan mengerikan akan perang. Kakinya pincang seumur hidup, memusnahkan kariernya sebagai pemain bisbol.

Di masa kanak-kanak, Eddie tumbuh tanpa merasakan perhatian yang cukup dari ayahnya. Malah, yang ia dapati adalah kekerasan, diperparah dengan komunikasi yang sangat minim. Hingga suatu saat setelah Eddie pulang dari perang, mereka berdua bertengkar, yang berakhir dengan ayah Eddie tidak pernah lagi mau bicara dengannya.

Sang ayah kemudian sakit parah, hingga Eddie--yang waktu itu sudah menikah dengan Marguerite--pindah ke apartemen orang tuanya dan menggantikan ayahnya bekerja di Ruby Pier. Menjadi pekerja maintenance di Ruby Pier seperti ayahnya tidak pernah masuk dalam daftar cita-citanya. Kemudian ayahnya meninggal dan Eddie "terjebak" selamanya di taman bermain itu, mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya tidak ia inginkan. Ia selalu menyesali mengapa ia tak punya kehidupan lain selain di Ruby Pier, melakukan hal-hal tidak berarti di sana. Ia selalu beranggapan bahwa entah bagaimana, hidupnya akan lebih berguna jika ia keluar dari sana. Eddie meninggal dalam keadaan belum memaafkan ayahnya dan dirinya sendiri.

Plot

Alur novel ini menarik, karena penulis memulainya dari bab "Tamat". "Tamat" adalah saat Eddie meninggal, karena memang yang diceritakan kemudian adalah apa yang terjadi pada Eddie setelah ia meninggal. Dengan gaya bercerita sudut pandang orang ketiga, penulis memperkenalkan masa lalu Eddie melalui memori yang dipacu atau cerita dari kelima orang yang ditemuinya di alam baka. Pola penulisan novel ini adalah sebagai berikut:
Eddie meninggal - adegan flashback hari ulang tahun Eddie - perjalanan Eddie di alam baka - orang pertama - adegan flashback hari ulang tahun Eddie - kisah orang pertama - adegan flashback hari ulang tahun Eddie - pelajaran pertama - adegan saat "ini" di bumi (yang adalah setelah Eddie meninggal) - adegan flashback hari ulang tahun Eddie - orang kedua - .... begitu seterusnya sampai orang kelima. 
Di hari ulang tahun Eddie, mulai dari dia lahir dan ulang tahun di umur-umur tertentu, selalu terjadi hal-hal yang mengubah hidupnya.

Tiap orang yang ditemuinya di alam baka melambangkan tahapan kehidupannya di bumi. Bertemu orang pertama, Eddie merasa tubuhnya sangat lentur dan ringan seperti bayi. Bertemu orang kedua, dia merasa tubuhnya kuat dan kaku. Begitu seterusnya, hingga saat bertemu orang kelima, dia sudah menyerupai fisiknya sebelum meninggal: berusia 83 tahun dengan kaki pincang dan tanda-tanda ketuaan meliputinya. Bukan hanya secara fisik, rupanya tingkatan-tingkatan itu juga berpengaruh pada emosinya. Ketika bertemu orang pertama, Eddie kehilangan seluruh rasa sakit, sedih, khawatirnya. Namun, ketika hendak bertemua orang kedua, Eddie bisa merasa takut (hlm. 62).

Apa yang Ingin Disampaikan Penulis

1. Gambaran surga menurut penulis: "alam baka untuk membuatmu mengerti tentang kehidupanmu di dunia" (hlm. 40) melalui lima orang yang ditemui Eddie.
2. Tentang kematian, pengorbanan, dan kedamaian.
Kenapa orang datang melayat ketika ada orang meninggal? [...] Itu karena jiwa manusia tahu, jauh di lubuk hati mereka, bahwa semua kehidupan saling berkaitan. Kematian bukan hanya mengambil seseorang, tapi juga luput dari orang lain, dan di celah kecil antara kena dan nyaris, kehidupan berubah. (hlm. 53)
Pengorbanan adalah bagian dari kehidupan. Harusnya begitu. Bukan sesuatu untuk disesali. Tapi sesuatu untuk didambakan. [...] Kadang-kadang kalau kau mengorbankan sesuatu yang berharga, kau tidak sungguh-sungguh kehilangan itu. Kau hanya meneruskannya pada orang lain. (hlm. 97)
Kau mendapat kedamaian setelah kau berdamai dengan dirimu sendiri. (hlm. 116)
3. Memahami cerita dari sisi/sudut pandang yang lain, misalnya tentang Mickey Shea (hlm. 142). Selalu ada tiga sudut pandang dari sebuah cerita antara kamu dan saya: ceritamu, cerita saya, dan cerita sebenarnya. Sebaiknya saya tidak menghakimi kamu jika saya belum memahami cerita dari sudut pandangmu, begitu pula sebaliknya. Sementara itu, mungkin hanya Tuhan yang mengetahui cerita sebenarnya.
4. Kehidupan seseorang memengaruhi/berkaitan dengan kehidupan orang lain.
Kejadian-kejadian yang terjadi sebelum kau dilahirkan tetap mempunyai pengaruh pada dirimu. Dan orang-orang yang hidup sebelum kau juga mempunyai pengaruh pada dirimu. (hlm. 127)

