31 August 2015

Kosakata Bahasa Indonesia Tak Sesempit Batang Sumpit

Membaca novel dari dua penulis yang pernah memenangkan Khatulistiwa Literary Award, Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak, membuat saya menyadari bahwa kosakata bahasa Indonesia tak sesempit batang sumpit. Dari novel Pulang dan Aruna & Lidahnya, saya mengantongi banyak kosakata yang baru saya ketahui bahwa mereka ada di KBBI. (Mungkin saya yang terlalu kuper, maaf >,<) Selain itu juga ada kosakata yang sudah lama tahu tapi jarang saya gunakan. Walau mungkin kalian sudah tahu tentang adanya kosakata ini, tolong lupakan sejenak, ya, karena saya ngotot untuk tetap berbagi. Hehe.

Saya mencoba untuk membuat infographic untuk tulisan ini. (Terima kasih untuk HubSpot yang telah membagikan template infographic secara gratis.)




Aku Ingin Tetap Muda Selamanya

[Ada pembaca blog ini yang menyarankan agar resensi buku Lukisan Dorian Gray tulisan saya, yang dimuat di Koran Tempo edisi 9 Agustus 2015, dituliskan ulang di blog ini. Berikut ini adalah resensinya.]

Judul               : Lukisan Dorian Gray
Penulis             : Oscar Wilde
Penerjemah      : Diyon Yulianto
Tebal               : 276 halaman
Penerbit           : Laksana
Terbit               : Cetakan I, 2015
ISBN               : 978-602-255-782-1
Harga              : Rp 40.000,00

Lukisan Dorian Gray diterjemahkan dari dari The Picture of Dorian Gray terbitan Penguin Books tahun 1994, yang terdiri dari 13 bab. Edisi ini merupakan terbitan ulang dari versi pertamanya yang diterbitkan pertama kali sebagai cerita berseri pada Juli 1890 oleh Lippincot’s Monthly Magazine.

Oleh beberapa kritikus, karyanya dianggap merusak moral orang Inggris. Wilde kemudian merevisi bagian-bagian yang dianggap terlalu vulgar, dan menambah alur sehingga menjadi 20 bab. Termasuk menambahkan tokoh James Vane, kakak Sybil Vane, yang sangat protektif terhadap adiknya dan berniat membalas dendam pada Dorian. Versi revisi berbentuk novel ini diterbitkan pertama kali pada April 1891. 

Ada tiga karakter inti dalam novel ini. Pertama, tentu saja Dorian. Kedua, Lord Henry yang dogmatis, berwawasan luas, terutama tentang psikologi dan filsafat. Ia pandai berkata-kata, sehingga dengan mudah menyihir orang lain. Ia menjunjung tinggi estetika dan hedonisme. Ketiga, Basil, yang bisa dibilang memiliki sikap yang terlalu kaku, saking idealnya, sehingga tak terpengaruh ceramah Lord Henry, maupun kelakuan Dorian. Sikap Basil terhadap Dorian mengisyaratkan kesan homoseksualitas. Inilah salah satu sebab mengapa para kritikus zaman dulu mencaci karya Wilde.

Dorian Gray adalah pemuda yang diberkati dengan ketampanan luar biasa dan kebaikan jiwa yang cemerlang. Tapi mendadak dia berubah menjadi pemuja estetika dan hedonisme era Victoria.  Dorian juga jatuh cinta pada seorang artis opera, Sybil Vane, dan berniat menikahinya. 


Dorian lalu mengajak Hallward dan Lord Henry menontonnya, tapi betapa kecewa dirinya karena akting Sybil Vane sangat jelek malam itu. Malam itulah, pertama kali Dorian menyadari bahwa lukisannya berubah rupa menjadi mengerikan, seolah menanggung dosanya.


Suatu saat Lord Henry mengiriminya sebuah novel Perancis yang berkisah tentang seorang pemuda Perancis dan perbuatan-perbuatan dosanya. Buku itu berhasil meracuni Dorian, bahkan mungkin menjadi semacam panduan hidupnya. Bertahun-tahun berikutnya, Dorian menghabiskan masa mudanya dengan perbuatan-perbuatan amoral dan hedonistis.

Wilde menciptakan alur yang padat dari bab pertama sampai kedelapan. Meskipun ada jarak setting waktu yang cukup lama antara bab tiga dengan bab sebelumnya, Wilde telah mengubah kepribadian tokoh utamanya dalam sekejap. Bab 9 cukup membuat bosan pembaca, lantaran bab yang tidak tipis itu hanya berisi narasi tentang ilmu-ilmu yang dipelajari Dorian selama bertahun-tahun.

Sayangnya, Wilde tidak menunjukkan tingkah buruk Dorian, tapi hanya mengatakannya berulang-ulang. Ia tak menceritakan secara spesifik perbuatan apa saja yang dilakukan Dorian. Ya, kecuali kasus Sybil Vane. Juga ketika Dorian meninggalkan Hetty Merton. Dengan bangganya ia merasa telah melakukan perbuatan baik karena meninggalkan Hetty tanpa menodai kesuciannya.

Novel sastra Gothic ini sangat menarik untuk dibaca. Nuansa gelap dan misterius yang mewarnai setting cerita akan selalu membuat pembaca bertanya-tanya. Boleh dikata, buku ini cukup mengikat perhatian sampai lembar terakhir.

Di luar segala kekurangannya, (termasuk inkonsistensi Wilde, ketika ia tiba-tiba menginterupsi cerita bersudut-pandang orang ketiga dengan muncul sebagai “aku” di tengah narasi pada halaman 205, novel ini layak dinikmati. Apalagi nilai-nilai moral yang diutarakan Wilde adalah pelajaran berharga. Lewat karakter utamanya yang memuja keindahan dan penganut hedonisme, Wilde menyiratkan pelajaran bahwa keindahan atau kecantikan, dan harta bukanlah segalanya.[]

27 August 2015

[Book Review] The 100-year-old Man Who Climbed Out The Window and Disappeared

TitleThe 100-year-old Man Who Climbed Out The Window and Disappeared
AuthorJonas Jonasson
Pages: 463
PublisherHyperion (Hachette Book Group)
Edition: First International Edition, 2012
ISBN: 978-0-7868-9145-0
Price: $9 U.S.
My rating: 4/5


"Revenge is not a good thing. Revenge is like politics: one thing always leads to another until bad has become worse, and worse has become worst." 
(Allan, p. 84)

What's Inside?


This book told about Allan Karlsson's adventure at the present (note: "present" refers to the year of 2005), which was begun on his 100th birthday on May 2, 2005. Yes, 100th birthday--and he was fit and healthy enough to climbed out the window of his room in the Old Folk's Home, and disappeared. Actually, he didn't really disappeared, since later the Chief Inspector Aronsson, the detective in charge of investigating the case of Allan's disappearance, found his traces.

This book also told about Allan's adventures around the world during his sensational life back then (1905 - 2005). As an explosion expert lived in the era of world wars, he was involved in many important events of twentieth century. Not only that, but also luckinesses, his readiness to take risks, his cunning and intelligence had brought him to have relationships with many world's magnates: Stalin, Franco, Truman, Kim Il Sung and his son Kim Jong Il, and de Gaulle. He had saved the life of Mao Tse-tung's wife and Churchill. He also made friends with Albert Einstein's hapless half-brother, Herbert Einstein and his wife, Amanda--a dull-witted politician from Indonesia.

Where Was Allan Heading To?


