26 February 2016

I-Need-Fantasy Giveaway | Winner Announcement


Halo, Readers! Sebelumnya, saya mohon maaf, karena ternyata saya tidak menepati janji untuk mengumumkan pemenang I-Need-Fantasy Giveaway paling lambat 5 hari setelah deadline. Tak disangka, waktu berjalan begitu cepat saat saya sibuk cari kerjaan, lamar sana lamar sini, tapi nggak dilamar-lamar *halah* :)] . Membaca jawaban teman-teman para peserta giveaway dan mengecek kelengkapan persyaratan kalian membuat saya agak kecewa. Ada beberapa jawaban yang bagus, tapi kurang memenuhi persyaratan. Saya mohon maaf juga, apabila syarat yang saya ajukan terlalu ribet. Di kesempatan berikutnya, saya akan berusaha membuat persyaratannya seefisien mungkin.

Nah, sekarang, langsung saja saya umumkan siapa pemenangnya!




COMEDY APPARITION

Vinia Dayanti
@viniapurba

WONDERWORKS PRODIGY

Diddy Syaputra
 @diddysyaputra


Yeayy! Selamat buat kedua pemenang! Para pemenang akan saya hubungi segera. Harap konfirmasi dengan mengirimkan e-mail ke kimririn93@ymail.com berisi nama lengkap, alamat kirim, dan nomor HP yang bisa dihubungi. Jika dalam waktu 2 x 24 jam konfirmasi belum saya terima, maka saya akan memilih pemenang lain. Terima kasih, sampai jumpa di giveaway selanjutnya! :D

19 February 2016

[Resensi Reruntuhan Musim Dingin] Musim Dingin Berlalu, Musim Dingin Runtuh Perlahan

Judul: Reruntuhan Musim Dingin
Penulis: Sungging Raga
Editor: Ainini
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: I, Januari 2016
Tebal: 204 halaman
ISBN: 978-602-391-079-3
Harga: Rp 50.000,00
Rating saya: 3/5

Sungging Raga pertama saya kenal lewat cerpen "Sebatang Pohon di Loftus Road" (Kompas, 14 April 2013), yang saya baca karena terdorong oleh rasa penasaran pasca-membaca cerpen Bernard Batubara yang berjudul "Seorang Perempuan di Loftus Road" (dalam kumcer Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri), yang merupakan tanggapan dari cerpen Sungging tersebut. Cerpen Sungging diceritakan dengan sudut pandang orang pertama di laki-laki, sedangkan cerpen Bara dari sudut pandang si perempuan. Kesan yang berhasil saya petik di perkenalan pertama dengan Sungging itu adalah tema cinta yang dibalut elemen sureal berupa mitos bahwa perempuan yang menunggu seorang lelaki yang tak kunjung datang melewati waktu janjian, akan berubah menjadi pohon. Sungging menceritakan pertemuan dan perpisahan yang menyesakkan tapi indah. Pun saya sudah bisa menangkap gaya bahasa Sungging yang syahdu, seperti perumpamaan "senyumnya yang serupa alunan nada akordion".

Ini kali kedua perkenalan dengan Sungging. Reruntuhan Musim Dingin, buku kumcer pertama dari lini "Sastra Perjuangan", berhasil membentuk pemahaman akan kekhasan cerpen Sungging. Lini penerbitan yang baru dari DIVA Press ini mencoba mengakomodasi relasi idealis antara penulis sastra, karya sastra, dan pembacanya.
"Kupikir, sebaiknya kamu jangan jatuh cinta kepada penulis. Ia lebih banyak memeras kenangan, sebanyak mungkin dari dirimu, untuk kemudian ditinggalkan." (Reruntuhan Musim Dingin, hlm. 68)
Sebagaimana dituliskan oleh Tia Setiadi dalam Kata Pengantar, "Sastra adalah seni yang memangsa dan menjarah. Apa yang dijarahnya adalah kehidupan.", penulis memeras kenangan dari kehidupannya maupun segala makhluk di sekitarnya demi melahirkan karya sastra. Gaya penulisan yang dimeriahkan oleh teknik, simbol, dan metafora, pemerasan kenyataan itu menjadi tersamarkan. Dalam cerpen-cerpennya, Sungging menggunakan bahasa yang lugas, padat, dan efektif, tapi tak lepas dari jerat metafora yang kadang tak terduga.
"Wajah perempuan itu memang cantik, ia memiliki senyum yang begitu tipis dan ringan, berat senyumnya hanya satu miligram, seperti judul lagu From Autumn to Ashes, 'Milligram Smile', tapi senyum itu begitu memukau." (Dermaga Patah Hati, hlm. 38)
'Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.'" (Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus, hlm. 49)
"Wanita itu bernama Kunnaila. Hidupnya meliuk seperti ilalang, penderitaannya setebal hujan." (Biografi Kunnaila, hlm. 153)
Sungging pun gemar memainkan emosi pembaca. Gaya tuturnya melemparkan pembaca, yang sebelumnya telanjur terisap dalam jagat fiksi, kembali ke kenyataan. Seperti ulasan Tia Setiadi dalam kata pengantarnya (hlm. 12), yang menyebut teknik ini sebagai "pembocoran". Namun, sekiranya Sungging terlalu banyak membuat pengakuan dosa semacam itu, maka hancurlah segala dunia fiksional yang sedang dibangunnya.
"'Bagaimana kalau esok matahari tak terbit lagi?' Lelaki itu bertanya dengan senyum tertahan.
'Jangan terlalu sentimental. Kita tidak sedang hidup di dalam cerita surealis.'" (Selebrasi Perpisahan, hlm. 30)
"Namun Watono telah berjanji bahwa dalam cerita pendek ini dia tak berniat macam-macam pada Kunnaila, dia tak mau memaksakan konflik dan jalan cerita sesuai kehendaknya, dia hanya ingin dirinya muncul dalam cerita pendek ini meski cuma satu paragraf. Katanya, agar bisa diceritakan kembali kelak pada anak dan cucunya." (Biografi Kunnaila, hlm. 152)
Selain dengan teknik pembocoran, cerpen-cerpen Sungging tak jarang menimbulkan kesan sendu tapi dingin dan/atau datar, melalui dialog maupun narasinya. Dalam "Selebrasi Perpisahan", dialog sepasang kekasih yang akan berpisah di Terminal Tawang menguarkan aroma sendu campur ketegaran atau efek "dingin". Dari sini pembaca juga bisa menangkap bahwa ruh penting cerita justru bisa diserap melalui dialog kedua tokoh, yang menyimpan degup perpisahan tapi bersemburat ketegaran dalam usaha menerima kenyataan. Bisa dikatakan bahwa Sungging mengeksploitasi dialog dengan baik demi perkembangan cerita.
"'Kelak, entah berapa tahun lagi, aku akan berkunjung kembali ke kota ini. Dan kau pasti sudah berkeluarga.'
'Kau juga akan menikah dengan wanita lain.'
(hlm. 28)
Dalam "Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis", hal "fantastik dalam cerpen ini justru dikisahkan dengan undertone yang cenderung dingin dan datar, bahkan sesekali disusupi perdebatan ilmiah segala", begitu menurut Tia Setiadi (hlm. 9-10). Oleh karena itu, alur mencapai puncak nyaris tanpa terasa, karena sang narator menceritakan dengan gaya se-"cool" mungkin, tak turut terseret dalam arus cerita. Ia mengajak pembaca bertanya-tanya tentang keajaiban rembulan yang menangis sembari terus menjawabnya tanpa kehilangan ruh sureal. Contohnya adalah ketika ia menceritakan tentang asal-usul air mata rembulan yang jatuh di Carrow Road.
"Barangkali prosesnya lain, rembulan itu langsung menceburkan diri ke lautan, menyerapnya seperti spons, lalu melompat ke langit, dan langsung meneteskannya, jadi hanya butuh siklus satu hari satu malam." (Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis, hlm. 57)
Namun, elemen surealis yang diusung dengan menyertakan perdebatan ilmiah macam begitu, malah membuat saya skeptis, sehingga susah tercebur dalam dunia fiksi sureal yang sedang diracik oleh Sungging dalam cerpen ini. Untunglah, hal serupa tak terjadi lagi ketika saya membaca "Melankolia Laba-laba", yang merupakan salah satu cerpen favorit saya di kumcer ini. Ini adalah kisah cinta yang menyedihkan, antara binatang dan manusia. Namun, jangan harap akan berakhir seperti The Princess and the Frog, yang mengisahkan bahwa si kodok berubah jadi pangeran. Bahkan si naratornya sendiri, si laba-laba bernama Sarelgaz itu, mengatakan begini:
"... tapi aku tak bermimpi kau menciumku seperti kisah pangeran kodok. Aku tak akan menjelma manusia, ini bukan cerita surealis." (Melankolia Laba-laba, hlm. 41)
[tapi belakangan Sungging membuat kisah ini jadi surealis, dengan berubahnya Nalea menjadi laba-laba]
Sarelgaz sudah bertahun-tahun tinggal di dalam kamar Nalea, gadis yang dicintainya itu, hingga generasi laba-laba lain berganti satu per satu. Kala ia telah menjadi laba-laba tua, Nalea tiba-tiba menghilang. Raibnya gadis itu dibarengi dengan munculnya seekor laba-laba perempuan yang sebelumnya tak pernah ada di kamar itu. Laba-laba baru itu mengaku bernama Nalea, yang meninggalkan jasad manusianya untuk bertemu cinta sejatinya, yaitu Sarelgaz. Namun, naas, Sarelgaz tak percaya dan mengusirnya ke luar kamar. Sarelgaz hanya mencintai seorang gadis bernama Nalea, bukan laba-laba bernama sama.
"Dari cara berjalannya, ia seperti laba-laba betina yang bekerja sebagai model majalah laba-laba dewasa." (Melankolia Laba-laba, hlm. 46)
[di dunia laba-laba ada juga majalah dewasa, to? :)] ]