Meniti Bianglala?

Pemilihan judul untuk versi terjemahan Gramedia Pustaka Utama ini, mungkin mengacu pada (saya cuma bisa menduga-duga dengan sok tahu):
1. Bianglala erat dalam kehidupan Eddie, dan terlebih Marguerite, yang suka naik bianglala.
2. "Meniti" mungkin menggambarkan Eddie yang memasuki tahapan demi tahapan di alam baka, mulai dari bertemu orang pertama sampai kelima, dan tahapan penuaan fisik yang dirasakannya di sana. Bianglala berbentuk menyerupai lingkaran (kalau disederhanakan menjadi bangun dua dimensi) dan dia berputar (tapi kalau sedang tidak berputar, ya berhenti), sehingga kalau kita menitinya, maka sama saja dengan kita berputar-putar. Kita hendak menuju ke atas, tapi nantinya akan ke bawah lagi. Mungkin ini menggambarkan plot dalam novel ini. Di cabang pertama plot, penulis mengajak kita mengetahui cerita Eddie dari "masa kini" sebelum dia meninggal. Kemudian di alam baka, kita diajak menyelami masa lalu Eddie mulai dari kelahirannya sampai saat terakhir hidupnya. Di samping itu, kita menyaksikan Eddie semakin "tua" fisiknya di alam baka. "Berputar-putar" atau "siklus bianglala" itu mungkin juga melambangkan siklus lima orang di alam baka. Eddie bertemu lima orang, lalu ia akan menjadi salah satu orang untuk seseorang di alam baka, lalu seseorang itu akan jadi salah satu orang lagi, begitu seterusnya.
***
Kisah tentang Eddie, yang mungkin kegelisahan-kegelisahannya dalam hidup pernah atau sedang dialami oleh pembacanya, dengan gambaran akan surga yang unik, menggemakan bahwa hidup kita, bagaimana pun buruknya menurut kita, memiliki arti bagi kehidupan lain. Untuk bisa memahami arti hidup itu, pertama-tama, mungkin kita harus berdamai dengan diri sendiri terlebih dulu.[]

Data Buku

Judul: The Five People You Meet in Heaven (Meniti Bianglala)
Penulis: Mitch Albom
Penerjemah: Andang H. Sutopo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: VI, Desember 2012
Tebal: 208 halaman
ISBN: 978-979-22-7002-0
Rating saya: 4/5

24 January 2017

Meresensi Novel Sendiri (Bagian 2)



Bulan Oktober 2016 barangkali menjadi bulan yang paling penuh aktivitas membaca buku selama saya tinggal di Desa Bandar Dalam, di pelosok Pesisir Barat Lampung, dekat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (dalam rangka menjadi fasilitator masyarakat untuk pemanfaatan infrastruktur PLTS). Buku-buku yang saya bawa ke desa sudah habis saya lahap, kecuali The Révèter. Entah, waktu itu kenapa saya membawa buku itu ke desa, mungkin berharap bisa memberikannya ke seorang anak yang punya minat baca relatif tinggi dibandingkan teman-temannya, atau berharap bisa meletakkannya di rak perpustakaan sekolah setempat. Melihat-lihat tumpukan buku, saya iseng mengambil The Révèter (satu-satunya eksemplar yang saya punya) dan mulai membacanya. (Pengalaman mengajarkan saya bahwa ide-ide iseng yang tidak mengganggu orang lain, yang muncul dalam benak kita, sebaiknya diladeni. Siapa tahu, hal-hal iseng itu berbuah sesuatu yang manis. Agak masam pun boleh, deh.)