On his indoor slippers, Allan went to Malmköping's bus station and coincidentally met a member of Never Again, a criminal gang. When he was supposed to catch a bus, the Never Again guy left his suitcase and asked Allan to keep an eye on that because he urgently needed to relieve himself. Then, the bus came, and the guy didn't come out of the restroom yet, so Allan took the big suitcase with him, or in other word, stole it. Allan got off at Byringe station and met Julius Jonsson, who lived at the station. Julius received Allan with open arms. After had dinner together, they decided to open the suitcase and was taken aback. They stared at the suitcase's contents: piles of 50 million crowns of money! The Never Again guy had catched Allan up and found them. But the two other guys--one was very old and the other was pretty old--unintentionally made him die in a freezer room. They were soon running away with the suitcase stuffed with money and met Benny, who later became their chauffeur. The three of them escaped to Rottne and were accommodated at Lake Farm owned by Gunilla Björklund.

While, the police had presumed that Allan was kidnapped by criminal gang called Never Again. Later, the police's statement differed: Allan and the gang were suspected as the murderers of the two members of Never Again. Now, the inhabitants of Lake Farm were hunted by both the police and the other members of Never Again.

What You Should Be Wary of When Reading This Book

Uh, this is me, trying to read this book at the beach. Quite cool, eh?

Reading this book can be thrilling, so I want to warn you first about:
  1. Its long and not-catchy title. This is the first time I read a book with that so long title. But somehow, this title is quite interesting.
  2. It's stuffed with a heap of astonishing and nearly unbelievable happenings, especially those in Allan's past adventures. As a reader, maybe you will be very shocked once you listen to Allan's past experiences, which were engaged in relationships with historical figures. Just like Prosecutor Ranelid, maybe you will be taken aback:

    "What are you talking about? Were you drinking tequila with Vice President Truman when President Roosevelt died?" (p. 392)

    "I know bloody well who Churchill was, I just... You and Churchill together in Tehran?" (p. 399)
  3. The appearances of world's historical figures in the contexts of comedy and foolish story. For examples, when Allan made Stalin furious just because he had chosen a wrong poem to read (a Verner von Heidenstam's poem). Allan didn't know who Heidenstam was, but Stalin knew very well. Heidenstam stood up for Germany--Hitler's regime. And, you know, at that time, the world was at war, between the communists (Russia, China, North Korea) and liberalists (USA and its ally) dan Hitler's Nazi.
  4. Too many foolish happenings, but strangely they had saved Allan's life time after time. For example, when he and Herbert disguised as Marshal Meretskov from Russia and his chauffeur. Confidently, they went to North Korea and asked to meet Kim Il Sung (the president). It was surely a boo. Kim Il Sung knew very well how the real Marshal Meretskov looked like, so Allan and Herbert were arrested.

    In spite of the foolishnesses, those happenings also show us Allan's cunning in facing dangerous circumstances (plus his readiness to take risks). For example, he exploded the prison in Tehran, when he happened to explode Churchill's car, hence he and Herbert could escape.
  5. A series of pretty preposterous happenstances, but somehow they were fit together. For example, when the two victims (the members of Never Again, Bylund and Hulten) murdered by Alland and the gang, miraculously were found in Djibouti and Riga, respectively. Prosecutor Ranelid couldn't arrest them since "the chain of circumstantial evidence was disintegrating" (p. 350).
  6. There were no really either protagonists or antagonists. The characters metamorphosed dynamically along the plot. Per-Gunnar, the boss of Never Again, was a perfect model of this phenomenon. At first, he hunted Allan and the gang for stealing his suitcase and money, and murdering his two members. But, in the end, he teamed up with them.
  7. Don't ever be Allan's partner in his past adventures. His partners were likely dead in the end, while he himself was alive. This was what happened to Allan's partners in crossing Himalaya and also Pastor Ferguson, his cell-mate in Tehran.
  8. Allan's motto, which may be yours too.

    "... it was what it was, and that in the future whatever would be would be." (p. 36)

    This motto had made him be calm and cold-headed in terrible circumstances. He also had no interest in politics. As an autodidactic explosion expert, he worked for whomsoever, either communist or liberalist. He was a mugwump, but it didn't save Allan's life. This reminded me of Dimas--a character in the Pulang, a novel by Leila S. Chudori--who experienced a similar phenomenon.
  9. Benny's life, that was unique (he had alternated between many majors for 30 years, and always dropped out right before graduated). Learning a lot of things curiously and well is more important than just learning one thing by halves just to get the academic title and diploma, eh? Yeah, but you certainly don't want to end up like Benny, who mastered many branches of science but couldn't get a proper job everywhere since he had no any diplomas.
  10. Isn't it too much to have Allan solve the nuclear problem simply and too easily in front of the nuclear experts in Los Alamos, USA? Some things were too good to be true.
  11. Allan had showed me how connections with big shots/top men could save our lives and bring benefits. For example, when Allan got his passport easily by using his connection with Truman (p. 208). By only lifting a finger, Truman could do everything.
  12. Having no high education didn't mean that you could do nothing. Of course, we know that Albert Einstein dropped out of high school at 15. So did Allan, who left school after his 10th birthday. No wonder, if he applied a job and had an interview, the interviewer would certainly doubt his capability, though Allan had had a bunch of experiences in explosive matters. That was what happened to Allan when Doctor Eklund interviewed him in AB Atomic Energy's recruitment.
  13. If you an Indonesian, you will know clearer (in witty ways, of course) how politics works in our country. It is too much and unbelievable if a foolish woman like Amanda (or Ni Wayan Laksmi) could be a well-known politician and Indonesia's ambassador in Paris. She did all of that by using hush money.

    "Indonesia is the country where everything is possible."
          (Allan, p. 444)
Reading this fast-moving plot was thrilling yet amusing. It is great to have a historical-political lesson wrapped in a book full of comedy like this. 

"But Allan did not get into other people's business--if he could avoid it, which he usually could." 
(p. 4)


24 August 2015

Pertama Kalinya Resensi Saya Nongol di Koran


Ini late post, sih, sebenarnya. Tapi, rasa senang masih membuncah di hati tatkala melihat kembali koran Tempo edisi Minggu, 9 Agustus 2015 (yang sudah lecek, nyelempit di dalam rak penuh buku-buku kuliah yang sudah tak terpakai *sok wkwk), jadi saya tetap ingin publikasikan di blog, hehe.

Di rubrik Buku, resensi buku Lukisan Dorian Gray tulisan saya nongol jadi bintang utama! Ini pertama kalinya saya mengirim resensi ke Koran Tempo (meski bukan pertama kalinya mengirim ke media massa, dan ditolak) dan ternyata diterima untuk diterbitkan. Tanggal 30 Juni 2015 saya mengirim ke redaksi Tempo, kemudian beberapa hari sebelum tanggal 9 Agustus pihak redaktur mengirim e-mail pemberitahuan ke saya, bahwa resensi saya akan terbit (pada saat itu, saya sudah lupa kalau pernah mengirim resensi saya ke Tempo *parah). Jika dihitung, sekitar 5 minggu jarak antara pengiriman resensi dan penerbitan.

Hari Minggu itu, pagi-pagi saya sudah bangun (tumben) dan keliling Yogya mencari Koran Tempo. Di tengah terpaan angin pagi Yogya yang dingin, saya menghampiri sebuah kios koran yang buka (sebelumnya ada beberapa kios koran, tapi tutup semua), tapi tak ada Koran Tempo di sana. Akhirnya saya mau pergi ke Terminal Jombor (pasti di terminal banyak kios koran, haha). Eh, baru sampai di perempatan lampu lalu lintas Ring Road Utara, ada mas-mas loper koran nyamperin saya.