Ada dua ironi raksasa yang mendominasi cerita ini. Pertama, Sarelgaz mencintai Nalea, padahal secara tak langsung, gadis itulah yang menyebabkan orang tua Sarelgaz meninggal setelah aktivitas bersih-bersih kamar bersenjatakan sapu. Kedua, saat Sarelgaz tak memercayai laba-laba bernama Nalea, dan malah mengusirnya. Padahal, berubahnya Nalea jadi laba-laba secara tak langsung berkat doa Sarelgaz.
"Aku tak tahu apa yang biasa kau ucapkan dalam doamu, sementara doaku jelas, agar aku bisa tetap menemukan cara untuk mencintaimu." (Melankolia Laba-laba, hlm. 45)
Namun, Sarelgaz belakangan bertindak seperti manusia tak tahu diri, yang seringkali tak bersyukur dan malah mengutuk Sang Pemberi setelah doanya dikabulkan. Kesetiaan yang terlalu dalam membutakan Sarelgaz, hingga ia gagal menyadari, bahwa si laba-laba itu adalah benar-benar Nalea. Kisah cinta tak sampai antara binatang dan manusia mungkin akan berisiko menjadi klise, tapi Sungging dengan cukup gemilang menghindarinya. Lagi-lagi, Sungging mempermainkan kesadaran pembaca dengan menyelipkan "pembocoran" di tengah nuansa sureal yang terbangun.
"'Bagaimana kau bisa tahu namaku? Apakah penulis cerita ini yang memberi tahu?"' (Melankolia Laba-laba, hlm. 45)
"Melankolia Laba-laba" adalah cerpen pertama dalam kumcer ini yang mewedar fenomena transformasi manusia menjadi alam (maupun sebaliknya) demi mengalami cinta. Hal serupa menjadi napas cerpen "Rayuan Sungai Serayu", tapi kali ini alamlah yang berubah menjadi manusia. Dikisahkan bahwa Sungai Serayu yang sudah lelah menjadi sungai tiba-tiba menjelma seorang perempuan, kemudian berkasih-kasihan dengan seorang lelaki kesepian yang ditemuinya di Warung Hujan Bulan Juni (namanya sama dengan judul kumpulan puisi SDD :)] ). Uniknya, dalam cerpen ini Sungging menebar beberapa istilah ilmiah (cukup wajar, mengingat Sungging pernah berkuliah di Jurusan Matematika. Saya percaya bahwa apa yang ditulis oleh penulis sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan kehidupan pribadi si penulis #tsah). Contohnya, penggunaan istilah "koefisien kesepian" dan "Termometer Kesunyian" (hlm. 84).

Sementara itu, alam kembali bertransformasi menjadi manusia dalam cerpen "Sihir Edelweis". Seorang lelaki bertemu dengan perempuan yang mengaku sebagai edelweis di Bromo.
"'Aku benar-benar perempuan edelweis, aku terbentuk dari serbuknya yang putih, dari kabut yang turun di malam hari, dan dari garis merah pertama ketika matahari merancang pagi.'" (Sihir Edelweis, hlm. 117)
Ia membawa edelweis itu pulang. Dan meskipun sudah beristri, ia jatuh cinta pada perempuan edelweis. Sampai si lelaki dan istrinya menua, bunga edelweis itu tak layu juga, "malah sepertinya bertambah lebat". Bertambah lebat karena perempuan edelweis melahirkan anak-anak edelweis--anak mereka berdua. Dalam cerpen ini, Sungging menyelipkan elemen setting yang detail: "di ketinggian 2770 meter"; "saat itu masih pukul 04.04" (hlm. 113). Ada satu kalimat yang masih kurang bisa saya pahami kekohesifannya dalam paragraf:
"Semua memang serba gelap sehingga belum butuh penjelasan lebih lengkap." (Sihir Edelweis, hlm. 113)
Tiga kisah transformasi manusia ke bentuk lain dan sebaliknya ini memberi pengharapan bagi pembaca akan kemungkinan terjadinya "rekonsiliasi yang segar antara manusia dan alam" (hlm. 19).

Cerpen lain yang menarik adalah "Suatu Hari, Semua Wanita Akan Berwarna Ungu". Cerpen sureal ini mengisahkan tentang fenomena aneh yang tiba-tiba terjadi pada semua wanita di sebuah desa: seluruh permukaan tubuh mereka berubah warna jadi ungu. Hal ini menyebabkan semua wanita menjadi minder dan mogok beraktivitas. Mereka hanya mengurung diri di dalam kamar, termasuk Manisha. Anehnya, warna kulit Manisha berubah seperti sedia kala setelah ia menerima penghiburan dari suaminya yang sangat menyentuh hatinya. Setelah itu, Manisha bersedia keluar dari kamar dan mulai beraktivitas seperti biasa. Saya menemukan sebuah ironi di sini. Sang suami menghibur Manisha dengan kata-kata manis yang terdengar tulus, padahal sebelumnya ia sempat bernarasi begini:
"Mereka beranggapan ini hanya solusi sementara, tidak jangka panjang, apalagi kita tahu bahwa sering kali kita diberi bantuan sesuatu yang sifatnya hanya sementara, untuk menghibur saja, tidak mengubah apa-apa." (Suatu Hari, Semua Wanita Akan Berwarna Ungu, hlm. 133-34)
[jadi ingat penghiburan pemerintah kepada masyarakat kurang mampu yang sering dibagikan dulu: BLT]

Cerpen ini menggambarkan dengan sangat baik bagaimana cara pikir wanita dan laki-laki pada umumnya. Wanita (walau tak semuanya) sering atau mudah merasa insecure akan penampilannya. Sementara itu, laki-laki akan sungguh-sungguh melakukan sesuatu untuk wanitanya, jika ia mendapatkan keuntungan dari hal itu. Contohnya, dalam cerpen ini, karena Manisha mengurung diri dalam kamar dan tidak memasak, si "aku"--suaminya--kelaparan ("padahal aku lapar, belum sarapan"--hlm. 132). Nah, karena itulah, si "aku" berusaha menghibur istrinya. Akhirnya, Manisha mau keluar dari kamar dan berkata tepat sesuai keinginan si "aku":
"'Terima kasih, ya,' katanya, 'oh, apa kau lapar? Aku akan buat menu pecel garahan, pecel kesukaanmu.'" (hlm. 136)
Mungkin cerpen ini juga hendak memaparkan kekuatan kata-kata penuh penghargaan yang kita ucapkan pada orang lain. Bisa memulihkan mereka dari keterpurukannya, atau malah membuatnya makin terpuruk. Selain itu, ada petikan dalam cerpen ini:
"Padahal aku masih ingat, tokoh aktivis inilah yang dulu berkata bahwa bukan rok pendek itu yang menjadi biang masalah pelecehan seksual, tapi pikiran negatif si lelaki saja." (hlm. 134)
yang mengingatkan saya akan suatu momen di tahun 2011-2012, di mana kontroversi "rok mini penyebab perkosaan?" sempat mencuat jadi isu nasional.

Cerpen "Kompor Kenangan" juga tak kalah menarik. Dengan uniknya, sebuah kompor gas dijadikan simbol cinta. Setelah bercerai, Nalea membawa pergi kompor itu (cintanya) dari sang suami, dan memberikannya secara cuma-cuma ke sebuah tokoh, karena ia sudah punya kompor baru (cinta baru untuk calon suami baru).
"Ah, kompor adalah benda yang tenang, mengeluarkan api tapi tak membakar dirinya sendiri, melawan filosofi lilin, romantis sekali." (Kompor Kenangan, hlm. 125)
Bicara tentang para tokoh, yang tak hanya manusia, tapi juga binatang, sungai, bunga, semut, rangka, dan lain-lain, Sungging memiliki tendensi untuk menggunakan beberapa nama yang statis. Seperti Seno Gumira dengan tokoh Alina dan Sukab (misalnya dalam kumcer "Penembak Misterius"), Sungging gemar menggunakan nama tokoh ini, antara lain Nalea, Salem, dan Manisha. Suatu saat, Nalea adalah gadis penjual toffee di Craven Cottage. Suatu saat, ia berubah menjadi serangkaian rangka, lalu menjadi seorang istri yang setelah bercerai ngotot membawa kompor gas buatan Jerman, lantas berubah menjadi gadis dalam kereta yang bertemu dengan Salem.