Saya takjub pada diri saya sendiri: bagaimana bisa, saat membaca The Révèter kali itu, saya merasa benar-benar sebagai pembaca (yang mungkin tidak kenal penulisnya). Kok bisa, ya?

Merumuskan Kembali The Révèter dalam Satu Paragraf

Di suatu malam Natal, Hydra bermimpi berada di sebuah hutan pinus. Begitu bangun, anehnya, ada strobilus sungguhan di dalam kaus kaki Natalnya. Mimpi anehnya itu disusul kejadian yang lebih aneh lagi: kakek-neneknya menghilang setelah memberikan kado Natal padanya dan Oxy, adiknya. Di mimpi berikutnya, dia bertemu Radon. Di dunia nyata, sepulang sekolah, Hydra diculik oleh sepasang kakak-beradik, yang ternyata Radon dan kakaknya, Calsina. Identitas Hydra sebagai remaja biasa tersungkur saat Radon dan Calsina membeberkan bahwa ia juga Révèter seperti mereka. Bukan Révèter biasa malah, melainkan keturunan ke-2562 leluhur Révèter, yang mewarisi kalung Convoera—kalung yang ada di dalam kotak kado Natal terakhir dari kakek-neneknya. Bersama Radon dan Calsina, dimulailah petualangan Hydra menemukan pemilik pasangan kalung Convoera-nya. Berdua, pemilik kalung Convoera tersebut memegang kunci perdamaian antara pengikut Auri dan Argento, leluhur para Révèter. Petualangan tersebut tidaklah mudah, ada pihak-pihak yang selalu berusaha menyabotase usaha mereka.

Merekonstruksi Alur The Révèter

Alur kisah novel ini bercabang dua: alur progresif mengikuti langkah yang diambil Hydra sembari menceritakan masa lalu. Masa lalu Auri dan Argento, yang kemudian menjadi legenda asal-mula terjadinya permusuhan antara para pengikuti dari kedua leluhur tersebut, mewujud dalam bentuk cerita yang termaktub dalam Kitab Révènian—Segala Sesuatu tentang Révèter Ada di Sini, serta dalam adegan pertarungan duel mereka di hutan pinus dalam dunia mimpi. Masa lalu kakek-nenek Hydra diceritakan melalui catatan-catatan dalam buku harian sang Kakek, yang ditemukan dan dibaca oleh Oxy.

Mungkin ada beberapa hal yang sebenarnya membutuhkan penjelasan lebih lanjut, tapi ketebalan novel ini tidak mampu menampung semua. Akan lebih menarik jika ada side story tentang peristiwa pembasmian Révèter pada tahun 1998 (eh, jadi ingat peristiwa penggulingan rezim Orde Baru), karena peristiwa itu berdampak pada “pembentukan” identitas para Révèter seangkatan Hydra, termasuk bagi Radon dan Calsina juga. Kepingan cerita lain yang layak mendapat porsi lebih banyak dan di-tunjuk-kan, bukan diceritakan, adalah tentang leluhur Révèter, Auri dan Argento. Begitu juga dengan kisah para pengikut kedua belah pihak yang senantiasa bermusuhan setelahnya (kisah-kisah “kejahatan” yang dilakukan para pengikut Argento di dalam mimpi itu menarik).

Tempo alur yang cepat membikin pembaca tidak bosan. Penulis berusaha membuat pembacanya penasaran dengan membuka sedikit demi sedikit petunjuk teka-teki, seperti misalnya siapa sebenarnya “utusan” Andrew Lee dan siapa yang menjadi mata-matanya.

Yang saya bingung, Hydra dan Zinco bisa berkomunikasi lewat kalung Convoera, tapi kenapa mereka tidak membikin janji ketemu saja lewat kalung itu, daripada susah-susah bertemu di dunia mimpi? Selain itu, saya juga bertanya-tanya, dari mana Zinco bisa tahu nama Hydra, karena—kalau tidak salah—tidak ada penjelasan, tiba-tiba Zinco memanggil Hydra dengan namanya, padahal mereka belum saling mengenal secara langsung sebelumnya.

Romance antara Hydra dan Radon terkesan terjadi terlalu cepat dan dipaksakan. Yah, maklum, karena penulis memang awalnya tidak menyertakan bumbu romance, tapi lalu menyempilkan sedikit di antara bab-bab cerita.