"Mas, ada Koran Tempo, nggak?"
Si Mas menarik sebuah koran dari tumpukan di tangannya.
"Ini, kan, Mbak?"
Cling! Saya tersenyum lebar. "Iya, Mas, itu!"
Akhirnya saya memboyong koran itu seharga 3.000 rupiah.

Saya sangat antusias hingga tak sabar untuk membukanya sepanjang jalan (untung kos saya lumayan dekat dengan Ring Road Utara). Sesampai di kos, saya langsung membuka rubrik Buku. Dan.... sampai di bagian akhir tulisan, saya tercenung. Kok, nggak ada nama saya dicantumin, ya?


Lucunya, di bawah tulisan saya itu ada ralat, bahwa karena kesalahan teknis, nama penulis resensi minggu lalu tak tercantumkan. Lhah, masa tiap minggu ada ralat? Hohoho.

Saya menanyakan perihal ini ke redaktur, dan memang ternyata (lagi-lagi) ada kesalahan teknis sehingga nama saya tak tercantumkan. Sayangnya, minggu depannya, saya tak sempat memburu Koran Tempo lagi karena saya sedang berada di pedalaman di luar Pulau Jawa. Well, meski nama saya keselip entah di mana, saya tetap senang karena ini adalah pertama kalinya tulisan saya nongol di koran :D 

23 August 2015

[Resensi KAFE SERABI] Si Ndut Mencari Cinta

Judul: Kafe Serabi
Penulis: Ade Ubaidil
Editor: Ainini
Penerbit: de TEENS
Cetakan: I, Agustus 2015
Tebal: 188 halaman
ISBN: 978-602-279-158-4
Harga: Rp 40.000,00
Rating: 2/5

"Tuhan, apa aku akan selamanya hidup sendiri...?" 
(Anggun, hal. 47)
Di Kafe Serabi, kita akan berjumpa dengan Anggun Amaravati, si gadis semester akhir sebuah perguruan tinggi di Serang, yang sedang nyekripsi. Gadis ini punya tiga keistimewaan:

  1. tubuhnya berukuran jumbo,
  2. punya hewan peliharaan berupa sugar glider, bernama Tata,
  3. hampir jomblo perak.
Ia sering mengalami bully karena bentuk tubuhnya, sejak SMA sampai kuliah. Nia and the gang yang selalu bikin gara-gara dengan mengolok-olok kegendutannya. Sebenarnya, Anggun sudah eneg mendapat perlakuan seperti itu. Untunglah, ia punya dua sahabat yang menjadi alasannya untuk tetap bertahan: Anton, si Botak dan Mila, si Keriting.

Seperti sudah saya bilang, Anggun nyaris putus asa dengan gelar jomblowati sejati. Nah, suatu hari, Anggun tak sengaja menemukan sebuah tempat nongkrong asyik bernama Kafe Serabi. Siapa sangka, di tempat itu ia bertemu dengan seorang laki-laki blasteran nan tampan yang nantinya jadi kekasihnya. Namun, agak aneh, bukan, jika laki-laki setampan Ken itu tiba-tiba mendekati Anggun? Belum lama kenal pun mereka sudah jadian. Hmm, sepertinya Ken menyimpan rahasia....

***

Kafe Serabi bisa dibeli di Bukupedia (langsung klik!)

Menu Kafe Serabi


Judul dan gambar sampul depannya yang lucu, awalnya membuat saya mengira bahwa novel ini berkisah tentang tokoh utamanya yang mendirikan sebuah kafe berjuluk Kafe Serabi. Jadi ingat novel Kopiss, yang menceritakan perjuangan tokoh utamanya mendirikan kafe. Eh, ternyata perkiraan saya yang suka seenaknya itu salah. Kafe Serabi menjadi penting di novel ini hanya karena ia menjadi tempat bertemunya Ken dan Anggun pertama kali. Hanya itu. Menurut saya, perannya kurang signifikan sampai bisa dijadikan judul.

Novel ini ditulis dengan sudut pandang orang pertama dan ketiga berganti-ganti. Sudut pandang orang pertamanya didominasi oleh Anggun, tapi penulis juga menyertakan sudut pandang orang pertama Anton dan Ken.

Mengutip kata Farrahnanda di lembar endorsements, novel ini menyajikan "sepotong kue persahabatan yang renyah". Persahabatan Anggun - Anton - Mila memang menjadi menu utama novel ini. Dan, yah, penulis berhasil menggambarkan persahabatan mereka bertiga dengan cukup manis. Didukung dengan gaya penulisan yang mudah diikuti, kisah ini mengalir dengan lancar.

Persahabatan mereka telah terbukti setia melewati suka dan duka. Pun persahabatan Anggun - Tata terjalin dengan tak kalah manisnya. Meski terhalang oleh komunikasi yang tersendat antara manusia dengan sugar glider, pemahaman antara Anggun dan Tata selalu terjalin. Hmm, kecuali kesalahpahaman Anggun: selama ini ia mengira Tata berjenis kelamin perempuan!

Menu kedua novel ini adalah kisah cinta antara Anggun dan Ken. Tidak bisa dibilang manis. Lebih tepat disebut kisah cinta yang "sarat kebetulan dan kurang logis".

  • Sarat kebetulan
    Berapa persen, sih, kemungkinan kita bertemu seorang laki-laki tampan di sebuah kafe, yang nantinya laki-laki itu akan jadi pacar kita, dan ternyata laki-laki itu punya hubungan dengan sepupu kita?
    Ken ternyata punya hubungan dengan Reza, sepupu Anggun, dan bisa kebetulan mereka bertemu di sebuah kafe. 
  • Kurang logis
    Anggun berkenalan dengan Ken di Kafe Serabi karena sebuah kebetulan yang tak murni kebetulan juga, sih. Terlihat sekali usaha agresif Ken untuk mengenal Anggun lebih jauh. Baru beberapa menit bertemu langsung minta pin BBM. Lalu, belum lama kenal, mereka sudah jadian. Anehnya, Anggun sama sekali tidak curiga. Kalau saya jadi Anggun, pasti saya curiga, dong, terhadap Ken. Laki-laki ini pasti punya maksud tertentu.
  • Bikin saya meringis geli dan nggak tahan. Kisah cintanya terlalu dimanis-maniskan.

Menu ketiga novel ini adalah homoseksualitas. Awalnya nggak nyangka, sih, kalau ternyata penulis membawa saya ke isu tersebut. Soalnya, sejak awal, novel ini kental nuansa persahabatan dan kisah cinta normal. Sebenarnya masalah homoseksualitas ini bisa menjadi twist yang nendang, tapi sayang, sebelum ending, ia sudah tertebak. Selain itu, menurut saya, riset yang dilakukan penulis seputar dunia homoseksualitas kurang matang. Terbukti dari penggambarannya akan sosok Reza, sebagai laki-laki gay yang ngondek alias melambai, pakaiannya bling-bling dan norak. Setahu saya, zaman sekarang para gay berpenampilan bahkan lebih maskulin daripada pria normal. Tak jarang pula seorang gay memiliki fisik pria berotot yang hobi fitness.