Saya cukup yakin, para pembaca resensi ini sudah bisa menebak bahwa tema utama cerpen-cerpen dalam kumcer ini adalah cinta--lebih tepatnya percintaan antara laki-laki dan perempuan. Meski kisah cinta pada umumnya sulit dipisahkan dari kesan klise, dalam kumcer ini Sungging telah berhasil meramu kisah cinta yang memiliki keunikan dan daya kejut, serta keindahan tersendiri.

18 February 2016

Elegi dari Bella untuk Edward



Kala Dia membawa Edward pergi, aku berteriak dan menerjang pagar kubikel dengan moncongku. Lenguhan napas dan jeritan ributku membuatnya menoleh, tapi tidak Edward. Pandanganku ngilu.

"Hei, Bella, kau ingin pergi juga? Saatmu belum tiba, masih beberapa bulan lagi."

Aku tetap berteriak-teriak, kaki pendekku dengan tak bergunanya menggelepar-gelepar. Moncongku mengendus-endus keras ke arah Edward.

"Apa lagi, Bella? Idul Adha sebentar lagi, Edward harus pergi."

Edward harus pergi. Tiga kata itu bagai tiga lecut pisau yang menguliti impian gemilangku sampai luruh seluruhnya dan terjatuh berdebam di atas ranah seluas pagar pembatas tempatku tersekap dengan sukarela, bercampur aduk dengan tanah lembek bercampur kotoran, makanan yang tertumpah, dan butir-butir air mata.

Bisa kudengar betapa sumbangnya teriakan-teriakan yang lolos dari leher pendekku, yang saking pendeknya membuatku terlihat seperti makhluk dari kelas Arachnida yang badannya terdiri dari kepala-leher tergabung alias cephalothorax dan abdomen. Tahukah kalian, bahwa aku sering merasa buruk rupa setiap melihat bayanganku terpantul dari genangan air? Tubuh gempalku berwarna merah muda lengkap dengan empat kaki pendek. Leher pendek menyulitkan gerakanku untuk menoleh, apalagi mendongak. Sepanjang hidup aku tak pernah melihat bulan yang kata sesama hewan cantik itu. Namun, Edward pernah berkata, “Kau pasti tak pernah mengira bahwa aku juga sering merasa buruk rupa dengan jembut daguku* yang terus memanjang kewer-kewer ini. Yang mau kukatakan adalah, kita semua tidak sempurna. Pun kita berbeda, tapi jika bersatu, aku yakin kita berdua akan bisa saling menguatkan.”

Apakah Edward tak ingat akan janji yang tersemat di antara pagar pembatas kandang kami? Yang tersulam dalam sentuhan antara moncongku dan moncongnya—bahwa kami akan selalu bersama? Tak kusangka, demikian tak berdayanya kami di tangan manusia. Tak cukup bagi mereka untuk sekadar mengotak-ngotakkan kami dalam dua kandang berbeda, ternyata.

Edward harus pergi. Karena dia kambing dan aku babi. Karena aku menguik dan dia mengembik. Karena ia dikorbankan saat Idul Adha dan aku disembelih saat Imlek tiba. Karena keduanya tak pernah terjadi bersama-sama.[]

*Istilah "jembut dagu" saya pinjam dari novel Tiger on My Bed karya Christian Simamora.
[Flash fiction ini diikutkan tantangan #NulisBarengAlumni Kampus Fiksi dengan tema "babi". ]

14 February 2016

I-Need-Fantasy Giveaway


Hello, Readers! Sudah baca rubrik SiPiLis Episode 3 belum? Di situ, saya berkesempatan untuk mewawancarai Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, lho, alias Ginger Elyse Shelley. Nah, sebenarnya giveaway ini semacam kelanjutan dari SiPiLis Episode 3 tersebut. Mengapa judulnya I-Need-Fantasy, bukan I Need Romance (kayak judul drama Korea aja, yang agak vulgar itu, tapi di sana rating-nya 15+ :)] ) ? Ya, karena hadiahnya adalah dua novel fantasi karya terbaru Ginger Elyse Shelley yaitu Comedy Apparition dan Wonderworks Prodigy. Yeaay! Nah, langsung saja, saya jabarkan syarat dan ketentuannya.

SYARAT & KETENTUAN

1. Domisilimu di Indonesia.
2. Follow blog The Reveter via GFC, G+ atau Bloglovin' (tengok bagian bawah halaman ini).
3. Follow akun Twitter @divapress01, @monamicroissant, @kimfricung .
4. Share link giveaway ini di sosial media yang kamu punya, mention ketiga akun di atas, dan jangan lupa sertakan hashtag #INEEDFANTASYGA .
5. Baca dan tinggalkan komentar yang nggak out of topic di artikel SiPiLis #3.
6. Pilih 1 (satu) novel yang kamu inginkan (Comedy Apparition atau Wonderworks Prodigy). Baca dan tinggalkan komentar di resensi novel yang kamu inginkan tersebut (di sini untuk Comedy Apparition, ini untuk Wonderworks Prodigy).
7. Jawab pertanyaan berikut di kolom komentar dengan format:
Nama
Akun Twitter/E-mail
Link Share
Novel Pilihan
Jawabanmu

8. Jika kamu menginginkan Comedy Apparition, jawab pertanyaan berikut:
"Kalau kamu punya kekuatan sihir seperti milik Cameron Seer, yang bisa mengendalikan seseorang dengan sentuhan, pada siapa kamu paling ingin menggunakannya? Mengapa?"
9. Jika kamu menginginkan Wonderworks Prodigy, jawab pertanyaan berikut:
 "Tokoh Sun Hi (di Wonderworks Prodigy) membuka toko yang bernama All-You-May-Need. Kau bisa menukarkan poin yang kauperoleh selama bersekolah sihir di Avalon dengan barang apa pun yang sedang kaubutuhkan saat itu. Kalau kau menukarkan poinmu di sana, kira-kira barang apa yang akan keluar? Mengapa?"

PEMILIHAN PEMENANG

Saya akan memilih pemenang berdasarkan jawaban yang paling menarik dari peserta yang memenuhi  semua syarat dan ketentuan. Giveaway ini berlangsung selama satu minggu, dari tanggal 14 - 20 Februari 2016. Pengumuman pemenang akan saya lakukan di blog ini, paling lambat 5 hari setelah masa giveaway berakhir. Pemenang juga akan saya hubungi lewat Twitter dan/atau e-mail. 

Selamat berfantasi! :D

12 February 2016

[SiPiLis #3] Ziggy: Suka Bikin Banyak Karakter

Hello, Readers! Lama tak jumpa di rubrik baru saya yang nongolnya angin-anginan ini (baru jalan 2 episode, sudah ngilang) :)] Yah, beginilah saya, susah berkomitmen pada sesuatu, mungkin karena itulah saya memilih untuk single. Nah, SiPiLis #3 ini adalah SiPiLis yang pertama di tahun 2016. Kali ini, saya berkesempatan mewawancarai seorang penulis muda (seumuran saya, lho) yang cukup produktif melahirkan novel. Tak cukup sampai di situ, penulis yang satu ini saya kenal lewat novel-novelnya yang kaya warna alias suka mencoba genre yang bermacam-macam (jadi teringat Tere Liye). Eh, tapi bintang tamu di SiPiLis #3 ini bukan Tere Liye, lho. Salah satu novel penulis muda ini terpilih sebagai salah satu juara Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014, lho! Btw, saya sudah beli novelnya yang itu tahun lalu, tapi masih ada di rak to-be-read sampai sekarang :((

Hayo tebak, siapa penulis yang bersedia dengan suka rela melayani kekepoan saya kali ini? Ups, dari judul post-nya aja bisa langsung tahu |-) Ya, saya persembahkan, obrolan dengan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (saking panjang dan nggak hafal, saya ngetik nama belakangnya sambil mantengin kover Di Tanah Lada)!