Tokoh-tokoh yang Menyesaki Kisah

Mungkin karena alur cerita bertempo cepat (bisa dibilang, penulis terlalu fokus pada alur—bikin alur dulu, baru comot tokoh belakangan), tokoh-tokoh di dalam novel ini jadi kurang dieksplorasi kepribadiannya. Atau mungkin juga karena terlalu banyak tokoh yang cukup penting, sehingga jadi terlalu gemuk dan kompleks untuk novel setebal hanya 236 halaman.

Bisa dibilang, tokoh utamanya adalah Hydra. Hidupnya berubah setelah mimpi-mimpi aneh mengunjunginya. Hydra adalah sosok yang cerdas, terlihat dari bagaimana ia menebak kado Natal Oxy, memecahkan cara membuka buku Kitab Révènian. Dia juga dikatakan gemar baca buku. Oxy, adik Hydra, adalah sosok yang ceria, aktif, dan dinamis, terlihat dari, antara lain, caranya membangunkan Hydra dan kegemarannya bersepatu roda. Setelah Hydra, Oxy, dan kakek-nenek mereka, kita diperkenalkan pada tokoh Zinco, pemilik pasangan kalung Convoera Hydra. Remaja laki-laki itu suka pelajaran Fisika, tapi tidak suka pelajaran Sejarah, tapi anehnya bisa menjawab dengan benar pertanyaan guru Sejarahnya meski ia ketiduran di kelas.

Seiring peristiwa “penculikan” Hydra, kita diperkenalkan pada sosok Radon dan Calsina. Kakak-beradik itu adalah Révèter senior, yang memprakarsai “pencarian” para Révèter muda melalui mimpi. Terlebih, Radon punya kemampuan istimewa: bisa membaca pikiran orang lain. Kemampuan ini kadang membuatnya kesal, karena membuatnya seperti berbicara sendiri (ia berbicara untuk menyahuti pikiran orang). Radon juga sosok yang cerdas, bisa dilihat dari idenya untuk menanam Nicelia steeli. Sementara itu, Calsina terkesan sebagai sosok perempuan dewasa yang ramah dan hangat.

Tokoh-tokoh lain yang muncul sedikit-sedikit adalah Mary (sahabat Hydra), Tory (si maniak sejarah yang berperan menyadarkan Zinco bahwa dia Révèter dan pemilik kalung Convoera), Leony (kemunculannya yang sebentar hanya untuk menciptakan drama percintaan Hydra-Radon-Leony), Baldy dan Kanno (para Révèter, teman-teman Radon dan Calsina, tapi muncul sebentar sekali dan nyaris tidak berperan dalam cerita). Tidak seperti Leony, Baldy, apalagi Kanno (yang pasti akan terlewatkan begitu saja oleh pembaca karena namanya—kalau tidak salah—hanya disebut dua kali di dalam cerita dan tidak berperan aktif sama sekali), Silvana muncul cukup sering di bagian tengah sampai akhir, karena ia ikut pergi ke Vainsalle untuk menyelamatkan Hydra dan Zinco. Silvana ini istimewa karena highlight di poninya bisa berubah warna sesuai emosinya. Jadi teringat tokoh di buku Harry Potter, Tonks. Sementara itu, Daniel, Révèter juga, berperan cukup penting di dalam cerita, sebagai salah satu orang yang dipercaya Radon, juga ikut ke Vainsalle. Tokoh lain adalah Andrew Lee, si antagonis dan ayah Radon-Calsina. Kedua orang ini memegang peran penting dalam penciptaan konflik cerita.

Lain-lain

Kisah ini diceritakan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Gaya bahasanya baku dan kadang menggunakan istilah bahasa Inggris (padahal sebenarnya bisa pakai bahasa Indonesia saja untuk istilah-istilah tersebut). Latar tempat di dunia nyata adalah di negara Barat yang memiliki empat musim, tapi di sebelah mana kurang jelas. Mungkin penulis berpendapat bahwa identitas kota latar cerita tidaklah penting.

Kesimpulan

Elemen-elemen fantasi bercampur jadi satu: dunia mimpi, sihir kuno, Vainsalle, free-season area, dan banyak lagi, dicampur lagi dengan dunia nyata sehari-hari seperti kegiatan sekolah, menjadikan novel ini cukup unik. Terlepas dari semua kelemahannya, novel ini telah menambah jumlah novel fantasi karya penulis domestik (meski setting-nya di Barat dan tokoh-tokohnya juga orang Barat, dan belum bisa melepaskan ketergantungannya akan fantasi a la Barat), dan menjadi teman yang menyenangkan kala butuh kabur sejenak dari dunia nyata.