Si Ndut Mencari Cinta


Sebelum melangkah lebih jauh, saya mau mengapresiasi usaha penulis untuk menjadikan seorang gadis gendut bahan olok-olokan sebagai tokoh utamanya. Yaaah, seringnya, kan, tokoh utama itu cantik, langsing, supel, gaul, baik hati, dsb. Tapi, bayangan saya akan tokoh Anggun awalnya melenceng, lho. Penulis sering menyebut Anggun bertubuh "bongsor", padahal menurut pemahaman saya, bongsor itu berarti tinggi - besar, tapi tidak gendut. Lah, lalu saya bingung, kok Anggun dipanggil "Ndut"? Dari situlah saya mulai paham *lemot banget, Cung!*.

Tokoh Anggun ini cukup unik, karena perpaduan antara sifat-sifat yang bertolak belakang:

  • Meski sering di-bully dan kadang jadi rendah diri, dia berani juga melawan Nia.
  • Ia juga cukup percaya diri, lho, untuk mengenakan gaun-gaun dan berusaha berpenampilan anggun, sesuai namanya. 
  • Di satu sisi, Anggun ini pemaaf. Terlihat dari di bagian menjelang akhir novel, ketika Nia berubah dan meminta maaf padanya. Dengan besar hati, Anggun pun bersedia memaafkan Nia, dan mereka berdamai.

    Di sisi lain, Anggun sama sekali tidak bisa memaafkan. Terlihat dari perlakuannya terhadap Ken. Huft, padahal Ken sudah berusaha untuk berubah (saya tahu, usahanya pasti sangat berat), dan di antara sekian banyak perempuan cantik yang PASTI MAU SAMA DIA, dia memilih ANGGUN. (Well, jangan hakimi saya dulu. Pendapat saya, perempuan cantik nggak selalu jahat, dan perempuan gendut nggak selalu baik, oke?) Tapi, oh, tapi, setelah Anggun tahu masa lalu Ken, ia tak bisa memaafkannya! Padahal saat itu kondisi Ken sedang lemah akibat kanker hatinya kumat (aduh, lagi-lagi kanker). Saya benar-benar dibikin kesal oleh sikap Anggun ini! Menurut saya, adalah orang berhati sempit yang tak bisa menerima masa lalu seseorang yang telah berusaha berubah dan tulus meminta maaf.
  • Agak matre?! Anggun pernah menulis ini di diary-nya:
"Seorang malaikat nan tampan, tiba-tiba jatuh dalam pelukanku. [...] Terlebih malaikatku ini begitu kaya raya." 
(hal. 82)
Tokoh Nia juga unik. Di awal, ia dikenal sebagai tokoh gadis cantik dan gaul yang suka mem-bully. Eh, ternyata, penulis menyembunyikan rahasia! Nia bersikap jahat terhadap Anggun karena suatu alasan (yang kekanak-kanakan, sih), yang intinya disebabkan oleh rasa cinta terhadap keluarganya. Namun, akhirnya Nia pun mengakui kesalahannya dan berdamai dengan Anggun.


Aroma Kelokalan?


Saya mengulik endorsement yang ditulis oleh Muhammad Rois Rinaldi. Ia menyebut bahwa Ade Ubaidil berusaha "menabur aroma kelokalan". Setelah itu, saya melihat daftar isi, yang penuh judul bab berupa nama angka dalam bahasa Cilegon, yang hampir mirip bahasa Jawa: sios, kalih, telu, papat, lime, dst. Saya jadi berharap akan menjumpai warna kelokalan beneran dalam novel ini. 

Eh, ternyata, selain deskripsi latar tempat di Cilegon dan Serang, yang sangat spesifik, dan beberapa selipan penjelasan kebudayaan, aroma kelokalannya amat encer. Mungkin kalau ada dialog yang berlangsung dalam bahasa Cilegon/Banten, novel ini akan jadi sedikit lebih seru.


Mereka Beneran Anak Kuliahan?


Adegan bully yang dialami Anggun, adegan jambak-jambakan antara Anggun dan Nia, geng-gengan ala anak SMA.... Yakin, novel ini tentang anak kuliahan, bukan anak SMA? *face palm*

If Happy Ever After Did Exist...


Menginjak ending, penulis benar-benar bikin saya kesal. Tapi, sebagai reviewer, saya berusaha tetap objektif (meski asap sudah mengepul keluar lewat hidung dan telinga --  lho, kok kayak naga). Saya curiga, jangan-jangan kisah Kafe Serabi ini tidak terjadi di dunia nyata?! (oh, iya, memang fiksi, sih) Soalnya, happy ever after, kan, cuma ada di dongeng karya H. C. Andersen, misalnya.

Semua berakhir bahagia. Kecuali Ken, yang tetap menderita. Saya sungguh kasihan padanya T_T (sini sama aku aja, Ken >,<). Kecuali Tata juga, yang akhirnya meninggal. Mila, yang awalnya naksir Reza, tapi kecewa setelah tahu Reza kayak apa, akhirnya mendapat gantinya. Anggun kemudian ditembak oleh sahabatnya sendiri. Lantas kedua pasangan BAHAGIA itu melangsungkan pernikahan di hari dan tempat yang sama. 

Tak hanya itu, Saudara-saudara. Anggun menjadi seorang penulis! Kisah pribadinya diterbitkan jadi buku berjudul "Catatan Si Ndut dan Tata". Kemudian ia juga telah menerbitkan buku keduanya, dan sedang menulis buku ketiganya. Saya menutup muka berkali-kali membaca ini. Sebelumnya, nggak ada disebutkan bahwa Anggun bercita-cita jadi penulis. Aktivitas menulisnya hanya diselipkan sedikit, ketika ia mengetik semacam diary. Terus, tiba-tiba ia jadi penulis? Gampang kali jalanmu, Nak! Sebagai penulis, saya tahu banget, untuk jadi penulis nggak semudah itu. Well, saya memakluminya karena bagaimana pun juga, ini hanyalah kisah fiksi. Jumlah halaman yang cukup tipis mungkin juga membatasi penulis untuk lebih mengeksplorasi motivasi para tokohnya.

Berdasarkan segala pertimbangan tersebut, tidak berlebihan jika saya menghadiahkan 2 bintang untuk novel ini.

22 August 2015

[Resensi CARAPHERNELIA] What If I Can't Forget You?

Judul: Caraphernelia
Penulis: Jacob Julian
Editor: Ambra
Penerbit: PING!!!
Cetakan: I, 2015
Tebal: 196 halaman
ISBN: 978-602-279-178-2
Harga: Rp 36.000,00
Rating saya: 2/5

"Tidak ingat apa-apa adalah hal yang paling dibenci orang." 
(hal. 6)
Begitu pula yang dialami oleh Jona, ketika ia terbangun dalam sebuah kamar kos yang terkunci. Tubuhnya terasa lemah dan sikunya berdarah. Di dalam kantong jaketnya, ia temukan sebilah silet, yang kemungkinan telah ia gunakan untuk menyayat sikunya. Di atas meja dan di dalam kantong jaket ia temukan kertas-kertas serupa resep obat.
“Jona, kau masih di sana?”
Jona… dia mendengar nama itu. Jona… apa itu namanya?
“Jona? Dengarkan aku! Aku sudah menunggu—”
“Siapa ini?” Suara Jona terasa berat.
“Aku Alvin! Ini Jona, bukan? Siapa kau?!”
“A…aku… tak tahu siapa diriku.”
 