***

Alasan apa yang mendorong Ziggy untuk menggunakan beberapa nama pena berbeda untuk karya-karyanya? (Beberapa nama pena Ziggy kecuali Ziggy: Ginger Elyse Shelley dan Zee.) Boleh, dong, dijelasin arti dan alasan pemilihan masing-masing nama tersebut? Sekilas membaca nama pena Ziggy, mungkin sebagian pembaca akan menyebut itu alay. Bagaimana tanggapan Ziggy akan komentar ini? 
Awalnya, saya pakai pen name karena saya gak mau orang tahu saya menulis. (Sampai sekarang, sebetulnya saya gak mengizinkan orang dekat membaca hasil tulisan saya.) Dan, waktu itu sebetulnya saya pakai pen name yang kedengaran seperti nama local. Tapi saya pikir nama itu kurang cocok, jadi saya ubah. ‘Elyse’ itu nama salah satu teman dekat saya waktu SMP, dan saya suka artinya; sementara ‘Shelley’ adalah nama teman kakak saya waktu SMA, dan saya suka kedengarannya. Saya memang pikir pen name saya agak ‘out there’, tapi nama asli saya sendiri juga ‘out there’. Lebih menyebalkan kalau orang-orang mempermainkan nama asli saya, jadi saya biarkan saja mereka trashing pen name saya. Saya gak mengenal orang-orang yang membaca buku saya, jadi saya gak terlalu peduli; tapi kalau mereka melakukannya, kegiatan itu jadi hiburan untuk mereka, and that’s good. Kalau nama ‘Zee’ sih bukan karena apa-apa, itu nama panggilan saya. Saya pakai nama asli yang lengkap untuk follow-up lomba saja.
Sejauh pengamatan saya, jarang ada penulis yang mampu menulis beragam genre novel. Mengapa Ziggy menulis beragam genre? 
Saya suka bereksperimen, suka penasaran, dan suka tantangan, hehe. Genre kesukaan saya mungkin fantasi, tapi sepertinya bukan genre yang paling populer. Yang paling sulit (dan paling gak saya sukai) adalah full-blown romance, tapi itu yang paling banyak demand-nya, hiks. 
Ziggy adalah salah satu penulis muda yang produktif menghasilkan karya. Adakah tips yang bisa dibagi untuk tetap konsisten dan produktif menulis?
Ini pertanyaan yang sering diajukan, tapi saya gak tahu jawabannya, haha. Saya sendiri gak menulis secara konsisten, cuma kalau mau aja. Jadi kalau pun ada tips, saya bilang sih, jangan terlalu fokus pada produksi. Just have fun, no pressure. 
Karya Ziggy yang terakhir saya baca adalah Comedy Apparition (baca resensinya di sini) dan Wonderworks Prodigy (baca resensinya di sini).  Nah, mulai dari sini saya ingin bertanya seputar dua novel tersebut. Bagaimana awalnya tercetus ide untuk menulis tentang sekolah sihir dalam Wonderworks Prodigy?
Oh, sebetulnya itu sekuel dari novel pertama saya yang diterbitkan penerbit besar; judulnya Wonderworks (dan kinda spin-off dari judul lainnya; Lucid Dream). Waktu SMP, saya mulai belajar merangkai cerita, dan cerita pertama yang saya bangun punya unsur sekolah sihir; setelah itu pun, cerita-cerita saya selalu berkaitan dengan sekolah dan atau sihir. Makanya, karena ini adalah first attempt menerbitkan buku di penerbit besar, sepertinya lebih baik menulis sesuatu I was already familiar with.
Bagaimana proses kreatif Ziggy dalam meramu istilah-istilah yang digunakan untuk membentuk mantra-mantra dan berbagai istilah ajaib di Wonderworks Prodigy, seperti mantra volubis muto dan istilah glodscend? [Hayo, yang penasaran apa itu volubis muto dan glodscend, bisa langsung cus baca resensinya #shamelesspromotion B-) ]
Ini kegiatan favorit saya waktu membangun cerita jaman SMP, dan tekniknya selalu sama: menggabungkan kata; biasanya, kata tersebut saya terjemahkan ke dalam beberapa bahasa, dan saya gabungkan hasil terjemahannya.
Kalau Ziggy adalah salah satu murid di Avalon, kira-kira pyewacket apa yang akan Ziggy peroleh? Mengapa?
Sepertinya yang sejenis Crescentine; berguna untuk individu kepo.
Bagaimana awalnya tercetus ide untuk menuliskan novel fantasi yang bertokohkan keluarga penyihir yang punya banyak anak? Keluarga Seer sepintas mengingatkan saya akan keluarga Weasley di Harry Potter :D Selain itu, bagaimana proses riset yang Ziggy lakukan untuk menulis Comedy Apparition?
Saya suka membuat karakter, tapi jumlah karakter per buku selalu terbatas. Untuk menanggulanginya, jadi saya membuat keluarga besaar; dengan begitu, banyak karakter, tapi gak semuanya harus diikutsertakan dalam cerita, hehe. Dan untuk Comedy Apparition, sepertinya saya cuma mengadakan riset untuk bagian Halloween, dan tahun berapa Star Wars mulai beredar.
Di antara anggota keluarga Seer, siapa yang jadi favorit Ziggy? Karakter siapa yang paling menantang untuk ditulis?
Mungkin paling suka Rocca; soalnya dia mengikuti tradisi untuk menjauhi anak-anak berambut merah, tapi di satu sisi, dia sayang saudara kembarnya. Yang paling sulit ditulis mungkin Pinerose, makanya dia cuma disebut-sebut saja, gak ikut berpartisipasi dalam cerita.
Apa motivasi dan tujuan Ziggy menyertakan isu LGBT ke dalam Comedy Apparition?
Saya mulai menulis Comedy Apparition setelah membaca Other Voices, Other Rooms karya Truman Capote; dan kebetulan, gak lama setelah membaca buku itu, salah satu teman saya baru curhat mengenai orientasi seksualnya untuk pertama kalinya. Selain itu, teman saya yang lain menceritakan tentang ups and downs dalam hidupnya sebagai seorang homoseksual—sebenarnya, dia yang menginspirasi Cameron-Roseanne, karena dia bilang, in the end, dia tetap ingin menikah dengan perempuan. Saya familier dengan konsep LGBT, tapi sejak masuk kuliah, saya mendapat scoop mengenai inside of being part of it. Dan saya pikir, orang-orang gak harus memperlakukan LGBT dengan buruk hanya karena gak setuju dengan lifestyle yang mereka jalani.
Bagaimana tanggapan Ziggy akan perkembangan novel fantasi karya penulis lokal? Sejauh pengamatan saya, masih belum banyak penulis fantasi di Indonesia. Pembaca/penggemar genre fantasi pun biasanya lebih memilih membaca novel fantasi karya penulis barat (yang sudah lebih dulu established dan terpercaya) ketimbang novel fantasi lokal. Padahal, sebenarnya kualitas fantasi lokal juga tidak kalah bagus.
Truth be told, saya sepertinya gak pernah baca novel fantasi karya penulis lokal, jadi gak bisa memberi insight soal ini. In fact, saya punya trust issues terhadap novel fantasi secara general, soalnya eksekusi novel fantasi sering kurang memuaskan.
 ***

Ah, mungkin pyewacket yang cocok buat saya juga sejenis Crescentine B-) . Setiap kali membaca jawaban-jawaban dari para penulis yang saya wawancarai, saya selalu menemukan hal-hal baru yang menarik. Nah, semoga kalian juga menikmati obrolan saya dan Ziggy di atas, ya! Oh iya, sehari setelah tulisan ini saya publikasikan, akan menyusul kemudian I-Need-Fantasy Giveaway, yang berhadiah satu novel Comedy Apparition dan satu novel Wonderworks Prodigy. Jangan ketinggalan, ya! Sampai jumpa secepatnya!

 


8 February 2016

[Resensi FESYENISHEEZA] Sudah Bukan Zamannya ABG Galau Romens

Judul: Fesyenisheeza
Penulis: Nita Lana Faera
Editor: Miz
Penerbit: PING
Cetakan: I, 2016
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-602-391-060-1
Harga: Rp 38.000,00
Rating saya: 2/5

Sewaktu TK dulu, Sheeza pernah menggambar rancangan baju untuk Minie, kucingnya. Sebuah artikel yang menunjukkan betapa gemilangnya karier seorang perancang busana, terlebih perancang busana muda Indonesia bernama Rafi Abdurrahman Ridwan, membangkitkan tekad Sheeza untuk memulai lagi menggambar baju. Kali ini bukan baju buat kucing, melainkan rancangan kebaya. Ia membaca banyak buku tentang desain dan belajar secara otodidak. Suatu ketika, saat mengumpulkan tugas menggambar dari Bu Lidya--sang guru kesenian--Sheeza salah mengumpulkan buku gambarnya yang berisi rancangan-rancangan kebaya. Rancangan ini menarik perhatian Bu Lidya, yang lalu membelinya untuk digunakan sebagai kebaya untuk acara lamaran yang akan berlangsung tak lama lagi.