Identitas Buku

Judul        : The Révèter
Penulis     : Frida Kurniawati
Editor       : Elizabeth
Tebal        : 236 halaman
Penerbit    : Elf Books
Cetak        : I, Mei 2013
ISBN        : 978-602-19335-9-6
Harga        : Rp 40.000,00

23 January 2017

Meresensi Novel Sendiri (Bagian 1): Sebelas Fakta di Balik The Reveter



Halo, readers! Saya kangen kalian semua! Sudah cukup lama blog ini saya cuekin, sampai lumutan tebal sekali. Saya sebenarnya tak ingin itu terjadi, tapi apa daya, tugas saya di pelosok desa tak memungkinkan saya untuk internetan. Nyalain laptop aja nyaris nggak pernah. Sekarang saya sudah kembali, dan tulisan pertama di tahun 2017 ini saya dedikasikan untuk diri saya sendiri 😎 (dan tentunya untuk kalian yang bersedia repot-repot membacanya).
***
Mungkin, ada yang berpendapat bahwa sebaiknya seorang penulis fiksi tidak meresensi karya-karya fiksi (dan/atau sebaliknya?). Sebaiknya dipasang kawat berduri bertegangan listrik ribuan volt di antara kedua pekerjaan tersebut, agar tak saling berinteraksi langsung. Mungkin tujuannya adalah agar ketika sedang menulis fiksi, seorang penulis (yang juga peresensi) tidak didera terus-menerus oleh intuisi peresensi dalam dirinya sendiri (yang sering lebih kejam dari pada editor), yang mungkin bisa menyebabkan karyanya tak kunjung selesai. Atau malah tidak jadi menulis karena beralibi, “Dari pada menulis buruk, lebih baik saya tidak usah menulis saja.” Padahal, kata Dee di sebuah acara, Someone can revise a bad page, but it’s impossible to revise a blank one.

Yah, terkadang memang saya mengalami hal tersebut. Biasanya setelah menamatkan baca sebuah novel yang menurut saya, lebih bagus tulisan saya, tapi anehnya laris di toko buku. Anehnya juga, penulis tersebut cukup produktif menjajarkan karyanya di toko buku, padahal kalau dilihat di Goodreads, rating buku-bukunya rata-rata kurang dari 3. Biasanya, lalu saya berpikir, dari pada menerbitkan buku yang biasa-biasa saja, lebih baik saya bikin karya yang fantastis. (TAPI ENTAH KAPAN.) Begitulah cara berpikir salah satu sisi dalam diri saya, yang saya tahu, seharusnya saya tidak begitu.

Padahal, sisi yang lain dalam diri saya menyadari, penulis itu bertumbuh. Demikian juga karya-karyanya. Sangat jarang ada penulis yang baru sekali membuahkan karya, langsung meledak, review-nya positif di Goodreads. Tidak masalah jika karya-karya awal tidak terlalu bagus. Yang penting, karya selanjutnya, sebisa mungkin, lebih baik dari pada sebelumnya. Bagaimana bisa mau bertumbuh, kalau memulai dari karya yang buruk saja belum pernah, kan?

***
Kembali ke kalimat pertama. Menurut saya, justru intuisi peresensi dalam diri saya membantu saya bertumbuh dalam menulis. Jika dilatih, intuisi peresensi itu bisa muncul di saat yang tepat: di saat saya perlu mempertanyakan tulisan saya sendiri, “menghajarnya” agar jadi lebih baik, tanpa membuat saya “takut” untuk memulai menulis. Nah, bagaimana jika seorang penulis meresensi karyanya sendiri yang pernah terbit? Saya tidak tahu apakah ada yang sudah melakukannya. Dalam tulisan ini, akhirnya, saya memberanikan diri meresensi novel saya sendiri.