(hal. 15 – 16)
Setelah Alvin meneleponnya, ia perlahan ingat bahwa kamar kos yang ia tempati adalah milik temannya itu. Niat baik Alvin untuk menolong Jona tolak dengan keras kepala. Setelah itu, Jona benar-benar sendiri dalam keadaannya yang menyedihkan. Ia berjalan menyusuri jalanan. Rasa lapar mengantarnya masuk ke dalam minimarket. Nasib mengantarnya bertemu dengan seorang perempuan yang mengenalinya, Alana. Tak ingin menyakiti temannya lagi, Jona menerima uluran bantuan Alana. Selama beberapa hari, Jona tinggal di apartemen Alana. Sampai sebuah suara milik perempuan bernama Mae menyapanya lewat telepon, dan mengingatkannya bahwa perempuan itulah alasannya menghilangkan ingatan.
***

Sejak bab pertama, novel ini membuat saya bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Bahkan sejak membaca judulnya yang bikin dahi berkerut dan lidah keseleo itu--meski sampul depannya menarik dan enak dipandang, sih.

Mengapa Jona lupa ingatan? Lantas, saya mengantisipasi apabila nantinya alur novel ini akan mengungkapkan bahwa ingatan Jona dihapus oleh sebuah sistem komputer di suatu masa depan yang penuh dystopia. Haha, ini hanya khayalan saya akibat terlalu terkontaminasi oleh genre dystopian young adult. Hmm, ternyata penulis membawa saya ke permasalahan putus cinta yang mampu membuat seseorang melakukan hal bodoh dan berbahaya. Yah, agak kecewa sebenarnya (ya, udah, kamu bikin cerita sendiri aja, Cung!). Adalah hal lebay menurut saya, ketika putus cinta dan melakukan hal bodoh. (Saya juga pernah patah hati, tapi nggak sampai gitu juga, kali -_-)

Selain menggunakan alur maju untuk menceritakan apa yang Jona lakukan selanjutnya, penulis menggunakan alur balik untuk menceritakan ketika Jona bertemu seseorang yang menjual obat pelupa ingatan padanya. Setelah itu, alur balik muncul saat beberapa fragmen ingatan Jona pulih. Pemilihan kombinasi dan proporsi alur seperti ini sudah pas, untuk menjelaskan apa yang perlu penulis jelaskan.

Novel ini berlatarkan waktu dengan rentang yang cukup sempit, hanya beberapa hari (kalau tidak salah dua hari, maaf kalau ternyata salah, hehe), sehingga padat peristiwa. Suasana “gelap” mewarnai sepanjang novel.

Sebagai tokoh sentral, pemikiran dan perasaan Jona terdeskripsikan secara memadai. Terutama saat ia terbangun dari tidur dan mendapati ingatannya terhapus. Meski menggunakan sudut pandang orang ketiga, kekacauan pikirannya tergambar dengan baik. Pun ketika ia berhalusinasi dikejar segerombolan laki-laki di jalan. Membaca ini saya menyimpulkan bahwa Jona adalah lelaki pengecut, yang tidak berani menghadapi masalahnya.

“Aku lakukan ini hanya karena ingin melupakan sesuatu!” 
(Jona, hal. 28) 
“Manusia diberi masalah bukan untuk dilupakan. Tapi dihadapi.” 
(Alvin, hal. 29)

Namun, menurut penuturan Alana, dulu Jona tidak seperti itu. Jadi, masalah putus cinta telah mengubah sikapnya jadi negatif.

“Aku dulu tidak mengenalmu seperti ini. Kamu bukan orang yang gampang menyerah.” 
(Alana, hal. 74)


Pada masa nebengnya di apartemen Alana, saya mendapati satu lagi bukti kepengecutan Jona. Ketika Alana sedang tidur, diam-diam dia mengambil uang dari dompet perempuan itu. Saya bisa memahami bahwa hidupnya sedang terpuruk dan ia tak punya uang (uangnya yang berjumlah mepet telah dibelikan minuman dan roti kedaluwarsa di minimarket). Perbuatan Jona ini mengesankan “aji mumpung”. Namun, jika saja ia mengurangi gengsinya dan meminta baik-baik, pasti Alana bersedia meminjamkan uang.

Jona juga memiliki kegengsian tingkat tinggi. Terbukti dengan penolakan yang ia lakukan terhadap bantuan Alvin. Namun, ketika yang menolongnya adalah seorang perempuan cantik (baca: Alana), ia berusaha menekan gengsinya, dan cukup berhasil.

“Aku lebih baik untuknya daripada siapa pun.” 
(Jona, hal. 114)


Itu kalimat yang dilontarkan Jona setelah ingat bahwa yang membuatnya terpuruk adalah cinta bertepuk sebelah tangan. Mae, gadis yang dicintainya, malah memilih teman Jona. Kalimat itu mengesankan bahwa Jona adalah orang yang terlalu pede, tapi tidak bertindak positif dengan pedenya itu.

Ada satu lagi sifat negatif Jona: licik. Awalnya, ia selalu menolak saran Alana untuk menemui Mae dan membereskan masalahnya. Tapi, tiba-tiba Jona berubah sikap, setelah ia mendapatkan senjata untuk menghadapi Mae nanti.

Alana adalah tokoh pendukung yang cukup banyak berperan dalam cerita. Penulis menciptakan kekontrasan dalam tokoh ini. Ia digambarkan sebagai perempuan cantik yang memiliki banyak pacar (sebut: bukan cewek baik-baik). Di sisi lain, ia peduli dan perhatian terhadap Jona, sehingga memprioritaskan pemulihan Jona. Namun terlalu cepat ketika di akhir cerita tiba-tiba Alana jatuh cinta terhadap Jona. Hmm, meski tak dipungkiri bahwa tak tertebak kapan cinta akan jatuh. Cukup masuk akal sebenarnya, karena selama beberapa hari itu hubungan Alana – Jona berlangsung sangat intens.

Sementara itu, tokoh Alvin dan Mae mengambil secuil porsi dalam novel ini, meski peran mereka juga penting di masa lalu Jona.

Kini waktunya mengkaji novel ini. Ada beberapa poin yang ingin saya elaborasikan.
  1. Mengenai penggunaan kata “bergeming”. Selama ini banyak kesalahan penggunaan kata tersebut, karena salah pengartian. Menurut KBBI, “bergeming” = tidak bergerak sedikit juga; diam saja. Jelas, maknanya salah ketika Jacob Julian menulis seperti ini “… sehingga kini yang dirasakannya adalah sebuah hantaman pada lemari yang tidak bergeming” (hal. 4-5). Sepanjang membaca, saya menemukan tak hanya satu “bergeming” sejenis itu.
  2. Kebanyakan struktur kalimatnya berbelit dan kaku. Ini bukan karya pertama Jacob Julian yang saya baca. Sebelumnya ada You’re Not Funny Enough. Yang membuat saya tercenung, membaca gaya penulisan Caraphernelia tidak seperti tulisan Jacob Julian. Mungkin karena novel ini sudah cukup lama ditulis, yaitu tahun 2013, jadi gayanya yang sekarang sudah berubah. Menurut observasi saya, kalimat-kalimat yang ia jalin di sini kaku dan kadang sulit dimengerti maksudnya. Novel ini sulit dinikmati. Belum lagi beberapa typo yang mengganggu. Berikut ini adalah contohnya.
    “Lalu secara berurutan dengan memacu napas yang tersengal, pertanyaan yang lain keluar dari pikirannya satu per satu, ingin dia teriakkan tapi tak bisa.” (hal. 7) 
    “Tapi tidak ada di dalam diri Jona untuk segera meminta maaf kepadanya.” (hal. 76) 
    “Kalau tempat pelampiasanku adalah… kamu. Apakah itu berarti saat kamu punya masalah, kamu bisa saja tidak datang padaku?” (hal. 83)
  3. Ada kalimat yang tidak pas. Berikut ini adalah contohnya.
    “Orang baik tidak akan membiarkan tangannya terluka seperti itu.” (hal. 57)
    Apa hubungannya? Mungkin “orang baik” lebih cocok jika diganti “orang waras”, wkwk >,<
    “Kami bahkan tidak mencintai.” (hal. 113)
    Makna kalimat ini akan lebih pas jika diselipi kata “saling”.
    “Seperti topeng yang dikenakan oleh orang dari masa lampau untuk mengganti identitasnya.” (hal. 127)
    Hmm, topeng yang mana, ya? Hehe.
  4. Ketidaklogisan cerita. Dari mana Jona punya uang untuk membeli lagi obat pelupa ingatan? Setahu saya, saat itu ia sedang tak punya uang dan ia belum mencuri uang Alana.
  5. Sebenarnya obat apa, sih, itu? Apa benar ada obat seperti itu? Setelah melakukan studi pustaka (studi pustaka skripsimu aja belum ditulis, Cung!), ternyata memang benar ada obat macam itu!