Sejak saat itu, kemampuan merancang Sheeza mulai tenar di kalangan para guru. Tentu, tak semua temannya seperti Vonny dan Ratu, dua sahabat yang selalu mendukungnya. Ada juga kaum siriker, yang diketuai Bianca. Melihat kesuksesan Sheeza dalam hal merancang busana, malah bisa menghasilkan uang sendiri juga, ia tak terima. Bersama ketiga anggota gengnya, Febri, Mila, dan Gina, ia berusaha menjahili Sheeza. Mulai dari mencuri kertas-kertas gambarnya, yang lalu diberikan ke ibu penjual gorengan di kantin sekolah, sampai memplagiat gambar Sheeza yang dipublikasikan di blog. Sebelumnya, Sheeza memang membuat blog untuk berbagi tutorial merancang baju. Blognya itu bernama Fesyenisheeza. Namun, setelah insiden itu, ia menutup blognya. Namun, serangan dari geng siriker tak berhenti di situ.

Selain itu, Sheeza juga pusing karena ingin mengikuti sebuah lomba desainer tingkat nasional, tapi umurnya masih di bawah 18 tahun (ketentuan pesertanya harus sudah 18 tahun). Di sisi lain, Mama Sheeza yang lebay abis itu, mengkhawatirkan anaknya yang sekarang berubah: seharian mengurung diri di dalam kamar untuk menggambar. Ia cemas anaknya akan kehilangan ke-gahol-annya. Oleh karena itu, secara gegabah, ia mencarikan cowok untuk Sheeza, yaitu Emir, anak temannya. Siapa sangka, Sheeza sama sekali tak mau pacaran dulu, dan selalu memasang sikap jutek tiap kali ada Emir. Suatu saat, Sheeza ngerjain Emir, dan itu membuat Emir ingin balas dendam.

***

"Novel ini unik dalam pilihan idenya, jarang ditulis para novelis teenlit kita, plus upaya pencarian 'makna hidup' yang menyelipkan inspirasi." (Edi AH Iyubenu)
Demikianlah endorsement dari Pak Edi, rektor #KampusFiksi, di kover novel Fesyenisheeza. Pendapat Pak Edi ini pasti tak bisa dilepaskan dari tren teenlit yang banyak mengambil genre romance, yang tokohnya dedek-dedek gemes alay mengejar cinta. Nah, di tengah penghuni tahta novel teenlit macam itu, penulis Fesyenisheeza (meski belum lepas dari segala ke-alay-an yang membuatnya jadi sangat teenlit), berhasil merobek-robek tren tersebut. Sheeza, si tokoh utama, bukannya mengejar cinta, malah mengejar mimpi jadi seorang fashion designer terkenal! Dia baru 14 tahun dan sudah sadar cita-cita seperti itu. Hmm, sebentar, di umur segitu saya juga sudah sadar diri akan jadi penulis, lho. Tiap hari isinya menuhin notebook dengan puisi-puisi (yang kalau dibaca lagi sekarang, sering bikin saya malu sendiri.

Sheeza bisa dibilang kebalikan dari tokoh sinetron remaja kebanyakan, yang intensi utamanya bersekolah adalah untuk cari gebetan. Kemudian jambak-jambakan dengan cewek lain karena rebutan cowok. Malah, si Mama yang keracunan sinetron, dengan menjodohkan Sheeza dengan Emir, padahal Sheeza jelas-jelas menolak.
"Pokoknya sekarang ini gue nggak mau pacaran dulu. Gue cuma mau fokus sekolah dan ngejar impian gue untuk jadi desainer terkenal." (Sheeza, hlm. 63)
Sosok Sheeza digambarkan penulis sebagai tokoh ideal teladan para remaja (dan teladan para jomblo berkualitas! Tuh, anak remaja 14 tahun aja lebih mentingin pendidikan dan mengejar mimpi ketimbang pacaran, masa yang udah 20 tahunan masih galau-galau perkara pacaran.). Seharusnya remaja sudah tahu jelas mimpi dan cita-citanya, serta sudah mulai berusaha untuk menggapai cita-citanya itu. Seorang remaja seharusnya tidak pantang menyerah dan berani mengambil risiko, seperti saat Sheeza nekat ikut lomba desainer, padahal umurnya belum 18 tahun. Seorang remaja seharusnya punya cita-cita mulia untuk membanggakan seluruh Indonesia (yah, minimal membikin bangga diri sendiri dulu). Remaja Indonesia seharusnya tidak menjadi seorang siriker, seperti Bianca, yang selalu sirik akan keberhasilan orang lain. Seorang remaja yang memiliki kemampuan tertentu, seperti merancang busana, seharusnya tak pelit untuk berbagi ilmu. Seperti Sheeza, yang berbagi pengetahuan melalui blognya. Sungguh, betapa mulia tokoh Sheeza! Sebaliknya, betapa bikin eneknya tokoh Bianca!

Dari sini, bisa diambil kesimpulan bahwa penulis masih menganut paham hitam dan putih dalam menciptakan karakter utama protagonis (Sheeza) dan karakter utama antagonis (Bianca). Melalui tokoh Sheeza yang berpikiran kritis, yang terbilang cukup dewasa untuk umurnya, penulis banyak melancarkan sindiran. Misalnya, sindiran untuk majalah-majalah remaja, yang isinya nggak bermanfaat bagi kecerdasan nusa dan bangsa. Misalnya, "Tips Pacaran Murah Meriah untuk Anak Sekolah" (hlm. 21).
"Pacaran murah meriah? Kalau nggak pengin duit abis, kenapa juga harus pacaran? Udah tahu jadi anak sekolah yang duit jajannya masih dikasih bokap-nyokap, pas-pasan pula. Mending ntar aja kalo udah bisa cari duit sendiri, bisa pacaran tanpa harus ngirit-ngirit." (Sheeza, hlm. 21)
Melalui tokoh Bianca and the gang, penulis juga menyindir para siriker yang suka ngatain orang lain yang bawa bekal "lagi ngirit, ya?", padahal dirinya sendiri kalau makan di kantin mesti seporsi berempat, dengan dalih "lagi diet". Padahal mereka sendiri yang ngirit, biar duitnya bisa dibeliin alat-alat make-up (oh my gosh, bocah 14 tahun udah main dandan-dandanan menor). Contoh lain adalah ketika pada akhirnya Bianca and the gang menyadari manfaat bawa bekal (hlm. 118), padahal sebelumnya Bianca ngeledekin Sheeza yang bawa bekal ke sekolah.
"Besok-besok mbok ya cari kegiatan yang bisa menghasilkan duit, jadi ndak perlu diet. Bisa beli soto sendiri-sendiri. Kalau kerjaan ngerumpi aja, yo sampe kapan juga diet terus. Makan soto semangkuk rame-rame sambil ngomongin orang yang bisa nyari duit." (Si Abang penjual soto, hlm. 85)
Namun, kadang Bianca bijak juga, seperti ditunjukkan kata-katanya di hlm. 123.
"Makanya kalo nulis itu yang jelas dong, siapa yang lo maksud. Namanya juga dunia maya, tempat banyak orang yang ngerasa kena sindir, walaupun nggak ada maksud buat nyindir."
Sementara itu, melalui tokoh Bu Lidya, penulis ngrasani para ABG alay di luar sana. "Bu Lidya nggak lama lagi bakalan resmi jadi seorang istri dan menyandang status 'married', bukan cuma di Facebook layaknya ABG yang ngebet banget pengen kawin, tapi tentunya di dunia nyata alias beneran." (hlm. 124). Selain itu, ada lagi di halaman 70. Hayo, siapa yang pernah ngelakuin, atau pernah punya teman yang hobinya kayak Bu Lidya ini?
"Ya, Bu Lidya juga seperti manusia pada umumnya yang selalu bilang, 'Eeeh, ini rahasia, ya', tapi nyatanya dia sendiri yang nyebar-nyebarin rahasia itu. Ya, itulah manusia, eh maksudnya Bu Lidya."
Nah, tokoh-tokoh lain bikin saya mesam-mesem, seperti Pak Gun (tokoh untuk lucu-lucuan, tapi syukurlah pada akhirnya ia bertemu jodohnya). Nah, ada satu kesempatan di mana Pak Gun mengatakan sesuatu yang tidak konsisten. Awalnya, ia berkata, "Saya tidak mungkin melempar kalian ke penjara. Nanti saya juga yang repot. Pondok Bambu itu macet...". Sejurus kemudian, karena gemas perintahnya ditawar-tawar oleh Bianca and the gang, ia berkata, "Sekali lagi kalian nawar, lebih baik saya masukkan aja ke penjara sekalian. Mumpung ke Pondok Bambu cuma sekali naik angkot." (hlm. 105) Yah, meski demikian, inkonsistensi ini sah-sah saja jika untuk memperkuat kekonyolan tokoh Pak Gun.