The Révèter, adalah novel kedua yang saya tulis, tapi yang pertama diterbitkan. Setelah itu, beberapa novel saya (termasuk novel yang pertama saya tulis, yang kalau saya baca sekarang, saya bergumam frustrasi, “Saya pernah nulis novel kayak gini? Alay banget!”) masih mendekam malas-malasan di dalam internal hard disk laptop. The Révèter diterbitkan pada bulan Mei 2013, oleh Elfbooks (sekarang sudah tak ada lagi penerbit yang dulu sempat naik daun, terutama berkat karya-karya Kak Delia Angela). Naskah saya ini menjadi salah satu dari empat karya yang diterbitkan melalui jalur sayembara penulisan novel yang diadakan oleh penerbit tersebut. Tiga yang lain adalah Karena Cinta karya Monica Petra, Happiness Theory karya Arbie Sheena, dan Rubrik Kata Katya karya Primadonna Angela.

Pada masa itu, saya masih cupu di bidang dunia penerbitan dan penjualan buku. Saya akui, saya kurang mempromosikan buku saya sendiri. Pernah terlintas di benak untuk menulis semacam “behind the scene” penulisan novel ini, tapi belum pernah saya eksekusi. Oleh karena itu, di Bagian 1 ini, saya akan membahas tentang beberapa fakta di balik penulisan The Révèter, karena selalu ada cerita di balik penciptaan cerita.

***

Fakta #1

Ide yang menuntun saya menulis The Révèter pertama kali menyentuh kesadaran saya pada tahun 2009, saat saya masih SMA. Pada bagian “thanks to” di awal novel ini, ada satu ucapan terima kasih yang tidak saya tulis di situ (saya lupa, waktu menulis itu saya lupa atau memang sengaja tidak menulisnya?). Ucapan terima kasih kepada seseorang yang terhadapnya saya pernah mengalami patah hati (untuk kasus ini, saya mengamini bahwa patah hati bisa jadi perantara bagi sepercik ide untuk mendatangi seorang penulis dan memaksanya menulis).

Fakta #2

Di The Révèter, hutan pinus adalah latar tempat yang pertama kali saya perkenalkan kepada pembaca, lewat mimpi Hydra. Hutan pinus juga jadi salah satu latar tempat yang penting di novel ini, sebagai tempat berduel Argento dan Auri, latar mimpi-mimpi Hydra yang berulang, tempat Radon kehilangan Hydra dan Zinco yang kemudian tersedot ke Vainsalle, juga tempat Hydra akan “dieksekusi”. Hutan pinus itu sebenarnya, bisa dibilang, induk yang melahirkan tokoh-tokoh, konflik, dan The Révèter secara keseluruhan. Jadi sebelum mulai menulis, saya berkata pada diri sendiri, “Oke, saya ingin menulis novel, entah bagaimana isinya, pokoknya hutan pinus akan jadi setting utamanya.”

Kenapa hutan pinus? Sesederhana bahwa saya pertama kali bertemu dengan seseorang itu di sebuah hutan pinus. Kali berikutnya, saya bertemu dia di sana lagi.

Fakta #3

Dengan berbekal “hutan pinus” di pundi-pundi ide yang masih mentah, saya berpikir, mau dibentuk jadi genre apa novel ini? Nah, bukan kebetulan, jika saat itu saya membaca novel fantasi Aerial karya Kak SittaKarina (btw, saya suka cover-nya). Aerial seperti menyanyikan berulang-ulang di kepala saya, “Tulislah kisah fantasi, fantasi, fantasi...”

Fakta #4

Saya memulai menulis bakal The Révèter tak beberapa lama setelah ide muncul pertama kali. Saat itu, saya masih menulis dengan tangan di sebuah buku bergaris. Di jam-jam istirahat sekolah atau jam kosong, saya menulis. Kadang di kantin, kadang di taman belakang sekolah, kadang di kelas. Oh iya, saya menulis dengan pensil waktu itu. Alasannya, biar gampang dihapus kalau ada yang ingin saya edit. Di samping buku itu, saya punya buku kecil yang berisi ide-ide dan rancang bangun The Révèter.

Fakta #5

Tulisan tangan itu belum selesai. Saya diamkan, entah karena apa, saya lupa. Saya mulai menulis lagi, sekitar tahun 2012 (saat saya tahu ada sayembara menulis novel Elfbooks). Saya merombak di sana-sini, menambah ini-itu, bisa dibilang saya “menulis ulang”. Sialnya, saat deadline mendekat, laptop saya rusak. Waktu di rumah, saya masih bisa menulis menggunakan komputer. Nah, begitu saya balik ke Yogya untuk kembali masuk kuliah setelah libur, saya kebingungan. Untung, sahabat sekaligus teman kos saya, Rizka, waktu itu bersedia meminjamkan laptopnya. Untuk mengirimkan naskahnya saja, saya nebeng laptop dan koneksi internet Aya.