    WebMD menyebutkan bahwa jenis obat antidepresan, antihistamin, anti-kecemasan, perelaks otot, obat penenang, obat tidur, dan pengurang rasa sakit pascaoperasi bisa turut berperan dalam hilangnya ingatan seseorang.

    Medical Daily menyebutkan jenis obat serupa, tapi lebih lengkap beserta contoh nama obatnya dan cara kerja obat-obatan tersebut yang bisa menyebabkan lupa ingatan. Selain itu, ia juga menambahkan jenis obat chlolesterol, obat hipertensi,
     
  6. Mengapa judulnya CarapherneliaSaya menemukan bahwa Caraphernelia adalah judul lagu oleh Pierce The Veil (kamu bisa baca liriknya di sini). Dari lagu tersebut, populerlah istilah ini untuk menyebut (menurut Urban Dictionary):

    Ah, saya dapat satu kosakata gaul baru! Hahaha :D
  7. Mungkin ini ketidaktelitian saya, tapi mengapa Jona harus menyilet sikunya, sih?


Bagian akhir novel ini cukup meresahkan, karena nggantung nggak ketulungan! Meski pembaca mungkin bisa menebak, sih, siapa sebenarnya “pria bermulut manis” yang dicintai Mae itu. Sebuah akhir yang cukup memuaskan.

Amanat novel ini adalah tak ada yang salah dengan patah hati, tapi yang salah adalah membiarkan diri sendiri berbuat bodoh karena alasan tersebut. Apalagi sampai mencelakakan orang lain. Adalah perbuatan sia-sia melupakan ingatan sendiri, karena cepat atau lambat ingatan itu pasti kembali. Lupa lagi? Lama-lama pasti akan kembali lagi! Kecuali setelah menelan obat pelupa ingatan, Jona mengasingkan di sebuah pulau tak berpenghuni, sehingga nyaris tak mungkin bertemu orang-orang dari masa lalunya.

11 August 2015

[Resensi] Burung Ajo Kawir yang Berhibernasi, Akankah Bangun Lagi?

Follow my blog with Bloglovin

Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Editor: Mirna Yulistianti
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Mei 2014
Tebal: 243 halaman
Harga: Rp 58.000,00
ISBN: 978-602-03-0393-2
Rating saya: 3/5

Si Burung Ngambek, Lalu Tertidur Lelap

Ketika masih berumur belasan, bersama Tokek, Ajo Kawir yang sedang mengintip seorang perempuan gila, Rona Merah, di dalam rumahnya, malah mendapat penglihatan mengejutkan. Mereka menjadi saksi atas pemerkosaan yang dilakukan dua orang polisi terhadap si perempuan. Ajo Kawir, yang telat bersembunyi, tertangkap basah oleh si polisi. Sejak saat itu, kemaluannya ngambek, meringkuk, dan tak bangun-bangun sampai bertahun-tahun kemudian. Segala usaha telah dilakukan, tapi si burung tetap terdiam. Suatu kali, Ajo bertemu dengan Iteung, seorang gadis yang mahir bela diri. Mereka saling jatuh cinta dan menikah. Ya, menikah, meski keduanya tahu bahwa si burung masih tertidur. Maka, tak heran, Ajo Kawir murka ketika mengetahui bahwa Iteung hamil. Ajo pergi dan memulai hidup baru sebagai sopir sekaligus pemilik truk.

Filosofi Burung dan Ketabuannya


Sejak memandang sampul depannya, insting saya mengatakan bahwa ini novel dewasa. Eh, setelah membaca beberapa halaman saya baru tahu, di sampul belakang ada label 21+. Wow, 21+ ini tidak main-main kedengarannya, ya? Hmm, tenang saja, saya sudah 22 tahun, dan menurut saya label itu terlalu lebay. Orang Indonesia sering terlambat dalam banyak hal dibandingkan orang-orang di negara maju. Di saat ilmuwan Belanda sudah menciptakan turbin angin tanpa baling-baling, dan ada lulusan Royal College of Art London asli Cape Town menemukan lembaran plastik yang mampu memanen energi angin, di bangku kuliah saya baru belajar merancang turbin angin konvensional. Di saat para remaja AS menerima pendidikan seks, para orang tua di Indonesia malah menabukan hal-hal berbau seks pada anak-anak remajanya. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor mengapa remaja seperti Ajo Kawir dan Tokek, digiring rasa penasaran, malah terjerumus dalam penyimpangan sosial. (Sebelum punya hobi baru mengintip Rona Merah, mereka suka mengintip Pak Kepala Desa dan istrinya ketika sedang berhubungan badan.)

Saya mengapresiasi keberanian penulis untuk mengangkat hal-hal yang umumnya ditabukan tersebut ke dalam karyanya (plus penggunaan istilah-istilah vulgar, seperti "kontol" dan "memek"). Dikarenakan anggapan tabu, maka seolah burung selalu salah, padahal ia hanya melakukan tugasnya sebagaimana tujuannya diciptakan oleh Sang Pencipta. Nah, akhirnya, burung pun yang harus menanggung semua ketika Ajo Kawir diam saja melihat tindak kriminal dilakukan di hadapannya oleh penegak hukum. Setelah itu, burung tetap tidur selama Ajo hidup dengan melakukan hal-hal buruk (menghajar orang tak bersalah tiap dia kesal, membunuh si Macan). Ketika berumur tiga puluhan, Ajo telah mengubah kebiasaan-kebiasaan buruknya, dan setelah meniduri perempuan buruk rupa, burungnya bangun lagi. Dalam konteks ini, burung merupakan simbol nurani.

"Si Burung menempuh jalan sunyi. Tidur lelap dalam damai, dan aku belajar darinya. […] Aku berhenti berkelahi untuk apa pun. Aku mendengar apa yang diajarkan Si Burung." 
(Ajo Kawir, hal. 123)
Burung Ajo Kawir seolah menyindir burung-burung lain yang digunakan dengan tidak semestinya, misalnya untuk memperkosa. Bahwasanya masih ada burung seperti milik Ajo Kawir, yang lebih memilih untuk bertapa setelah menjadi saksi perbuatan asusila.