Seperti Mama (yang lebay overdosis, fobia keterlaluan kalau anaknya bakal jadi kuper; berpanduan hidup berupa majalah fashion, sinetron, dan acara gosip; yang kesenangan hidupnya adalah membeli sepatu diskonan dan menjodohkan anaknya semena-mena), dan Papa (yang, meski hobi nonton sinetron, tak lantas jadi lebay seperti Mama).
"Bayangin aja, Pa. Sazkia Gotik batal tunangan, Sheeza nggak tahu. Siapa aja pejabat yang terlibat korupsi, Sheeza nggak tahu.... Ya, gimana dia bisa tahu, kalau tiap liburan yang diurusin cuma gambar, gambar, gambar aja." (Mama, hlm. 49)
Tokoh Mama mungkin diciptakan penulis sedemikian rupa untuk menyindir para mama dan/atau orang tua modern di luar sana, yang kurang bisa memahami anaknya, dan karena terpengaruh sinetron, jadi bertindak aneh-aneh. Terlepas dari itu, Papa cukup bijaksana, lho. Nggak bisa bayangin gimana jadinya kalau Papa juga se-lebay Mama. Ada satu nasihat Papa Sheeza yang jadi favorit saya:
"Kalau nanti ada cowok yang ngajak kamu jalan, kamu harus tetap bawa uang. Kali aja itu cowok bakalan kabur dan akhirnya kamu yang harus bayarin makannya dia." (hlm. 66)

"Cowok ganteng itu nggak akan traktir cewek pake uang orang tuanya, apalagi harus berbohong biar punya uang lebih buat pacaran." (hlm. 67)
Keluarga Sheeza yang terlihat menyenangkan, lengkap dengan percek-cokan nggak penting mereka, tapi yang menghidupkan suasana rumah. Seperti ketika perdebatan terjadi karena Mama ingin dianterin Papa ke mall, sedangkan Sheeza minta dianterin ke toko buku (hlm. 11). Mengapa mereka nggak ke mall aja, kan ada toko buku juga di mall? Tapi, ntar kasihan Papa, sih, diperas Mama suruh beliin sepatu diskonan. Namun, ada adegan yang lebay menurut kacamata saya. Yah, mungkin ini salah saya juga, sih, sudah tahu bukan umurnya lagi baca teenlit semi-komedi kayak gini... Adegan itu adalah ketika mereka sekeluarga tiba-tiba menyadari bahwa kebersamaan mereka kini telah dirampas oleh kesibukan bermedia sosial (hlm. 155). Si Papa sampai nangis segala, lho, makin membuat adegan ini berlebihan. Pun agak aneh, karena sejak awal atmosfer di dalam rumah Sheeza terasa nyaman-nyaman saja. Papa-Mama cukup perhatian pada Sheeza. Lalu, tiba-tiba di adegan tersebut mereka saling menyadari kalau selama ini terlalu sibuk dengan dunia sendiri?!

Dengan gaya bahasa santai nan lincah a la remaja gaul ibu kota, alur cerita terasa mudah diikuti. Namun, jalan cerita terasa dimudahkan bagi Sheeza untuk jadi seorang desainer pakaian yang cukup tenar. Mungkin ini imbas dari kapasitas halaman yang tak mencapai 200 tebalnya, pun akan terasa agak berat untuk kategori teenlit, jika proses pencapaian mimpi Sheeza menemui banyak lika-liku (kecuali lika-liku yang disebabkan oleh Bianca and the gang). Karena faktanya, mencapai mimpi tak semudah itu. Uniknya, penulis menyertakan satu momen sureal ketika bibir Bianca yang hobi monyong-monyong itu tiba-tiba nggak bisa balik. Ini mungkin pesan dari penulis agar jangan sirik melulu, ntar bisa-bisa mulutmu kaku!

Terlepas dari beberapa kesalahan teknis penulisan, seperti di hlm. 12 ("Bianca, cewek teman sekelas Sheeza yang emang terkenal banget sebagai "siriker" alias orang sirik.") dan hlm. 52 (Pinter, karena [agar] nggak dibego-begoin anak gue.), novel teenlit ini layak dibaca oleh segenap ABG Indonesia, biar alay-nya dialihkan ke hal-hal yang bermanfaat, seperti mencapai mimpi. Yah, meski novel ini sendiri pun sejak awal terkesan alay berkat judulnya yang susah dibaca itu. Tapi saya suka desain kovernya, simpel, tapi unyuk :x
"Sahabat sejati adalah orang yang selalu mengingatkan bila sahabatnya berbuat salah. Jika ada sahabat yang malah menyuruh sahabatnya melakukan hal yang tidak baik, itu perlu kamu pertanyakan. Apa dia benar-benar menganggapmu sahabat atau kamu hanya diperalat?" (Bu Lidya, hlm. 137)

6 February 2016

[TIGER ON MY BED] Blog Tour: Giveaway Winner


Hello, Readers! Dua hari telah berlalu sejak blog tour TOMB di blog ini ditutup, dan kini saatnya mengumumkan siapa pemenangnya. Eits, sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih buat teman-teman semua, yang sudah mampir baca Ask Author, Review, dan Giveaway. Terima kasih juga buat yang sudah meninggalkan jejak di sana, dan sudah ikut meramaikan giveaway.  Namun, karena tiap hari selama 15 hari berturut-turut ada giveaway dari tiap host, pesertanya jadi tidak terlalu banyak. Mungkin ada yang sekadar mampir dan setelah  menengok pertanyaan yang saya ajukan, bingung hendak menjawab apa, lalu menutup halaman dan lupa untuk mampir lagi :D . Jujur, waktu ngasih pertanyaan itu saya sendiri juga bingung, makanya saya nanya kalian. Saya sangat bersyukur ada beberapa jawaban yang memberi saya pencerahan :D .

Giveaway ini diikuti oleh 15 peserta, 4 di antaranya terpaksa saya diskualifikasi karena kurang sesuai dengan persyaratan, dan 2 lainnya saya coret karena sudah menang di host sebelumnya. Jadi, ada 9 jawaban yang valid, yang kemudian saya pilih 3 terfavorit di antaranya. Setelah membaca berulang-ulang, meresapi tiap jawaban, saya paling tercerahkan oleh satu jawaban ini.

Nggak setuju. Sebenarnya kadang, tanpa perlu patah hati, kita bisa tahu seperti apa kita ingin dicintai. Bahkan ketika kita menjalani hubungan yang mungkin tidak seperti yang kita harapkan, dari sana kita juga bisa tahu seperti apa kita ingin dicintai, tanpa harus merasa patah hati. Hehehe. :D
Hayo, jawaban siapakah itu? Ya, pemenangnya adalah...


DHAMALA SHOBITA | @dhamalashobita

Yeay!! Selamat, Dhamala! Kirimkan data diri berikut ke e-mail saya: kimririn93@ymail.com dalam jangka waktu 2 x 24 jam. Kalau lebih dari itu saya belum menerima konfirmasimu, maka saya berhak memilih pemenang yang baru :)
Nama lengkap:
Alamat kirim:
No. HP:

Untuk para peserta lain yang belum menang, jangan sedih, ya! Masih ada kesempatan bagi kalian untuk menang di blog host yang lain. Buat Bang Ino dan Twigora, saya juga mengucapkan terima kasih atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan bagi saya untuk menjadi salah satu blog tour host Tiger on My Bed. Semoga kita bisa bekerja sama di kesempatan yang lain! 

5 February 2016

[Resensi INTERVAL] Masa Lalu yang Menanti Disibak

Judul: Interval
Penulis: Diasya Kurnia
Editor: Ainini
Penerbit: PING
Cetakan: I, 2016
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-602-391-059-5
Harga: Rp 36.000,00
Rating saya: 2/5

SEBAGAI seorang pelajar SMA merangkap penari jathil, Kinanti sudah terbiasa mendengar pergunjingan negatif mengenai dirinya. Penari jathil kerap dikaitkan dengan label perempuan murahan, yang bagian tubuhnya sering dipegang-pegang para lelaki sambil menyelipkan sawer. Namun, Kinanti dan sahabatnya, Rey, adalah anggota grup reog Singo Taruno Joyo milik Pak Rengga yang tak berani menerima sawer. Tinggal berdua dengan seorang kakek yang sudah tua, yang mengandalkan penghidupan dari membuat topeng Bujang Ganong, Kinanti bertahan hidup dengan menjalani dua kehidupan berbeda: di siang hari ia menjadi anak sekolah, dan sepulang sekolah ia menjadi penari jathil.