Fakta #6

Mungkin The Révèter ini belum atau malah tidak akan terbit jika saya tidak nge-fans Super Junior. Lho, apa relevansinya?

Elfbooks saya kenal pertama kali lewat novel terbitannya, Perfect Ten, karya Kak Delia Angela. Sepuluh anggota boy band dalam novel tersebut dibikin berdasarkan tokoh dunia nyata, Super Junior. Salah seorang teman geng CL Girls (12 cewek, termasuk saya, E.L.F.—sebutan untuk fans Super Junior—yang pertama kali bertemu di Super Show 4, dan bermarkas di Yogyakarta) telah membaca Perfect Ten, dan mempromosikannya kepada yang lain. Dari situ, saya tahu ada sebuah penerbit bernama Elfbooks. Dari situ, saya lalu mengikuti akun Twitter Elfbooks. Dari situ, saya kemudian tahu bahwa Elfbooks sedang mengadakan sayembara penulisan novel. Dari situ, saya menulis ulang bakal The Révèter. Dari situ, novel ini bisa terbit.

Fakta #7

Beberapa tokoh The Révèter saya namai berdasarkan nama unsur kimia (ya, waktu SMA, pelajaran Kimia adalah salah satu favorit saya, karena banyak praktikum yang seru). Ada yang saya usahakan agar unsur yang pilih itu mewakili karakter sang tokoh; ada juga (banyak) yang saya pilih dengan cukup ngasal.

Fakta #8

Kata “révèter” berasal dari kata dari bahasa Perancis “reve”, yang artinya mimpi. (Selama tiga tahun di SMA, saya selalu memilih pelajaran bahasa Perancis, tapi setelah tiga tahun, kemampuan berbahasa-Perancis saya terbatas di satu kalimat yang bisa saya ucapkan tanpa keseleo lidah, “Tu es la lumiere dans ma vie.”)

Fakta #9

Awalnya, naskah yang saya ikutkan sayembara berjudul I’ve Known You in The Dreams, yang lalu diusulkan untuk diubah menjadi The Révèter oleh pihak Elfbooks. (Yang kemudian, oleh teman-teman kuliah saya sering diplesetkan jadi “the repeater”—terlebih saat kuliah Komunikasi Data).

Fakta #10

Sekelompok orang yang bisa mengelola mimpi: masuk ke mimpi orang, menciptakan beraneka setting mimpi, membuat skenario mimpi, mungkin mengingatkanmu akan film Inception (2010). Percayalah, saya punya ide tentang Révèter sebelum film itu nongol. Kemudian saat menontonnya (waktu itu saya nggak sepenuhnya memahami bagian-bagian tertentu dalam film itu), saya menjerit sambil menuding layar komputer (waktu itu, saya masih pakai komputer ber-OS Windows XP), “Lho, kok kayak ideku?!” (Yah, sebenarnya, nggak mirip, sih.) (Itulah konsekuensi kalau punya ide tapi nggak keburu dieksekusi, jadi keduluan, kan.)

Fakta #11

Saat masa revisi, penerbit meminta saya untuk memasukkan sekelumit unsur romance. (Sebelumnya, tak ada unsur itu sama sekali. Jujur saja, saya tidak terlalu suka menulis romance.) Alhasil, dengan cerdik (atau mungkin kurang cerdik?) saya berhasil mem-blusukkan romance antara Hydra dan Radon, diwarnai kecemburuan Leony yang menganggap Radon adalah kekasihnya. Kalau antara Hydra dan Zinco, saya tidak ada maksud menerbitkan romansa antara mereka. Entahlah, saya rasa mereka cukup bahagia jadi sahabat saja.

***

Tiga tahun lebih 5 bulan setelah The Révèter terbit, saya membaca ulang karya saya itu, dari awal sampai akhir. Butuh 3 tahun 5 bulan untuk bisa membacanya seolah-olah bukan saya yang menulis novel itu. Entah bagaimana tepatnya, secara begitu saja, saya tiba-tiba bisa sangat tidak subjektif saat membaca ulang The Révèter. Saya terposisikan sebagai seorang peresensi buku.

(bersambung ke Bagian 2)

bloggerwidgets