Bagi Ajo Kawir, kemaluan adalah otak kedua manusia. Ada benarnya, bukan? Kalau sudah terbimbing nafsu, maka gelaplah mata dan logika. Tubuh manusia tahu apa yang diinginkannya, dan bagaimana cara menuntutnya, tak peduli sesuci apa pun manusianya. Penegak hukum pun tak luput dari nafsu berahi (seperti dinyatakan melalui dua orang polisi yang memerkosa Rona Merah).

"Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini." 
(Ajo Kawir, hal. 126)

Rezim Kekerasan

Pernah menonton atau membaca Game of Thrones? Novel ini agak mirip dengannya dalam hal menggambarkan segala keburukan dunia (meski tidak sekejam dalam Game of Thrones). Bayangkan, tiga tokoh perempuan dalam novel ini pernah mengalami hal-hal buruk. Pertama, Rona Merah. Setelah suaminya meninggal dan jadi gila, ia diperkosa. Kedua, Iteung. Saat remaja, ia pernah dijadikan pemuas nafsu berahi sang guru. Namun, tak seperti Rona Merah, Iteung punya kekuatan untuk melawan. Setelah menguasai ilmu bela diri, ia membalas dendam pada sang guru. Ketiga, Nina, gadis yang disukai Mono Ompong. Dalam konteks Nina, ia memang menjerumuskan diri sendiri pada aneka jenis burung.

Kekerasan menjadi menu utama di dalam cerita. Tokoh-tokohnya bertindak seolah segala hal bisa diselesaikan dengan kekerasan. Untuk membalas dendam atas perlakuan tidak senonoh yang dilakukan Si Kumbang terhadap Mono Ompong, Mono Ompong sengaja mencelakakan lelaki itu dan truknya. Bahkan, menjadi jagoan adalah obsesi kedua Mono Ompong (obsesi pertamanya adalah Nina).

Para sopir truk juga senang melihat perkelahian duel yang dijadikan tontonan. Ironisnya, pertunjukan kekerasan itu dilegalkan dan diawasi oleh para tentara.

Teknik yang Unik dan atau Pelik

Ini novel pertama Eka Kurniawan yang saya baca. Oleh karena itu, tidaklah bijaksana jika saya menghakimi gaya penulisan beliau hanya dari satu novel ini saja. Namun, izinkan saya membagi apa yang saya temukan, tanpa menghakimi.

Novel ini tersusun atas kalimat-kalimat berdiksi sederhana, dan bahkan terkesan kaku. Seolah kalimat yang digunakan seorang guru untuk mengajar pola kalimat SPOK pada murid-murid sekolah dasar. Miskin metafora dan diksi yang nyeni. Saya menduga, penulis memang sengaja menggunakan gaya bahasa seperti ini, mungkin agar tulisannya unik.

Kemudian, awalnya saya agak terganggu akan kecenderungan penulis untuk melenyapkan tanda petik yang menandai ucapan langsung. Namun, lama-lama saya terbiasa dan hal itu tak menjadi masalah lagi. Meski begitu, bagi pembaca lain barangkali hal ini menyusahkan. Contohnya adalah seperti ini:

Ia menemukan Pak Lebe sedang memberi makan ikan-ikan di kolamnya. Selamat sore, Pak, ada yang ingin aku bicarakan. 
(hal. 54)


Ajo Kawir bilang, cepat atau lambat, mereka harus keluar dari rumah itu dan mencari rumah sendiri. Iteung bilang, tak usah buru-buru. Papa dan Mama senang mereka tinggal di sana. Lagipula kita tak punya uang banyak, kata Iteung. 
(hal. 114)
Penulisan alur yang meloncat-loncat, maju-mundur-maju, atau sesuka penulis, di satu sisi mampu membangun suspense tersendiri dan membuat pembaca tidak bosan. Adegan pertarungan duel antara Mono Ompong (kenek truk Ajo Kawir) dan Kumbang (sopir truk lain yang sebenarnya ingin mengajak duel Ajo Kawir, tapi selalu dicuekin) adalah salah satu contohnya. Saat bertarung, pikiran Mono Ompong melanglang ke masa lalu, saat ia masih di kampung halaman dan menaksir seorang gadis, yang ternyata adalah perek. Juga bagaimana ia kehilangan dua gigi depannya, dan berkhayal mengalahkan Kumbang. Suspense lain juga tercipta tanpa alur bolak-balik, saat truk yang disopiri Mono Ompong beradu kecepatan dengan truk si Kumbang.

Di sisi lain, penulisan alur seperti ini cukup membingungkan. Pembaca akan dengan mudah kehilangan jejak jika tak berkonsentrasi atau tidak membiasakan diri.

Akhir kata, pesan yang diusung novel ini melalui alegorinya memperkaya pengalaman membaca saya. Adegan-adegan menegangkan di dalamnya hidup nyaris sempurna, sehingga dapat mengompensasi kebosanan yang mungkin terjadi akibat sudah kenyang akan adegan kekerasan, atau teknik penulisannya yang nyentrik.***

8 August 2015

August Book Haul



You can find this on Goodreads.
The first book I started to read early this month was Sputnik Sweetheart, a book by Haruki Murakami, which first published in 1999. I am reading the e-book version (still isn't finished yet), and I can't read this as fast as when I read a physical book. This is the second work of Murakami I read, the first one was Blind Willow, Sleeping Woman. Though, this is the first of his novels that I read. Using his specific characteristic of writing style, Murakami told about Sumire, a girl who fell in love with a girl too, Miu. He used the first person point of view, but the narrator wasn't the main characters. Previously, I also found his tendency to use this kind of point of views in several short stories in Blind Willow, Sleeping Woman.

You can find this on Goodreads.
The second book I read concurrently with Sputnik Sweetheart is The Hundred-year-old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared by Jonas Jonasson. I borrowed this book from my friend's book shelf, Halimah (she's the one who's a die-hard fan of Ika Natassa). She got this book from a blended package from Litbox. It was a long time since I saw the Indonesian-translated version of this book at several book stores, despite of the fact that I was attracted by its long title about a long-lived old man, I never decided to buy it. Actually, I have had the e-book version, but as you've known it before, I prefer to read a physical book than a digital one. (Although I have read e-book version of some books). I hope I can finished those two books soon, since I have another three books I need to review, from Divapress.


Beside those two (which I haven't finished yet), I have finished reading Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas by Eka Kurniawan, one of the Indonesian influential writers. He was given a nickname as "the next Pramoedya Ananta Toer".


Then, I've got these three new-released books from Divapress.

You can find this on Goodreads.

You can find this on Goodreads.


I like the cover of Kafe Serabi and Caraphernelia. The latter has a title that make me wonder what it is about. While, the The Architect is one of a book series called Novel Profesi (a genre published by Divapress which tells story about the main character's profession.) Previously, I have read another books of this genre, included The Violinist, The Dancer, and The Doctor.

That's my August Book Haul. How about yours? Let me know by submitting your comment below! ^^

[Resensi TRILOGI DARAH EMAS #3] SEMBRANI

Judul: Sembrani
Penerjemah: Meiliana K. Tansri
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2010
Tebal: 240 halaman
ISBN: 978-979-22-6038-0
Harga: Rp 10.000,00 (obral)
Rating saya: 3/5

[Untuk resensi buku pertama, bisa dibaca di sini.
Resensi buku kedua bisa dibaca di sini.]

Akhirnya, sampai juga di buku ketiga. Di buku ketiga ini, tokoh-tokoh yang awalnya hanya muncul sekilas di kedua buku sebelumnya, ternyata memiliki peranan penting bagi perkembangan cerita.