DI sekolah, bersama Rey, Kinanti menjadi anggota Klub Tari. Menginjak tahun ajaran baru, pemilihan ketua baru Klub Tari pun akan dilaksanakan. Salah satu kandidat kuatnya adalah Ratih, si gadis populer yang sombong, yang juga pacar Dimas. Sialnya, Kinanti diam-diam menyukai Dimas, dan suatu pertemuan tak disengaja dengan Dimas di taman belakang sekolah menimbulkan agresi dari pihak Ratih. Sembari mengata-ngatai Kinanti dan Rey tentang pekerjaan mereka sebagai penari jathil, ia menantang mereka berdua.
"Ya, anggaplah ini adalah sebuah tantangan untuk membuktikan bahwa penari jathil keliling harus naik kasta lebih tinggi. Tidak hanya berada di kelas rendah, kaum yang berada di kasta Sudra, kubangan lumpur. [...] Makanya kutantang kamu agar memenangkan kandidat pemilihan ketua tari sebentar lagi. Jika di antara kalian berdua ada yang bisa mengalahkanku maka aku tidak akan sekali-kali menganggap kalian sebagai gadis menjijikkan lagi." (Ratih, hlm. 43-44)

"Kami menerima tantanganmu bukan karena kami ingin membuktikan diri bahwa kami ini kaum jathil yang seperti kamu katakan. Tapi kami hanya ingin kamu mengerti bahwa kami menari untuk seni." (Rey, hlm. 44)
TERNYATA, diam-diam Rey mengundurkan diri menjadi kandidat pemilihan ketua tari, karena sejak awal dia memang hanya ingin memotivasi Kinanti agar bersedia ikut. Salah satu poin seleksi adalah menampilkan bakat tari di depan banyak orang, jadi ini kesempatan bagus untuk Kinanti menunjukkan kemampuannya.

KEHIDUPAN percintaan Kinanti sering tak berjalan mulus. Datanglah seorang guru baru dari Amerika Serikat, bernama Carl. Umurnya baru 22 tahun. Kinanti yang awalnya tidak pede dengan kemampuan bahasa Inggrisnya, didorong oleh Rey, menjadi rajin belajar dan berdiskusi dengan Carl. Hubungan mereka berdua makin dekat, tapi ketika Carl main ke rumah Kinanti, sang kakek menolaknya habis-habisan. Kinanti menduga ini ada hubungannya dengan mimpi yang sering mampir di tidurnya, tentang seorang wanita pribumi dan seorang lelaki bule, si wanita menggendong seorang bayi. Kinanti juga mulai bertanya-tanya mengapa rambutnya berwarna brunette.

ENAM tahun setelah Kinanti lulus SMA, ia berkunjung ke New York untuk mencari orang tuanya, hanya berbekal foto lama ibunya dan sebuah alamat di baliknya. Selain itu, diam-diam dia punya misi lain, yaitu untuk menemui Carl dan menyatakan perasaannya. Namun, kadang rencana-rencana manusia tak berbuah manis seperti harapan....

----------

DI halaman 3, Guntur Alam menuliskan endorsement atas novel ini. Katanya,
"Tak banyak novel romance remaja yang mengangkat tema lokalitas. Pilihan tema itu yang membuatnya istimewa. Lewat novel ini, penulisnya ingin mengenalkan kembali kekayaan negeri, terutama dari Kota Ponorogo, kepada anak muda. Jalinan cerita yang runut membuat novel ini sangat mudah dipahami."
BERBEKAL setumpuk pengalaman patah hati, saya belajar untuk tidak berekspektasi. Sekalipun Guntur Alam menuliskan testimoni seperti itu, saya tak mudah dipengaruhi. Sialnya, fokus saya terlalu tersedot pada kata "lokalitas", sehingga mengabaikan bahwa "novel romance remaja" lebih dulu disebut oleh Guntur Alam. Pemilihan susunan kalimat pertama testimoni ini mengisyaratkan bahwa Interval adalah novel romance remaja, jadi genre-nya romance, tapi temanya lokalitas. Sekental apa pun tema lokalitasnya, kaldu romance-nya akan tetap lebih kental. Kemudian, kalimat kedua mengingatkan saya akan reog Ponorogo. Kalimat terakhir memberi kesan bahwa Guntur seperti kurang bisa menemukan keunggulan novel ini selain tema lokalitasnya, sehingga dengan terpaksa (mungkin) ia hanya sanggup menuliskan tentang "jalinan cerita yang runut yang mudah dipahami". Pertama, jalinan cerita runut bukan jaminan cerita akan mudah dipahami. Kedua, cerita mudah dipahami bukan merupakan keunggulan yang istimewa, karena banyak sekali novel romance remaja lain yang ceritanya mudah dipahami.

SAYA akan berhenti sampai di situ mengkritisi testimoni Guntur Alam, karena saya akan mulai membahas tema lokalitas yang katanya membuat novel romance remaja ini istimewa. Tema lokalitas yang diangkat diwakili oleh profesi sambilan Kinanti dan Rey, yaitu penari jathil; dan profesi kakek Kinanti sebagai pengrajin topeng Bujang Ganong. Namun, konflik mayor tidak fokus pada tema lokalitas ini, tapi fokus pada perjuangan Kinanti menemukan orang tuanya di Amerika Serikat. Konflik ini sekilas mengingatkan saya akan novel karya Pia Devina, berjudul Carrying Your Heart. Tidak ada adegan yang langsung menunjukkan pementasan tari jathil. Kelokalitasan hanya dibangun mengandalkan cuap-cuap narator, yaitu "aku" (Kinanti), sehingga sangat kurang bisa menampilkan hawa lokalitas. Kebanyakan adegan berlangsung di sekolah dan di New York.

LOKALITAS sirna setelah bab 8 selesai di halaman 82, karena mulai bab 9 Kinanti telah berada di New York untuk mencari orang tuanya. Tak terduga, konflik minor malah merambah ke ranah topik lesbian dan homoseksual, yang menurut saya, alih-alih menimbulkan twist, ia malah mencederai kadar kohesi alur cerita. Konflik minor tersebut muncul beberapa kali, sehingga cukup mendominasi alur cerita, dan terasa mencelat terlalu jauh dari alur yang dibangun sejak awal. Memang, saya sudah curiga bahwa si tokoh itu lesbi sejak ia ngambek di bagian awal, tapi saya kira sudah cukup sampai di situ penulis menghadirkan isu LGBT. Ternyata, di New York, lagi-lagi LGBT merebak. Mengapa novel ini jadi gencar bercerita tentang LGBT? Mengapa penulis tidak memilih menceritakan saja perjuangan Kinanti menjadi penari jathil bertaraf internasional, misalnya (karena setahu saya Kinanti bermimpi menjadi penari profesional dan keliling dunia, coba lihat halaman 7)? Saya jadi agak curiga, jangan-jangan LGBT dipilih karena sedang ngetren saat ini.... Saya kira, penulis mengeksploitasi tokoh Kinanti untuk menyatakan ketidaksetujuannya dengan keberadaan kaum LGBT.

ADA juga ke-"tiba-tiba"-an lain yang menjadikan alur terasa melompat-lompat tanpa koneksi kuat, antara lain bunuh dirinya seorang tokoh penting. Peristiwa itu hanya disinggung sebentar, dan terlalu tiba-tiba karena awalnya tidak ada indikasi hal itu akan terjadi. Bukannya menjadikan twist, melainkan mengagetkan pembaca dengan cara yang tidak nyaman. Bisa disimpulkan, di bagian menjelang akhir, beberapa adegan terlalu dipaksakan masuk ke dalam alur cerita.

KEHIDUPAN romance Kinanti sungguh sial. Gagal sebelum mencoba dengan Dimas. Kemudian ia menyukai Carl, dan Dimas terlupakan. Tapi nahas, Carl sudah punya pacar. Lantas dengan mudahnya Kinanti menyukai Seth, tapi sial, ternyata Seth.... Saya mengerutkan dahi berkali-kali membaca bagian kisah percintaan Kinanti ini. Agak terlalu didramatisasi, yang diperparah oleh karakter Kinanti yang terlalu mudah jatuh cinta. Selain mudah jatuh cinta, Kinanti juga sosok yang pesimis. Untunglah ada Rey, sahabatnya, yang selalu optimis dan mampu memotivasinya. Selain itu, Kinanti juga polos dan cenderung naif. Contohnya ada di halaman 32,
"Coba bayangkan bagaimana aku berkomunikasi dengan orang asing menggunakan bahasa Inggris jika nilaiku saja sulit menembus angka tujuh?"
DARI kalimat itu terlihat dua karakter Kinanti sekaligus: pesimis dan polos. Polos, karena ia tidak tahu bahwa nilai pelajaran bahasa Inggris tidak menentukan bisa tidaknya kita berkomunikasi dengan orang asing. Mungkin menentukan, kalau itu nilai TOEFL, TOEIC, atau IELTS. Pesimis, karena ia sudah menghakimi diri tak bisa berkomunikasi dengan orang asing, hanya karena nilainya sulit mencapai angka 7. Mengapa tak mencoba belajar dengan bantuan Rey? Bukankah Rey salah satu murid terpandai di sekolah, termasuk dalam pelajaran bahasa Inggris?
"Melupakan kesedihan bahwa aku tidak akan bertemu dengan orang tuaku." (hlm. 97)
KALIMAT tersebut juga menunjukkan betapa pesimisnya Kinanti, padahal itu baru percobaan pertama dalam usaha pencarian orang tuanya. Aneh, padahal Kinanti pernah mengatakan juga bahwa ia sadar kalau pencariannya ini akan sulit karena hanya berbekal alamat yang diberikan puluhan tahun lalu. Sangat mungkin orang tuanya sudah pindah alamat, kan?