Sembrani dibuka dengan perkenalan tokoh baru, yaitu si kuda penarik sado yang bernama Sembrani. Sembrani bermimpi punya sayap dan bisa terbang. Entah bagaimana, ketiga ekor tikus bertemu dengan Sembrani dan meminta bantuannya untuk menemukan Putri Naga yang tengah dikuasai kekuatan jahat. Sementara itu, di tempat lain, Sakim masih teringat kata-kata sang harimau padanya, sebelum ia membebaskannya dari kebun binatang, "Temukan raja!".

Seekor harimau diberitakan keluar dari hutan dan telah membunuh seorang manusia di Muaro Jambi. Kemudian, muncullah Rusdi, dari Dinas Kehutanan, yang ditugasi menangkap si harimau. Ia meminta bantuan Sakim untuk menemukan si harimau, lantaran pengalamannya sebagai pawang (dan karena ia sudah pernah diserang Sultan) dinilai bisa digunakan sebagai pemandu.

"Menurut mereka, orang yang pernah diserang harimau berarti sudah ditandainya. Orang itu biasanya kemudian punya semacam kemampuan untuk merasakan kehadiran harimau." 
(Rusdi, hal. 25)

Sakim akhirnya bersedia. Namun, di tengah hutan, ia menemukan tiga fakta mengejutkan. Pertama, harimau itu memangsa manusia karena mereka telah memangsa anaknya. Kedua, Rusdi sebenarnya bukan seperti penampakannya. Ketiga, ia menemukan raja--seekor anak harimau, anak lain dari si induk yang memangsa manusia itu.

Teddy Kho, anggota keluarga darah emas, juga ikut dalam rombongan Rusdi. Nantinya, Teddy akan bertemu dengan tiga ekor tikus yang menunggang Sembrani dan membantu menemukan Putri Naga.

Sementara itu, misteri kematian beberapa orang dengan cara yang aneh mengusik Kemas Ramli. Kematian mereka diduga didalangi oleh roh Putri Naga yang terpisah dari tubuhnya untuk membalaskan dendam sang Naga. Hartanto yang mengetahui hal ini, cemas menunggu gilirannya dibunuh. Yang paling mengejutkan, terungkapnya motivasi Reuben Moore atas ketertarikannya terhadap situs Kemingking.

***

Dibandingkan kedua buku pendahulunya, alur dalam buku ketiga ini paling menegangkan dan padat. Penulis seakan tak membiarkan pembacanya untuk menarik napas. Teka-teki tertebar di mana-mana. Selain kompleksitas ceritanya, pembaca juga dihadapkan pada jumlah tokoh yang terlalu banyak, saling berhubungan (entah hubungan keluarga, atau sebagainya), dan hampir semuanya memiliki peran penting. Fenomena ini memunculkan kebingungan tersendiri. Alur yang dibangun sejak buku pertama malah menjadi terseok-seok di buku ketiga ini.

Meski begitu, tetap ada hal menarik dari trilogi ini. Yang pertama, tentu saja, adalah perihal situs sejarah di Muaro Jambi. Hasil pencarian di internet pun menyebutkan bahwa Kabupaten Muaro Jambi kaya akan peninggalan sejarah yang (sayangnya) belum terawat dengan baik. Salah satunya adalah candi yang terdapat di Desa Kemingking Dalam, yang disebut "Candi Cino" oleh masyarakat sekitar [1]. Di Muaro Jambi ini terdapat sebuah situs percandian terluas di Indonesia (luasnya 12 kali luas kompleks Borobudur) yang terancam keberadaannya karena aktivitas penambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit [2]. Situs ini merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu pada abad ke-7 sampai ke-14 [3].

Situs percandian di Muaro Jambi. Sumber di sini.
Uniknya, petisi Save Muarajambi digencarkan pada tahun 2012, sedangkan pada tahun 2010, Meiliana K. Tansri telah berusaha mengangkat eksistensi situs ini melalui Trilogi Darah Emas. Mengesankan, ya, insting penulis terhadap permasalahan di dunia sekitarnya?

Berikutnya, tokoh-tokoh di buku ini melambangkan sesuatu. Xander merupakan simbol krisis identitas. Meskipun berkewarganegaraan Indonesia, sejak kecil ia tinggal di Jerman. Sungguh memalukan bahwasanya ia tidak mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, sementara Reuben Moore--arkeologis dari Amerika Serikat--fasih menjelaskannya.

Semenjak awal membaca buku pertama, saya bertanya-tanya, mengapa situs Kemingking yang dijadikan poin permasalahan? Ternyata penulis menjawabnya di buku ketiga ini.

"Situs Kemingking adalah tonggak arkeologi yang penting. Pengungkapannya akan membongkar banyak rahasia peradaban, meluruskan kekeliruan sejarah. Misalnya tentang kerajaan-kerajaan besar yang memengaruhi kebudayaan Indonesia." 
(Reuben Moore, hal. 67)
Sembrani, bersama ketiga ekor tikus, (seperti yang sudah saya singgung di resensi buku kedua), melambangkan harapan dan kesetiaan. Sembrani tak pernah lelah memegang harapan dan mimpinya untuk punya sayap dan bisa terbang. Ketiga ekor tikus pun, meski terkadang ragu, pada akhirnya tetap percaya bahwa mereka akan bisa menjadi manusia lagi.

Di buku ketiga ini, tokoh Putri Naga sudah tak menarik lagi. Center of attention malah berpindah ke Sembrani, tiga ekor tikus, dan bahkan Moore. Hal ini dikarenakan Putri Naga tak melakukan aksi berarti di sepanjang cerita, lantaran ia sedang tak sadarkan diri.

Kemunculan Reuben Moore dengan ilmu klenik khas Baratnya, menyimbolkan penjajahan modern yang dilakukan negara-negara Barat terhadap Indonesia. Fenomena perdagangan hewan langka ke luar negeri (dalam buku ini adalah harimau Sumatera) juga mendukung argumen tersebut.

Kemunculan Nyai Sati di ketiga buku mewakili kehadiran sang Naga yang selalu melindungi keturunannya dan semua yang berada dalam lingkupan silsilah darah emas. Malah, saya rasa peran wanita berpakaian tradisional Jambi itu lebih penting daripada Naga sendiri. Haha.

Ada dua hal yang seperti "dipaksakan" oleh penulis. Pertama, adegan saat Rigel memotong tali pengikat tangan dengan pecahan kaca dari jam tangan, yang sulit saya bayangkan (hal. 179). Kedua, praktik sihir yang dilakukan Reuben Moore, yang menurut saya terlalu tidak masuk akal untuk konteks cerita. Kok, saya malah teringat sihir yang dilakukan Voldemort untuk mendapatkan tubuh manusia (Harry Potter and The Goblet of Fire). 

Yang menjadi bagian favorit saya di buku ini adalah interaksi antara Teddy Kho, tiga ekor tikus, dan Sembrani. Meski perbedaan bahasa menghalangi komunikasi, mereka tetap bisa saling memahami. Berkat jasa dan aksinya, Teddy Kho jadi tokoh favorit saya di buku ini.

Secara keseluruhan, membaca Trilogi Darah Emas memberikan hiburan tersendiri, saat saya mulai jarang membaca buku fantasi. (Padahal genre fantasi adalah salah satu genre favorit saya!) ^^

Sumber gambar di sini.


bloggerwidgets