SELAIN itu, karena terbiasa hidup berkekurangan, perhatian Kinanti terlalu tersedot pada bagaimana caranya menghasilkan uang. Hal ini membentuk persepsi bahwa Kinanti materialis dan kurang mensyukuri hidup.
"Aku bukan berasal dari keluarga kaya yang mampu menutup semua mulut berbisa itu dengan uang. Setidaknya, jika memiliki banyak uang aku lebih mudah mendapatkan apa yang kuinginkan. Sayang, aku tetap seorang anak yang bisa disebut yatim piatu, dengan seorang Kakek yang hanya berjualan keliling."
(Kalau tidak materialis, Kinanti akan berpikir untuk "menutup semua mulut berbisa itu" dengan membuktikan bakat menarinya. Ini juga mempertegas kalau Kinanti lebih cenderung naif ketimbang polos. Kalau polos, ia mungkin tidak tahu bahwa mulut bisa ditutup pakai uang. Tapi, karena ia menganggap bahwa semua mulut bisa ditutup pakai uang, maka ia naif. Maaf kalau kalian bingung >,< saya memang kurang pandai menjelaskan wkwk.)
"Aku hanya berpikir bagaimana Kakek cepat sehat kembali serta aku bisa mendapatkan banyak uang untuk pengobatannya. Uang, uang, dan uang. Hanya itu yang ada di otakku sekarang." (hlm. 50)
NAMUN, di luar semua pengakuan akan karakter negatifnya itu, Kinanti punya kualitas positif juga. Ia mampu bangkit dan move on (dengan cukup cepat), baik dari gagalnya cinta maupun dari peristiwa pahit meninggalnya beberapa tokoh.

REY adalah sosok sahabat yang sangat baik, bahkan terlalu baik. Ia tak lelah memotivasi Kinanti untuk maju. Mulai dari perihal pemilihan ketua tari, meminta pada Carl untuk membantu Kinanti belajar bahasa Inggris, sampai memberikan honor sebagai penari jathil pada Kinanti. Maklum, sih, Rey menari jathil bukan untuk mencari uang, karena ia berasal dari keluarga berada. Selain itu, ia juga pintar dalam hal akademik. Rey juga seorang gadis yang tidak akan tinggal diam melihat sahabatnya dihina.

GAYA bahasa yang digunakan penulis terlalu baku untuk obrolan antaranak SMA. Tapi kebakuannya itu juga tidak konsisten.
"'Kita menari sampai malam, Rey. Kalau tahu bahwa Pak Kusno tidak hadir hari ini, aku memilih bolos, deh!'" (hlm. 12)
KATA "bahwa" dan "tidak" membuat kalimat terkesan sangat baku, tapi kemunculan kata "deh" di akhir mencederainya. Kemudian, kalimat balasan Rey juga galau antara bahasa baku atau bahasa gaul, atau campuran. Kalaupun campuran, kadarnya kurang menyatu dengan pas.
"'Ye, kita akan ulangan umum sebentar lagi, Kin. Kalau kamu sering bolos, gimana kamu akan mengejar ketinggalan?'
'Masih ada kamu, Rey. Kasih contekan, dong!' Aku mengedip pada Rey." (hlm. 12)
ADA juga cara penuturan penulis yang kurang saya pahami sehingga mengurangi kenyamanan membaca dan membuat penuturannya kurang lancar. Hal ini disebabkan oleh penggunaan kata/istilah yang kurang tepat atau kekuranglogisan adegan. Contohnya:

1. "Aku tengah memperbaiki pekerjaan rumah saat Carl muncul di depan kelas dengan tampang biasanya." (hlm. 67)
"Tampang biasanya" ini maksudnya apa?

2. "Carl setuju dan kami menyusuri kampung sebelum mencapai ruang belakang yang digunakan Kakek untuk menyimpan semua peralatannya." (hlm. 77)
Adegan ini kurang logis. Di halaman 76 disebutkan bahwa "Carl telah tiba di halaman rumah Kakek dengan senyum mengembang", berarti adegan ini mungkin sekali berlangsung di halaman rumah Kakek. Lantas, mengapa untuk mencapai ruang belakang rumah Kakek mereka perlu "menyusuri kampung"? Seolah awalnya mereka berdua ada di mulut gang masuk kampung. Atau ruang belakang dan halaman rumah Kakek terpisah oleh kampung. Keren banget, ya?

3. "celana panjang mencapai lutut" (hlm. 101)
Frasa tersebut menunjukan penggunaan kata sifat yang kurang tepat. Seharusnya itu namanya celana tiga perempat, atau simpelnya celana selutut, bukan celana panjang. Kalaupun panjang, maka akan lebih cocok untuk menggambarkan bahwa ia mencapai mata kaki, misalnya. Kalau hanya mencapai lutut, maka itu belum tergolong celana panjang.

4. "... aku datang ke acara reuni sekolah di RJ, semacam kafe bernuansa western yang di setiap sudut dominan warna merah menyala." (hlm. 161)
Mungkin akan lebih tepat jika "yang setiap sudutnya didominasi warna merah menyala".

5. "Ingatanku sungguh bagus untuk mengingat postur dan wajah seseorang meski kini ia tidak seideal dulu, Ratih, tentu saja." (hlm. 163)
Kata "seideal" dulu terlalu abstrak dan general. Coba kalau diganti dengan "tidak secantik/selangsing/semenarik/seseksi dulu".

6. "'Untung saja aku masih cukup seksi untuk berkeliling. Ya, setelah melahirkan putra pertamaku dua bulan lalu, aku menjalani diet dan kembali ideal.' Ratih nyinyir dan memamerkan pinggulnya... (hlm 163)
Ucapan Ratih di bagian "masih cukup seksi untuk berkeliling" itu kurang bisa saya pahami maksudnya. Berkeliling ke mana? Mengapa hanya untuk berkeliling harus cukup seksi dulu? Dan lagi-lagi, kata seabstrak "ideal" muncul.

7. Penggunaan kata "Amerika" (hlm. 32), yang seharusnya "Amerika Serikat", karena penggunaannya merujuk pada negara, bukan benua.

8. Grammar yang kurang tepat.
"'I mean, we're friend and learn everything together.'" (hlm. 68)
Lebih tepat jika: "I mean, we're friends, and we learn everything together."

KOVER novel ini cukup simpel, dengan warna dasar putih dan background seperti kertas yang lecek. Gambar kuda-kudaan mewakili penari jathil. Dua frame berisi foto perempuan dan laki-laki mungkin menggambarkan sosok orang tua Kinanti. Kemudian, dari membaca judul novel ini, susah ditebak alur ceritanya. Lain dengan, misalnya ketika saya mendengar judul novel terbaru Christian Simamora, "Tiger on My Bed" dan "Meet Lame". Yang pertama langsung bisa saya bayangkan sebagai novel contemporary romance yang tokohnya disimbolkan sebagai harimau, dan melibatkan banyak adegan hot di atas ranjang. Kalau yang kedua, bisa dibayangkan sebagai kisah kebalikan dari "meet cute". Nah, kembali ke novel ini. "Interval", judul ini mungkin mewakili masa antara kejadian di masa lalu (kisah orang tua Kinanti) dengan kejadian masa kini (kehidupan Kinanti masa SMA) dan masa depan (petualangan Kinanti mencari orang tuanya).

PESAN moral yang ingin disampaikan penulis mungkin merupakan negasi dari semua karakter negatif Kinanti:
1. Alangkah menyenangkannya hidup ini jika kita tidak mudah jatuh cinta dan baperan.
2. Lebih sering-seringlah optimis ketimbang pesimis, apalagi untuk hal-hal yang belum dicoba.
3. Uang bukanlah segalanya.
4. Kaum LGBT juga manusia, yang punya hak-hak asasi.

KESIMPULAN:
1. Karakter Kinanti sukses bikin saya kesal.
2. Kembali lagi ke testimoni Guntur Alam. Nyatanya, meski alur cerita novel ini runut, tak menjadikannya benar-benar runut. Adegan yang tiba-tiba terjadi memberi kesan ada yang bolong dari alurnya. Oleh karena itu, cerita ini jadi tidak mudah dipahami (selain karena gaya bahasa penulis yang membutuhkan usaha keras untuk bisa dinikmati).
3. Rating 2 bintang saya berikan untuk novel ini, karena saya mengapresiasi niat baik penulis untuk meleburkan lokalitas kota Ponorogo dalam Interval.

bloggerwidgets